Nafisah Binti Hasan

Nafisah Binti Hasan: Ulama Perempuan Bergelar “Permata Ilmu”

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Dzahabi, termasyhur dengan Imam al Dzahabi, sejarawan sekaligus ulama pakar hadis dalam Siyar A’lam al Nubala berkata: “(faktanya) tidak sedikit kalangan tabi’in yang belajar ilmu kepada para sahabat perempuan”.

Kalaupun jarang (hampir tidak ada) kita jumpai karya-karya ulama perempuan; tafsir, hadis, ushul fikih dan fikih yang dikaji serius di pusat-pusat pendidikan Islam seperti di pesantren, tidak berarti tidak ada satupun kalangan perempuan yang memiliki kecakapan dalam bidang ilmu agama. Bahkan, banyak kalangan sahabat perempuan (shahabiyah) yang menjadi guru kalangan tabi’in seperti dikatakan al Dzahabi.

Satu diantaranya adalah Nafisah binti Hasan (cicit Hasan bin Ali bin Abi Thalib). Kisah Nafisah ditulis oleh Umar Ridho Kahalah dalam karyanya A’lam al Nisa fi ‘Alamai al Arab wa al Islam.

Nama lengkapnya Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Lahir di Makkah tahun 145 H. Dibesarkan di Madinah. Pernah ke Mesir bersama suaminya, Ishaq bin Ja’far al Shadiq. Pendapat lain mengatakan, ia ke Mesir bersama ayahnya, Hasan, yang ditunjuk oleh Abu Ja’far al Mansur untuk menjadi salah seorang Gubernur Mesir.

Setelah lima tahun menjabat gubernur, Abu Ja’far al Mansur memecatnya, menyita seluruh asetnya dan memenjarakannya di Baghdad. Hasan baru dibebaskan setelah Abu Ja’far al Mansur meninggal dunia. Pengganti al Mansur, yakni al Mahdi membebaskan Hasan dan mengembalikan kekuasaannya semula.

Tentang sosok Nafisah, ia seorang hafidzah (hafal al Qur’an) dan ahli tafsir. Diceritakan, Imam Syafi’i disaat ke Mesir sering mengikuti halaqah keilmuan yang dipimpin Nafisah. Salah seorang pendiri madhab fikih ini banyak mendengar hadis dari ulama perempuan yang masyhur dengan “Nafisah al ilmu”. Diyakini, ilmu yang diperoleh dari Nafisah memberi pengaruh besar terhadap pemikiran fikih Imam Syafi’i waktu di Mesir.

Disamping seorang yang mumpuni ilmu agamanya, Nafisah juga sosok yang sangat wara’ dan zuhud. Ia banyak menangis (meratapi dosa dan minta ampun kepada Allah), selalu bangun malam untuk beribadah, selalu berpuasa di siang hari, sehari semalam hanya makan sekali, yaitu pada sepertiga malam (sahur), dan tidak makan kecuali apa yang diberikan oleh suaminya.

Nafisah melakukan ibadah haji sebanyak tiga puluh kali. Sebanyak itu pula, ia menangis sejadi-jadinya sambil bergelayut pada kiswah Ka’bah dan berkata: “Ya Allah, hiasilah dan bahagiakanlah diriku dengan ridha-Mu”.

Zainab binti Yahya berkata, “Saya menjadi pembantu di rumah bibi Nafisah selama empat puluh tahun. Selama itu, saya tidak pernah melihat Nafisah tidur malam dan makan di siang hari. Saya bertanya kepadanya, “Wahai Nafisah: apakah engkau tidak khawatir terhadap kesehatanmu”? Nafisah menjawab: “bagaimana aku bisa khawatir, sementara dihadapanku ada siksa yang menanti, tidak akan selamat dari siksa tersebut kecuali orang-orang yang beruntung”.

Bisyri bin Harits al Hafi, guru Imam Ahmad bin Hanbal pernah menuntut ilmu kepada Nafisah. Pada saat Bisyri sakit Nafisah datang menjenguknya. Tak lama kemudian Imam Ahmad bin Hanbal datang juga untuk menjenguk gurunya yang sedang sakit. Melihat perempuan yang sangat disegani oleh gurunya, Imam Ahmad bertanya kepada Bisyri “Siapa wanita ini”? Gurunya menjawab, “Dia adalah Sayyidah Nafisah, kesini untuk menjengukku”.

Sontak, Imam Ahmad yang telah mendengar nama besar Sayyidah Nafisah kemudian berbisik kepada gurunya, “Minta supaya dia mendoakan kita”. Sayyidah Nafisah dengan senang hati mendoakan mereka berdua: “Ya Allah, sesungguhnya Bisyri bin Harits dan Ahmad bin Hanbal meminta perlindungan kepada-Mu dari api neraka, selamatkanlah keduanya, ya Allah”.

Sayyidah Nafisah hanya seorang dari sekian ulama-ulama perempuan. Masih banyak kaum hawa yang seperti Sayyidah Nafisah. Walaupun karya-karyanya tidak banyak dikenal, namun sejarah membuktikan tidak sedikit kalangan perempuan yang mumpuni dalam bidang ilmu agama.

ISLAM KAFFAH