Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 1).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Dua kesamaan antara cermin dengan mukmin [1]

Dalam hadis yang agung,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya.”

Terdapat bukti bahwa sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sifatnya Jawami’ul Kalim (kalimat singkat, namun padat makna).

Dalam hadis yang agung ini setidaknya mengandung dua faidah besar, yaitu:

Sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Hal itu karena sifat-sifat cermin adalah:

– memantulkan rupa dengan tampilan yang halus;

– menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya;

– jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”;

– menampakkan aibmu yang sulit kamu ketahui;

– menampakkan rupamu sendiri;

– hanya menampakkan bagian tubuh yang ada di hadapan cermin saja;

– menampakkan segala sesuatu yang berada di depannya.

Sikap seorang mukmin yang dinasihati oleh saudaranya yang seiman

Hal itu karena di antara sifat cermin adalah: memantulkan gambar sesuatu dengan jujur sesuai aslinya, sehingga hasil pantulannya dapat dipercaya.

Berikut ini penjelasannya, bitaufiqillah,

Sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Cermin itu ciri khasnya memantulkan gambar sesuatu sesuai dengan aslinya. Cermin tidak akan menyembunyikan kebaikan maupun aib fisik orang yang bercermin di depannya, bahkan cermin akan menampakkan gambar orang tersebut tanpa mengurangi atau melebihkannya, sesuai aslinya.

Demikian pula seorang mukmin yang baik, dia tidak mau menyembunyikan kebaikan maupun aib saudaranya, karena itu bisa membahayakannya di dunia dan akhirat.

Berikut ini lebih detail sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman dalam konteks sebagai cermin baginya.

Pertama, memantulkan rupa dengan tampilan yang halus

Seorang mukmin yang baik keimanannya akan menyampaikan nasihat kepada saudaranya ketika melihat saudaranya terjatuh dalam kesalahan. Dia tidak tinggal diam dari kesalahan saudaranya, namun ia menasihatinya dengan lembut dan bijak, dan tidak kasar. Hal ini sebagaimana layaknya cermin yang memantulkan gambar sesuatu dengan halus, gambar tidak kasar, dan patah-patah.

Dalam menasihati saudaranya, dia pilih kalimat yang baik, kalimat yang paling mudah diterima di hati saudaranya. Selain itu, waktu, kondisi, dan tata cara menasihati pun dipilih yang paling sesuai dengan kondisi saudaranya.

Perlu diketahui bahwa dahulu sahabat Jarir Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana  juga sahabat yang lain, berbaiat (janji setia) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menasihati setiap muslim.

Jabir Radhiyallahu ‘anhu berkata,

بايعت رسول الله صلى الله عليه وسلم على إقام الصلاة وإيتاء الزكاة والنصح لكل مسلم

“Saya berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan salat, menunaikan zakat, dan menasihati setiap muslim” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya

Ketika Engkau bercermin, maka gambar dirimu tampak di cermin dan gambarmu akan hilang saat Engkau beralih dari depan cermin. Seolah-olah cermin itu menutupi penampilanmu yang kurang indah saat Engkau beralih dari cermin.

Demikian pula selayaknya seorang mukmin, dia menasihati saudaranya secara empat mata, saat saudaranya ada di hadapannya. Tatkala saudaranya tidak ada di hadapannya, dia berusaha menutupi aib-aib saudaranya tersebut dan tidak menyebut keburukannya di depan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Dia berusaha menjauhi ghibah yang dilarang oleh  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadis dari  Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أتدرون ما الغيبة ؟

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذكرك أخاك بما يكره

“Engkau menyebutkan sesuatu yang dibenci oleh saudaramu (saat dia tak hadir).”

Ada sahabat yang bertanya, “Bagaimana menurut Anda jika apa yang aku sebutkan tersebut memang ada pada diri saudaraku?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن كان فيه ما تقول، فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته

“Jika sesuatu yang Engkau sebutkan tersebut ada pada diri saudaramu, maka Engkau telah menggunjingnya. Namun jika sesuatu tersebut tidak ada pada diri saudaramu, maka Engkau telah berbohong tentangnya” (HR. Muslim).

Imam ahli hadis, Yahya bin Ma’in  Rahimahullah pernah berkata,

ما رأيتُ على رجلٍ خطأً إلا سترتُه، وأحببتُ أن أُزيِّنَ أمرَه، وما استقبلتُ رجلاً في وجهِه بأمرٍ يكرهُه، ولكنْ أُبيِّنُ له خطأهَ فيما بيني وبينَه، فإن قَبلَ ذلكَ وإلاَّ تركتُه

“Setiap kali aku tahu kesalahan seseorang, selalu aku tutupi, bahkan aku suka membicarakan kebaikannya. Aku tidak pernah mensikapi seseorang dengan sikap yang tidak menyenangkannya di hadapannya. Namun aku menjelaskan kesalahan dia kepadanya secara empat mata. Jika dia menerimanya (maka itulah yang diharapkan), namun jika tidak menerimanya, aku pun meninggalkannya.”

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id