Menjaga Amanat

Saya merenung saat membaca kisah ulama Tabiin Muhammad bin Sirin rahimahullah (33 – 110 H) saat dipenjara karena kasus utang sebanyak empat puluh ribu dirham.

Beliau diutangi barang dagangan berupa minyak dalam drum dengan jumlah yang banyak. Dalam salah satu drum minyak ada bangkai tikus yang sudah membusuk. Muhammad bin Sirin menganggap bahwa bangkai tikus yang sudah membusuk itu berasal dari satu tempat besar yang menampung semua minyak. Jika ia kembalikan khawatir pemilik minyak akan menjual kepada orang lain. Muhammad bin Sirin tidak ingin merugikan masyarakat yang mungkin akan sakit jika mengkonsumsi minyak yang mengandung bakteri dan bibit penyakit. Akhirnya semua minyak tersebut ditumpahkan.

Muhammad bin Sirin menanggung utang dalam jumlah besar. Rupanya pemilik minyak mengadu ke pengadilan dan menuduh Ibnu Sirin telah menipunya. Akhirnya Muhammad bin Sirin dipenjara.

Berikut ini penjelasan dari Dr  Abdurrahman Ra’fat Al Basya rahimahullah,  “Cukup lama beliau dipenjara, hingga penjaga merasa kasihan karena mengetahui keteguhan agama dan ketakwaannya dalam ibadah. Dia berkata, “Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluarga bila malam tiba dan kembalilah kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai bebas nanti.” Beliau menolak, “Tidak, Demi Allah aku tidak akan melakukan itu.” Penjaga berkata, “Mengapa?” Beliau menjawab, “Agar aku tidak membantumu mengkhianati pemerintah.”

Ketika Anas bin Malik radhiallahu anhu sakit keras, beliau berwasiat agar yang memandikan jenazahnya kelak adalah Muhammad bin Sirin, sekaligus menyalatkannya. Tapi Ibnu Sirin masih berada di dalam tahanan.

Di hari ketika Anas wafat, orang-orang mendatangi gubernur dan menceritakan tentang wasiat sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan memohonkan izin untuk Muhammad bin Sirin agar bisa melaksanakan wasiat Anas, gubernur mengizinkanya. Namun beliau berkata, “Aku tidak akan keluar kecuali jika kalian memintakan izin kepada orang yang mengutangiku, bukankah aku ditahan karena belum mampu membayar utangnya?”

Orang tersebut memberikan izin sehingga dia bisa keluar dari tahanannya. Setelah selesai memandikan, mengafani, dan menyalatkan jenazah Anas radhiallahu anhu, beliau langsung kembali lagi ke penjara tanpa sedikit pun mengambil kesempatan untuk mampir menengok keluarganya.” (Dinukil dari buku Mereka adalah Para Tabi’in halaman 106-107)

Dari kisah di atas banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik, di antaranya tentang menjaga amanat.

Ciri orang beriman adalah menjaga amanat. Allah berfirman, “Dan (sungguh beruntung) orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janji mereka.” (QS Al Mukminun: 8)

Allah telah memerintahkan kepada kita untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat. Allah berfirman,  ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian mengetahui.” (QS  Al Anfal: 27)

“Sesungguhnya Allah  memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.. .” (QS An Nisa: 58)

Khianat merupakan ciri orang munafik. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: apabila berkata, ia berdusta, apabila berjanji, ia mengingkari, dan apabila diberi amanat, ia berkhianat.” (HR. Muslim)

Setelah membaca ayat-ayat Alquran, hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan kisah Muhammad bin Sirin, sudah saatnya kita mengevaluasi diri. Masih jauh rasanya dari sifat amanat.

Hidup adalah amanat untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jabatan merupakan amanat yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

Anggota tubuh merupakan nikmat sekaligus amanat. Allah berfirman, “Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS  An Nur: 24)

“Kalian sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian kepada kalian bahkan kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan.” (QS Fushshilat:  22)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”  (QS  Al Isra:  36)

Orang tua kita merupakan amanat, sudahkah kita melayani dan berkorban untuk ayah dan ibu kita? Apalagi jika orang tua kita sudah berusia senja atau sakit sakitan, jangan malah anak yang justru banyak membebani orang tuanya.

Anak-anak merupakan amanat, sudahkah kita menjadi teladan bagi mereka? Sudahkah kita membekali anak-anak kita dengan, ilmu, iman dan takwa?

Sebagai suami istri, jangan sampai kita khianat dan berselingkuh,  “berpacaran” dengan orang lain lewat medsos. Didiklah istri dengan keteladanan dan akhlak yang baik. Taatilah suami, hormatilah dan layanilah dia dengan semaksimal mungkin.

Seorang teman mengingatkan jika kita bekerja di kantor, “Janganlah khianat dengan datang terlambat. Jika datang terlambat saat bekerja maka pulanglah terlambat juga. Janganlah mengambil kertas foto kopian atau memfoto kopi untuk urusan pribadi dengan menggunakan fasilitas kantor.”

Termasuk khianat jika seseorang menambah nilai uang dalam kwitansi barang yang dibelinya untuk keperluan kantor. Termasuk khianat meminjam uang amanat umat tanpa izin. Termasuk khianat, menggolang (mengembangkan) uang hasil penjualan barang milik orang lain yang sudah jatuh tempo.

 

Oleh: Fariq Gasim Anuz

REPUBLIKA.co.id