Meneladani Asma Allah al-Hakim dan al-Hakam

SAUDARAKU, kali ini kita akan mengkaji asma Allah al-Hakim, Allah yang Maha Bijaksana dan al-Hakam, Allah SWT yang memutuskan perkara. Al-Hakim dapat ditemukan di dalam surah al-Anam [3]: 18, “Dan Dialah Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” Dan dalam al-Baqarah[2]: 228, “Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kebijaksanaan pasti berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Orang yang bijaksana biasanya luas sekali pengetahuannya. Kalau sedikit pengetahuannya, maka sulit menjadi bijaksana. Karena kata-kata bijak itu biasanya mengambil dari kata-kata terbaik dari yang baik. Jadi, kalau pengetahuan tentang kebaikannya sedikit, susah untuk mengambil kebaikan.

Dalam suarh an-Nisa[4]: 26 disebutkan, “dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Semakin kita memahami seseorang, memahami duduk perkara, memahami aturan, ilmu kita luas tentang aturan, serta ilmu kita lengkap tentang informasi dan data yang kita ketahui. Keputusan kita, Insya Allah akan paling baik.

Allah SWT tahu persis siapa kita, karena yang menciptakan kita adalah Allah. Yang mendesain kita adalah Allah. Bukan hanya hardware, tapi software-nya juga. Jadi perasaan-perasaan kita ini, Allah yang menciptakan.

Allah tahu keperluan kita karena Dia menciptakan keperluan kita, semuanya. Oleh Allah yang Maha Bijaksana diatur keinginannya juga. Sebagai contoh, tidak semua ingin punya mobil Ferrari. Saudara pasti belum ingin. Pertama, tidak tahu mobilnya. Yang kedua, juga tidak terbayang mau disimpan di mana, sedangkan rumah di gang. Sekali digas, bisa geger otak! Jadi begitulah, Allah Maha Bijaksana.

Nah, sekarang tentang al-Hakam. Dalam al-Anam[3]: 114, “maka patutkah aku mencari Hakim, selain kepada Allah? Dan Dialah Allah, Hakim sebaik-baiknya.” Jadi saudaraku sekalian, jangan takut dengan pengadilan dunia. Pengadilan dunia itu susah adil, benar?

Rasulullah saw bersabda, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seorang hakim yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia tahu mana yang benar. Maka, ia di neraka. Yang kedua hakim yang bodoh, lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka. Yang ketiga hakim yang menghakimi, yang memutuskan dengan benar, maka ia masuk surga.”

Nah, saudara sekalian, hati-hati kalau saudara jadi hakim. Jangan sampai bisa kebeli oleh uang. Jangan kalah oleh tekanan. Karena keputusan itu akan berdampak, bagi dirinya sendiri dunia akhirat. Dia akan memikul sesuatu yang amat besar di akhirat nanti.

Hakim itu menjadi adil kalau, satu, memiliki fakta yang sangat lengkap tak terbantahkan, benar? Dan yang kedua, memang mengetahui hukum yang seadil-adilnya. Ada fakta, ada aturannya. Dan tiada yang paling mengetahui seseorang yang akan diadili selain Allah. Karena Allah Maha Tahu, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Tahu isi hati, Maha Menyaksikan segala yang dilakukan, tidak ada yang tersembunyi lagi.

Nah, Allah Maha Tahu apa pun yang kita lakukan; yang terang-terangan, yang sembunyi-sembunyi. Yang rame-rame, yang sendiri-sendiri. Tidak bisa berkelit. Semuanya akan bersaksi. Nanti kita dengar bagaimana kulit ini bisa bersaksi, lihat surat Fushilat[41]: 22, “Dan kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu. Tetapi, engkau mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan.”

Rasulullah pun menunjukan kebijaksanaan dalam mengambil sikap. Salah satu contoh bijaksananya Rasulullah terlihat dalam sebuah riwayat. Ada seorang yang menamai dirinya Abul Hakam. Karena al-Hakam itu nama Allah, jadi tidak boleh menamainya dengan nama bapak Hakam. Tapi Rasul tidak marah, ketika ada orang datang yang bernama Abul Hakam.

“Sesungguhnya Allah adalah al-Hakam dan hukum segalanya kepada-Nya dikembalikan. Mengapa kamu mempunyai nama kunyah, nama panggilan Abul Hakam?” begitu Rasulullah bertanya kepadanya. Dia menjawab, “Ketika kaumku berselisih, mereka datang kepadaku. Lalu aku mengambil keputusan yang membuat kedua belah pihak rida.” Lalu

Rasulullah memuji, “Alangkah bagusnya hal ini, sebutkan saja, siapa nama anak-anakmua?” Ia menjawab, “Suraih, Muslim, dan Abdullah.” Beliau bertanya, “Siapa di antara mereka yang paling tua?” Ia menjawab, “Suraih.” Lalu beliau bersabda, “Kalau begitu, engkau adalah Abu Suraih.” (HR. Abu Dawud, Nasai, dan Imam Bukhari dalam kitab al-Adab)

Jadi, jangan menghakimi orang karena perbedaan. Jangan mudah memvonis orang, tanpa ilmu yang luas, tanpa mengendalikan emosi, tanpa niat yang lurus, tapi posisinya kita berkhidmat, melayani terus, karena Allah yang Maha Adil juga menutupi aib kita.

Kalau melihat orang yang bodoh, kurang ilmu, mereka lagi ditipu untuk kurang belajar. Semangat kita adalah memberi tahu. Kalau melihat orang yang berbuat maksiat. Kita harus merasa dia sedang diculik. Kita bantu supaya dia tahu dosanya, bisa tobat, bisa kembali ke jalan yang benar. Itulah semangat yang hendaknya ditanamkan, agar kita tidak menghakimi orang dengan kebodohan dan nafsu semata.

Kalau kita bikin salah, maunya diapain oleh orang lain? Dimaafkan atau dimaki-maki? Mau diungkit-ungkit atau ditutupi? Mau dimaafkan sesudah minta maaf, atau sesebelum minta maaf? Perlu disebut-sebut gak kesalahan kita? Kalau kita ingin seperti itu kepada orang lain, kita perlakukan orang lain juga seperti itu. Maafkan sebelum meminta maaf, jangan suka diungkit-ungkit, dan jangan suka dipepet-pepet. Mau tidak didoakan oleh orang lain? Nah, kita juga mendoakan orang. Itulah sikap bijaksana. Insya Allah kembali kepada kita. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK