Menelusuri Jejak Shalawat Tarhim

Berpuluh tahun, shalawat Tarhim semacam jadi ciri khas akustik Islam di Tanah Air, dari Sabang sampai Merauke. Apa cerita di baliknya? Kapan ia mula-mula dilantangkan? Siapa pendarasnya? Mengapa ia sedemikian manjur membuat hati terenyuh? Wartawan Republika, Andrian Saputra, Dadang Kurnia, Adinda Pryanka, dan Fitriyan Zamzami mencari tahu soal itu. Berikut tulisan bagian keduanya.

Terlepas dari kejernihan suaranya, kepingan-kepingan piringan hitam Syekh Syekh Mahmoud Khalil Al-Husary yang terdapat di Lokananta merupakan kopian. Koordinator Produksi Lokananta, Bembi Ananto tak mengetahui di mana saat ini master dari kepingan tersebut, terutama yang berisi Shalawat Tarhim. Hanya saja, dari dokumentasi Lokananta mencatat tahun rekaman dari kepingan berisi Shalawat Tarhim itu pada 1959.

Bembi tak berani memastikan Syekh Al-Husary pernah berkunjung ke Lokananta dan membuat rekaman, sebab tak ada dokumen pasti tentang hal tersebut. “Di sini kopiannya kalau masternya saya tak tahu dan belum pernah menjumpai, bisa jadi yang meng-handle rekamannya saat itu RRI, bisa di Solo kalau tidak di Jakarta,” tutur Bembi saat ditemui Republika.

Dari keterangan pihak Lokananta, Republika mengunjungi RRI Solo untuk mencari tahu awal mula rekaman Shalawat Tarhim. Sayang, RRI pun tak lagi menyimpan piringan maupun kaset Shalawat Tarhim. RRI juga tak mempunyai dokumen jelas tentang asal Shalawat Tarhim bisa diperoleh hingga diputar dan didengarkan masyarakat luas.

 

shalawat Tarhim selalu diputar RRI sebelum kumandang azan Maghrib dan azan Subuh.

Sejumlah narasumber yang ditemui Republika tak mengetahui kapan RRI pertama kali memutar shalawat itu. Terlebih, lantunan shalawat yang sering diputarkan RRI sebelum kumandang azan Maghrib jauh sebelum era 1990-an itu kini sudah diganti.

Operator Teknik RRI Solo, Giarto pun tak menemukan file tentang Shalawat Tarhim dalam komputernya. Ada satu file bertuliskan “Tarhim adzan & puasa” namun saat diputar, isinya tak sesuai dengan lirik Tarhim gubahan Syekh Al-Husary.

Di ruang operator RRI lainnya, meski tak menemukan file Shalawat Tarhim, RRI masih tersimpan soft file azan khas Syekh Al-Husary. “Masalahnya sudah ganti orang semua, jadi sejarah perekaman di mana dan kapan ndak ada yang tahu,” tutur Operator Teknik RRI Solo, Giarto.

Petugas Divisi Pemberitaan RRI Solo, Bahruddin tak asing dengan lantunan Shalawat tarhim yang diperdengarkan Republika melalui ponsel pintar. Ia hafal betul, shalawat itu selalu diputar RRI sebelum kumandang azan Maghrib dan azan Subuh. Tak hanya itu, Shalawat itu juga diputar berkali-kali saat Ramadhan, menanti waktu berbuka puasa.

Namun menurut Bahruddin, Shalawat Tarhim sudah lama tak diputarkan lagi oleh RRI. Memang, menurutnya Shalawat Tarhim dan azan Syekh Al-Husary sempat menjadi ciri khas RII. Meski begitu, ia tak mengetahui lengkap tentang asal Shalawat Tarhim bisa diputar RRI.

“Dulu pernah diputar, sekarang langsung azan. Saya tak tahu persis dokumennya, dulu memang ada kaset tapi sudah rusak-rusak tak tahu di mana,” kata dia. Ia juga tak berani memastikan RRI yang memopulerkan shalawat itu hingga jamak diputar di berbagai masjid di Tanah Air.

Saat Republika bertandang ke RRI Jakarta, salah satu petugas editing,Mirda, mengatakan, hanya ada dua dokumen suara dengan kata kunci Shalawat Tarhim pada komputernya. Yang pertama merupakan rekaman asli milik RRI, sementara file kedua merupakan hasil unduhan dari Youtube. Dari detail file yang pertama, terlihat rekaman dibuat pada Agustus 2017.

Komputer Mirda membutuhkan waktu setidaknya setengah jam untuk memutarkan dokumen pertama. Suaranya terdengar jernih dan halus dengan lafal shalawat yang lembut. “Ini direkam langsung di situ,” ujar Mirda sembari menunjuk ruang kaca di hadapannya.

Mirda sendiri tidak tahu siapa yang melantunkannya. Ia hanya bisa memastikan rekaman berdurasi sekitar lima menit itu bukan suara Syekh Al-Husary. Perempuan berdarah Minang, Sumatra Barat, itu mengatakan, suara tersebut milik salah seorang ustaz yang ia lupa namanya.

Ketika mencoba mencari dengan kata kunci Syekh Al-Husary, Mirda juga tidak bisa menemukan file lain. Kondisi yang sama juga terjadi ketika Mirda mencoba mencari di ruangan operator RRI lain. “Sepertinya nggak ada. Hanya yang tadi saja,” ucap perempuan yang sudah puluhan tahun bekerja di RRI itu.

Beranjak dari RRI Jakarta, Republika mencoba mencari rekaman suara ke Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang masih berada dikawasan Jakarta Pusat. Pasalnya, menurut sistem katalog Online Public Access Catalog,terdapat rekaman suara Syekh Al-Husary dengan kode 297.14 TAR.

Dalam detail katalog yang terpampang di salah satu komputer, tertulis bahwa rekaman suara tersebut diterbitkan Lokananta Surakarta. Hanya, menurut Arin, petugas Perpusnas yang ditemui Republika, rekaman tersebut merupakan kopian.

“Kami mendapatkan dalam bentuk CD, sesuai dengan deskripsi fisik yang ada di detail katalog ini,” tuturnya.

Detail katalog juga memperlihatkan tampilan fisik CD yang diterbitkan atas kerjasama Lokananta Recording dengan Perum PNRI Cabang Surakarta tersebut. Sampulnya berwarna hijau dengan tulisan Tarhim berada pada bagian bawah. Terdapat tiga CD dalam satu kemasan.

Selain suara Syekh Al-Husary yang melantunkan Shalawat Tarhim, terdapat rekaman Ustadz Abdul Aziz Muslim dan Noor Asyiah Jamil. Mereka membacakan kumpulan surat-surat, termasuk at-Thoriq dan al-‘Ala serta al-Haddid ayat 18 sampai 24.

Pencarian data terkait Syekh Al-Husary tidak terhenti pada dokumen suara.

Republika mencoba mencari informasi dari Kedutaan Besar Mesir untuk Indonesia guna menggali kepastian kedatangan Syekh Al-Husary ke Indonesia untuk merekam Shalawat Tarhim. Konselor di Kedutaan Mesir untuk Indonesia, Ahmad Eid, mengatakan, dirinya belum bisa memastikan kedatangan Syekh Al-Husary. Sebab, menurut dia, dibutuhkan waktu tidak sebentar untuk mendapatkan data konkrit terkait kejadian yang berlangsung lebih dari lima dekade lalu.

“Setahu saya, beliau memang ke sini (Indonesia) tapi saya tidak mengetahui pasti kapannya,” ucap Ahmad.

Satu hal yang bisa dipastikan Ahmad adalah Grand Syekh Al-Azhar Mahmud Shaltut sempat datang ke Indonesia pada 1959 (sebagian pihak lain mencatat pada 1960). Beliau datang guna memenuhi undangan ulama besar Buya Hamka meresmikan Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang sekarang berdiri berdampingan dengan Universitas Al-Azhar. Bagaimanapun, Ahmad tak mengetahui apakah Syekh Al-Husary ikut datang saat itu.

Terlepas dari asal muasal yang tak rinci itu, Shalawat Tarhim sudah telanjur melegenda di Tanah Air. Lalu dari mana ia mula-mula terkenal? Untuk menjawab hal itu, mari ke Surabaya, Jawa Timur.

 

REPUBLIKA