Mengapa Rasulullah SAW tak Suka Ungkapan “Seandainya”

Ungkapan seandainya sangat rentan dengan bisikin malas setan.

Seringkali kita mengatakan seandainya dalam kehidupan sehar-hari. Kita pun gemar berandai-andai tentang segala sesuatu. 

Nabi Muhammad SAW ternyata tak menyukai umatnya mengumbar kata-kata ”seandainya”. Bahkan, dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya, kalimat lauw (seandainya) membawa kepada perbuatan setan.” 

Syekh Shaleh Ahmad asy-Syaami, menjelaskan, kata ”seandainya” tidak membawa manfaat sama sekali. Menurutnya, meskipun seseorang mengucapkan ungkapan itu, ia tidak akan mampu mengembalikan apa yang telah berlalu, dan menggagalkan kekeliruan yang telah terjadi.

Dalam bukunya bertajuk Berakhlak dan Beradab Mulia, Syekh asy-Syaami mewanti-wanti bahwa ungkapan ‘seandainya’ bisa berkonotasi sebagai angan-angan semu, dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. ”Sikap seperti ini adalah sikap yang lemah dan malas,” ujarnya.

Bahkan, kata dia, Allah SWT pun membenci sikap lemah, tidak mampu, dan malas. Dalam hadis dinyatakan, ”Allah SWT mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap ‘cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung.” (HR Abu Dawud)

Sikap tangkas dan cerdas yang dimaksud, tutur dia, melakukan usaha dan tindakan-tindakan yang bisa membawa pada keberhasilan meraih sesuatu yang bermanfaat, baik di dunia maupun akhirat. Ini, sambung Syekh asy-Syaami,  merupakan bentuk aplikasi terhadap hukum kausalitas yang telah Allah tetapkan.

Keutaman dari sikap tangkas dan cerdas yakni bisa menjadi pembuka amal kebaikan.  Sebaliknya,  sikap lemah dan malas, seperti telah diingatkan Rasulullah SAW, hanya akan mendekatkan diri kepada setan.

”Sebab, jika seseorang tidak mampu atau malas melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya dan masyarakat sekitar, maka dia akan selalu menjadi seseorang yang kerap berangan-angan,”  paparnya. 

Perbuatan dan sikap semacam itu,  selain kontraproduktif serta tidak akan membawa pada keberhasilan, juga sama saja dengan membuka amal perbuatan setan karena pintu amal setan tidak lain adalah sikap malas dan lemah. Merekalah, tegas as-Syaami, adalah orang yang paling merugi.  

Mengapa dikatakan orang yang paling merugi? Sebab, sifat malas dan lemah merupakan kunci segala bencana. Seperti misalnya, perbuatan maksiat sudah pasti terjadi karena lemahnya keimanan dan ketakwaan seseorang sehingga berani melanggar larangan agama. 

Jadi, dia menambahkan, seorang hamba yang memiliki dua sifat tercela tadi, berarti ia tidak mampu melaksanakan amal perbuatan ketaatan serta tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa membentengi dirinya dari godaan perbuatan jahat maupun maksiat.

Imam Ibnu Hajar dalam kitab /Fathul Barri/ jilid XI menggarisbawahi, apabila penyakit hati  itu telah menjangkiti manusia, maka ia akan mulai mendekati larangan Allah. Dia pun menjadi enggan untuk bertobat.

Untuk itu,  Nabi SAW memberikan tuntunan doa bagi umatnya agar terhindar dari dua jenis sifat tercela tadi. Rasulullah SAW berdoa, ”Ya Allah, hamba meminta perlindungan kepada-Mu dari kecemasan dan kesedihan.”

Cemas dan sedih, keduanya juga bersumber dari malas dan lemah. Karena, apa yang telah terjadi, tidak mungkin diubah atau dihapus hanya dengan kesedihan, namun yang perlu dilakukan adalah menerimanya dengan kerelaan, sabar dan iman.

Demikian pula sesuatu yang mungkin terjadi di waktu mendatang, juga tidak mungkin dapat diubah atau dihapus hanya dengan kecemasan atau kekhawatiran. Maka itu, seseorang harus selalu siap membekali diri dengan sikap-sikap yang baik untuk menghadapi segala kemungkinan.

Oleh karenanya, Islam sangat menjunjung tinggi optimisme, kerja keras, dan berusaha sekuat tenaga. Jiwa seorang Muslim sejati adalah yang meyakini bahwa rezeki Allah SWT sangatlah berlimpah, dan disediakan bagi siapapun yang mampu menggapainya dengan semangat dan etos kuat.

”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al Jumu’ah [62] : 10)

Ada perbedaan antara harapan dan angan-angan. Harapan selalu dibarengi dengan usaha, sementara angan-angan atau kemalasan hanyalah angan-angan kosong. Semoga kita dijauhkan dari sifat malas

KHAZANAH REPUBLIKA