Ujian di Perang Tabuk dan Takutnya Romawi

Perang Tabuk merupakan salah satu perang besar yang dijalani oleh Rasulullah SAW. Nabi SAW sendiri mengambil peran sebagai panglima perangnya. Perang Tabuk juga dikenal sebagai perang terakhir Nabi sebelum meninggal. Perang ini terjadi sekitar bulan Rajab tahun 9 H. Rasul baru kembali dari perang pada 26 Ramadhan.

Perang berlokasi di sebuah kota yang terletak di antara lembah al-Qura dan Syam, jarak antara Tabuk dan Madinah mencapai 778 kilo meter. Ketika itu, kaum Muslimin melawan pasukan dari kaum Romawi. Sebagai perang besar yang dipimpin langsung oleh Rasul, perang ini memberikan pelajaran berharga bagi kaum Muslim saat itu. Perang Tabuk mengajarkan pentingnya kejujuran iman dan ber tahan dalam kesusahan yang ada.

Penyebab munculnya perang ini disebut ada banyak versi. Di antaranya karena Rasulullah SAW mengetahui Raja Romawi mempersiapkan pasukan yang besar untuk melawan umat, untuk membalas kematian Ja’far bin Abu Thalib, serta adanya tantangan dari orang Yahudi dengan tujuan ingin menipu kaum Muslimin agar celaka. Ketika kaum Muslimin sampai di daerah Tabuk, Allah menurunkan wahyu, “Dan sesungguhnya mereka hampir menjadikanmu gelisah di negeri (Makkah) untuk mengusirmu darinya,” (QS al- Isra ayat 76).

Perjalanan pasukan kaum Muslimin menuju Tabuk memakan waktu hingga 20 hari. Medan yang mereka tempuh sangat sulit. Selain keterbatasan bahan makanan, mereka harus menghadapi panasnya gurun pasir. Perang ini bahkan di juluki “Pasukan Jaisyul Usrah” yang artinya pasukan yang dalam keadaan sulit. Ke adaan para sahabat sedan susah membuat seekor unta harus dikendarai oleh sepuluh orang sahabat secara ber gantian.

Sesampainya di Tabuk, Rasulullah SAW berdiri di hadapan pasukan dan me nyampaikan pidato yang penuh sema ngat. Jihad prajurit semakin membara. Pada perang ini, sebelumnya Rasulullah telah menganjurkan para sahabat untuk berinfak karena jarak yang akan ditempuh agak jauh.

Dalam perang ini, Abu Bakar ra mengorbankan seluruh harta nya. Umar ra juga telah mengorbankan setengah hartanya. Begitu pun dengan Utsman ra yang mengorbankan perlengkapan perang untuk sepertiga pasukan. Beserta sahabat lainnya, menginfakkan lebih dari kemampuan mereka.

Kondisi saat itu sangat genting dan mencekam. Musim panas pun mendera. Kebun-kebun kurma di Madinah mulai ranum dan siap dipanen. Ujian keimanan bagi Nabi dan sahabat serta pengikutnya terjadi di sini. Di mana saat panen merupakan saat-saat yang nyaman untuk ber istirahat dan bersantai di rumah. Sebagi an besar mata pencaharian penduduk Madinah pun bergantung pada panen kurma ini.

Nabi menggerakkan seluruh kaum Muslimin untuk turut serta dalam perang besar melawan kaum kuffar. Sungguh men jadi perkara teramat berat bagi orang-orang yang di hatinya terdapat penyakit kemunafikan untuk turut serta dalam perang tersebut. Inilah ujian untuk menyeleksi siapakah yang betul-betul beriman dan siapakah yang “bermainmain” dengan keimanannya.

Saat itu, hanya kaum munafik, orang-orang uzur, perempuan, anak-anak, dan sebagian sahabat yang tidak memiliki kendaraan yang bisa ditunggangi yang tertinggal di Madinah. Padahal, mereka sangat ingin ikut dalam pasukan itu. Melihat hal ini, Allah pun mengabadikan hal itu dengan berfirman di QS at-Taubah ayat 92, “Mereka kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata ka rena sedih tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.”

Dalam tempo singkat, terkumpul 30 ribu pasukan kaum Muslimin. Mereka adalah para pejuang-pejuang Islam yang ingin menunjukkan kejujuran iman mereka. Bilangan tersebut adalah jumlah pasukan terbesar yang pernah ada da lam sejarah perjuangan Nabi. Sementara 40 ribu pasukan Romawi telah disiapkan dengan tambahan personel dari penguasa Bashroh Bani Ghassan. Mereka bergerak menuju perbatasan Syam dan jazirah.

Berbeda dengan perang-perang sebelumnya, Nabi SAW sengaja menampakkan rencana perang ini kepada kaum Muslimin. Padahal biasanya, apabila hendak berangkat berperang, beliau selalu menampakkan seolah-olah bukan untuk berperang. Bahkan, beliau mengajak kabilah-kabilah Arab dan orang-orang badui agar berangkat bersama beliau. Singkat cerita, Nabi dan para sahabat telah siap bertempur melawan musuh.

Namun, pasukan Romawi tak kunjung muncul. Ternyata, pasukan Romawi tidak berani berperang. Mereka berpencar di batas wilayah mereka masing-masing. Pasukan Romawi lebih senang tinggal di dalam wilayah Syam untuk berlindung di benteng-bentengnya ketika sampai kepada mereka berita tentang kekuatan pasukan Muslimin.

Rasulullah menetap di Tabuk selama 20 hari, dan mengirim beberapa pasukan kecil ke sekitar daerah Tabuk. Tindakan ini ternyata menambah kekuatan dan wibawa Islam di wilayah utara jazirah Arab serta membuka jalan ke arah penaklukan daerah Syam. Syekh Ibnul Qayyim al-Jauziy menuturkan, ketika sampai di Tabuk, Rasulullah didatangi penguasa Ailah yang menawarkan perdamaian dan jizyah. Dia juga didatangi penduduk Jarba dan Adzrah untuk memberikan jizyah.

Kepergian Rasulullah SAW dan para sahabatnya menuju Tabuk menyelipkan begitu banyak hikmah. Perang ini dianggap sebagai ajang latihan fisik kaum Muslimin, di mana membutuhkan waktu 50 hari; 30 hari perjalanan pulang pergi dan 20 hari masa menaklukkan musuh di sekitar Tabuk.

Tujuan dari perang ini pun untuk mempersiapkan mereka dalam memikul risalah demi melindungi penyebaran Islam di luar semenanjung jazirah Arab. Kabilah-kabilah Arab saat itu pun terpengaruh oleh Rasulullah SAW dan dakwah Islam.

 

REPUBLIKA

Surat Kiai Kharismatik Majalengka untuk Rasyid Ridha Mesir

Kontak antara ulama atau cendikiawan Muslim Indonesia dengan cendekiawan sudah berlangsung sejak lama. Komunikasi mereka seputar berbagai persoalan, tak terkecuali konsultasi agama.

Direktur Islam Nusantara Centre Ahmad Ginanjar Sya’ban, mengungkapkan sebuah surat dari KH Abdul Halim Majalengka tokoh utana Persatuan Umat Islam (PUI) untuk Sayyid Rasyid Ridha di Mesir (Majalah al-Manar) yang bertahun 1353 H (1934 M).

Sepucuk surat yang ditulis dan dikirim KH  Abdul Halim Majalengka (PUI, w 1962) untuk Sayyid Rasyid Ridha (w. 1935), salah satu tokoh pembaaru dunia Islam paling berpengaruh yang berbasis di Mesir sekaligus pemimpin Majalah al-Manar.

Ginanjar menjelaskan, surat tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan dimuat dalam Majalah al-Manar edisi 30 Sya’ban tahun 1353 Hijriyah (bertepatan dengan 7 Desember tahun 1934 Masehi). Berikut ini identitas surat yang ditulis Kiai Abdul Halim.

Tertulis pada bagian awal mula surat: (Surat dikirim dari penulisnya di kota Majalengka, Jawa). Identitas KH Abdul Halim Majalengka terlihat dari nama si pengirim surat, dengan keterangan sebagaimana di bawah ini:

(Abdul Halim, Kepala Dewan Pusat Syarikat Ulama). Apa gerangan isi surat yang ditulis oleh KH Abdul Halim Majalengka tersebut?

Rupanya, dalam surat itu, KH Abdul Halim Majalengka menanyakan hukum perempuan yang bergaul dan membuka wajah di hadapan para lelaki dalam kondisi-kondisi tertentu, semisal acara lamaran (khitbah) dan lain sebagainya. KH Abdul Halim menulis:

(Bismillâhirrahmânirrahîm. Kepada tuan panutan para ulama, guru pembaharu yang agung, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, pemilik Majalah al-Manar, semoga Allah memberikanku dan semua umat Muslim kemanfaatan dengan keberadaannya. Amin.

Assalamu’alaikum wr wb 

Wa ba’da. Apa pendapat Tuan tentang perempuan yang bergaul dan membuka wajah mereka di hadapan para lelaki ketika acara khitbah (tunangan). Apakah anda membolehkannya? Lalu apa maksud dari ayat […] dan ayat […] Mohon berilah kami jawaban fatwa dan keterangan yang melegakan. Terima kasih dari kami untuk Tuan, dan semoga Tuan mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala. Wassalam).

Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh KH Abdul Halim Majalengka di atas, Sayyid Rasyid Ridha pun mengatakan jika boleh hukumnya bagi perempuan bergaul dan membuka wajah mereka di hadapan para lelaki dalam kondisi aman, semisal belajar, mengajar, menghadiri majlis ilmu, kenduri, termasuk di dalamnya adalah acara lamaran.

Sayyid Rasyid Ridha juga menjelaskan lebih jauh tentang papakem (etika) yang harus dipegang teguh kaum hawa ketika mereka bergaul dan berinteraksi dengan dunia luar.

Beliau juga mengatakan telah menganggit sebuah kitab khusus terkait hal ini dan hak-hak perempuan secara gamblang, berjudul “Nida al-Jins al-Lathif fi Huquq al-Nisa fi al-Islam”.

Lebih lanjut, Ginanjar yang juga alumni Universitas al-Azhar, Kairo Mesir ini menjelaskan sosok KH Abdul Halim Majalengka. Di Majalengka terdapat dua orang ulama besar yang bernama KH Abdul Halim, dan dua-duanya hidup satu zaman.

Yang pertama adalah KH Abdul Halim pendiri PUI (Persatuan Umat Islam, bersama-sama dengan KH Ahmad Sanusi, Gunung Puyuh, Sukabumi) dan Pesantren Asromo, sementara yang kedua adalah KH Abdul Halim bin Kedung dari Leuwimunding yang merupakan pendiri NU (Nahdlatoel Oelama, bersama-sama KH Hasyim Asy’ari, KH A Wahhab Hasbullah, dll).

“Kiai Abdul Halim yang dimaksud dalam surat ini adalah pendiri PUI,” tutur dia.

 

REPUBLIKA

Jutaan Jamaah Umrah Nikmati Sejuknya Udara Tanah Suci

Bulan Desember menjadi bulan yang paling diminati para calon jamaah umrah untuk pergi ke Tanah Suci Makkah dan Madinah. Selain puncak akhir tahun, udara di awal bulan Desember juga masih bisa dinikmati jutaan jamaah umrah di seluruh dunia.

“Alhamdulilah sejuk,” kata Ustaz Samsuri MA selaku penanggungjawab jamaah Almagfirah Travel di Saudi saat berbincang dengan Republika.co.id melalui sambungan telepon, Jumat (7/12).

Ustaz Samsuri mengatakan cuaca di Tanah Suci saat ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di Jakarta saat memasuki bulan Desember. “Kalau di saat tidak musim hujan suhu sekitar 25 sampai 32 derajat,” ujarnya.

Pada saat dihubungi, Samsuri sedang menunggu waktu Shalat Ashar. Dengan alasan ingin menikmati udara sejuk dan hembusan angin sepoi-sepoi, banyak jamaah umrah Almagfirah setelah Shalat Ashar langsung selonjoran di halaman Masjidil Haram.

Suasana sore di Kota Suci Makah semakin indah, ketika cahaya matahari sore dipantulkan gedung-gedung pencakar langit ke segala arah. Para jamaah terlihat berduyun-duyun keluar hotel menuju ke pelataran masjid untuk menikmati suasana sore di tanah kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW.

Cuaca di bulan Desember sangat bisa dinikmati, tidak seperti bulan-bulan sebelumnya yang suhunya lebih tinggi dari suhu di bulan Desember. “Mungkin masuk bulan Januari akan lebih dingin karena sudah masuk musim dingin. Bulan Desember ini peralihan musim sehingga sangat nyaman cuacanya untuk bisa dinikamati,” katanya mengakhiri cerita bagaimana kondisi cuaca di kota Makkah al Mukarramah.

Maksud MALU Sebagian dari Iman

Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari kali ini memasuki hadits yang ke-24, biidznillah. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana judul yang bab yang diberikan oleh Imam Bukhari pada hadits ini ” باب الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ ” pembahasan hadits ini juga diberikan judul yang sama dalam bahasa Indonesianya, yaitu “Malu adalah Sebagian dari Iman“

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-24:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.’”

Penjelasan Hadits
Ayah dari Salim yang dimaksud dalam hadits ini tidak lain adalah Abdullah bin Umar bin Khattab.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ

Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu

Kata يَعِظُ berarti menasehati, menakut-nakuti, atau mengingatkan. Dalam hadits Shahih Bukhari yang lain (bab adab, yang insya Allah akan kita bahas nantinya jika sampai di sana) disebutkan dengan kalimat وَهْوَ يُعَاتَبُ فِى الْحَيَاءِ (ia mencela sifat malu saudaranya). Mungkin dalam bahasa kita, laki-laki ini mengatakan “Engkau sangat pemalu” atau “Sifat malu itu membahayakanmu.”

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan kemungkinan bahwa laki-laki tersebut sangat pemalu hingga ia tidak ingin meminta haknya. Karena itu ia dicela oleh saudaranya.

Namun ternyata, sikap laki-laki yang mencela atau menasehati saudaranya dari rasa malu itu tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW yang saat itu lewat di depan mereka.

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman

Inilah salah satu sifat Rasulullah. Bahwa beliau tidak membiarkan sesuatu yang salah di hadapannya. Beliau tidak mendiamkan sesuatu yang keliru, kecuali menegurnya. Sebaliknya, segala hal yang terjadi atau diucapkan di hadapan Rasulullah SAW, sedangkan beliau membiarkan atau mendiamkannya, maka itu dianggap sebagai persetujuan Rasulullah SAW yang memiliki legitimasi hukum di dalam Islam. Dalam istilah hadits yang demikian itu disebut “hadits taqriri” yakni persetujuan dari Rasulullah SAW.

Maka dalam hadits ini Rasulullah SAW mengingatkan bahwa yang benar justru adalah tidak menghilangkan rasa malu dalam diri saudaranya. Biarkan saja seseorang memiliki sifat malu. Ia adalah akhlak yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman.

“Kalaupun sifat malu itu menghalangi seseorang dari meminta haknya,” tulis Ibnu hajar dalam Fathul Bari, “maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya.”

Karena sifat malu itu, menurut Ibnu Qutaibah, “Dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman.”

Malu didefinisikan sebagai sikap menahan diri dari perbuatan buruk atau hina. Sifat malu ini merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri).

Pendapat lain mengatakan bahwa malu adalah takut akan dosa karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Ada juga yang berpendapat bahwa malu berarti menahan diri karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal, maupun adat kebiasaan. Pengertian yang disebutkan terakhir ini lebih umum dan mencakup definisi yang cukup luas.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati saudaranya, mengingatkannya dengan penuh kasih sayang, dan tidak berdiam diri dari kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah adalah meluruskan ketika ada kekeliruan yang beliau ketahui, dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga ketika Rasulullah diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu berarti taqrir (persetujuan) dari beliau;
3. Hendaklah seorang muslim memiliki rasa malu dan menjaga sifat itu tetap ada pada dirinya;
4. Malu adalah sebagian dari iman.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-24. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa memiliki semangat berdakwah dan memiliki rasa malu. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a’lam bish shawab.

 

PERCIKANIMAN.ORG