Menguji Orang Dengan Person Tertentu

Fatwa Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul

Soal:

Semoga Allah Ta’ala selalu menjaga dan melindungi engkau Syeikh, Apa pendapatmu bagi orang yang menyatakan: “Sesungguhnya tidak boleh melakukan imtihanun nas bil asykhash (menguji orang dengan person tertentu)”. Semisal ketika si fulan A adalah pelaku bid’ah, lalu kita tanyakan kepada orang yang ingin kita uji: “Apa pendapatmu tentang si fulan A?” atau “Apa sikapmu tentang ulama A”? Apakah praktek seperti ini termasuk kebid’ahan? Kami mengharapkan penjelasan dari anda, wahai Syaikh. Semoga Allah Ta’ala selalu menjaga Anda.

Jawab:

Praktek imtihanun nas bil asykhash, yaitu menguji orang dengan menyebutkan tentang si Fulan (person tertentu). Jika si Fulan ini orang yang jelas dalam ke bid’ahannya atau jelas dalam berpegang teguh pada sunnah, maka praktek seperti ini diamalkan oleh para salaf. Dahulu para ulama di zaman yang muncul berbagai bid’ah, mereka menguji seseorang dengan bertanya sikapnya terhadap Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah. Mereka bertanya: “bagaimana menurutmu tentang Ahmad bin Hambal?”. Yang mana Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang yang jelas kokoh di atas sunnah. Maka perbuatan ini mempunyai dasar dari perbuatan para salaf –ridwanulah ‘alaihim

Jika demikian adanya, apakah layak kita mengatakan praktek seperti ini adalah bidah dhalalah? Tentu ini pernyataan yang keliru. Terutama jika person tertentu tersebut jelas merupakan ulama ahlussunnah wal jama’ah.

Dan saya akan berikan pertanyaan yang hendaknya dijawab oleh orang yang mengingkari praktek imtihanun nas bil asykhash. Padahal ini adalah perkara yang biasa dipraktekkan oleh ulama ahlussunnah wal jama’ah.

Misalnya jika anda ingin memgetahui seseorang apakah ia Syiah atau bukan, lalu anda bertanya: “bagaimana menurutmu tentang Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu?” atau “Apa pandanganmu tentang Umar Radhiyallahu ‘anhu? atau “Apa sikapmu tentang para sahabat radhiyallahu ‘anhum?”. Apakah pertanyaan seperti ini adalah kemungkaran? Tidak ada kemungkaran dalam praktek seperti ini. Dan apakah ini termasuk bab imtihanun nas bil asykhash? Jawabannya: ya, termasuk.

Jika demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa ini (imtihanun nas bil asykhash) termasuk perbuatan bid’ah adalah keliru. Sesungguhnya dalam Islam terutama dalam bab akidah, disana ada pembahasan mengenai bab diujinya seseorang apakah dia sunni atau Syi’ah. Dengan menanyakan seputar para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, atau bahkan menanyakan person dari sahabat. Maka seorang yang dicurigai beralirah Syi’ah bisa kita uji dengan menanyakan tentang Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, tentang Aisyah Radhiyallahu ‘anha , tentang Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu. Tanyakanlah bagaimana sikapnya tentang mereka para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Jika tampak dari jawabnnya sesuai dengan mahzab ahlussunnah maka dia bukan beraliran Syi’ah, jika tidak nampak kesesuaian dengan akidah ahlussunnah tentang sahabat dari jawabannya, maka bisa jadi dia beraliran Syi’ah. Dan ini bentuk  imtihanun nas bil asykhash.

Akan tetapi dalam mempraktekkan hal ini, ada 2 kaidah yang harus diperhatikan sebelum melakukannya:

Kaidah pertama: person yang ingin dijadikan bahan untuk menguji (semisal Imam Ahmad tadi) haruslah orang yang jelas dan dikenal secara luas sebagai ahlussunnah. Sampai-sampai namanya menjadi syi’ar yang diketahui oleh semua ahlussunnah dan dijadikan rujukan oleh ahlussunnah.

Kaidah kedua: tidak boleh melakukan pengujian seperti ini kecuali pada tempatnya yang sesuai. Maksudnya praktek seperti ini hanya kita praktekkan kepada seorang yang ingin kita ketahui apa jenis kebid’ahannya.

Semisal ingin mengetahui seseorang itu sunni atau Syi’ah dengan menanyakan tentang para sahabat radhiyallahu ’anhum. Atau jika kita ingin mengenal apakah seseorang itu termasuk ahlul bid’ah dan hizbiyyun, maka bisa kita tanyakan kepadanya: “Apakah anda menyukai Syaikh Ibnu Baz Rahimahulah atau Syaikh Albani Rahimahullah?”. Atau tanyakan tentang ulama-ulama ahlussunnah yang lainnya seperti Syaikh Rabi’ Hafizhahullah dan ulama lain yang seperti mereka, yang dikenal menentang kebid’ahan dan hizbiyyah. Apabila sikapnya positif terhadap ulama-ulama tersebut, maka dari situ kita mengetahui insyaallah bahwa ia adalah ahlussunnah.

Kaidah kedua yang saya sebutkan ini intinya tidak boleh mempraktekkan hal ini kecuali pada tempatnya, Dan tidaklah sempurna praktek seperti ini kecuali terpenuhi dua kaidah di atas. Wallahu ‘alam.

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=Lm8fzW2qook