Berpuasa Dari Yang Diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Diantara hal yang harus selalu diperhatikan dan dijaga oleh orang sedang melakukan ibadah puasa adalah usaha mereka menjaga puasa dari segala hal yang bisa menghilangkan atau mengurangi pahala puasa mereka. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahîhnya yang menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصِيَامٍ، وَصَلَاةٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا،وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْخَطَايَا أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّار

Sesungguhnya orang yang merugi (bangkrut) diantara ummat adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, zakat, sementara dia juga dahulu (waktu di dunia) pernah mencela ini, menuduh ini berzina, memakan harta ini dan itu (dengan cara yang tidak halal-red), membunuh orang ini dan itu, dan memukul ini dan itu. Maka (pada hari kiamat), yang ini (yaitu orang yang dizhaliminya itu-red) akan diberi kebaikan yang diambilkan dari kebaikan-kebaikannya, yang itu juga akan diberi kebaikan yang diambilkan dari kebaikan-kebaikannya. Jika pahala kebaikan yang dimilikinya telah habis, sementara dosa-dosanya pada orang-orang yang dizhaliminya belum terbayar semuanya, maka dosa-dosa orang-orang yang dizhaliminya itu akan dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan kedalam api neraka.[1]

Meski hamba ini telah melakukan ibadah shalat, puasa, zakat, akan tetapi dia kehilangan pahala amalan-amalan tersebut disebabkan oleh keburukan yang dilakukan oleh anggota badannya berupa perbuatan zhalim dan melampaui batas, dan juga disebabkan oleh keburukan yang dilakukan oleh lisannya yang selalu mencela dan berdusta. Akhirnya dia menjadi orang yang merugi (bangkrut).

Oleh karena itu, diantara faidah yang bisa dipetik oleh seorang Muslim dari ibadah puasa yang dilakukannya pada bulan Ramadhan adalah hendaknya dia menyadari dan mengetahui bahwa kewajiban berpuasa (menahan diri) dari makan, minum beserta semua yang membatalkan puasa, waktunya di bulan Ramadhan, dimulai sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Adapun (kewajiban) berpuasa (yaitu menahan diri) dari semua yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla, waktunya adalah sepanjang tahun, bahkan selama hidupnya. Jadi, pada bulan Ramadhan, seorang Muslim wajib berpuasa (yaitu menahan diri) dari apa-apa yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla pada bulan-bulan lain selain Ramadhan dan juga menahan diri dari yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Dan seorang Muslim wajib berpuasa dari yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla selama hidupnya. Karena shaum (puasa) secara bahasa berarti menahan diri. Jadi menahan dan menjaga mata, lisan, telinga, tangan, kaki, farji dan anggota tubuh lainnya dari segala yang diharamkan termasuk shaum (puasa) menurut bahasa. Yang ini merupakan kewajiban setiap manusia selama hidupnya.

Allâh Azza wa Jalla ketika menganugerahkan kepada para hamba-Nya berbagai nikmat berupa mata, lisan, telinga, tangan, kaki, kemaluan, dan yang lainnya, Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kepada mereka agar menggunakannya pada hal-hal yang Allâh Azza wa Jalla ridhai; Dan Allâh Azza wa Jalla mengharamkan mereka untuk menggunakannya pada hal-hal yang dimurkai-Nya. Dan diantara bentuk realisasi rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas segala nikmat yang diberikan-Nya adalah memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut pada hal-hal yang Allâh perintahkan, dan tidak menggunakannya pada hal-hal yang Allâh Azza wa Jalla haramkan.

Mata –misalnya- disyariatkan penggunaannya untuk melihat dan memperhatikan hal-hal yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla , dan dilarang untuk melihat yang diharamkan, seperti melihat wanita yang bukan mahramnya, menonton tayangan-tayangan tv berupa drama yang jorok, film porno, atau tayangan-tayangan amoral lainnya. Jadi menjaga mata dari hal-hal seperti ini termasuk puasa bagi mata, dan kewajiban ini terus berlangsung selama hidup.

Kemudian telinga disyariatkan penggunaannya untuk mendengarkan hal-hal yang Allâh perintahkan dan bolehkan, serta diharamkan untuk mendengar hal-hal yang tidak boleh didengar seperti nyanyian, perkataan dusta, ghibah (gosip), namîmah (adu domba), dan hal-hal lain yang telah Allâh haramkan. Menjaga telinga dari hal-hal tersebut di atas merupakan puasa baginya, dan hukum wajibnya berlangsung sepanjang usia. Begitu pula tangan dan kemaluan disyariatkan penggunaannya pada hal-hal yang telah Allâh halalkan, dan diharamkan menggunakannya pada hal-hal yang haram. Ini merupakan puasa bagi tangan dan kemaluan, dan hukum wajibnya terus berlangsung selama hayat masih dikandung badan.

Allâh Azza wa Jalla telah berjanji akan memberikan pahala dan kebaikan berlimpah di dunia dan di akhirat bagi orang yang bisa mensyukuri segala nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan dan menggunakannya pada hal-hal yang Allâh ridha. Sebaliknya, kepada siapa saja yang tidak menjaga, tidak memperhatikan hikmah dan tujuan dari penciptaan nikmat-nikmat tersebut, bahkan dengan tanpa rasa sungkan dia menggunakannya pada hal-hal yang Allâh Azza wa Jalla murkai, Allâh mengancam akan memberikan adzab dan hukuman yang pedih kepada mereka.

Allâh mengabarkan bahwa kelak di hari kiamat, anggota-anggota badan akan ditanya tentang pemiliknya dan pemiliknya juga akan dimintai pertangungjawaban terhadap anggota badan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ’/17:36]

Dan firman-Nya:

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. [Yâsin/36:65]

Dan firman-Nya:

وَيَوْمَ يُحْشَرُ أَعْدَاءُ اللَّهِ إِلَى النَّارِ فَهُمْ يُوزَعُونَ ﴿١٩﴾ حَتَّىٰ إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿٢٠﴾ حَتَّىٰ إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿٢٠﴾ وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا ۖ قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allâh di giring ke dalam neraka, lalu mereka dikumpulkan semuanya. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allâh yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dialah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. [Fusshilat/41:19-21]

Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Mu’âdz bin Jabal untuk menjaga lisannya, dan Mu’âz Radhiyallahu anhu bertanya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Nabi Allâh, apakah kita akan dihisab atas apa yang telah kita ucapkan?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا ابْنَ أُمِّ مُعَاذٍ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ فِي نَارِ جَهَنَّمَ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهُمْ؟

Celaka kamu Mu’âdz! Tidak ada yang menyebabkan manusia tersungkur di dalam neraka selain hasil lisan-lisan mereka[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Barangsiapa menjamin (menjaga) bagiku lisan dan kemaluannya, maka aku akan menjamin baginya surga[3]

Imam Tirmizi meriwayatkannya dan beliau menilai hadits ini hasankan dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan lafazh:

مَنْ وَقَاهُ اللَّهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَرِجْلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa dipelihara oleh Allâh dari keburukan mulut dan keburukan kemaluannya, maka dia akan masuk surga[4]

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada hari akhir hendaknya dia berkata yang baik atau diam[5]

Masih didalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim dari shahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu , Para shahabat bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Wahai Rasûlullâh! Islam seperti apakah yang paling baik?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islamnya orang yang semua muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya[6]

Nash-nash di atas dan nash lain yang semakna menunjukkan bahwa seorang hamba wajib hukumnya menjaga lisan, kemaluan, pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya dari hal-hal yang diharamkan. Dan ini merupakan pengertian puasa dari segi bahasa. Puasa seperti ini tidak memiliki waktu khusus akan tetapi terus berkelanjutan sampai meninggal dunia, sebagai bentuk ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar berhasil meraih ridha dan pahala dari Allâh, selamat dari murka dan siksa-Nya.

Apabila seorang Muslim memahami bahwasanya pada bulan Ramadhan dia diharamkan melakukan dan memakan apa-apa yang Allâh halalkan baginya (pada waktu-waktu yang lain), karena Allâh Azza wa Jalla mengharamkan perkara-perkara tersebut pada bulan Ramadhan, maka hendaknya dia juga memahami bahwa Allâh Azza wa Jalla juga mengharamkan untuknya hal-hal yang haram selama hidupnya. Maka wajib bagi setiap Muslim menjauhi apa yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla selamanya agar terhindar dari adzab yang disiapkan buat orang yang menyelisihi perintah-Nya dan melakukan yang diharamkan-Nya.

Orang yang menjaga lisannya dari perkataan keji dan dusta; Menjaga kemaluannya dari yang Allâh haramkan; Menjaga tangannya dari melakukan perkara haram; Menjaga kakinya dari hal yang Allâh tidak ridhai; Menjaga pendengarannya dari mendengar yang haram serta menjaga matanya dari segala hal yang Allâh haramkan untuk dilihat, kemudian dia terus-menerus menggunakan seluruh anggota badan ini dalam rangka mentaati Allâh Azza wa Jalla sampai meninggal dunia, maka sungguh dia akan berifthar (berbuka puasa) dengan apa yang telah Allâh janjikan bagi orang yang mentaati-Nya berupa nikmat yang kekal dan keutamaan yang agung. Kenikmatan yang tidak pernah terbayang dalam benak, dan tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.

Hal pertama yang akan dia dapatkan adalah apa yang dijelaskah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai peristiwa ketika seorang Mukmin meninggal dunia. Saat itu, para Malaikat yang wajah-wajah mereka seperti matahari mendatanginya dengan membawa kain kafan dan hanut (peti mati) dari surga. Yang terdepan adalah Malaikat maut, dia mengatakan:

أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ، قَالَ: فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنَ السِّقَاءِ، فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَلِكَ الْكَفَنِ وَفِي ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ. قَالَ: فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلَا يَمُرُّونَ بِمَلَأٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ إِلَّا قَالُوا: مَا هَذَا الرُّوحُ الطَّيِّبُ؟، فَيَقُولُونَ: فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ، بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِي كَانُوا يُسَمُّونَهُ بِهَا فِي الدُّنْيَا، حَتَّى يَنْتَهُوا بِهَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَسْتَفْتِحُونَ لَهُ، فَيُفْتَحُ لَهُ فَيُشَيِّعُهُ مِنْ كُلِّ سَمَاءٍ مُقَرَّبُوهَا إِلَى السَّمَاءِ الَّتِي تَلِيهَا، حَتَّى يَنْتَهِيَ بِهَا إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ. فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: اكْتُبُوا كِتَابَ عَبْدِي فِي عِلِّيِّينَ وَأَعِيدُوهُ إِلَى الْأَرْضِ، فَإِنِّى مِنْهَا خَلَقْتُهُمْ وَفِيهَا أُعِيدُهُمْ وَمِنْهَا أُخْرِجُهُمْ تَارَةً أُخْرَى. قَالَ: فَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ فَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟، فَيَقُولُ: رَبِّيَ اللَّهُ، فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا دِينُكَ؟، فَيَقُولُ: دِينِيَ الْإِسْلَامُ، فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا هَذَا الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ؟، فَيَقُولُ: هُوَ رَسُولُ اللَّهِ، فَيَقُولَانِ لَهُ: وَمَا عِلْمُكَ؟، فَيَقُولُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ وَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ. فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ صَدَقَ عَبْدِي، فَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ. قَالَ: فَيَأْتِيهِ مِنْ رُوحَهَا وَطِيبِهَا وَيُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ، وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيحِ فَيَقُولُ لَهُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ، هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ. فَيَقُولُ لَهُ: فَمَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ الَّذِي يَجِيءُ بِالْخَيْرِ. فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ. فَيَقُولُ: يَا رَبِّ أَقِمِ السَّاعَةَ أَقِمِ السَّاعَةَ، حَتَّى أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي وَمَالِي

Wahai jiwa yang bersih ( baik/bagus ) keluarlah menuju ampunan Allâh dan keridhaan-Nya, maka jiwa tersebut keluar seperti keluarnya tetesan air dari mulut ceret. Lalu malaikat maut mengambilnya dan langsung diambil oleh para malaikat lainnya. Lalu mereka menaruhnya di atas kain kafan serta hanut yang mereka bawa. Seketika itu juga, keluar dari jiwa tersebut aroma harum yang tidak ada bandingannya di dunia. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merekapun membawa jiwa tersebut naik ke langit. Setiap kali mereka melewati sekelompok malaikat, mereka sontak bertanya, ‘Ruh siapakah yang harum ini?’ Para Malaikat yang membawa ruh itu menjawab, ‘Fulan bin fulan.’ Mereka menyebutnya dengan nama terbaiknya di dunia, sampai mereka tiba di langit ketujuh. Lalu Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Tulislah kitab hamba-Ku ini di Illiyin dan kembalikanlah dia ke dunia. Sesungguhnya Aku menciptakan mereka dari tanah, dan Aku kembalikan mereka ke tanah lagi, dan kelak Aku akan bangkitkan mereka dari tanah juga.’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka ruhnya dikembalikan lagi kedalam jasadnya, dan dia didatangi oleh dua Malaikat yang kemudian mendudukkannya lalu bertanya, “Siapakah Rabbbmu?” Dia menjawab, “Rabbku adalah Allâh,” mereka bertanya lagi, “Apakah agamamu?” Dia berkata, “Agamaku adalah agama Islam.”
Mereka bertanya lagi, “Siapakah laki-laki ini yang Allâh utus pada kalian?” Dia menjawab, “Dia adalah Rasûlullâh.”
Mereka bertanya lagi, “Apa ilmumu?” Dia menjawab, “Aku membaca kitab Allâh lalu aku beriman dan meyakininya.”
Lalu terdengar suara memanggil dari langit,”Hamba-Ku benar (jujur). Berikanlah dia tempat tidur dari surga, dan pakaian dari surga, serta bukakanlah dia pintu ke surga!
Kemudian dia mendapatkan aroma dan harumnya surga serta kuburnya diluaskan sejauh mata memandang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian dia didatangi oleh seorang laki-laki yang tampan, berpakain bagus, dan memiliki bau yang harum seraya berkata, ‘Bergembiralah dengan apa yang membuatmu bahagia! Sesungguhnya ini adalah hari yang dulu engkau dijanjikan.’ Muslim (yang sudah meninggal) tersebut bertanya, ‘Siapakah kamu? Wajahmu adalah wajah orang yang datang dengan membawa kebaikan.’ Laki-laki tersebut menjawab, ‘Aku adalah amal shalihmu.’
Kemudian dia berkata, ‘Wahai Allâh! Datangkanlah hari kiamat segera, agar aku bisa segera berkumpul kembali bersama keluarga dan hartaku
[7]

Inilah balasan orang-orang yang berpuasa (menahan diri) dari segala yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla , yang selalu berbuat taat kepada Allâh, senantiasa menjaga perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk golongan mereka, memberikan taufik kepada untuk menempuh jalan yang mereka lalui.

Oleh
Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al-Badr

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11645-berpuasa-dari-yang-diharamkan-allah-subhanahu-wa-taala-2.html

Fidyah Tidak Bisa Ditunaikan Dalam Bentuk Uang

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : Ada seorang lelaki tua yang sedang sakit sehingga tidak bisa menunaikan ibadah puasa. Cukupkah atau sahkah jika kita mengeluarkan uang sebagai ganti dari kewajiban memberikan makan (fidyah)?

Beliau rahimahullah menjawab.[1]
Kita wajib mengetahui sebuah kaidah penting dalam masalah ini, yaitu semua yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan lafazh tha’am (makanan) atau ith’am (memberikan makan), maka wajib (dikerjakan atau ditunaikan) dalam bentuk makanan. (misalnya –red) Allah Azza wa Jalla berfirman tentang ibadah puasa.

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin” [al-Baqarah/2:184]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman.

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)”.[al-Maidah/5:89]

Dan tentang kewajiban zakat fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan untuk mengeluarkan satu sha’ makanan.[2] (Dan masih ada beberapa contoh lainnya)

Semua (kewajiban-red) yang disebutkan dalam nash (teks) dengan lafazh tha’am atau ith’am, maka itu tidak sah ditunaikan dengan mengeluarkan dalam bentuk uang.

Berdasarkan kaidah ini, maka orang yang sudah berusia senja yang diwajibkan mengeluarkan makanan sebagai ganti dari ibadah puasa (yang tidak bisa dikerjakannya-red), tidak sah jika dia mengeluarkan uang sebagai ganti dari makanan. Seandainya pun dia mengeluarkan uang senilai 10 kali lipat harga makanan, tetap tidak sah. Karena perbuatan ini menyimpang dari perintah yang disebutkan dalam teks. Termasuk zakat fithri, seandainya dia mengeluarkan uang senilai 10 kali lipat harga satu sha’ bahan makanan, maka itu juga tidak sah, karena (mengeluarkan) uang senilai zakat fithri tidak disebutkan dalam nash. Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَرَدٌ

Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami, maka amalan itu tertolak[3]

Berdasarkan ini, kami katakan kepada saudara yang tidak bisa lagi melaksanakan ibadah puasa karena usianya, “Berilah makan kepada satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa!”

Dalam memberikan makan ini, saudara memiliki dua pilihan teknis pelaksanaan.

Pertama (Umpama), saudara mendatangi rumah-rumah orang miskin untuk memberikan 5 sha’ beras untuk masing-masing rumah ditambah lauk (jika meninggalkan puasa 30 hari, maka mendatangi 6 rumah-red).

Kedua, saudara memasak makanan-makanan lalu mengundang sejumlah orang miskin yang berhak untuk saudara beri makanan. Misalnya,  sesudah lewat sepuluh hari (saudara tidak bisa berpuasa), saudara memasak makanan lalu mengundang sepuluh orang miskin untuk makan di rumah saudara (sampai mereka kenyang-red). Saudara bisa melakukan ini pada sepuluh hari yang kedua dan sepuluh hari yang ketiga. Teknis ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu anhu ketika beliau Radhiyallahu anhu memasuki usia senja dan tidak bisa menunaikan ibadah puasa. Beliau Radhiyallahu anhu memberikan makan kepada 30 orang fakir pada hari terakhir bulan Ramadhan.

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11667-fidyah-tidak-bisa-ditunaikan-dalam-bentuk-uang.html

Puasanya Orang Yang Meninggalkan Shalat

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian ulama kaum muslimin mencela orang yang berpuasa tapi tidak shalat, karena shalat itu tidak termasuk puasa. Saya ingin berpuasa agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang masuk surga melalui pintu Ar-Rayyan. Dan sebagaimana diketahui, bahwa antara Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa di antara keduanya. Saya mohon penjelasannya. Semoga Allah menunjuki anda.

Jawaban
Orang-orang yang mencela anda karena anda puasa tapi tidak shalat, mereka benar dalam mencela anda, karena shalat itu tiangnya agama Islam, dan Islam itu tidak akan tegak kecuali dengan shalat. Orang yang meninggalkan shalat berarti kafir, keluar dari agama Islam, dan orang kafir itu, Allah tidak akan menerima puasanya, shadaqahnya, hajinya dan amal-amal shalih lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan”. [at-Taubah/9 : 54]

Karena itu, jika anda berpuasa tapi tidak shalat, maka kami katakan bahwa puasa anda batal, tidak sah dan tidak berguna di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta tidak mendekatkan anda kepadaNya. Sedangkan apa yang anda sebutkan, bahwa antara Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya adalah menghapus dosa-dosa di antara keduanya, kami sampaikan kepada anda, bahwa anda tidak tahu hadits tentang hal tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda.

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat-shalat yang lima dan Jum’at ke Jum’at serta Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa di antara itu apabila dosa-dosa besar dijauhi.[1]

Nabi Shallallahu alaihi wa salam telah mensyaratkan untuk penghapusan dosa-dosa antara satu Ramadhan degan Ramadhan berikutnya dengan syarat dosa-dosa besar dijauhi. Sementara anda, anda malah tidak shalat, anda puasa tapi tidak menjauhi dosa-dosa besar. Dosa apa yang lebih besar dari meninggalkan shalat. Bahkan meninggalkan shalat itu adalah kufur. Bagaimana puasa anda bisa menghapus dosa-dosa anda sementara meninggalkan shalat itu suatu kekufuran, dan puasa anda tidak diterima. Hendaklah anda bertaubat kepada Allah dan melaksanakan shalat yang telah diwajibkan Allah atas diri anda, setetah itu anda berpuasa. Karena itulah ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bersaba.

فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ أَطَاعُوا لَكَ فِي ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ

Maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka mematuhimu maka beritahukanlah mereka bahwa Allah telah mewajibkan lima shalat dalam sehari semalam[2].

Beliau memulai perintah dengan shalat, lalu zakat setetah dua kalimah syahadat

(Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Ash-Shiyam, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, hal. 34)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Juraisy, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq-Jakarta]

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11672-puasanya-orang-yang-meninggalkan-shalat.html

Ramadhan, Bulan Berdoa

Allah Azza wa Jalla befirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-Ku bertanya kepada engkau (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tentang Aku, maka (sampaikanlah) sesungguhnya Aku dekat, Aku menjawab permohonan doa yang dipanjatkan kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu mendapatkan petunjuk” [al-Baqarah/2:186]

SEBAB TURUNNYA AYAT
Ini adalah ayat yang mulia. Para Ulama berbeda pendapat tentang kronologis sebab diturunkannya ayat ini.

  1. Sebagian menyatakan bahwa ayat ini turun tatkala Sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah Rabb kita dekat, maka kita melirihkan suara dalam berdoa, ataukah Dia Subhanahu wa Ta’ala jauh sehingga kita mengangkat suara dalam berdoa?”, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ini.[1]
  2. Adapun sebagian lain seperti `Atha’ bin Abi Rabâh menyatakan bahwa ayat ini diturunkan sebagai jawaban bagi suatu kaum yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang waktu-waktu dianjurkannya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yakni ketika turun ayat (Ghâfir/40:60) “Dan Rabb kalian berfirman “Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkannya untuk kalian”. Mereka bertanya “di waktu apa (kami melakukannya)…?[2] maka kemudian turunlah ayat di atas.[3]

PENJELASAN AYAT
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Dekat Dengan Para Hamba-Nya. 
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kepada seluruh umatnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha dekat. Kedekatan yang sesuai kemuliaan dan keperkasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan Dzat-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ

Wahai sekalian manusia, kasihanilah diri kalian, kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli atau alpa, sesungguhnya kalian berdoa kepada Dzat yang Maha mendengar, lagi Maha dekat“.[4]

Wajib atas setiap Muslim untuk beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha dekat lagi Maha mengabulkan doa. Allah Subhanahu wa Ta’ala dekat kepada hamba yang berdoa, mendengarnya dan mengabulkannya kapanpun Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Kedekatan itu adalah kedekatan ilmu dan pengawasan-Nya, sesuai dengan kesempurnaan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.[5]

Syaikh Abdurrahman as-Sa`di rahimahullah berkata “sifat “kedekatan” Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua macam; kedekatan dengan ilmu-Nya (mengetahui) seluruh makhluk-Nya, dan kedekatan kepada hamba yang beribadah serta berdoa sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa dan memberikan pertolongan maupun taufik-Nya. Barangsiapa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati yang hadir dan doa yang disyariatkan, serta tidak terhalangi dengan penghalang apapun dari terkabulnya doa tersebut; seperti memakan yang haram atau selainnya. Maka, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk mengabulkannya. Terlebih jika ia mengupayakan segala sebab dikabulkannya doa (tersebut) yaitu dengan menjawab panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ketaatan terhadap segala perintah-Nya dan patuh menjauhi segala larangan-Nya baik dalam perkataan maupun perbuatan disertai keimanan (tentunya) akan menyebabkan terkabulnya doa”.[6]

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala Mengabulkan Doa Hamba-Nya.
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada Rasul-Nya r mengenai keagungan, kemurahan dan kedekatan-Nya kepada para hamba-Nya. Sebagaimana juga dalam ayat lain “dan Rabb kalian berkata: “Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya untuk kalian…”.[7]Mujâhid dan Ibnul Mubârak menjelaskan [8] makna “فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ” yakni “hendaklah mereka melaksanakan ketaatan kepada-Ku (Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. Adapun “وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ” maknanya “dan (hendaklah) mereka percaya kepada-Ku” yakni hendaknya mereka percaya jika mereka mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala , sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melimpahkan pahala dan kemuliaan kepada mereka disebabkan ketaatan itu. Sebagian lain mengatakan ” فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ “ maknanya adalah “berdoalah kepada-Ku”, ” وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ “ maknanya “dan hendaknya mereka percaya bahwa Aku mengabulkan doa mereka”.[9]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan “Dengan kedua sebab ini, doa akan dikabulkan, yakni dengan kesempurnaan nilai ketaatan terhadap uluhiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan dengan kekuatan iman terhadap rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala . Barangsiapa mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua perintah dan larangan-Nya, maka tercapailah maksudnya dalam berdoa dan dikabulkan doanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman [10] “Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta menambah bagi mereka dari karunia-Nya”.[11]

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya: “لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ” yakni “Semoga mereka mendapatkan petunjuk yang lurus”. Jika mereka mentaatiku dan beriman kepada-Ku mereka akan mendapatkan kebaikan di kehidupan dunia dan akhirat mereka”.[12] serta petunjuk untuk senantiasa beriman dan beramal shalih sehingga keburukan akan lenyap dari mereka .”[13]

3. Mengapa Doa Tidak Dikabulkan?
Jika seseorang berkata : “Tidak jarang kita mendapatkan seseorang yang berdoa namun tidak dikabulkan. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan dalam firman-Nya “Aku akan mengabulkan seseorang yang “menyeru” (berdoa) kepada-Ku.”” Sesungguhnya ungkapan tersebut dapat diarahkan dengan dua penjelasan; yang pertama: “menyeru” di sini berarti mengamalkan semua perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan anjuran-anjuran-Nya Subhanahu wa Ta’ala, sehingga maknanya adalah “Sesungguhnya Aku dekat dengan hamba yang senantiasa menjalankan perintah dan anjuran-Ku, Aku akan membalasnya dengan pahala”. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “sesungguhnya doa adalah ibadah” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Sesungguhnya Rabb kalian memerintahkan: “Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan doamu, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri untuk beribadah kepada-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina.”.[14]

Dan yang kedua: maknanya adalah “Aku mengabulkan seseorang yang berdoa kepada-Ku jika Aku menghendaki”.[15]

Syaikh `Abdurrahman as-Sa`di rahimahullah berkata “menyeru (berdoa) terbagi menjadi dua macam; doa ibadah dan doa permohonan”.[16] Para Ulama menjelaskan bahwa doa permohonan mencakup makna doa ibadah. Dan doa ibadah memuat konsekuensi doa permohonan, yakni barangsiapa memohon sesuatu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia sedang berdoa dengan doa permohonan. Ini merupakan makna ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ; karena hal itu merupakan salah satu jenis ibadah dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyukai hamba-hamba yang memohon kepada-Nya. Adapun maksud doa ibadah memuat konsekuensi doa permohonan, yakni barangsiapa shalat maka menjadi lazim baginya untuk memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar shalatnya diterima dan diberikan pahalasehingga dengan demikian doa permohonan mencakup (makna) doa ibadah dan doa ibadah memuat konsekuensi doa permohonan.[17]

4. Beberapa Etika Dalam Berdoa.
Mengingat pentingnya hal ini, para Ulama t menjelaskan tentang syarat serta etika dalam berdoa agar dikabulkan, sebagaimana tuntunan dalam al-Qur`ân dan Hadits.

Al-Baghawi rahimahullah berkata “Sesungguhnya terdapat etika dan syarat-syarat dalam berdoa yang merupakan sebab dikabulkannya doa. Barangsiapa menyempurnakan hal itu, maka dia akan mendapatkan apa yang dimintanya dan barangsiapa melalaikannya dialah orang yang melampaui batas dalam berdoa; sehingga tidaklah berhak doanya dikabulkan”.[18] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata “Kedua ayat berikut mencakup adab-adab berdoa dengan kedua jenisnya (doa ibadah dan doa permohonan); yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٥٥﴾ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. [al-A`raf/7:55-56][19]

Dan Ibnu Katsîr rahimahullah membawakan sejumlah hadits-hadits yang berkaitan dengan adab-adab tersebut dalam menafsirkan ayat utama pembahasan ini. Di antara yang beliau isyaratkan yaitu: [20]

A. Mengangkat kedua tangan sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ 

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala malu lagi Maha pemurah terhadap seorang hamba yang mengangkat kedua tangannya (berdoa), kemudian kedua tangannya kembali (namun) dengan kosong dan kehampaan (tidak dikabulkan).[21]

B. Mengawali doa dengan pujian terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian Salawat dan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya bertawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tawassul yang disyariatkan, seperti dengan bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan asma dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan amal shalih dan selainnya.[22] Semua itu hendaknya dilakukan dengan suara lirih dan tidak berlebihan sebagaimana hadits Abu Musa al-Asy`ari Radhiyallahu anhu di muka.

C. Berprasangka baik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diriwayatkan dalam sebuah hadits qudsi dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

 يَقُوْلُ الله عَزَّ وَجَلَّ : يَقُولُ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِيْ وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِيْ   

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku (akan) sebagaimana hamba-Ku menyangka tentang-Ku, dan Aku akan bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku”[23]

 Ibnu Hajar rahimahullah berkata “yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mampu melakukan apa yang disangkakan oleh hamba-Ku bahwa Aku melakukannya.” Beliau juga membawakan perkataan al-Qurthûbi t bahwa maknanya adalah “Menyangka dikabulkannya doa, diterimanya taubat, diberikan ampun melalui istighfâr, serta menyangka dibalas dengan pahala atas ibadah yang dilakukan sesuai syarat-syaratnya sebagai keyakinan akan kebenaran janji Allah Subhanahu wa Ta’ala.[24]

D. Menjauhkan sikap tergesa-gesa mengharapkan terkabulnya doa; karena ketergesa-gesaan itu akan berakhir dengan sikap berputus asa sehingga ia tidak lagi berdoa. Na`ûdzubillâh.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُسْتَجَابُ ِلأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Akan dikabulkan (doa) seseorang di antara kalian selama ia tidak tergesa-gesa, yakni ia berkata ‘aku telah berdoa namun belum dikabulkan bagiku’ “.[25] Dalam lafadz lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الاِسْتِعْجَالُ قَالَ يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

Senantiasa akan dikabulkan (doa) seorang hamba yang tidak meminta kejelekan dosa atau memutuskan tali kekeluargaan selama ia tidak tergesa-gesa. Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa yang dimaksud tergesa-gesa?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “dia berkata ‘aku telah berdoa, aku telah berdoa namun aku tidak pernah mendapatkan doaku dikabulkan’, kemudian ia berputus asa dan meninggalkan berdoa.[26]

E. Membersihkan jiwa raga dari berbagai kenistaan dan dosa merupakan satu hal yang mungkin terlalaikan. Padahal hati yang kotor dengan berbagai maksiat atau raga yang tidak bersih dari keharaman akan menghalangi terkabulnya doa.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dan tidak menerima melainkan yang baik, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Mukminin dengan apa yang telah diperintahkannya kepada para rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Wahai para rasul makanlah kalian dari yang baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.”  Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman “Wahai orang-orang yang beriman makanlah rizki yang baik dari apa yang diberikan kepada kalian…”, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seorang musafir yang berjalan jauh sehingga kumal rambutnya, lusuh dan berdebu, dia mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya berdoa menyeru “Wahai Rabbku, wahai Rabbku…”, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi dari yang haram, bagaimana mungkin akan dikabulkan doanya?”.[27]

F. Yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengabulkan doa selama tidak ada sesuatupun yang menghalanginya. Dari `Abdullah bin `Amr Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِاْلإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

Berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalian yakin (akan) dikabulkan, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengabulkan doa (seorang hamba) yang hatinya alpa serta lalai”.[28] Dalam hadits lain dari Abu Sa`id Al-Khudri Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda[29]

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا إِذًا نُكْثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ

Tidaklah seorang Muslim berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebuah doa yang tidak ada dosa atau pemutusan ikatan kekeluargaan di dalamnya, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya satu di antara tiga perkara; 1) boleh jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala segera mengabulkan doa tersebut, 2) atau menyimpan sebagai tabungan baginya di akhirat, 3) atau menyelamatkannya dari kejelekan yang setara dengan doa yang dipanjatkannya.” Para sahabat berkata : “Jika demikian, kami akan memperbanyak (doa).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak.[30]

Ibnu Katsîr rahimahullah berkata : “Yang dimaksud adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan doa seseorang, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak disibukkan dengan sesuatu apapun. Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha mendengar doa. Dalam hal ini terdapat anjuran (memperbanyak) berdoa karena tidak satu pun yang luput dari-Nya Subhanahu wa Ta’ala .”[31] Terlebih lagi pada saat kita tengah mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan. Hendaknya kita mengambil kesempatan yang istimewa ini dengan memperbanyak doa bagi kebaikan kita di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ :الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَاْلإِماَمُ الْعَادِلُ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

Ada tiga orang yang tidak tertolak doanya; seorang yang berpuasa sehingga berbuka, seorang pemimpin yang adil, seorang yang terdzalimi[32]

Sehingga setelah ayat-ayat tentang shiyâm (berpuasa) dan kemuliaan bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ayat utama pembahasan ini sebagai petunjuk bahwa seorang Mukmin hendaknya selalu mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala bentuk ibadah termasuk dengan berdoa. Ibnu Katsîr rahimahullah berkata “Disisipkannya ayat ini di tengah-tengah penjelasan hukum-hukum shiyâm merupakan petunjuk sekaligus motivator untuk (banyak) berdoa pada saat menyelesaikan bilangan puasa, bahkan pada setiap moment berbuka puasa sebagaimana hadits di atas. Marilah kita semua memperbanyak doa; sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala murka terhadap yang orang yang tidak berdoa kepada-Nya sebagaimana firman-Nya:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

dan Rabmu berkata: berdoalah kepada-Ku, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdoa kepada-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.”[33]

Demikian pula dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“مَنْ لَمْ يَدْعُ اللهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ”  yang artinya: “Barangsiapa yang tidak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka Allah Subhanahu wa Ta’ala marah terhadapnya“.[34] Ibnul Mubârak rahimahullah berkata :

الرَّحْمَنُ إِذَا سُئِلَ أَعْطَى،  وَالرَّحِيْمُ إِذَا لَمْ يُسْأَلْ يَغْضَبُ

Ar-Rahmân (Allah Subhanahu wa Ta’ala) jika Dia diminta akan memberi, dan Ar-Rahîm (Allah Subhanahu wa Ta’ala) jika Dia tidak diminta akan marah.[35]

Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu`, dari jiwa yan tidak puas, serta dari doa yang tidak dikabulkan”.[36]

BEBERAPA FAEDAH DARI AYAT

  1. Puasa merupakan momen dikabulkannya doa, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ayat ini di tengah ayat-ayat puasa, dan dipertegas oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sebagian Ulama menyatakan anjuran berdoa dia akhir puasa yakni ketika berbuka.
  2. Kelembutan dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap para hamba-Nya.
  3. Penetapan sifat kedekatan Allah Subhanahu wa Ta’ala  terhadap para hamba yang menyembah-Nya Subhanahu wa Ta’ala serta berdoa kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat kedekatan yang laik sesuai keagungan-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
  4. Penetapan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mendengar, Maha mampu dan Maha mulia; sebab tidaklah mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat mengabulkan doa melainkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mendengar, Maha mampu dan Maha mulia.
  5. Pentingnya memperhatikan semua syarat dan etika yang menyebabkan terkabulnya doa, utamanya ketaatan dan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta adab-adab lainnya.
  6. Tidak menjadi kelaziman bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengabulkan setiap doa sebagaimana yang diminta karena mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan salah satu di antara tiga hal sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa`îd al-Khudri Radhiyallahu anhu.

Wallâhu A`lam

 

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar Putrananda Lc

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11702-ramadhan-bulan-berdoa-2.html

Zakat Dalam Islam Kedudukan Dan Tujuan-Tujuan Syar’inya

Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Zakat diwajibkan atas setiap orang Islam yang telah memenuhi syarat. Selain melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tujuan pensyariatan zakat ialah untuk membantu umat Islam yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. Oleh karena itu, syariat Islam memberikan perhatian besar dan memberikan kedudukan tinggi pada ibadah zakat ini. Kedudukan zakat dalam Islam sudah banyak diketahui oleh kaum Muslimin secara garis besarnya, namun untuk menegaskan pentingnya masalah zakat ini perlu dirinci kembali permasalahan ini dalam bentuk yang lebih jelas dan gamblang.

KEDUDUKAN ZAKAT DALAM ISLAM
Kedudukan dan arti penting zakat dapat dilihat dari beberapa hal berikut:

1. Zakat adalah rukun Islam yang ketiga dan salah satu pilar bangunannya yang agung
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهاَدَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنْ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقاَمِ الصَّلاَةِ وَإِيْتاَءِ الزَّكَاةِ وَصَومِ رَمَضَانَ وَحَجِّ البَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلأ

Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada Rabb  yang haq selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah utusan Allâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu [Muttafaqun ‘alaihi]

2. Allâh Azza wa Jalla menyandingkan perintah menunaikan zakat dengan perintah melaksanakan shalat di dua puluh delapan tempat dalam al-Qur`ân[1]
Ini menunjukkan betapa urgen dan tinggi kedudukannya dalam Islam. Kemudian penyebutan kata shalat dalam banyak ayat di al-Qur`ân terkadang disandingkan dengan iman dan terkadang dengan zakat. Terkadang ketiga-tiganya disandingkan dengan amal shalih adalah urutan yang logis. Iman yang merupakan perbuatan hati adalah dasar, sedangkan amal shalih yang merupakan amal perbuatan anggota tubuh menjadi bukti kebenaran iman. Amal perbuatan pertama yang dituntut dari seorang mukmin adalah shalat yang merupakan ibadah badaniyah (ibadah dengan gerakan badan) kemudian zakat yang merupakan ibadah harta. Oleh karena itu, setelah ajakan kepada iman didahulukan ajakan shalat dan zakat sebelum rukun-rukun Islam lainnya. Ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’âdz Radhiyallahu anhu ke Yaman, beliau bersabda kepadanya:

إِنَّكَ تَأتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ فاَدْعُهُمْ إِلىَ شَهاَدَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ فإَِنْ هُمْ أَطاَعُوكَ لِذلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلواتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَليَلْةٍ فإَِنْ هُمْ أَطاَعُوكَ لِذلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِياَئِهِمْ فَتُرَدُّ عَلىَ فُقَرَائِهِمْ

Sesungguhnya kamu akan datang kepada suatu kaum dari ahli kitab, ajaklah mereka kepada syahadat bahwa tidak ada Rabb yang haq selain Allâh dan bahwa aku adalah utusan Allâh, bila mereka mematuhi ajakanmu, maka katakanlah kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, bila mereka mematuhi ajakanmu maka katakan kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan sedekah yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin dari mereka[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamhanya menyebutkan shalat dan zakat (dalam hadits di atas) karena besarnya perhatian terhadap keduanya dan keduanya didahulukan sbelumnya  selainnya dalam berdakwah kepada Islam. Juga dalam rangka mengikuti prinsip at-tadarruj (bertahap fase demi fase) dalam menjelaskan kewajiban-kewajiban Islam[3]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil dari al-Qur’an maupun al-hadits yang menunjukkan kedudukan zakat yang tinggi dalam Islam.

TUJUAN-TUJUAN SYAR’I DI BALIK KEWAJIBAN ZAKAT[4]
Islam telah menetapkan zakat sebagai kewajiban dan menjadikannya sebagai salah satu rukunnya serta memposisikannya pada kedudukan tinggi lagi mulia. Karena dalam pelaksanaan dan penerapannya mengandung tujuan-tujuan syar’i (maqâshid syari’at) yang agung yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat, baik bagi si kaya maupun si miskin. Di antara tujuan-tujuan tersebut adalah :

1. Membuktikan penghambaan diri kepada kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-Nya.
Banyak dalil yang memerintahkan agar kaum Muslimin melaksanakan kewajiban agung ini, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla firmankan dalam banyak ayat, diantaranya :

  وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” [al-Baqarah/2:43]

Allâh Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa menunaikan zakat merupakan sifat kaum Mukminin yang taat. Allâh Azza wa Jalla  berfirman :

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allâh ialah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allâh, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. [at-Taubah/9:18]

Seorang mukmin menghambakan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-Nya melalui pelaksanaan kewajiban zakat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan syari’at.

Zakat bukan pajak. Zakat adalah ketaatan dan  ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla yang dilakukan oleh seorang Mukmin demi meraih pahala dan balasan di sisi Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [al-Baqarah/2:277].

Juga firman-Nya dalam al-Qur’an, surat an-Nisa’ ayat ke-162, yang artinya, “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang Mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allâh dan hari Kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” [an-Nisa`/4:162]

2. Mensyukuri nikmat Allâh dengan menunaikan zakat harta yang telah Allâh Azza wa Jalla limpahkan sebagai karunia kepada manusia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” [Ibrâhim/14:7]

Mensyukuri nikmat adalah kewajiban seorang muslim, dengannya nikmat akan langgeng dan bertambah. Imam as-Subki rahimahullah mengatakan, “Diantara makna yang terkandung dalam zakat adalah mensyukuri nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ini berlaku umum pada seluruh taklief (beban) agama, baik yang berkaitan dengan harta maupun badan, karena Allâh Azza wa Jalla telah memberikan nikmat kepada manusia pada badan dan harta. Mereka wajib mensyukuri nikmat-nikmat tersebut, mensyukuri nikmat badan dan nikmat harta. Hanya saja, meski sudah kita tahu itu merupakan wujud syukur atas nikmat badan atau nikmat harta, namun terkadang kita masih bimbang. Zakat masuk kategori ini.”[5]

Membayar zakat adalah pengakuan terhadap kemurahan Allâh, mensyukuri-Nya dan menggunakan nikmat tersebut dalam keridhaan dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

3. Menyucikan orang yang menunaikan zakat dari dosa-dosa.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allâh Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [at-Taubah/9:103].

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kewajiban membayar zakat dalam ayat di atas berkaitan dengan hikmah pembersihan dari dosa-dosa.”[6]

Ada juga hadits yang menegaskan makna di atas, sebagaimana dalam hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu  bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئ ُالمَاءُ النَّارَ

Sedekah itu bisa memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”[HR. Ahmad 5/231 dan at-tirmidzi no. 2616 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi]

Ayat di atas mengumpulkan banyak tujuan dan hikmah syar’i yang terkandung dalam kewajiban zakat. Tujuan-tujuan dan hikmah-hikmah itu terangkum dalam dua kata yang muhkam yaitu, “Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”

4. Membersihkan orang yang menunaikannya dari sifat bakhil.
Al-Kâsâni rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya zakat membersihkan jiwa orang yang menunaikannya dari kotoran dosa dan menghiasi akhlaknya dengan sifat dermawan dan pemurah. Juga membuang kekikiran dan kebakhilan, karena tabiat jiwa sangat menyukai harta benda. Zakat dapat membiasakan orang menjadi pemurah, melatih menunaikan amanat dan menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya. Semua itu terkandung dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.[7]

Kikir adalah penyakit yang dibenci dan tercela. Sifat ini menjadikan manusia berupaya untuk selalu mewujudkan ambisinya, egois, cinta hidup di dunia dan suka menumpuk harta. Sifat ini akan menumbuhkan sikap monopoli terhadap semua.  Tentang hakikat ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا

Dan manusia itu sangat kikir. [al-Isrâ`/17:100]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ

Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. [an-Nisâ`/4:128]

Sifat kikir ini merupakan faktor terbesar yang menyebabkan manusia sangat tergantung kepada dunia dan berpaling dari akhirat. Sifat ini menjadi sebab kesengsaraan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِوَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الخَمِيْصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيْكَ فَلاَ اْنَتقَشَ

Sengsara hamba dinar, sengsara hamba dirham, sengsara hamba khamishah ! Bila dia diberi maka dia rela, bila tidak maka dia murka, sengsara dan tersungkurlah dia, bila dia tertusuk duri maka dia tidak akan mencabutnya.[8]

Cinta dunia dan harta adalah salah satu sumber dosa dan kesalahan. Bila seseorang terselamatkan darinya dan terlindungi dari sifat kikir maka dia akan sukses, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” [al-Hasyr/59:9]

Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang orang-orang yang kikir lagi bakhil,

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allâh berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. [Ali Imrân/3:180]

Al-Fakhrurrazi rahimahullah berkata, “Kecintaan mendalam terhadap harta bisa melalaikan jiwa dari kecintaan kepada Allâh dan persiapan menghadapi kehidupan akhirat. Hikmah Allâh Azza wa Jalla menuntut agr pemilik harta mengeluarkan sebagian harta yang dipegangnya; Agar apa yang dikeluarkan itu menjadi alat penghancur ketamakan terhadap harta, pencegah agar jiwa tidak berpaling kepada harta secara total dan sebagai pengingat agar jiwa sadar bahwa kebahagiaan manusia tidak bisa tercapai  dengan sibuk menumpuk harta. Akan tetapi kebahagian itu akan terwujud dengan menginfakkan harta untuk mencari ridha Allâh Azza wa Jalla . Kewajiban zakat adalah terapi tepat dan suatu keharusan untuk melenyapkan kecintaan kepada dunia dari hati. Allâh Azza wa Jalla mewajibkan zakat untuk hikmah mulia ini. Inilah yang dimaksud oleh firman-Nya, yang artinya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” Yakni membersihkan dan mensucikan mereka dari sikap berlebih-lebihan dalam menuntut dunia.”[9]

5. Membersihkan harta yang dizakati. Karena harta yang masih ada keterkaitan dengan hak orang lain berarti masih kotor dan keruh.
Jika hak-hak orang itu sudah ditunaikan berarti harta itu telah dibersihkan. Permasalahan ini diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsaat beliau n menjelaskan alasan kenapa zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Yaitu karena zakat adalah kotoran harta manusia.

6. Membersihkan hati orang miskin dari hasad dan iri hati terhadap orang kaya.
Bila orang fakir melihat orang disekitarnya hidup senang dengan harta yang melimpah sementara dia sendiri harus memikul derita kemiskinan, bisa jadi kondisi ini menjadi sebab timbulnya rasa hasad, dengki, permusuhan dan kebencian dalam hati orang miskin kepada orang kaya. Rasa-rasa ini tentu melemahkan hubungan antar sesama Muslim, bahkan berpotensi memutus tali persaudaraan.

Hasad, dengki dan kebencian adalah penyakit berbahaya yang mengancam masyarakat dan mengguncang pondasinya. Islam berupaya untuk mengatasinya dengan menjelaskan bahayanya dan dengan pensyariatan kewajiban zakat. Ini adalah metode praktis yang efektif untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut dan untuk menyebarkan rasa cinta dan belas kasih di antara anggota masyarakat.[10]

Orang yang menunaikannya akan dilipatgandakan kebaikannya dan ditinggikan derajatnya. Ini termasuk tujuan syar’i yang penting. Allâh berfirman, yang artinya, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allâh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allâh Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” [al-Baqarah/2:261]

7. Menghibur dan membantu orang miskin.
Al-Kâsâni rahimahullah berkata, “Pembayaran zakat termasuk bantuan kepada orang lemah dan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Zakat membuat orang lemah menjadi mampu dan kuat untuk melaksanakan tauhid dan ibadah yang Allâh wajibkan, sementara sarana menuju pelaksanaan kewajiban adalah wajib.”[11]

8. Pertumbuhan harta yang dizakati.
Telah diketahui bersama bahwa di antara makna zakat dalam bahasa Arab adalah pertumbuhan. Kemudian syariat telah menetapkan makna ini dan menetapkannya pada kewajiban zakat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Allâh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allâh tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” [al-Baqarah/2:276].

Yakni menumbuhkan dan memperbanyak.[12]

Juga firman-Nya, yang artinya, “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allâh akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (Saba`/34:39). Yakni Allâh menggantinya di dunia dengan yang semisalnya dan di akhirat dengan pahala dan balasan.[13]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ إِلاَّ وَمَلكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اَللهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقاً خَلَفاً وَيَقُولُ الآخَرُ اللهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكاً تَلَفاً

Tidak ada satu hari di mana manusia mendapatkan waktu pagi kecuali ada dua malaikat turun, salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allâh berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lainnya berkata, ‘Ya Allâh berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

Sedekah tidak mengurangi harta. [HR Muslim]

9. Mewujudkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial.
Zakat adalah bagian utama dari rangkaian solidaritas sosial yang berpijak kepada penyediaan kebutuhan dasar kehidupan. Kebutuhan dasar kehidupan itu berupa makanan, sandang, tempat tinggal (papan), terbayarnya hutang-hutang, memulangkan orang-orang yang tidak bisa pulang ke negara mereka, membebaskan hamba sahaya dan bentuk-bentuk solidaritas lainnya yang ditetapkan dalam Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

مَثَلُ المُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الجَسَدِ الوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الجَسَدِ باِلسَهْرِ وَالحُمَّى

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap saling menyayangi, mengasihi dan melindungi adalah seperti jasad yang satu, bila ada satu anggota jasad yang sakit maka anggota lainnya akan ikut merasakannya dengan tidak tidur dan demam. [HR Muslim]

10. Menumbuhkan perekonomian Islam.
Zakat mempunyai pengaruh positif yang sangat signifikan dalam mendorong gerak roda perekonomian Islam dan mengembangkannya. Karena pertumbuhan harta individu pembayar zakat memberikan kekuatan dan kemajuan bagi ekonomi masyarakat. Sebagaimana juga zakat dapat menghalangi penumpukan harta di tangan orang-orang kaya saja. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh amat keras hukumanNya.” [al-Hasyr/59:7]

Keberadaan uang di tangan kebanyakan anggota masyarakat mendorong pemiliknya untuk membeli keperluan hidup, sehingga daya beli terhadap barang meningkat. Keadaan ini dapat meningkatkan produksi yang menyerap tenaga kerja dan membunuh pengangguran.[14]

11. Dakwah kepada Allâh Azza wa Jalla .
Di antara tujuan mendasar zakat adalah berdakwah kepada Allâh dan menyebarkan agama serta menutup hajat fakir-miskin. Semua ini mendorong mereka untuk lebih lapang dada dalam menerima agama dan menaati Allâh Azza wa Jalla .  

Demikian banyaknya faedah dan hikmah pensyariatan zakat lainnya yang belum disampaikan, namun semua yang telah disampaikan diatas sudah cukup menunjukkan betapa penting dan bergunanya zakat dalam kehidupan individu dan masyarakat Islam.

Semoga ini bisa lebih memotivasi kita untuk menunaikannya. Apalagi bila melihat kepada manfaat yang akan muncul dari pensyariatan zakat ini.

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11748-zakat-dalam-islam-kedudukan-dan-tujuan-tujuan-syarinya-2.html

Meraih Ampunan Allah Azza Wa Jalla Al-Ghafûr Di Bulan Ramadhan Yang Mulia

Di antara nama Allah Azza wa Jalla adalah al-Ghafûr, dan di antara sifat-sifat-Nya adalah maghfirah (memberi ampunan). Sesungguhnya para hamba sangat membutuhkan ampunan Allah Azza wa Jalla dari dosa-dosa mereka, dan mereka rentan terjerumus dalam kubangan dosa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ لَمْ تُذْنِبُوْا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُوْنَ فَيَسْتَغْفِرُوْنَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ

Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian, dan Dia pasti akan mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa, lalu mereka akan memohon ampun kepada Allah, lalu Dia akan mengampuni mereka. [HR. Muslim, no. 2749]

Dosa telah ditakdirkan pada manusia dan pasti terjadi. Allah Azza wa Jalla telah mensyariatkan faktor-faktor penyebab dosanya, agar hatinya selalu bergantung kepada Rabbnya, selalu menganggap dirinya sarat dengan kekurangan, senantiasa berintrospeksi diri, jauh dari sifat ‘ujub (mengagumi diri sendiri), ghurû(terperdaya dengan amalan pribadi) dan kesombongan.

Dosa-dosa banyak diampuni di bulan Ramadhan, karena bulan itu merupakan bulan rahmat, ampunan, pembebasan dari neraka, dan bulan untuk melakukan kebaikan. Bulan Ramadhan juga merupakan bulan kesabaran yang pahalanya adalah surga.  Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas. [az-Zumar/39:10]

Kesabaran adalah perisai dan penghalang dari dosa dan kemaksiatan serta pelindung dari neraka. Dalam hadits shahîh dijelaskan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّنَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَجِبْرِيْلُ يَدْعُوْ قَالَ الصَّحَابَةُ : أَمَّنْتَ يَا رَسُوْلَ الله قَالَ:جَاءَنِيْ جِبْرِيْلُ فَقَالَ : بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ قُلْتُ: آمِيْن فَلَمَّا رَقَيْتُ الثَّانِيَةَ قَالَ بُعْدًا لِمَنْ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ قُلْتُ: آمِيْن فَلَمَّا رَقَيْتُ الثَّالِثَةَ قَالَ بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ قُلْتُ آمِيْن

Sesungguhnya Nabi mengucapkan amîn sebanyak tiga kali tatkala Jibril berdoa. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Engkau telah mengucapkan amîn”. Beliau menjawab: “Jibril telah mendatangiku, kemudian ia berkata: “Celakalah orang yang menjumpai Ramadhan lalu tidak diampuni”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki tangga mimbar kedua maka ia berkata: “Celakalah orang yang disebutkan namamu di hadapannya lalu tidak mengucapkan salawat kepadamu”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki anak tangga mimbar ketiga, ia berkata: “Celakalah orang yang kedua orang tuanya mencapai usia tua berada di sisinya, lalu mereka tidak memasukkannya ke dalam surga”. Maka aku jawab: “Amîn”.[1]

Seorang Muslim yang berusaha mendapatkan ampunan dosa, akan berbahagia dengan adanya amalan-amalan shaleh agar Allah Azza wa Jalla menghapuskan dosa dan perbuatan jeleknya, karena kebaikan bisa menghapus kejelekan.

Sebab-sebab ampunan yang disyariatkan itu di antaranya:

1. Tauhid
Inilah sebab teragung. Siapa yang tidak bertauhid, maka kehilangan ampunan dan siapa yang memilikinya maka telah memiliki sebab ampunan yang paling agung. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. [an-Nisâ`/4:48]

Siapa saja yang membawa dosa sepenuh bumi dosa bersama tauhid, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan ampunan sepenuh bumi kepadanya. Namun, hal ini berhubungan erat dengan kehendak Allah Azza wa Jalla. Apabila Dia Azza wa Jalla berkehendak, akan mengampuni. Dan bisa saja, Dia Azza wa Jalla berkehendak untuk menyiksanya. Siapa yang merealisasikan kalimatut tauhîd di hatinya, maka kalimatut tauhîtersebut akan mengusir kecintaan dan pengagungan kepada selain Allah Azza wa Jalla dari hatinya. Ketika itulah dosa dan kesalahan dihapus secara keseluruhan, walaupun sebanyak buih di lautan. ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

Sesungguhnya Allah akan mengambil seorang dari umatku (untuk dihadapkan) di depan semua makhluk pada hari Kiamat. Lalu Allah menghamparkan sembilan puluh sembilan lembaran catatan amal miliknya. Setiap lembaran seperti sepanjang mata memandang. Kemudian Allah berfirman: “Apakah kamu mengingkarinya? Apakah malaikat pencatat amalan menzhalimimu”. Maka ia pun menjawab: “Tidak wahai Rabbku”. Lalu Allah berfirman lagi: “Apakah kamu memiliki udzur?” ia menjawab: “Tidak ada wahai Rabb”. Lalu Allah berfirman: “(Yang benar) ada, sesungguhnya kamu memiliki kebaikan di sisi Kami, tidak ada kezhaliman atasmu pada hari ini”. Lalu keluarlah satu kartu berisi syahadatain. Kemudian Allah berfirman: “Masukanlah dalam timbangan!” Ia pun berkata: “Wahai Rabbku apa gunanya kartu ini dibandingkan lembaran-lembaran itu?” Maka Allah berfirman: “Sungguh kamu tidak akan dizhalimi”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Selanjutnya lembaran-lembaran tersebut diletakkan dalam satu anak timbangan dan kartu tersebut di anak timbangan yang lain. Ternyata lembaran-lembaran terangkat tinggi dan kartu tersebut lebih berat. Maka tidak ada satu pun yang lebih berat dari nama Allah”[2]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Qudsi menyatakan:

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Allah berfirman: Wahai anak keturunan Adam, seandainya kamu membawa sepenuh bumi dosa kemudian kamu menjumpai-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Ku (tidak berbuat syirik) tentu saja aku akan membawakan untukmu sepenuh bumi ampunan. [HR Muslim].

Ini adalah keutamaan dan kemurahan dari Allah Azza wa Jalla dengan adanya pengampunan seluruh dosa yang ada pada lembaran-lembaran tersebut dengan kalimat tauhid. Karena kalimat tauhid adalah kalimat ikhlas yang menyelamatkan pemiliknya dari adzab. Allah Azza wa Jalla menganugerahinya surga dan menghapus dosa-dosa yang seandainya memenuhi bumi; namun hamba tersebut telah mewujudkan tauhid, maka Allah Azza wa Jalla   menggantikannya dengan ampunan.

2. Doa dengan Pengharapan. 
Allah Azza wa Jalla memerintahkan berdoa dan berjanji akan mengabulkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. [Ghâfir/40:60]

Doa adalah ibadah. Doa akan dikabulkan apabila memenuhi kesempurnaan syarat dan bersih dari penghalang-penghalang. Kadangkala, pengabulan itu tertunda, karena tidak terpenuhinya sebagian syarat atau adanya sebagian penghalangnya.

Di antara syarat terkabulnya doa adalah kekhusyukan hati, mengharapkan ijâbah dari Allah Azza wa Jalla , sungguh-sungguh dalam meminta, tidak menyatakan insya Allah (Ya Allah Azza wa Jalla , kabulkanlah permintaanku bila Engkau menghendakinya-red), tidak tergesa-gesa mengharap pengabulan, memilih waktu-waktu dan keadaan yang mulia, mengulang-ulang doa tiga kali dan  memulainya dengan pujian kepada Allah Azza wa Jalla dan salawat, berusaha memilih makanan dan minuman yang halal dan lain-lain.

Di antara permohonan terpenting yang dipanjatkan seorang hamba kepada Rabbnya yaitu permohonan agar dosa-dosanya diampuni atau pengaruh dari pengampunan dosa seperti diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Kepada seseorang yang berujar: “Saya tidak mengetahui doamu dengan perlahan yang juga dilakukan Mu’âdz,” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ

Permohonan kami di seputar itu [3]

Maksudnya doa kami itu berkisar pada permohonan agar dimasukkan surga dan diselamatkan dari neraka. Abu Muslim al-Khaulâni mengatakan: “Tidaklah datang kesempatan berdoa kepadaku, kecuali saya jadikan doa itu permohonan agar dilindungi dari api neraka.”

3. Istigfâr (Memohon Ampunan)
Karena permohonan ampun ini merupakan pelindung dari adzab, penjaga dari setan, penghalang dari dari kegelisahan, kefakiran dan penderitaan, pengaman dari masa paceklik dan dosa; meskipun dosa-dosa seseorang telah menggunung sampai menyentuh langit. Dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda  bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِيْ يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِيْ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Wahai bani Adam, sesungguhnya selama engkau masih berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampunimu semua dosa yang ada padamu dan Aku tidak akan peduli; Wahai bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli; Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan seukuran bumi kemudian engkau datang menjumpai-Ku dalam keadaan tidak berbuat syirik atau menyekutukanKu dengan apapun juga, maka sungguh Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan seukuran bumi juga.(HR. at-Tirmidzi)

Membaca istighfâadalah penutup terbaik bagi berbagai amalan dan umur serta penutup majlis.

4. Berpuasa di siang hari dan shalat malam karena iman, mengharapkan balasan pahala dari Allah Azza wa Jalla , ikhlas serta dalam rangka taat kepada Allah Azza wa Jalla .
Dia berpuasa bukan dengan niat mengikuti orang banyak, juga tidak untuk mendapatkan sanjungan orang, tidak untuk melestarikan adat atau supaya sehat; juga tidak berniat pamer serta tidak untuk mensukseskan urusan duaniawi. Dia juga tidak berniat untuk mendoakan keburukan yang tidak pantas buat seorang Muslim. Dia melaksanakan ibadah puasa terdorong oleh niat beriman kepada Allah Azza wa Jalla, merealisasikan ketaatan kepada-Nya dan mengharapkan pahala dari Allah Azza wa Jalla. Dalam sebuah hadits dinyatakan :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.[al-Bukhâri dan Muslim]

Alangkah luar biasanya (fantastis) seorang yang melaksanakan ibadah puasa dan menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan sebagaimana ketika dilahirkan oleh dia ibundanya, yaitu tidak menanggung dosa dan berhati suci. Dalam hadits yang lain :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka dia diampuni semua dosanya yang telah lewat.[4]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan dan saya menyunnahkan bagi kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa melaksanakan ibadah puasa dan shalat malamnya karena iman dan karena ingin mendapatkan pahala, niscaya dia keluar (diampuni) dari dosa-dosanya sebagaimana dia dilahirkan oleh ibundanya.[5]

Dengan melaksanakan semua ini berarti seorang Muslim telah menjaga waktu siangnya dengan puasa, memelihara waktu malamnya dengan shalat terawih serta berusaha mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla .

5. Melaksanakan shalat malam pada Lailatul Qadar karena iman dan ingin mendapatkan pahala.
Lailatul Qadar adalah suatu malam yang Allah Azza wa Jalla muliakan, melebihi semua malam lainnya, suatu malam saat Allah Azza wa Jalla menurunkan kitab-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur`ân) pada malam kemuliaan [al-Qadr/97:1]

Allah Azza wa Jalla menjadikan Lailatul Qadar ini lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam ini para malaikat turun dan menjadikannya malam keselamatan dari segala keburukan dan dosa. Allah Azza wa Jalla mengkhususkan satu surat dalam al-Qur’ân yang membicarakan tentang malam ini. Orang yang terhalang dari berbagai kebaikan pada malam ini berarti dia terhalang dari semua kebaikan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencari Lailatul Qadar ini pada seluruh hari pada bulan Ramadhan, karena beliau n pernah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, kemudian sepuluh hari kedua dan sepuluh hari terakhir. Orang yang ingin mendapatkan keberuntungan, maka dia akan antusias untuk melaksanakan shalat malam pada malam yang lebih baik dari delapan   puluh tiga tahun dan empat bulan.

Dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka dia diampuni semua dosanya yang telah lewat [6]

Untuk mendapatkan ampunan di malam itu, tidak disyaratkan untuk menyaksikannya secara langsung. Namun syaratnya adalah orang melakukan qiyamul lail sebagaimana tertuang dalam hadits tersebut.

6. Bersedekah
Bersedekah termasuk salah satu qurbah (ibadah yang mendekatkan diri) yang agung di hadapan Allah Azza wa Jalla . Dengannya, seorang hamba memperoleh kebaikan, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla berikut:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan. sesungguhnya Allah mengetahuinya. [Ali Imrân/3:92].

Dalam hadits Mu’âdz, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ

Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai. Bersedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Dan shalat seseorang di kegelapan malam …[at-Tirmidzi no: 2541]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau berjumpa dengan malaikat Jibril. Saat itu beliau lebih berbaik hati daripada angin yang bertiup sepoi-sepoi. Di antara bentuk sedekah terbaik adalah memberi makan orang yang puasa (ifthârus shâim). Disebutkan dalam hadits:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Barang siapa memberi buka puasa bagi orang yang puasa maka ia memperoleh pahala sepertinya, tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun. [HR. at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albâni]

Pahala orang yang bersedekah dilipatgandakan sampai tujuh ratus lipat dan kelipatan yang lebih banyak lagi. Di bulan Ramadhan, penggandaan pahala itu semakin besar. Di antara pemandangan yang sangat menarik, berbondong-bondongnya orang di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dan masjid-masjid lainnya untuk memberi buka puasa bagi kaum Muslimin di bulan Ramadhan.

7. Melakukan Umrah
Ibadah umrah termasuk faktor yang menggugurkan dosa-dosa. Rasulullah bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Ibadah umrah ke ibadah umrah (berikutnya) adalah penggugur dosa antara keduanya. Dan pahala haji mabrur tiada lain adalah surga. [al-Bukhâri no: 1650]

Umrah di bulan Ramadhan pahalanya lebih besar daripada di bulan-bulan lainnya. Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehabis pulang dari haji Wada’ berkata kepada seorang wanita dari Anshar bernama Ummu Sinân : “Apa yang menghalangimu untuk berhaji (denganku).” Ia menjawab: “Abu Fulan (suaminya) memiliki dua onta. Salah satu dipakainya untuk berhaji dan yang lain untuk mengairi persawahan.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِيْ حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِيْ

Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan dapat mengganti haji bersamaku. [HR Bukhâri no 1863; Muslim no 3028]

Betapa besar keberuntungan orang yang umrah di bulan Ramadhan. Ia bagaikan berhaji bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti orang yang menyertai beliau dalam ihram, sai dan thawaf dan seluruh manasik haji beliau.

8. Menyempurnakan Puasa Sebulan Penuh
Ada sekian banyak orang yang akan bebas dari api neraka di bulan Ramadhan, dan itu terjadi di setiap malam. Allah Azza wa Jalla menyempurnakan pahala orang-orang yang sabar tanpa perhitungan khusus. Ada Ulama yang mengatakan:

مَنْ صَامَ الشَّهْرَ وَاسْتَكْمَلَ اْلأَجْرَوَأَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ فَقَدْ فَازَ بِجَائِزَةِ الرَّبِّ

Barang siapa berpuasa sebulan penuh dan meraih pahala sempurna, dan berjumpa dengan malam lailatul qadar, sungguh ia telah menggapai hadiah dari Allah

Semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa kita sekalian dan menutupi kekurangan-kekurangan kita dan memudahkan segala urusan kita.

(Diambil dari kitab Tadzkîrul Anâm Bidurûs ash-Shiyâm, hlm 265-272, karya Syaikh Sa`d bin Sa`îd al-Hajuri,  Dâr Ibnul Jauzi)

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11715-meraih-ampunan-allah-azza-wa-jalla-al-ghafur-di-bulan-ramadhan-yang-mulia.html

Benarkah Malam ke-27 adalah Malam Lailatul Qadar?

Sebagian orang menyangka bahwa malam lailatul qadar adalah pada malam ke-27 berdasarkan beberapa hadits yang menyebut malam lailatul qadar adalah malam ke-27. Semisal hadits dari Sahabat Ubay bin Ka’ab.  Beliau pernah bersumpah dan berkata,

وَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

“Demi Allah aku tahu kapan malam itu, yaitu malam yang kita diperintahkan oleh Rasulullah untuk menghidupkannya, yaitu malam kedua puluh tujuh” [1]

Demikian juga hadits dari Mu’awiyah beliau menukil perkataan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ﻟَﻴْﻠَﺔُ ﺍﻟﻘَﺪْﺭِ ﻟَﻴْﻠَﺔُ ﺳَﺒْﻊٍ ﻭﻋِﺸْﺮﻳﻦَ

“Lailatul qadar pada malam kedua puluh tujuh.” [2]

Beberapa dalil lainnya menunjukkan malam lailatul qadar itu secara umum ada di antara 10 malam terakhir, tidak harus malam ke-27. Semisal hadits berikut,

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التمسوها في العشر الأواخر فإن ضعف أحدكم فلا يغلبن على السبع البواقى

“Carilah di sepuluh malam terakhir, apabila tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh malam tersisa.” [3]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى

“Carilah malam lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Pada malam kedua puluh sembilan, kedua puluh tujuh, kedua puluh lima”. [4]

Kompromi dari dalil-dalil tersebut adalah malam ke-27 merupakan malam yang paling diharapkan jatuhnya malam lailatul qadar dan bisa jadi mayoritasnya ada pada malam ke-27.

Syaikh Muhammah bin Shalih Al-‘Ustaimin menjelaskan,

ﻭﻫﻮ ﺃﻥ ﻟﻴﻠﺔ ﺳﺒﻊ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺃﺭﺟﻰ ﻣﺎ ﺗﻜﻮﻥ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻓﻴﻬﺎ، ﻛﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃُﺑﻲّ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ -ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ

“Malam ke-27 adalah malam yang paling diharapkan sebagai malam lailatul qadar, sebagaimana pada hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu”. [5]

Inilah pendapat pertengahan yang mengkompromikan berbagai dalil, karena malam lailatul qadar itu berpindah-pindah setiap tahunnya.

Al Imam An-Nawawi berkata,

. ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻤُﺤَﻘِّﻘُﻮﻥَ : ﺇِﻧَّﻬَﺎ ﺗَﻨْﺘَﻘِﻞ ﻓَﺘَﻜُﻮﻥ ﻓِﻲ ﺳَﻨَﺔ : ﻟَﻴْﻠَﺔ ﺳَﺒْﻊ ﻭَﻋِﺸْﺮِﻳﻦَ ، ﻭَﻓِﻲ ﺳَﻨَﺔ : ﻟَﻴْﻠَﺔ ﺛَﻠَﺎﺙ ، ﻭَﺳَﻨَﺔ : ﻟَﻴْﻠَﺔ ﺇِﺣْﺪَﻯ ، ﻭَﻟَﻴْﻠَﺔ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺃَﻇْﻬَﺮ . ﻭَﻓِﻴﻪِ ﺟَﻤْﻊ ﺑَﻴْﻦ ﺍﻟْﺄَﺣَﺎﺩِﻳﺚ ﺍﻟْﻤُﺨْﺘَﻠِﻔَﺔ ﻓِﻴﻬَﺎ

“Menurut para ulama peneliti: lailatul qadar itu berpindah-pindah setiap tahunnya. Terkadang pada satu tahun terjadi pada malam ke-27, terkadang pada malam ke-23, atau pada malam ke-21, atau di malam lainnya. Inilah pendapat yang lebih kuat karena mengkompromikan berbagai hadits-hadits yang ada.”[6]

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata,

ﺃﺭﺟﺢ ﺍﻷﻗﻮﺍﻝ ﺃﻧﻬﺎ ﻓﻲ ﻭﺗﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺍﻷﺧﻴﺮﺓ ﻭﺃﻧﻬﺎ ﺗﻨﺘﻘﻞ

“Pendapat terkuat bahwa lailatul qadar pada malam ganjil 10 hari terakhir dan berpindah-pindah. [7]

Demikian semoga bermanfaat.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/40287-benarkah-malam-ke-27-adalah-malam-lailatul-qadar.html

Tiga Ibadah Agung Di Penghujung Ramadhan

Bulan Ramadhan akan segera berlalu, hendaklah kita mengevaluasi diri kita masing-masing tentang apakah yang sudah kita perbuat pada bulan yang Mulia ini. Bulan ini akan menjadi saksi di hari akhirat atas semua perbuatan yang telah kita lakukan padanya. Saksi yang akan memberatkan kita atau saksi yang meringan. Maka hendaklah kita memanfaatkan waktu yang tersisa untuk bergegas bertaubat, memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dan memperbanyak amal shalih. Semoga semua kebaikan yang kita lakukan setelah menyadari berbagai kesalahan dan kekurangan, bisa menutupi kekurangan-kekurangan yang telah kita lakukan pada hari-hari sebelumnya.

Pada awal-awal Ramadhan, siang dan malamnya penuh dengan ibadah. Siang hari diisi dengan puasa, dzikir dan membaca al-Qur’an, sedang malam harinya dipergunakan untuk shalat dan juga baca al-Qur’an. Saat itu, kondisi kebanyakan kaum Muslimin dalam aspek ibadah, sesuai dengan yang diharapkan. Mereka bersemangat dan sangat antusias memanfaatkan detik demi detik dalam rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Namun kini, hari-hari yang penuh dengan keberkahan itu akan segera berlalu meninggalkan kita, padahal masih banyak yang belum termanfaatkan dengan maksimal. Kita berharap dan berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kemampuan kepada kita semua untuk memaksimalkan waktu yang tersisa dalam meraih ridha Allâh Azza wa Jalla.

Semoga kita bisa mengakhiri Ramadhan ini dengan meraih ampunan dari Allâh Azza wa Jalla atas semua dosa yang telah kita perbuat, baik dosa yang kita sadari maupun dosa yang tidak kita sadari.

Kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar berkenan menerima semua amal ibadah kita, terbebas dari api neraka, beruntung dengan bisa meraih surga dan semoga Allâh Azza wa Jalla mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan tahun berikutnya dalam keadaan yang lebih baik.

Mengakhiri bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan kepada kita beberapa ibadah agung yang bisa menambah keimanan kita kepada Allâh Azza wa Jalla dan bisa menyempurnakan ibadah kita serta bisa semakin melengkapi nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada kita. Ibadah-ibadah terebut adalah zakat Fithri, takbîr pada malam Îd dan shalat Îd.

Zakat Fithri diwajibkan atas setiap kaum Muslimin. Zakat Fithri ditunaikan dengan mengeluarkan satu Sha’ (kurang lebih 3 kg) bahan makanan pokok, sebagai pembersih bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa dan sebagai bahan makanan bagi orang-orang miskin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat Fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.[1]

Karena zakat Fithri ini merupakan kewajiban kita semua, maka hendaklah kita melaksanakannya dengan benar dalam rangka mentaati perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.

Hendaklah kita mengeluarkan zakat untuk diri kita dan orang-orang yang berada dalam tanggungan kita.

Hendaklah kita memilih bahan makanan pokok yang terbaik yang kita mampu dan yang paling bermanfaat, karena zakat ini hanya satu sha’ dalam setahun. Dan dikarenakan juga tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahu dan bisa menjamin bahwa dia akan bisa melaksanakan zakat ini lagi pada tahun yang akan datang.

Apakah kita mau dan rela berbuat bakhil untuk diri kita sendiri yaitu dengan mengeluarkan zakat dari bahan makan pokok yang jelek atau yang lebih jelek dari yang kita makan atau yang paling jelek? Jawabannya, tentu tidak.

Marilah kita berantusias untuk menunaikan ibadah zakat ini dengan benar sebagaimana yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu anhum. Janganlah kita menunaikannya dengan membayarkan atau mengeluarkan uang sebagai ganti dari bahan makanan pokok, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal saat itu alat tukar yang sejenis dengan uang sudah ada, namun mereka tidak membayar zakat Fithri mereka dengan dinar dan dirham yang mereka miliki. Ini menunjukkan hal itu tidak disyari’atkan.

Barangsiapa menunaikan zakat ini dengan menggunakan uang sebagai ganti dari bahan makanan pokok, maka ibadah zakatnya dikhawatirkan tidak diterima oleh Allâh Azza wa Jalla, karena menyelisihi apa yang diwajibkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Hendaklah kita menunaikan zakat Fithri dan memberikannya kepada orang-orang miskin sekitar kita, terutama kepada orang-orang miskin yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan kita sementara dia tidak termasuk orang-orang yang wajib kita nafkahi.

Tidak apa-apa, jika satu orang miskin diberi dua zakat Fithri atau lebih atau sebaliknya satu zakat Fithri dibagikan kepada dua orang miskin. Berdasarkan ini, jika ada satu keluarga yang mengumpulkan zakat Fithri mereka lalu diberikan kepada satu orang miskin, maka itu tidak apa-apa. Jika zakat yang kita berikan itu dipergunakan lagi oleh si penerima zakat untuk membayar zakat dirinya dan keluarganya, maka itu juga tidak apa-apa.

Tunaikanlah zakat Fithri pada hari raya sebelum shalat karena itu yang terbaik. Namun diperbolehkan juga mengeluarkan zakat Fithri sehari atau dua hari sebelum hari raya. Juga tidak boleh menunda zakat Fithri sampai setelah shalat hari raya kecuali karena ada udzur syar’i, misalnya berita tentang hari raya datang mendadak dan tidak memungkinkan dia untuk mengeluarkannya sebelum shalat, karena waktunya yang sangat singkat.

Apabila kita telah berniat hendak mengeluarkan dan menyerahkan zakat Fithri kita untuk seseorang lalu orang tersebut tidak kunjung kita temukan sementara shalat sudah akan dilaksanakan, maka hendaknya kita memberikannya kepada orang lain. Jangan sampai kita kehilangan waktu tersebut! Jika kita sudah berniat hendak menyerahkannya kepada orang tertentu yang kita pandang paling berhak namun tak kunjung kita temukan orangnya, maka kita bisa meminta kepada orang lain untuk mewakili orang tersebut dan menyerahkan zakat tersebut kepada orang yang kita maksudkan jika sudah bertemu.

Ibadah kedua yaitu ibadah Takbîr. Allâh Azza wa Jalla telah jelaskan dalam firman-Nya:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allâh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[Al-Baqarah/2:185]

Maka hendaklah kita bertakbir dengan mengucapkan :

اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ , لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Takbir ini diucapkan dengan suara keras oleh kaum laki-laki namun bagi kaum wanita maka takbîr ini dilakukan dengan suara perlahan.

Ibadah ketiga yaitu Shalat Îd. Dalam rangka pelaksanaan ibadah ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada para lelaki dan wanita hingga para wanita perawan dan pingitan serta orang yang tidak memiliki kebiasaan keluar rumah untuk keluar melaksanakannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka semua termasuk wanita yang sedang haidh diperintahkan untuk keluar agar dapat menyaksikan kebaikan dan doanya kaum Muslimin. Para wanita yang sedang haidh ini tentu harus menjauh dari tempat shalat sehingga tidak duduk di tempat shalat ‘Îd.

Wahai kaum Muslimin! Hendaklah kita keluar semua laki dan perempuan untuk shalat hari raya dalam rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan melaksankan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berharap kebaikan dan doanya kaum Muslimin. Berapa banyak kebaikan yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan betapa banyak doa-doa yang diijabahi (dikabulkan) oleh Allâh Azza wa Jalla kala itu.

Hendaknya para lelaki keluar dalam keadaan bersih dan memakai minyak wangi serta mengenakan pakaian terbaik mereka! Namun bagi kaum wanita, hendaknya keluar tanpa berhias dan menggunakan wewangian.

Disunnahkan, saat berangkat shalat Îd dengan berjalan kaki kecuali ada udzur seperti tidak mampu berjalan dan tempatnya jauh.

Termasuk amalan sunnah pada hari itu juga adalah makan sebelum berangkat shalat beberapa biji kurma dalam jumlah ganjil ; tiga, lima atau lebih. Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata:

أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari Îdul Fithri hingga makan beberapa kurma dan memakannya dengan bilangan ganjil. [HR al-Bukhâri]

Inilah tiga ibadah yang disyari’atkan dipenghujung bulan Ramadhan. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah taufiq-Nya kepada kita semua sehingga bisa melaksanakannya ketiga ibadah ini dengan baik dan benar.

 

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsamin

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11741-tiga-ibadah-agung-di-penghujung-ramadhan-2.html

Kapan Do’a Dzun Nun (Lailaha Illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Minadz Dzalimin) Dipanjatkan?

Pertanyaan

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Ustadz mohon penjelasannya tentang doa yang diucapkan Nabi Yunus ‘alaihissalam dan kapan waktu yang tepat untuk memanjatkan doa ini?

“Laa illaha Illa anta subhanaka inni kuntu minadholiimiin ”

Syukron, Ustadz.
Jazakallahu khairan.

(Penanya: Admin, BiAS T06)

Jawaban

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Allah ta’ala berfirman :

وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap (di dalam perut ikan) :

(Lailaha illa Anta Subhanaka Inni kuntu minadz dzalimin)

”Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”.
(Al-Anbiya’ : 87).

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

دَعْوَةُ ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ: (لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنْ الظَّالِمِينَ) فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ

“Doa Dzun Nun (Yunus) ketika ia memohon dari dalam perut ikan ; (Lailaha illa Anta Subhanaka inni kuntu minadz dzalimin)

Sesungguhnya tidaklah seorang lelaki muslim berdoa dengannya memohon sesuatu melainkan pasti Allah akan mengabulkan permohonannya.”
(HR Tirmidzi : 3505 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi : 2785).

 

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkomentar ketika menjelaskan makna dari doa ini :

أمّا دعوة ذي النون فإن فيها من كمال التوحيد والتنزيه للربّ عز وجل ، واعتراف العبد بظلمه وذنبه ما هو من أبلغ أدوية الكرب والهمّ والغمّ، وأبلغ الوسائل إلى اللَّه سبحانه? وتعالى في قضاء الحوائج

“Adapun doa Dzun Nun di dalamnya terdapat kesempurnaan tauhid, pensucian terhadap Allah Yang Maha Mulia Lagi Maha Agung. Serta terdapat di dalamnya pengakuan hamba terhadap kezaliman dan dosa yang telah ia lakukan, yang itu akan menjadi kunci utama hilangnya kesulitan, kesedihan serta kegundahan. Dan ia menjadi perantara yang paling baik yang menghubungkan hamba kepada Allah ta’ala supaya Dia memenuhi segala permohonannya.”
(Zadul Ma’ad : 4/208).

Doa di atas adalah Doa Nabi Yunus ‘alaihissalam ketika beliau ditelan ikan, kemudian beliau merasa sedih, lalu mengucapkan doa ini maka hilanglah kesedihannya dan hilang pula kesulitan yang menimpa beliau.

Hanya saja ketika kita membacanya harus memahami maknanya, kita mengakui kemahasucian Allah ta’ala Zat Yang Maha Tinggi Lagu Maha Mulia, kemudian kita mengakui, membayangkan dosa-dosa serta kezaliman yang telah kita perbuat, kita merasa hina dina di hadapan Allah ta’ala.

Ini yang selayaknya kita hadirkan dalam hati dan jiwa kita ketika melantunkan doa ini.

Wallahu a’lam

Referensi: https://bimbinganislam.com/kapan-do-a-dzun-nun-lailaha-illa-anta-subhanaka-inni-kuntu-minadz-dzalimin-dipanjatkan/

Allah Tak Wajibkan Puasa atas Ibu Hamil Menyusui

ADA keringanan bagi wanita yang sedang menyusui anak untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Dan ini merupakan bagian dari sifat syariah Islam yang pada dasarnya sangat manusiawi, mudah dan bersifat meringankan. Keringanan ini juga berlaku buat wanita yang sedang hamil, baik karena mengkhawatirkan bayinya atau mengkhawatirkan dirinya sendiri.

Para ulama memasukkan kedua jenis keadaan ini ke dalam kelompok orang-orang yang dibolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana orang yang sedang sakit atau sedang dalam perjalanan. Dengan dasar dalil umum yaitu firman Allah Ta’ala dalam Al-Quran: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Namun para ulama sebagian dengan yang lainnya berbeda pendapat tentang bagaimana bentuk ‘pembayarannya’. Sebagian mengatakan dengan berpuasa qadha’ di hari lain, namun sebagian lainnya mengatakan dengan membayar fidyah. Yang melatar-belakangi perbedaan itu adalah cara pengelompokannya. Sebagian mengatakan bahwa wanita yang sedang menyusui dan sedang hamil itu lebih dekat dikategorikan sebagai orang sakit. Sehingga cara pembayarannya adalah dengan berpuasa qadha’ di hari lain. Sebagaimana ayat di atas.

Namun sebagian lagi memandang bahwa keduanya lebih tepat untuk dimasukkan ke dalam kelompok orang yang tidak mampu puasa, bukan kelompok orang yang sakit. Sehingga pembayarannya dengan memberi makan orang miskin (fidyah). Dan sebagian ulama lainnya mengembalikan kepada motivasi dari wanita itu, apakah dia mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan bayinya. Kalau dia mengkhawatirkan dirinya lalu tidak puasa, maka dia termasuk orang sakit, yang membayar dengan puasa qadha’. Sedangkan bila mengkhawatirkan bayinya, maka dia termasuk orang yang tidak mampu, yang membayar dengan fidyah saja.

Bahkan ada pendapat yang hati-hati dengan mewajibkan puasa qadha’ sekaligus dengan bayar fidyah. Dan ada juga yang membedakan antara keduanya dalam masalah pembayaran. Kalau kita ringkas secara umum pandangan mazhab-mazhab ulama, kita dapati bahwa:
– Mazhab Al-Hafiyah termasuk yang menetapkan cara pembayaran dengan qadha’ buat mereka.
– Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mewajibkan qadha’ sekaligus fidyah, bila mengkhawatirkan bayinya.
– Al-Malikiyah mengharuskan puasa qadha’ dan bayar fidyah hanya pada wanita yang menyusui saja, tidak berlaku pada wanita hamil.

Kesimpulannya, masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang sangat mungkin terjadi beda pendapat. Khususnya dalam teknis pembayarannya. Sebab ayat Al-Quran di ayat masih terlalu umum dan justru tidak menyinggung masalah wanita hamil dan menyusui. Para ulama hanya mengqiyaskannya saja dengan ayat tersebut, maka terjadilah silang pendapat dalam pengkategoriannya. Sedangkan masalah kebolehan untuk tidak berpuasa, semua ulama sepakat atas itu. Dikuatkan lagi dengan hadits berikut ini:

Dari Anas bin Malik Al-Ka’bi ra berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mewajibkan puasa atas musafir dan mengurangi jumlah bilangan rakaat shalat. Dan Allah tidak mewajibkan puasa atas wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad dan Ashabussunan)

Dr. Wahbah Az-Zuhaili penulis Al-Fiqhul Islami menuliskan bahwa kebolehan wanita yang menyusui untuk tidak berpuasa tidak terbatas pada anak sendiri. Bahkan karena menyusui anak orang lain pun tetap terhitung sebagai kebolehan untuk tidak berpuasa. Seperti para wanita murdhi’ah yang bekerja untuk mendapatkan uang atas jasa menyusui bayi orang lain. Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc.]

INILAH MOZAIK