Meraih Rahmat Rahimiyyah

Al-Rahman adalah kasih-sayang “generik” yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan, al-Rahim adalah kasih sayang-Nya yang spesial dikhususkan kepada hamba-Nya yang khusus pula. Kelompok yang akan mendapatkan kasih sayang al-Rahim analoginya ialah mereka yang sudah melewati anak tangga pertama.

Orang-orang yang akan mendapatkan rahmat rahimiyyah Allah SWT ialah mereka yang sudah sampai ke makam sosial dan spiritual yang lebih tinggi, yang memang wajar untuk mendapatkannya. Allah SWT memang Maha Pengasih, tetapi juga Mahaadil yang tentu tidak menyamakan antara orang-orang yang telah menempuh perjuangan panjang dan mahasulit dengan orang-orang yang tidak melakukan usaha apa pun.

Soal berapa lama hamba-Nya akan berada di dalam rahmat rahmaniyyah baru hijrah ke rahmat rahimiyyah, hanya Allah SWT yang Mahatahu. Yang pasti bahwa penetapan al-Rahman dan al-Rahim sebagai induk nama-Nya (al-umm al-asma’), yang diisyaratkan dengan pemberian nama itu menempel pada kata bismillah ditambah pengulangan penyebutannya begitu banyak mengisyaratkan bahwa Allah SWT lebih menonjol sebagai Maha Pengasih dan Penyayang ketimbang sebagai Maha Penghukum dan Maha Pendendam (al-muntaqim). Kenyataan ini memberikan rasa optimisme kepada siapa pun hamba-Nya yang pernah melakukan kekeliruan dan kesalahan untuk segera kembali (taubah) keada-Nya.

Meski demikian, orang-orang yang mendapatkan rahmat rahmaniyyah berusaha menghindari dosa karena takut tersiksa di neraka. Sedangkan, orang-orang yang mendapatkan rahmat rahimiyyah berusaha menghindari dosa karena takut tersiksa dengan rasa malu terhadap Allah, Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Orang yang tobat lalu menjauhi dosa karena takut tersiksa dengan neraka biasa disebut inabah.

Sedangkan, orang yang tobat lalu menjauhi dosa karena takut tersiksa dengan rasa malu kepada Tuhan biasa disebut istijabah. Orang yang istijabah lebih tersiksa rasa malu kepada Tuhannya ketimbang panasnya api neraka. Semoga kita mendapatkan rahmat rahimiyyah-Nya.

Oleh: Nasarudin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

 

sumber: Republika Online