Mengisi Ramadhan dengan ‘Imanan’ dan ‘Ihtisaban’

Sejatinya, self control berupa “imanan” dan “ihtisaban” sudah cukup untuk menjadikan seorang Muslim bersemangat dalam menjalani hari-hari yang diliputi keberkahan berlipat

 

DARI Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berkata,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari)

Disebutkan dalam kitab “Fathul Bari” kata “imanan” di atas bermakna meyakini puasa di bulan Ramadhan adalah perintah Allah yang wajib untuk ditunaikan.

Sedang kata “ihtisaban” tercatat dalam kitab penjelasan “Shahih al-Bukhari” tersebut masih satu timbangan (sewazan) dengan kata “iftitahan” artinya pembuka. Jadi ihtisaban bermakna perhitungan.

Untuk itu hendaknya semua yang dilakukan di bulan mulia tersebut sejatinya harus diniatkan dan selalu dalam perencanaan meraih ridha dan ampunan Allah. Sedang mengharap ridha-Nya berarti hanya mencari pahala dan balasan kebaikan dari Allah.

Diharapkan, setiap jenak yang berlalu, dari hitungan detik, menit, hari, dan pekan dalam bulan Ramadhan dipenuhi keberkahan dan kemuliaan serta tidak berlalu dengan sia sia.

Dengan pemahaman di atas, ternyata tak mudah merealisasikan harapan tersebut. Ada saja gangguan dan godaan dari nafsu, meski sebelumnya dinyatakan bahwa setan telah dibelenggu sepanjang bulan Ramadhan.

Tanpa sadar, tetap saja ada waktu yang berlalu tanpa makna. Mulai dari dikarenakan hal sepele hingga kesibukan dunia yang memang harus dijalani.

Tak jarang seorang Muslim menghabiskan waktu berjam-jam bersama kawannya hanya untuk obrolan tanpa juntrung yang jelas. Ada yang cuma nongkrong, ngabuburit, main game online, hingga chatting dan aktifitas media sosial lainnya.

Atau seorang remaja Muslimah yang asyik berdandan dan mengurusi pakaian. Melipat baju yang hanya 5 lembar, ternyata sampai menghabiskan waktu 1 jam, misalnya.

Belum lagi serbuan nafsu makan dengan jajanan kuliner yang begitu menggoda sepanjang jalan. Bisa dipastikan, jika nafsu makan tersebut tak mampu dikontrol dengan baik, maka semangat ibadah dengan sendirinya turun secara drastis.

Alih-alih bisa bangun di sepertiga malam melaksanakan shalat tahajjud, terkadang mata tersebut tak mampu kompromi untuk mengerjar taget tilawah al-Qur’an dalam sehari.

Dalam hal ini, Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam (Saw) mengingatkan dalam sabdanya.

رغم أنف رجل دخل عليه رمضان ثم انسلخ قبل أن يغفر له

“Celakalah bagi orang yang mendapati Ramadhan hingga bulan itu berlalu sedang ia belum mendapatkan (jaminan) ampunan dari Allah.”

Disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata celaka artinya mendapatkan kesusahan, kesulitan dan kemalangan.

Secara logika sederhana, orang yag celaka di bulan Ramadhan akan sulit di Hari Akhirat jika tidak mendapat ampunan di bulan Ramadhan. Nasibnya jadi malang dan disulitkan melalui proses pengadilan di Hari Perhitungan kelak.

Terakhir, sejatinya, self control berupa “imanan” dan “ihtisaban” sudah cukup untuk menjadikan seorang Muslim bersemangat dalam menjalani hari-hari yang diliputi keberkahan berlipat tersebut.

Ia bahkan meyakini, setiap helaan nafas yang berbalut keimanan adalah zikir yang mengundang ridha Allah. Semoga kita semua diberi hidayah dan keistiqamahan menyelesaikam bulan Ramadhan dengan semangat “imanan” dan “ihtisaban”.*/Maftuha, pepegiat komunitas penulis PENA Malika, Balikpapan

 

HIDAYATULAH