Menutup Pintu Kefakiran

Suatu hari, sahabat Nabi bernama Abu Bisyr Qabishah Ibnul Muhkariq menemui Rasulullah SAW. Tanggungan hidup yang sedemikian berat membuatnya tak sungkan lagi meminta pertolongan.”Tunggulah, jika zakat sudah terkumpul, engkau akan mendapat bagian,” jawab Nabi SAW dengan santun.

Lalu, beliau bersabda, “Meminta- minta itu tidak diperbolehkan kecuali karena salah satu dari tiga alasan. Pertama, seseorang yang menanggung beban sangat berat, kemudian setelah itu ia tidak melakukan lagi. Kedua, seseorang yang ditimpa musibah (bencana) yang menguras semua hartanya sehingga dengan bantuan itu ia bisa bangkit kembali. Ketiga, seseorang yang fakir dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya.”

Pengujung hadis yang dinukil Imam an-Nawawi ini mengingatkan bahwa selain ketiga alasan tersebut, meminta-minta adalah perbuatan haram dan orang yang memakannya pun berarti makan barang yang haram (HR Muslim).

Alquran menyebutkan dua sikap kefakiran, yakni as-saailiindan al- mahruum(QS 70:24-25, 51:19). Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa as-saailin bukanlah peminta di jalanan atau pengangguran yang berkeliaran, melainkan para petugas zakat, orang- orang yang terdesak dengan utang, atau para penuntut ilmu yang kekurangan.

Sementara, al-mahruum adalah orang yang tidak punya apa-apa karena merugi dalam niaganya atau hartanya habis (bangkrut) tetapi tetap menjaga diri. Islam mengajarkan ikhtiar sungguh-sungguh untuk meraih kenikmatan dan kejayaan duniawi.Artinya, kita wajib bekerja keras sedaya mampu demi mencari kekayaan dengan cara yang benar (halal), disertai perilaku baik dan tidak menimbulkan kerusakan (QS 28:77).

Begitu pun Nabi SAW memotivasi kita untuk mau bekerja apa saja walau harus mengambil seutas utas tali dan mencari kayu bakar lalu menjualnya daripada meminta-minta, baik diberi maupun tidak. (HR Bukhari).

Belakangan, makin banyak orang yang masih muda dan kuat berpura- pura miskin atau cacat, ataupun mencuri bahkan menjarah barang milik orang lain secara terang- terangan. Ada pula modus untuk sumbangan masjid atau pesantren, padahal untuk kepentingan pribadi.

Sebagian lagi menjadikan pengemis sebagai pekerjaan tetap karena hasilnya melebihi upah buruh kasar. Tidak sedikit pula orang tua mewariskan mentalitas pengemis atau menyewakan anaknya, sementara ia duduk santai menunggu setoran.

Sungguh, tanggung jawab besar di pundak orang tua untuk menanamkan karakter kemandirian, kerja keras, dan dermawan pada anaknya agar lahir pribadi tangguh yang bertangan di atas (pemberi), bukan bertangan di bawah (peminta).

Sejatinya, bencana yang melanda Palu dan Donggala saat ini semestinya menjadi wahana pembelajaran berharga untuk berbagi. Jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah iman, ilmu, adab, dan ekonomi (QS 4:9).

Apalagi, tumbuh dalam dirinya mentalitas pemalas dan pengemis. Walaupun sudah berjaya, ia suka meminta dan memeras.Akhirnya, ketika menjadi penguasa, ia melakukan korupsi dan zalim kepada orang yang tak berdaya seperti para korban bencana.

Ketika seseorang meminta-minta, Allah akan membuka pintu kefakiran (HR at-Turmudzi). Maka, tutuplah pintu kefakiran dengan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Telapak tangan yang mengeras, kucuran keringat dan air mata dalam mencari nafkah sangat dicintai Allah SWT. Kemudian, biarlah Dia yang akan mencukupkan segala kebutuhan kita (QS 53:48). Allahu a’alam bish-shawab.

OLEH DR HASAN BASRI TANJUNG