mukmin adalah cermin bagi saudaranya

Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 5)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 4).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada artikel sebelumnya telah kami jelaskan beberapa poin tentang sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman, diantaranya: (1) memantulkan rupa dengan tampilan yang halus; (2) menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya; (3) jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”; (4) menampakkan aibmu yang sulit kamu ketahui; (5) menampakkan rupamu sendiri.

Pada artikel ini insyaallah akan kami jelaskan lanjutan dari sikap mukmin terhadap saudaranya seiman yang terakhir, diantaranya: (6) hanya menampakkan bagian tubuh yang ada di hadapan cermin saja; (7) menampakkan segala sesuatu yang berada di depannya.

Setelah itu akan kami jelaskan sikap seorang mukmin yang menerima nasihat dari saudaranya yang seiman. Simak penjelasan berikut ini.

(Lanjutan) sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Keenam, hanya menampakkan bagian tubuh yang ada di hadapan cermin saja

Diantara sifat cermin adalah hanya menampakkan bagian tubuh yang langsung ada dihadapannya dan tidak menampakkan anggota tubuh yang ada dibalik baju, demikian pula seorang mukmin terhadap saudaranya.

Apabila anda bercermin, maka aib tubuhmu yang tertutupi baju tidaklah nampak pada cermin, karena cermin hanya  menampakkan bagian tubuh yang langsung ada dihadapannya. Cermin tidak mampu menampakkan sesuatu yang tersembunyi atau tertutupi benda lainnya.

Demikianlah seorang mukmin dalam menasihati saudaranya, hanya menyampaikan sesuatu yang nampak padanya saja (zahir), ia tidak menyampaikan isi batin atau isi hati saudaranya, karena hal itu adalah perkara yang ia tidak mengetahuinya.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Usamah Radhiyallahu ‘anhu yang membunuh seseorang yang zahir lisannya telah mengucapkan la ilaha illallah,

أقالَ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وقَتَلْتَهُ؟

“Apakah ia mengucapkan la ilaha illallah, namun masih saja engkau membunuhnya?”

Dan tatkala Usamah menyampaikan alasannya bahwa ia telah menilai hati orang yang dibunuh itu dengan mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Wahai Rasulullah, ia mengucapkannya hanyalah karena (hatinya) takut (dipancung) dengan pedang.”

Lalu mendengar alasan Usamah bahwa ia menilai batin orang tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegurnya,

أفَلا شَقَقْتَ عن قَلْبِهِ حتَّى تَعْلَمَ أقالَها أمْ لا؟

“Sudahkah engkau membelah dadanya hingga engkau tahu apakah ia benar-benar mengucapkannya (dengan ikhlas) atau tidak?”

Oleh karena itu, hendaklah seorang mukmin dalam menasihati saudaranya hanya menilai sesuatu yang zahir saja, dan meninggalkan sesuatu yang ada dalam hatinya atau tersembunyi yang ia tidak mengetahuinya.

Ketujuh, menampakkan segala sesuatu yang berada di depannya

Diantara sifat cermin adalah menampakkan segala sesuatu yang berada didepannya, baik aib maupun kebagusannya, demikian pula seorang mukmin terhadap saudaranya.

Seorang yang bercermin itu melihat kebaikan maupun aib yang ada di wajahnya, karena cermin itu menampakkan semua yang berada didepannya.

Demikianlah seorang mukmin menjadi cermin bagi saudaranya, tidak hanya melihat kesalahan dan aib saudaranya saja lalu meluruskannya, namun juga memperhatikan kebaikan saudaranya lalu menyemangatinya, mendukungnya, membantunya, dan memudahkannya.

Didalamnya juga terdapat isyarat, apabila seorang mukmin akan menasihati saudaranya, maka diantara cara bijak adalah ia melihat kebaikan-kebaikannya, lalu ia sebutkan kebaikannya tersebut sebelum meluruskan kesalahan atau aib-aibnya.

Karena meluruskan kesalahan itu sejenis kritikan, maka orang yang dikritik perlu dipermudah agar bisa menerima kritikan dengan cara mengingatkan kebaikan-kebaikannya terlebih dahulu.

Apalagi sebagian orang bertipe perasa, suka bawa perasaan, dan mudah tersinggung, sehingga biasanya ia berat menerima nasihat dan kritikan.

Maka janganlah menggabungkan antara dua perkara yang berat padanya, yaitu nasihat meluruskan kesalahannya dan cara menasihati dengan hanya menyebutkan kesalahannya saja padahal kondisi menuntut untuk disebutkan kebaikannya [1].

Sikap seorang mukmin yang dinasihati oleh saudaranya yang seiman

Dalam hadis “cermin” yang agung di atas,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

“seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya”

terdapat faedah ditinjau dari sikap seorang mukmin yang dinasihati oleh saudaranya yang seiman, yaitu: diantara sifat cermin adalah ia memantulkan gambar sesuatu dengan jujur sesuai aslinya, sehingga hasil pantulannya dapat dipercaya, demikian pula seorang mukmin yang dinasihati oleh saudaranya seiman.

Apabila seorang yang beriman menasihati kita dengan menunjukkan aib kita dengan apa adanya, maka segera kita terima nasihatnya dengan lapang dada dan segera kita berusaha memperbaiki diri, karena kita tahu dia jujur dalam “memantulkan” aib kita atas dasar cinta dan kasih sayang karena Allah, tidak menambahi maupun menguranginya.

Maka semestinyalah kita yang dinasihati tidak marah kepadanya, tidak mencelanya dan tidak meresponnya dengan respon yang tidak pantas. Namun justru kita terima dengan lapang dada sebagaimana orang yang bercermin berlapang dada dalam menerima gambar dirinya yang kotor wajah saat bercermin. Ia tidak marah kepada cermin, bahkan tidak “buruk muka, cermin di belah!”.

Sebuah ucapan yang masyhur dari Umar Bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu,

رحم الله أمرأ أهدى إلي عيوبي

“Semoga Allah merahmati orang yang memberi hadiah kepadaku berupa (memberitahu) aibku.”

Dari sini dapat kita ketahui bahwa Umar Bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berprasangka baik kepada orang yang menasihatinya dan menilai nasihat yang diberikan kepadanya itu sebagai hadiah untuknya.

Bahkan selayaknyalah kita meminta saudaranya untuk menasihati dengan menunjukkan kesalahan diri kita, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim Rahimahullah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa diantara enam hak seorang muslim atas muslim lainnya adalah,

وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ

“… dan jika ia meminta dinasihati, maka nasihatilah ….”

Apabila anda mendapatkan seorang mukmin yang jujur, suka menasihati, nampak tanda keikhlasannya, lalu sedang menasihati anda, maka sebenarnya ketika itu anda mendapatkan seorang yang sedang beribadah kepada Allah dengan ibadah menasihati anda, maka bersabarlah dengan kesabaran yang besar, sebagaimana Allah berfirman kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah engkau bersama-sama dengan orang-orang yang beribadah kepada Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini, dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS. Al-Kahfi: 28).

Wallahu a’lam, allhamdulillahilladzi bini’matihi tatimushaalihaat.

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id