Bulan Politik, Bangun Kebersamaan dan Perdamaian

SUASANA semakin panas bukan karena matahari yang terlalu terik menyapa bumi. Rintik hujan masih mampu menyeimbangi panas matahari itu. Suasana semakin sumuk bukan karena tak ada AC atau pendingin ruangan lainnya.

Jendela dan pintu yang terbuka leluasa memberikan izin angin semilir menyapa ruangan-ruangan kita. Jangan-jangan yang menyebabkan suasana panas dan sumuk itu adalah tiadanya rintik air mata kasih sayang dan tiadanya jendela hati serta pintu rasa yang terbuka. Mari kita periksa.

Menjelang Pilpres tanggal 17 April ini, hampir semua warung kopi menjadi ruang debat masyarakat umum, hampir semua instrumen media sosial dipenuhi oleh aksi saling serang, saling caci, saling hina karena perbedaan pilihan. Jarang sekali yang saling apresiasi, saling menghormati dan menghargai. Ada apa ini sesungguhnya?

Semuanya seakan merasa dirinya adalah yang paling tahu dan yang paling benar. Mengapa mereka tidak memunculkan jawaban atas satu pertanyaan saja: “Apakah saya sudah menyampaikan pendapat saya dengan cara yang baik agar menjadi manusia terbaik di hadapan Allah?” Kalaulah satu pertanyaan itu terlalu berat, mengapa tidak selalu tanyakan kepada dirinya sendiri sebelum melakukan aksi: “Inilah yang diajarkan pancasila agar saya menjadi pancasilais?”

Dunia kampuspun ikut-ikut heboh, saling serang dan saling depresiasi, walau kadang dibungkus dengan beberapa teori dan referensi. Samar-samar mengemuka kembali pengelompokan-pengelompokan; muncul kembali garis tebal ‘ideologi’ pemisah persatuan yang sesungguhnya sempat menguat.

Positifkah efek kondisi seperti ini? Apa yang seharusnya kita lakukan? Kajian akademik murni dengan semangat obyektifitas yang baiklah yang akan mencerahkan. Sementara kajian yang bermotif biasanya hanya akan mengeruhkan suasana.

Teringatlah saya pada sebuah buku yang saya pernah resensi, buku karya Jonathan Haidt yang berjudul The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (Mengapa orang-orang baik itu dipisah-pisahkan oleh politik dan agama). Buku ini layak dibaca untuk direnungkan. Ada banyak orang baik dan benar selain kita. Sangat bisa jadi bahwa kita dan mereka adalah sama dalam banyak hal selain masalah pilihan presiden. Pahami pandangan dan pilihan mereka, hargailah mereka dan hormati mereka, maka persatuan akan tetap terjaga, kedamaian terus terpelihara.

Pagi ini, atas dasar kesedihan saya akan kondisi bangsa yang kini dipenuhi caci-maki, saya tuliskan status pendek: “Manusia itu dilahirkan berbeda-beda satu dengan yang lainnya dalam segala hal. Mulai dari warna kulit sampai warna mata, mulai dari keinginan akal sampai keinginan hati. Berusaha keras untuk menjadikan semua sama adalah melanggar fitrah. Cukuplah saling menghormati dan menghargai, jangan saling mencaci dan merendahkan.” Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Bagaimana Jika Dimusuhi dan Disakiti?

SIAPA yang tak sedih jika dimusuhi dan tak sakit jika disakiti? Setiap orang berkehendak memiliki banyak sahabat dan saudara yang baik, namun faktanya adalah bahwa tak semuanya berniat dan berperilaku baik.

Sejarah mencatatkan kisah permusuhan antarsahabat dan keluarga sehingga ada sebutan musuh dalam selimut. Tidak semua yang kita kenal baik-baik dan menampakkan tampilan baik itu adalah betul-betul baik, sehingga muncul istilah musang berbulu domba. Bagaimanakah sikap kita jika kita adalah korban?

Mungkin ada banyak kemungkinan pilihan sikap. Yang paling lazim adalah sikap menangis dalam diam. Banyak orang yang mempersepsi sikap seperti ini sebagai sikap lemah. Sikap lainnya adalah melawan dan membalas sikap musuh dan perilaku menyakitkan dari lawan. Banyak orang mempersepsi sikap ini sebagai sikap jantan. Benarkah? Kata para guru, tak semua diam itu lemah, kadang diam itu adalah perlawanan terkuat yang memiliki daya dahyat di luar duga.

Namun adakah sikap yang lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih Islami dibandingkan dua pilihan tersebut di atas? Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, Bada’i’ al-Fawa’id juz 2 halaman 232 berkata: “Saat seorang hamba diserang, disakiti atau ditindas musuh-musuhnya, tak ada sikap yang lebih bermanfaat dalam menghadapinya dibandingkan dengan TAUBAT NASUHA.”

Bertaubat adalah langkah terbaik. Apa maknanya? Ada banyak makna di balik nasehat ini. Di antaranya adalah bahwa bisa jadi perlakuan tak nyaman dari orang lain kepada kita adalah buah dari dosa dan kesalahan yang kita lakukan sebelumnya. Allah menegur kita dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mengirimkan surat teguran melalui orang yang memusuhi kita. Bisa pula bermakna bahwa taubat merupakan langkah bagus untuk mengundang cinta dan kasih sayang Allah. Bisa juga bermakna bahwa orang yang bersih dari dosa akan selalu diselamatkan oleh Allah dari berbagai ketaknyamanan.

Mulai saat ini, mari kita belajar untuk melawan perilaku tak nyaman dari orang lain kepada kita dengan bertaubat, bukan dengan berteriak dan menuding-nuding, apalagi mengeluarkan jurus kelahi yang dibungkus dengan nafsu amarah. Salam AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Bulan Syaban Jadi Warming Up Jelang Ramadhan

Syaban sebagai bulan pemantapan iman, persiapan mental-spiritual sebelum Ramadhan.

Bulan Syaban bisa menjadi ajang warming up atau pemanasan menyambut bulan suci Ramadhan. Sebab, Syaban menjadi bulan yang dianjurkan agar memperbanyak puasa sunnah.

“Dia jadi warming up untuk masuk Ramadhan. Makanya nabi menganjurkan memperbanyak puasa di bulan Syaban,” kata Pemimpin Umum Wahdan Islamiyah Ustaz Zaitun Rasmin kepada Republika.co.id, Selasa (9/4).

Dalam sejumlah dalil, dia menuturkan Rasulullah SAW paling banyak manjalankan ibadah puasa sunnah saat bulan Syaban. Dia mengatakan, tidak ada amalan khusus yang harus dilakukan saat bulan Syaban selain berpuasa, sesuai anjuran Rasulullah SAW.

“Tak ada contoh khusus, selain puasa sunnah itu, ditingkatkan kualitasnya jelang Ramadhan,” ujar Ustaz Zaitun.

Dosen pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Muhbib Abdul Wahab pernah menuliskan Allah SWT ‘memonitor’ semua makhluknya pada malam pertenganan (nishfu) Syaban untuk mengampuni hambanya yang beristigfar, kecuali orang musyrik dan orang saling bermusuhan. Sebagai persiapan memasuki bulan Ramadhan, umat Islam bisa bermuhasabah dengan qiyamulail, bertobat, beristigfar, bermunajad saat bulan Syaban.

Sejarah mencatat, Allah menetapkan perubahan arah kiblat umat Islam dari Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis, Palestina ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Saudi. Perubahan arah kiblat tersebut membawa hikmah besar bagi Rasulullah SAW maupun umat Islam, yakni peneguhan akidah taujid dan signifikasi persatuan umat.

Karena itu, pemaknaan Syaban sebagai bulan pemantapan iman, persiapan mental-spiritual sebelum Ramadhan, dan persatuan umat Islam menjadi revelan dengan arti dan konteks historis bulan tersebut. Nama Syaban karena saat itu orang Arab banyak berpencar mencari mata air, sehingga tercerai berai. Mencari air di tengah padang pasir mengandung makna berjuang mati-matian mempertahankan hidup dan meraih masa depan yang lebih baik.

Manurut dia, bulan Syaban harus diisi dengan memperbanyak amalan sunnah yang dapat menyegarkan spiritualitas dan moralitas. Dengan demikian, umat Islam benar-benar siap berpuasa lahir batin saat Ramadhan.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Antara Ibadah dan Tawakal

Pada akhir Surat Hud kita akan temukan sebuah ayat singkat yang mencakup akidah, syariat dan kabar dari Allah swt.

وَلِلَّهِ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُۥ فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ

“Dan milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS.Hud:123)

Ayat ini ingin memberi kita beberapa pelajaran berharga, yaitu :

1. Segala urusan hanya kembali kepada Allah swt.

Ketika Allah menjelaskan “Segala urusan akan kembali kepada-Nya“, artinya Allah sedang memperingatkan bahwa sekecil apapun perbuatanmu akan mendapat balasan. Maka setiap perbuatan kita hendaknya memiliki tujuan agar bisa menyelamatkan kita kelak di hari pembalasan.

2. Seluruh fasilitas dan kenikmatan yang diberikan kepada kita adalah milik-Nya.

Kapan saja Allah bisa memberikan kenikmatan dan kemampuan untuk menikmatinya. Dan kapanpun Allah mampu untuk mencabut seluruh kenikmatan itu. Karena segala urusan hanya kembali kepada-Nya.

3. Fokuskan ibadahmu hanya kepada Allah dan buang perhatianmu kepada selain-Nya.

Tapi yang menarik ayat ini menggandengkan antara ibadah dan tawakal. “Sembahlah Dia dan bertawakal lah kepada-Nya.”

Ketahuilah bahwa seorang hamba belum mencapai ibadah yang sebenarnya sebelum memiliki rasa tawakal kepada Allah.

Dan seseorang yang memiliki tawakal yang kuat maka ia telah mencapai tingkat ibadah yang tinggi dihadapan-Nya.

Karena hanya orang yang pasrah dan tawakal yang akan meraih semua kemuliaan serta kecukupan dari-Nya.

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.Ath-Thalaq:3)

4. Dan Allah mengakhiri ayat ini dengan “Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Tidak ada satu pun yang terlewat dari pandangan Allah swt.

Semua yang kita lakukan tidak akan pernah lepas dari pantauan-Nya. Jangan pernah kita bersandiwara dalam perbuatan ataupun kata-kata. Karena semua itu tidak akan pernah lepas dari pandangan Allah swt.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Risalah tentang Shalat Khusyuk

Shalat adalah ikhtiar seorang hamba untuk menundukkan seluruh raganya.

Shalat tak sekadar ritual dan rutinitas yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam. Lebih dari itu, shalat adalah ikhtiar seorang hamba untuk menundukkan seluruh raganya. Penundukan itu berfokus pada penaklukan hati yang dapat mengarah pada ketenangan jiwa.

Jiwa yang tenang inilah yang sejatinya akan meredam nafsu. Konon, nafsu amarah itu jika tidak diredam dapat menguasai dan merajai anggota tubuh. Ketenangan jiwa tatkala menjalankan shalat lebih dikenal dengan istilah khusyuk. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabuut [29]: 45).

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali (795 H) dalam sebuah kitabnya yang berjudul Al-Khusyu’ fi as-Shalat, membedah dan menguak rahasia dan makna di balik kekhusyukan shalat. Secara khusus, Ibnu Rajab menguraikan tema demi tema dalam kitabnya itu untuk menjelaskan tentang perkara yang berkaitan dengan shalat dan khusyuk.

Khusyuk diartikan Ibnu Rajab sebagai bentuk kelembutan hati yang tecermin dalam setiap tindakan. Menurut dia, pada hati ada poros utama bagi keseluruhan jasad seseorang. Tatkala hati bersih, luruslah segala tindakan. Begitu juga sebaliknya, hati yang dikotori dengan tindakan nista dan dosa, akan menjadi buruk dan dapat menjerumuskannya kepada perbuatan hina.

Ketika hati rusak, rusaklah anggota jasad lainnya. Makna khusyuk inilah yang digunakan oleh Rasulullah dalam ucapannya saat melakukan ruku. Rasulullah membaca doa ketika ruku yang artinya, Pendengaran, penglihatan, otak, dan tulang belulangku tunduk kepada-Mu”.

Ketika itu, Sa’id bin al-Musayyib melihat seseorang menggerak-gerakkan tangannya sewaktu shalat. Gerakan tangannya itu tanpa dimaksudkan untuk perkara yang penting dan mendesak. Said pun lantas mengatakan, seandainya hati orang tersebut khusyuk, seluruh anggota tubuhnya akan khusyuk.

Ali bin Abi Thalib mengemukakan pandangannya tentang khusyuk. Pendapatnya itu disampaikan saat mengomentari surah al-Mukminun ayat 2. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya.” Menurutnya, yang dimaksud dengan khusyuk adalah ketenangan yang berada dalam hati.

Khusyuk akan menghindarkan seseorang dari perbuatan mengganggu orang yang shalat di sampingnya. Khusyuk juga bisa terlihat karena yang bersangkutan tak akan mengalihkan pandangannya dan tak akan menoleh ke arah manapun, selain ke tempat sujudnya.

Sedangkan, menurut Ibnu Abbas, khusyuk yang dimaksud ayat tersebut diartikan sebagai sikap takut dan rasa ketenangan yang diperoleh seseorang ketika shalat. Namun, ketenangan dalam bersikap belum tentu cerminan dari kekhusyukan hati. Bahkan, justru ketenangan itu bisa menggambarkan fakta sebaliknya, yaitu kekosongan hati.

Keadaan inilah yang diwanti-wanti oleh para salaf. Mereka menyebut khusyuk kategori ini sebagai khusyuk nifaq, yaitu kekhusyukan palsu. Sebagian dari kalangan salaf meminta agar sikap tersebut dihindari.

Orang yang menampakkan kekhusyukan dalam shalat padahal sama sekali tidak ada ketentangan di hatinya, khusyuk yang ditunjukkan itu tiada bermakna dan tak berguna. Umar bin Khattab pernah menegur seorang remaja yang tengah melaksanakan shalat.

Tingkat ketajaman batin Umar dapat merasakan kepalsuan khusyuk yang dipertontonkan remaja tersebut. Ia lantas meminta agar si remaja mengangkat kepalanya dan mengatakan bahwa khusyuk itu hanya terdapat di hati.

Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah Bag. 3

Kaidah ketiga: Pokok istiqomah adalah istiqomahnya hati
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يستقيم إيمان عبد حتى يستقيم قلبه

Tidak akan istiqomah (tegak) iman seorang hamba hingga hatinya istiqomah.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad No. 13048, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)
Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

فأصل الإستقامة استقامة القلب على التوحيد

Pokok istiqomah adalah istiqomahnya hati di atas tauhid.”
Beliau melanjutkan, “Tatkala hati telah istiqomah dengan mengenal Allah, takut kepada-Nya, memuliakan-Nya, mengagungkan-Nya, mencinta-Nya, menghendaki-Nya, berharap kepada-Nya, berdo’a kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya. Maka anggota badan juga akan istiqomah dalam ketaatan. Karena hati adalah raja bagi tubuh dan anggota badan yang lain adalah tentaranya. Jika sang raja istiqomah (yaitu hati yang lurus) maka seluruh tubuh sebagai tentaranya juga akan istiqomah.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 386)
Pernyataan ini berdasarkan dalil dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,

إن في الجسد مضغة، إذا صلحت، صلح الجسد كله، وإذا فسدت، فسد الجسد كله، ألا وهي القلب

Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh jasad dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)
Istiqomahnya hati dalam ketaatan dan ketundukan kepada Allah menjadi sebab istiqomahnya seorang hamba ketika melakukan amalan yang nampak baik amalan sunnah maupun yang wajib. Tentu karena hati yang bersih akan menghasilkan amalan dzahir yang bersih pula. Namun, tidak berlaku sebaliknya, ketika seorang hamba menampakkan ketaatan, bisa saja hatinya memalingkan ketaatan tersebut kepada selain Allah, karena amalan lahiriahnya bukan atas motivasi ketundukan kepada Allah, melaikan karena riya atau ujub yang ada di dalam hatinya. Wal’iyadzubillaah.
Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Oleh karena itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a

أللَّهُمَّ إِنِّي أَسأَلُكَ قَلْبًا سَلِيْمًا

Ya Allah! Aku memohon kepadamu hati yang selamat.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’I, dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Dari kaidah ini kita bisa menyimpulkan bahwa diantara sebab istiqomahnya seorang hamba adalah ia senantiasa waspada dengan penyakit hati yang akan mungkin mengotorinya. Ia juga bersemangat untuk memperbaiki amalan hatinya sehingga ia mengapai derajat istiqomah.
Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat. Simak terus pembahasan tentang kaidah-kaidah untuk memahami hakikat istiqomah di artikel muslimah.or.id selanjutnya, in syaa Allah.

Penulis : Titi Komalasari
Murojaah : Ustadz Ratno, Lc

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Isiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.
Referensi lain:
Terjemahan Al-Quran Al-Kariim
.
Artikel Muslimah.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11067-kaidah-kaidah-memahami-hakikat-istiqomah-bag-3.html

Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah Bag. 2

Istiqomah adalah jalan yang harus selalu diusahakan, karena istiqomah yang berbuah kebaikan di akhirat adalah istiqomah sampai husnul khatimah. Oleh karena itu, nasehat untuk istiqomah hendaknya menjadi santapan harian agar jiwa selalu waspada dan berbenah.
Setelah membahas kaidah pertama tentang istiqomah sebagaimana dijelaskan Syaikh Abdul Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam kitabnya Asyru Qawaid fil Istiqomah, kami mencoba memaparkan kepada pembaca kaidah lain yang tidak kalah pentingnya dengan kaidah pertama
Kaidah kedua: Hakikat istiqomah adalah berada di atas manhaj dan jalan yang lurus
Syaikh hafidzahullaah menjelaskan, bahwa hakikat istiqomah yaitu istiqomah di atas manhaj yang benar dan jalan yang lurus. Generasi terbaik islam dari kalangan sahabat maupun tabi’in telah menjelaskan makna dan hakikat istiqomah ini melalui banyak riwayat.
Allah Ta’ala berfirman

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah)…” (QS. Fusshilat: 30)
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallaahu’anhu mengatakan (ketika menafsirkan ayat di atas),

هم الذين لم يشركوا به شيئا

Mereka (yaitu orang-orang yang disebutkan dalam ayat) adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan apapun.” (Tafsir ath-Thabari, 21/464)
Ibnu ‘Abbas radhiallaahu’anhu menjelaskan makna ayat ini dengan mengatakan,

على شهادة أن لا إله إلا الله

“(Yaitu istiqomah) di atas syahadat laailaaha illallaah.”
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh ahli tafsir lainnya seperti Anas, Mujahid, Aswad bin Hilal, Zaid bin Aslam, As-Suddiy, Ikrimah dan yang lainnya. (Tafsir Ath-Thabari, 21/464-465)
Qatadah juga menafsirkan kalimat ثُمَّ اسْتَقَامُوا ,

استفاموا على طاعة الله

(Yaitu) Istiqomah di atas ketaatan kepada Allah.” (Al-Mushannaf ‘Abdur Razzaq No. 2618)
Ibnu Rajab juga memberikan pernyataan serupa ketika mendefinisikan istiqomah dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam, beliau mengatakan,

والإستقامة: هي سلوك الصراط المستقيم، وهو الدين القيم من غير تعريج عنه يمنة ولا يسرة، ويشمل ذلك فعل الطاعات كلها، الظاهر والباطنة وترك المنهيات كلها كذالك، وصارت هذه الوصية جامعة لخصال الدين كلها

Istiqomah itu dengan menempuh jalan yang lurus, yaitu jalan islam yang mulia tanpa mencong ke kanan atau kekiri. Dan realisasinya mencakup semua jenis ketaatan yang dzohir (nampak) maupun batin (berupa amalan hati), juga meninggalkan larangan-larangan seluruhnya. Maka, istiqomah sejatinya adalah nasehat untuk menjalankan seluruh perintah agama.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 383-384)
Semua penjelasan sahabat maupun para tabi’in di atas saling melengkapi dan memiliki makna yang sama, yaitu hakikat istiqomah adalah istiqomah di atas kebenaran dengan menjalankan perintah agama secara menyeluruh termasuk meninggalkan larangan-larangan di dalamnya.
Demikianlah hakikat istiqomah. Tidak ada keistiqomahan dengan menyimpang dari agama, karena istiqomah yang kita minta kepada Allah adalah istiqomah dalam kebenaran dan ketaatan. Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat.
Kaidah penting lainnya untuk memahami hakikat istiqomah akan dibahas di artikel selanjutnya, in syaa Allah.

Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Isiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.
Referensi lain:
Terjemahan Al-Quran Al-Kariim

Artikel Muslimah.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11062-kaidah-kaidah-memahami-hakikat-istiqomah-bag-2.html

Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah Bag. 1

Berduyun-duyun manusia menuju hijrah mereka di jalan Allah, ada yang hijrah dari kekafiran menuju cahaya islam, adapula yang hijrah dari kefasikan menuju ketaatan di atas jalan al-quran dan sunnah. Siapapun yang jujur dalam hijrahnya, pasti merasakan kebahagiaan, karena demikianlah, kebahagiaan itu hanya bisa diraih di atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya al-Musthafa.

Tugas selanjutnya bagi seorang hamba yang telah hijrah menuju iman kepada Allah adalah istiqomah.

Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah radhiallaahu ‘anhu berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Katakan kepadaku sebuah perkataan tentang Islam yang tidak akan aku tanyakan kepada seorangpun selain engkau.’ Beliau menjawab,

قل آمنت بالله ثم استقم!

Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah!’ (HR. Muslim).

Namun, kehidupan di dunia tidak pernah lepas dari cobaan, termasuk cobaan dalam keimanan setelah hijrah. Oleh karena itu, hendaknya kita berusaha bertahan dengan istiqomah dalam ketaatan atas dasar al-quran dan sunnah.

Muncul banyak pertanyaan, bagaimana agar kita istiqomah dalam mengaruhi jalan hijrah? Bagaimana agar kita tetap istiqomah dalam ketaatan? Berikut kami sarikan pembahasan tentang pokok-pokok istiqomah dari kitab ‘Asyra Qawaaid Fil Istiqomah. Tulisan ini tidak secara langsung membahas sebab-sebab istiqomah, namun menuntun pembaca untuk memahami kaidah-kaidah penting dalam istiqomah sehingga bisa menempuh sebab-sebabnya, biidznillah.

Kaidah pertama: Istiqomah merupakan karunia dan pemberian Allah

Allah Ta’ala firmankan dalam banyak ayat-Nya maupun risalah Nabi-Nya tentang salah satu kaidah yang penting untuk memahami dan merealisasikan istiqomah, yaitu memahami bahwa istiqomah adalah karunia dan pemberian dari Allah, bukan semata-mata karena usaha. Bahkan kita harus meyakini bahwa seluruh urusan ada di tangan Allah, atas kuasa dan kehendak Allah. Allah akan memberikan petunjuk berupa istiqomah di atas jalan kebenaran kepada siapa yang Allah inginkan dan Allah pulalah yang memalingkan hamba dari jalan kebenaran kepada siapa yang Allah kehendaki. Yang harus kita yakini, kehendak Allah selalu mengandung hikmah kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا

Dan pasti Kami tunjukan kepada mereka jalan yang lurus.” (QS. An-Nisa: 68).

Allah juga berfirman

لَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيم

Sungguh, Kami telah menurunkan ayat-ayat yang memberi penjelasan. Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Ia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. An-Nur: 46).

Ayat yang menjelaskan bahwa istiqomah di atas jalan kebenaran merupakan karunia dan pemberian Allah amatlah banyak dan disebutkan berulang-ulang dalam al-qur’an. Diantara faidahnya, agar kita hanya bergantung dan berharap istiqomah kepada Allah saja.

Dalil lain yang menunjukkan istiqomah merupakan pemberian dari Allah yaitu; Rasulullah senantiasa memperbanyak (dan mengulang-ulang) berdo’a kepada Allah agar Allah tetapkan hati beliau di atas istiqomah. Beliau selalu berdoa,

يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبَيْ عَلَى دِيْنِكَ

Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.”

Tidak kita ragukan lagi bagaimana keimanan Rasulullah dan amal beliau, bahkan beliau sudah Allah jaminkan surga untuk-Nya. Namun, Rasulullah senantiasa memohon istiqomah kepada Allah dalam do’a-do’a beliau. Tentu kita dengan kadar taqwa, ilmu dan amal yang amat jauh dari beliau harusnya lebih banyak meminta kepada Allah. Kita dengan segala kelemahan dalam beragama, lebih rentan terkena syubhat dan syahwat harusnya lebih besar pengharapannya kepada Allah agar Allah jaga kita dari penyimpangan dalam beragama dan istiqomah di atas jalan islam sesuai al-Quran dan sunnah.

Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah! Benarkah hati bisa berbolak-balik?” Rasulullah menjawab,

نعم، ما من خلق الله من بني آدم من بشر إلا أن قلبه بين أصبعين من أصابع الله فإن شاء الله عز وجل أقامه، وإن شاء أزاغه

Ya. Tidak ada satupun cipataan Allah dari kalangan bani Adam melainkan hati mereka ada di antara 2 jari jemari Allah. Jika Allah berkehendak, Allah istiqomahkan ia. Dan jika Allah berkehendak, Allah akan sesatkan ia.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan al-Albani).

Allah Ta’ala berfirman,

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7).

Jika kita menyadari, ternyata kita telah meminta keistiqomahan kepada Allah minimal 17 kali dalam sehari ketika membaca surat al-Fatihah di setiap shalat fardhu. Dengan demikian, kita memahami bahwa memohon istiqomah adalah doa yang harus terus dipanjatkan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah) …” (QS. Fusshilat: 30).

Hasan al-Bashri ketika membaca ayat tersebut, beliau berdo’a

اللّهُمَّ أَنْتَ رَبَّنَا فَارْزُقْنَا الإِسْتِقَامَةَ

Ya Allah! Engkaulah Rabb kami, rezkikanlah istiqomah kepada kami.” (Tafsir Ath-Thabari, 21/465).

Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat. In syaa Allah, kaidah lain tentang istiqomah akan dibahas di artikel-artikel muslimah.or.id selanjutnya.

***

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Istiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.

Referensi lain:

  • Terjemahan Al-Quran Al-Kariim
  • Terjemahan Matan Al-Arbain An-Nawawiyyah, Imam An-Nawawi, Pustaka Ibnu Umar

Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc
Artikel Muslimah.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11057-kaidah-kaidah-memahami-hakikat-istiqomah-bag-1.html

McKinney Eks Tentara AS: Saya Benci Islam, Tapi Kini Muslim

Richard McKinney memeluk Islam setelah belajar agama ini.

Mantan sersan laut Amerika Serikat (AS) Richard McKinney resmi masuk Islam. Padahal sebelumnya, dia mengaku sangat benci terhadap kaum Muslimin.

Dirinya bahkan menganggap orang Islam sebagai musuhnya. Kebencian McKinney yang amat kuat, membuatnya berharap semua Muslim mati.

Selama di militer, dia menyatakan tidak membenci Islam. “Hanya saja banyak hal yang saya lihat adalah alasan mengapa saya merasakan hal yang saya lakukan di kemudian hari,” ujanya seperti dilansir Ilmfeed.com pada Senin, (8/4).

Setelah masa tugasnya selesai, McKinney kembali ke AS. Dirinya menjadi pemabuk dan kebenciannya pada Muslim semakin meningkat.

“Saya tidak berpikir dapat membenci umat Islam lebih jauh. Maksudnya, saya benar-benar memiliki kebencian sejati. Saya pikir dengan meledakkan masjid, akan melakukan hal baik untuk negara saya,” jelas McKinney.

Dia mengaku sempat berencana membuat bom sendiri lalu menanamnya di Islamic Center setempat. Dirinya ingin bom tersebut bisa membunuh setidaknya 200 Muslim. Meski tahu nantinya akan dihukum mati bila melakukan aksi itu, namun pria ini tidak peduli.

Sampai akhirnya atas izin Allah SWT, hidayah mulai menyapanya. Kebenciannya yang mendalam mulai berubah saat mengomentari orang Islam di depan putrinya yang masih kecil.

McKinney menyadari, rencana pemboman tersebut kemungkinan menyebabkan putrinya terkejut. Apalagi saat melihat mata buah hatinya itu, dirinya merasa rasa cintanya dipertanyakan.

“Anak-anak tidak dilahirkan dengan prasangka, rasisme, atau kebencian, tapi ketika orang tua memahami mereka, mereka mulai berbalik dan tumbuh untuk berpikir sama seperti kita,” jelasnya.

Dia tidak ingin putrinya memiliki rasa benci mendalam sepertinya, sehingga Mckinnery berusaha menemukan cara lain yang lebih baik untuk menghadapi kebencian.

Pria yang selama di militer mengalami desensitisasi dalam membunuh itu kemudian datang ke Islamic Center setempat. Tidak berniat melakukan pemboman, dia justru mengajukan pertanyaan ke para Muslim di sana.

Selanjutnya, McKinney diberi terjamahan Alquran dalam bahasa Inggris. Setelah membacanya, dia diperbolehkan untuk bertanya lagi.

“Sejak hari pertama saya berjalan ke pintu itu, tidak ada sedikit pun yang menyakiti saya. Mereka memperlakukan saya dengan cinta bahkan sebelum saya menjadi Muslim. Mereka sangat terbuka, ramah, dan menganggap saya seperti saudara,” tuturnya.

McKinney kemudian mulai menghabiskan waktu berjam-jam di Masjid. Setelah delapan pekan, dia memutuskan bersyahadat dan masuk Islam.

Kini dia mendorong semua orang belajar tentang Islam dan Muslim. “Saya sudah melakukan banyak hal. Saya sudah meyakiti banyak orang. Saya harus hidup dengan itu, namun bila saya dapat menghentikan orang lain di jalan permusuhan, saya ingin melakukannya,” tegas McKinney.

REPUBLIKA

Memakmurkan Bumi dalam Pandangan Islam

Menjaga lingkungan dan memakmurkan bumi Allah adalah dua hal yang tak luput dari perhatian Islam. Allah swt sebagai Pencipta Alam Semesta telah mempersiapkan semua sarana agar manusia dapat meraih kehidupan yang makmur dan tentram di bumi-Nya.

Allah swt berfirman,

هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَٱسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِيهَا

“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya.” (QS.Hud:61)

Ketika Allah pertama kali menciptakan manusia, malaikat berkomentar bahwa dibalik penciptaan ini ada ancaman dahsyat yang akan menghancurkan kemakmuran diatas bumi. Bumi akan diisi dengan perbuatan durjana dan pertumpahan darah.

قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ

Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana.” (QS.Al-Baqarah:30)

Lawan dari memakmurkan bumi adalah berbuat durjana dan menciptakan kerusakan diatasnya. Karena itu Allah selalu mengingatkan bahwa bumi tidak akan pernah makmur selama masih ada kekejian dan kekejaman diatasnya.

Dalam beberapa ayat Allah memberikan sebuah kecaman seperti dalam firman-Nya:

وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلۡفَسَادَ

“Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS.Al-Baqarah:205)

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

“Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS.Al-Qashash:77)

Tak hanya itu, Allah telah menentukan hukum dalam Al-Qur’an dengan nada yang sangat keras bagi siapapun yang berbuat durjana di bumi-Nya.

Allah swt berfirman,

إِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.” (QS.Al-Ma’idah:33)

Bila kita melihat pada hukum-hukum Islam maka akan kita temukan banyak sekali anjuran untuk menanam pohon, menjaga lingkungan dari pencemaran dan hal-hal semacam itu. Tak hanya itu Allah juga memberikan pahala yang besar bagi mereka yang berperan dalam menjaga lingkungan.

Islam juga melarang seseorang untuk mengucilkan diri. Tidak bergaul dengan orang lain dan menghindari perkawinan yang menyebabkan putusnya kemakmuran di bumi Allah swt.

Begitulah cara Al-Qur’an merangsang manusia untuk memakmurkan bumi Allah swt. Bahkan seringkali Allah memberikan pahala yang berlipat ganda bagi mereka yang bekerja, beramal dan makan dari hasil yang ia usahakan.

Maka sebelum Allah memakmurkan bumi ini, Allah mendahului dengan memakmurkan hati dan jiwa manusia. Karena walaupun bumi ini makmur dan jaya, tanpa kemakmuran dan kebersihan hati maka manusia tidak akan meraih kata bahagia.

Semoga bermanfaat

KHAZANAH ALQURAN