Mengikuti Jejak Ikhlas Para Nabi Allah

PERNAHKAH Anda mengalami situasi dimana murid lebih asyik bercerita dengan teman sebangkunya sedang guru menerangkan pelajaran di kelas.

Atau kondisi dimana seorang da’i yang berceramah di depan puluhan atau ratusan orang, akan tetapi ada beberapa hadirin yang lebih serius menatap layar handphone dibanding memperhatikan materi ceramah?

Atau keadaan dimana seorang anak terlihat bersungut-sungut dan bermuka masam ketika orang tuanya sedang berpanjang lebar memberikannya nasehat?

Jika kisah di atas pernah dialami atau yang semisalnya, lalu apa yang dirasakan saat itu? Kesal, jenuh, kecewa dan merasa tidak dihargai. Mungkin itulah kondisi hati yang menggambarkan kekecewaan tersebut.

Dalam Islam, mengajak kepada kebaikan dan menyampaikan kebenaran bukan cuma tugas para juru dakwah atau seorang pendidik. Sebab hal itu adalah kewajiban setiap Muslim dalam perannya sebagai khalifah.

Tentunya hal itu bukan perkara mudah. Ia harus dijalani dengan profesional (ahsanu amalan). Salah satunya dengan menyandarkan pekerjaan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt).

Dengan mendengar nasihat, diharapkan sang mad’u (obyek dakwah) tergerak hatinya untuk berbuat kebaikan dan mengerjakan amal shaleh.

Sebaliknya, seorang Muslim yang menasihati dan melakukannya berulang-ulang dengan keikhlasan sepenuh hati, menjadikan nasihat itu mudah menyentuh hati dan dipahami oleh yang mendengarkan.
Ikhlas bagian dari akhlakul karimah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ikhlas adalah lawan dari riya’.

Jika ikhlas itu beramal untuk mengharap ridha Allah sebagai puncak tujuan. Sedang riya’ melakukan perbuatan dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Inilah modal utama seorang Muslim dalam menjalani kehidupan di dunia.

Allah berfirman:

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ

Katakanlah!Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Az-Zumar [39]: 11).

Ikhlas syarat meraih takwa

Fudhail ibn Iyadh berkata, meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.

Senada, Ibnul Jauzi dalam Mukhtashar Shaid al-Khatir mengungkap, manakala orang yang beramal menginginkan hati orang agar tertuju padanya, maka ia telah ikut menyekutukan-Nya, karena seharusnya ia hanya puas dengan pandangan zat yang seharusnya ia beramal untuk-Nya.

Adapun orang yang sengaja mencari perhatian orang dengan amalnya, maka amalnya akan hilang sia-sia dan tidak diterima di sisi-Nya. Sedang ilmunya telah hilang, dan umurpun hilang sia-sia.

Di dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan figur-figur yang patut diteladani seorang Muslim karena keikhlasannya. Mereka adalah nabi-nabi Allah, orang-orang pilihan yang membawa risalah dari Allah untuk disampaikan kepada kaumnya.

Ajakan dan dakwah yang dilakukan para anbiya tentu bukan hal yang ringan. Meski menjadi orang pilihan Allah, tak jarang mereka menemukan banyak rintangan dalam berdakwah.

Dalam QS Asy-Syu’ara Allah menceritakan lika-liku dakwah para Nabi beserta keteladanan mereka ikhlas dalam berdakwah.

Nabi Nuh misalnya. Nuh mengerahkan segenap kemampuannya untuk berdakwah. Ia juga menghabiskan umurnya, mengajak umat bertakwa kepada Allah.

Ajakan tersebut murni dari hati Nabi Nuh, bukan semata karena kepentingan pribadi. Keikhlasan itu setidaknya terrekam dalam ucapannya;

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Asy-Syu’ara [26]:109).

Namun apalah daya, hidayah adalah kuasa Allah sepenuhnya. Dakwah yang digencarkan selama 950 tahun tersebut berujung kepada kekufuran umat Nabi Nuh dan banjir bandang yang melanda mereka.
Demikian yang terjadi dengan kaum ‘Ad. Berbagai cara ditempuh oleh Nabi Hud mengajak kaumnya untuk bertakwa kepada Allah. Nabi Hud berkata, “Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS Asy-Syu’ara [26]:127).

Kalimat serupa juga dilontar oleh Nabi Shaleh kepada kaum Tsamud (QS. Asy-Syu’ara [26]:145). Kesombongan kaumnya menjadikan mereka berpaling dari ajakan tauhid. Kaum Tsamud justru membunuh unta betina Nabi Shaleh hingga Allahpun menurunkan azab-Nya.

“Sungguh aku ini seorang Rasul kepercayaan (yang diutus kepadamu). Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada ku. Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 162-164).
Ucapan di atas terucap dari lisan Nabi Luth ketika mendakwahi kaumnya. Tapi mereka justru mengusir Nabi Luth. Hingga Allah membinasakan kaum homoseksual tersebut dan menyelamatkan Nabi Luth.

Keteguhan yang sama dilakoni oleh Nabi Syu’aib dalam menghadapi kaum Madyan. Karena dakwahnya, Nabi Syu’aib terpaksa menyandang gelar penyihir yang disemat oleh kaumnya.

“Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 180).

Senada dengan kaum-kaum terdahulu, karena membantah dakwah nabi Syu’aib, Allah juga tak segan menurunkan azab kepada kaum Madyan pada hari yang gelap.

Kisah Nabi-nabi Allah di atas menyisakan jejak yang sama berupa keikhlasan dalam berdakwah dan menegakkan agama Allah.

Kalimat ikhlas ini “Imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam,” sebagai bukti eksistensi jiwa-jiwa ikhlas dalam menyerukan kebaikan dan kebenaran.

Keihkhlasan menjadi penyangga utama dalam menjalankan perintah Allah untuk berdakwah siang malam, dalam kondisi lapang ataupun sempit.

Sebagaimana hanya dengan modal ikhlas, membuat seorang juru dakwah memperoleh derajat takwa di sisi Allah. Kelak segala jerih payah dan kepayahan dalam berdakwah niscaya berbalas kenikmatan yang tak terkira.

Bagi seorang Muslim, kisah para Nabi di atas adalah cermin utuh dalam menakar kualitas jiwa dan kesucian hati. Status sebagai Nabi dan Rasul Allah tak lantas membuat mereka tinggi hati kepada sesama manusia.

Olehnya, sebagai manusia biasa dengan segala kelemahan yang melekat, sejatinya tak ada alasan untuk bersikap sombong dan tak sabar dalam mengajak manusia kepada kebaikan?

Apalagi jika menyandarkan sepenuhnya kepada imbalan orang lain sedang orang tersebut tidak akan mendapatkan rezeki selain karena pemberian Allah Yang Maha Pemurah.

Ikhlas bagi orang beriman tak hanya berlaku saat mengeluarkan sedekah atau berinfak, yang terkait materi. Tapi ikhlas berlaku dalam segala amal perbuatan, termasuk dalam menyampaikan nasihat kebaikan dan kebenaran.

Bahwa ia semata dikerjakan karena mengharap ridha Allah, bukan sekedar imbalan dari manusia.

Meski terlihat sulit tapi bukan berarti ia tidak bisa diusahakan secara ikhtiar manusiawi. Setidaknya hal itu bisa ditempuh dengan melakukan beberapa hal berikut ini.

Pertama, menghadirkan Allah dalam setiap amal perbuatan. Kedua, percaya kepada janji-janji Allah bagi hamba-Nya yang senantiasa ikhlas dalam beramal. Ketiga, membersihkan hati dari sikap sombong dan penyakit hati lainnya.

Dalam tataran aplikasi dan evaluasi, hendaknya para orangtua tak perlu heran ketika menemukan anaknya melakukan hal-hal yang kurang baik.

Sebagai evaluasi, hal itu bisa dikembalikan kepada diri sendiri. Adakah dirinya sudah ikhlas dan memberikan yang terbaik dalam mendidik anak.

Pun demikian seorang guru, tak selamanya murid menjadi sasaran obyek jika terjadi kesalahan dalam proses pendidikan. Sebab boleh jadi rasa ikhlas itu yang belum terlihat dalam mengajar dan mendidik mereka.

Dengan modal ikhlas, seorang Muslim niscaya beroleh petunjuk dan bimbingan Allah kala mengalami kesulitan dalam suatu urusan.

Sehingga tak ada lagi sikap kecewa yang berlebihan sebagai pelampiasan atas kondisi buruk yang tak diinginkan.

Seorang guru tak perlu mengumbar marah yang over dosis hanya gara-gara anak didiknya yang tak memperhatikan dirinya mengajar.

Seorang juru dakwah juga tetap tenang dana berusaha mengembalikan perhatian dan konsentrasi obyek dakwahnya dari berbagai gangguan.

Bermodal ikhlas, seorang Muslim tak lagi dipusingkan dengan hal-hal kecil tersebut. Ia tak perlu menghabiskan energi dengan menumpahkan rasa kesal, marah, atau kecewa berlebihan dalam setiap urusan.

Terakhir, mari memasang niat baik dalam memperbanyak amal kebaikan. Semoga niat baik yang beriring dengan keikhlasan menjadikan predikat takwa itu bisa diraih dengan sempurna.

*/Arsyis Musyahadah,  Balikpapan

HIDAYATULLAH