Menakar Sukses Haji 2018 (1)

MASIH kuat dalam ingatan, ketika itu hari pertama tiba di Tanah Haram, tepatnya di Madinah Al Munawarah, sebuah kota mungil yang begitu dicintai Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Waktu itu kalender jam tangan menunjukkan 17 Juli yang menjadi hari pertama petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) melancarkan aksinya di Madinah. Hari tersebut adalah gelombang 1 jamaah tiba di Arab Saudi.

Di hari pertama itu petugas tidak menemukan hal yang berarti, hanya wajah-wajah ceria tampak dari para jamaah ketika mereka menginjakkan kakinya untuk kali pertama di Tanah Haram.

Bagi mereka, ini mungkin sebuah mimpi yang menjadi nyata. Bertahun-tahun masa penantian, menabung sedikit demi sedikit, kini mereka ditemukan pada kenyataan, yakni berhaji di Baitullah.

Ketika tiba di Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, Madinah, ada yang sujud syukur, ada yang mengangkat tangan seraya berdoa, ada juga yang sibuk dengan ponselnya mengabarkan sanak famili di kampung halaman.

Terpancar sebuah kebahagian yang sulit terbayarkan, raya syukur dan salawat nabi tak henti-hentinya mereka panjatkan. Tidak lama menunggu, jamaah pun beranjak menuju bus dan selanjutnya diantar ke tempat penginapan di Madinah.

Petugas lega di hari pertama semua berjalan lancar, tidak ditemukan jamaah yang mengalami kendala. Hanya ada beberapa orang yang sakit karena jetlag saat turun dari pesawat.

Diludahi hingga Dipukul Jamaah

Baru keesokan harinya, petugas dihadapkan pada satu pemandangan yang menurut sebagian orang katakan bahwa ketika menjadi petugas haji akan banyak menemukan hal unik dan menarik seputar jamaah.

Seperti dialami Dede Rohali, petugas MCH, ketika itu waktu menunjukkan pukul 15.00 WAS, dia berniat salat berjamaah di Masjid Nabawi. Hanya berjarak 100 meter menuju gerbang masjid, Dede dihadapkan pada kenyataan di mana jamaah seperti kebingungan.

Seorang pria yang mengenakan batik khas jamaah haji Indonesia terlihat berjalan sendirian di Jalan King Fahd, Madinah, sesekali dia menggaruk-garuk kepala. Sesekali dia duduk termenung, pandangan matanya selalu mengarah ke Gunung Uhud.

Tidak lama berselang, pria itu bangkit dan berjalan ke arah Gunung Uhud sambil tangannya menunjuk-nunjuk gunung tersebut.

Dia lalu melangkahkan kaki ke arah gunung itu. Tapi, hanya tiga langkah. Berhenti, lalu duduk, minum, melangkah lagi, dan berhenti lagi.

Gerak-geriknya yang mirip orang kebingungan diketahui empat petugas haji yang sedang melintas. Dede bersama petugas MCH lainnya yang dibantu satu petugas Linjam, menghampiri jamaah yang rambutnya sudah memutih itu.

Diketahui jamaah tersebut bernama Bapen Kiyam asal Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. “Bapak mau apa disini,” tanya petugas.

Bapen pun menjawab dengan kata yang terbata-bata. Ternyata, dia tidak lancar berbahasa Indonesia, bahasa daerahnya pun sulit dipahami.

“Saya mau ketemu teman-teman. Mereka menunggu di gunung itu, mau panen padi,” ujar Bapen dengan bahasa Indonesia terbata-bata.

Mendengar jawaban kakek itu, sontak petugas kaget. Sebab, tidak ada pemondokan haji di Gunung Uhud. Apalagi, jarak gunung itu dengan area pemondokan terdekat dengan Masjid Nabawi sekira 7 kilometer.

Petugas lantas mengajak Bapen kembali ke area pemondokan. Di luar dugaan, Bapen malah marah-marah. Dia menolak pulang. Sambil mengomel tidak jelas, Bapen berlari menjauhi para petugas haji.

Meski usianya sudah 80 tahun, langkah kaki Bapen ternyata kencang. Tidak ingin terjadi hal-hal terburuk, petugas mengejarnya hingga perkampungan yang asing bagi petugas, maklum karena baru dua hari di Madinah.

Tidak ingin kakek tua itu lepas dari genggaman, petugas lantas mendekap tubuh Bapen. Namun, Bapen makin marah.

Dia meludah, memukul, dan mencakari wajah petugas. Bahkan, petugas lain yang datang membantu harus kena bogem mentah di bibirnya hingga terluka. Bahkan tak segan-segan ia menggedor dan membuka mobil warga setempat sambil berteriak-teriak.

Melihat kondisi semakin tak kondusif, petugas akhirnya bertindak tegas. Bapen dipiting hingga tak berkutik. Seorang petugas haji lantas mendatangkan mobil untuk mengangkut Bapen secara paksa. Di dalam mobil, pria bertubuh kurus itu masih mengamuk.

Bapen lantas dibawa ke Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Madinah. Dia dimasukkan ke bagian psikiatri. Dokter Muhammad Yanuar, direktur KKHI Madinah, mengatakan bahwa beberapa jamaah, termasuk Bapen, memang mengalami gejala gangguan kejiwaan karena dehidrasi.

”Jadi seolah-olah seperti gangguan kejiwaan, ternyata dehidrasi. Setelah kami infus dan diberi obat, dia bisa pulang,” katanya. Bukan hanya itu, seorang petugas meyakini pria tua itu semasa hidup adalah jawara yang memiliki ilmu bela diri tinggi.

Itulah sekelumit cerita dari sebagian kecil yang terjadi di lapangan dialami jamaah. Petugas kerap menghadapi jamaah dengan kategori status risiko tinggi (risti) dan rata-rata usia di atas 60 tahun, sehingga kehadiran petugas dirasakan betul oleh mereka.

Salah satu yang menjadi faktor tingginya angka jamaah risti adalah lamanya daftar tunggu calon jamaah haji di setiap daerah di Indonesia yang berbeda-beda. Mulai dari kisaran belasan hingga 20 tahun lebih.

Bahkan di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, daftar tunggu calon jamaah haji sudah mencapai 33 tahun. Sehingga pada saatnya tiba untuk melaksanakan haji, usia jamaah haji sudah lanjut, di atas 60 tahun.

Pada 2018 ini saja angkanya di atas 60 persen, dan memang mendominasi. Ini salah satu masalah yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah ke depannya.

“Kalau dilihat sekilas ini memang seperti beban. Tapi sebenarnya tidak, ini adalah peluang untuk ibadah (bagi para petugas),” ungkap Direktur Bina Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag) Khoirizi H Dasir.

Menurut dia, tingginya jumlah jamaah lansia pada 2018 menjadi tantangan tersendiri bagi Kemenag untuk mempersiapkan segala fasilitas haji semaksimal mungkin.

Karakteristik jamaah haji lansia pun diketahui lebih rentan terhadap berbagai penyakit. Hal tersebut lantaran kondisi daya tahan tubuhnya yang sudah menurun sehingga mudah terserang penyakit dibandingkan jamaah haji pada umumnya.

Tak hanya itu, latar belakang pendidikan para jamaah haji lansia pun cenderung lebih rendah dibandingkan jamaah haji pada umumnya. Bahkan, tidak sedikit juga para jamaah haji lansia sudah mulai mengalami gejala pelupa atau pikun hingga lupa arah jalan pulang saat sedang menunaikan ibadah haji.

Hal tersebut pun mengakibatkan petugas haji harus bekerja ekstra dalam melayani para jamaah haji lansia. “Karena itulah, adanya tim baru bernama P3JH yang kehadirannya sudah sangat nyata sekali dirasakan jamaah kita,” ungkap Khoirizi kepada Okezone. (Bersambung…)

OKEZONE