Tahun Baru

Menyikapi Perayaan Tahun Baru Masehi

Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap umat beragama memiliki hari-hari besar dan perayaan-perayaannya. Akan tetapi, setiap dari mereka memiliki perbedaan cara dalam merayakannya.

Sebagian di antara umat beragama, ada yang memperingati hari besarnya dengan hiruk-pikuk dan pesta pora seperti berkumpul di malam hari, meniup terompet, membunyikan lonceng atau menghujani langit dengan petasan dan juga kembang api. Mereka sangat gembira ria pada tengah malam.

Akan tetapi ada kelompok kedua yang berbeda dengan kelompok pertama tadi, dimana kelompok kedua ini merayakan hari besarnya dengan sunyi senyap sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Bali.

Apabila datang hari raya Nyepi, mereka melakukan catur brata. Pada hari itu mereka melakukan pati geni (memadamkan cahaya), pati karya (berhenti atau tidak beraktivitas), pati lelungan (tidak bepergian), pati lelanguan (tidak mencari hiburan). Sehingga pada hari Nyepi, mereka hanya diam di rumahnya masing-masing, memadamkan cahaya, tidak beraktivitas, dan tidak bepergian jauh.

Ada juga kelompok ketiga yang lebih aneh lagi dalam merayakan hari besarnya.  Mereka memperingati hari besarnya dengan tangisan, ratapan, menjerit-jerit, memukul dada, bahkan merobek-robek baju serta menyakiti diri. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Syiah Rafidhah yang mana mereka melakukan ritual penyesalan diri terhadap kematian Husein –radhiyallahu ‘anhu – .

Sebenarnya di antara perbedaan cara ketiga kelompok tersebut, mereka memiliki satu niat yang sama yaitu taqarrub ilallah (beribadah kepada Allah). Mereka merayakan hari-hari besar tersebut dengan tujuan  untuk mendekatkan diri pada TuhanYang Maha Kuasa.

Akan tetapi ketika mereka menginginkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka artinya mereka tengah melakukan ibadah. Dan sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam masalah ibadah, Islam telah mengaturnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ulama:

الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتىَّ يَقُوْمَ دَلِيْلُ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal ibadah itu terlarang/batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.”

Oleh karena itu, hari raya merupakan ibadah sehingga harus ada aturannya atau dalil yang memerintahkannya. Jika tidak, maka berlaku hukum baginya sebagaimana hadits riwayat Muslim:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dalam urusan (agama) kami, maka amal itu tertolak.”

Jadi sebenarnya –dalam Islam–, hari raya itu apa? Hari raya apa saja yang legal dalam Islam?

Dikatakan dalam sebuah riwayat, dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu -:

كان لأهل الجاهلية يومان في كل سنة يلعبون فيهما، فلما قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة قال: كان لكم يومان تلعبون فيهما، وقد أبدلكم الله بهما خيرا منهما: يوم الفطر ويوم الأضحى.

Dahulu, orang Arab Jahiliyyah mempunyai dua hari raya dimana mereka bersenang-senang pada hari raya tersebut. Kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  hijrah ke Madinah dan menjumpai masyarakat Madinah yang ternyata mereka pun merayakan dua hari raya tersebut, yaitu hari raya Jahiliyah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarangnya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengatakan: “Mulai detik ini, kita hapuskan semua hari raya kecuali dua hari raya sebagai penggantinya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.”

Oleh karena itu, bisa kita tarik kesimpulan bahwa hari raya yang sesuai dengan Islam hanya dua yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Kemudian, dua hari raya yang diperingati masyarakat Jahiliyah pada saat itu maksudnya hari raya apa?

Jawabannya, mereka memperingati perayaan Neirus dan Mihrojan.

Neirus adalah perayaan tahun baru Persia. Karena asimilasi budaya, masyarakat Madinah yang kala itu masih musyrik, suka mengikuti budaya masyarakat lain yang dianggap lebih berperadaban. Seperti Persia atau Romawi. Sampai saat ini, hari raya Neirus tersebut masih diperingati oleh masyarakat Iran, padahal hal tersebut sudah dibatalkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam – .

Maka berdasarkan hadits tadi, kaum muslimin tidak boleh merayakan hari raya lain kecuali dua hari raya saja, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Salah satu yang termasuk pada hari raya terlarang adalah hari yang sebentar lagi kita akan saksikan –insya Allah–, dimana hiruk-pikuk manusia dari Indonesia sampai ke Maroko merayakannya. Negeri-negeri Islam pun ikut merayakannya, yang mana hari raya tersebut sebenarnya bukan bagian dari Islam.

Jika ada yang mengatakan,

“Ustadz, Rasulullah tidak pernah mengharamkan tahun baru Masehi”

Kita bisa jawab,

“Pada waktu itu Rasulullah sudah melarang tahun baru Persia karena  –atas kehendak Allah– kebudayaan Persia-lah yang diserap oleh orang Arab, sedangkan kebudayaan Romawi belum terserap pada saat itu. Akan tetapi larangan Rasulullah untuk melakukan tahun baru Persia itu otomatis juga merupakan larangan Rasulullah untuk mengatakan perayaan tahun baru lainnya, apalagi ditambah dengan banyaknya mafsadat atau kerusakan di dalam perayaannya.”

Wallāhu a’lam

___________________________

Referensi: Audio rekaman kajian bersama Ustadz Fadlan Fahamsyah, Lc. –hafizahullah– tentang “Menyikapi Perayaan Tahun Baru Masehi”

Penulis: Pipit Aprilianti

Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/8100-menyikapi-perayaan-tahun-baru-masehi.html