Mengapa Doaku Belum Dikabulkan?

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala ditanya tentang orang yang merasa bahwa doanya lama (atau tidak segera) dikabulkan. Dia berkata, “Sungguh aku telah berdoa kepada Allah Ta’ala, namun Allah Ta’ala tidak mengabulkannya.”

Penjelasan beliau:

Segala puji bagi Allah Ta’ala, Rabb semesta alam. Aku bershalawat dan mengucapkan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga dan sahabat beliau seluruhnya. Aku meminta kepada Allah Ta’ala untukku dan untuk saudara-saudaraku sesama kaum muslimin untuk mendapatkan hidayah taufik agar aqidah, ucapan dan amal menjadi lurus (shahih).

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir [40]: 60)

Orang yang berdoa kepada Allah Ta’ala, namun tidak dikabulkan, dia pun merasa rancu (bertanya-tanya) melihat realita yang dia dapatkan ketika dikaitkan dengan janji dalam ayat tersebut. Allah Ta’ala telah berjanji dalam ayat tersebut bahwa siapa saja yang berdoa kepada-Nya, niscaya akan Allah Ta’ala kabulkan. Dan Allah Ta’ala tidak pernah menyelisihi janji-Nya.

Jawaban atas kerancuan ini adalah bahwa pengkabulan doa itu memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Syarat pertama

Ikhlas kepada Allah Ta’ala, yaitu seseorang memurnikan niatnya dalam berdoa untuk menghadap Allah Ta’ala, dengan hati yang khusyuk, jujur dalam bersandar kepada-Nya. Dia mengilmui bahwa Allah Ta’ala berkuasa untuk mengabulkan doanya dan dia benar-benar berharap agar doanya dikabulkan oleh Allah Ta’ala.

Syarat ke dua

Seseorang merasa ketika berdoa bahwa dia berada dalam keadaan mendesak untuk dikabulkannya doa tersebut, bahkan dalam kondisi paling darurat. Dan Allah Ta’ala saja satu-satunya yang mampu mengabulkan doa orang-orang yang dalam keadaan terdesak (kesulitan) ketika berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan.

Adapun orang-orang yang berdoa kepada Allah Ta’ala, namun dia merasa tidak membutuhkan Allah Ta’ala dan tidak merasa dalam kondisi mendesak, (misalnya) dia berdoa hanyalah karena kebiasaan (adat) semata atau untuk coba-coba (siapa tahu dikabulkan), maka doa semacam ini tidaklah layak untuk dikabulkan.

Syarat ketiga

Dia menjauhi makanan haram. Karena sesungguhnya makanan haram adalah penghalang antara doa seorang hamba dengan pengkabulan doa. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits yang valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau bersabda,

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} [المؤمنون: 51] وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} [البقرة: 172] ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Sesungguhnya Allah itu baik, dan tidaklah menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin sebagaimana perintah kepada para Rasul, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 172)

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Wahai para rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalih-lah kalian.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 51)

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut (acak-acakan) dan berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya ke atas (sambil mengatakan), “Ya Rabb, Ya Rabb”, namun makanannya berasal dari yang haram, pakaiannya berasal dari yang haram, dan tumbuh dari yang haram. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bagaimana mungkin doanya tersebut dikabulkan?” (HR. Muslim no. 1015)

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menilai sangat kecilnya kemungkinan doa orang tersebut dikabulkan. Padahal orang tersebut telah menempuh sebab-sebab dzahir yang memungkinkan doanya untuk dikabulkan, yaitu:

Pertama, mengangkat kedua tangan ke atas, yaitu menuju Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala berada di atas, istiwa’ di atas ‘arsy-Nya. Mengangkat kedua tangan ke atas termasuk sebab pengkabulan doa sebagaimana terdapat dalam hadits,

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي من عبده إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemalu dan Maha Pemurah. Allah Ta’ala malu kepada hamba-Nya yang mengangkat dua tangannya kepada-Nya, namun kembali dalam keadaan kosong (yaitu, tidak dikabulkan).” (HR. Tirmidzi no. 3556, Abu Dawud no. 1488, Ibnu Majah no. 3865)

Kedua, orang tersebut berdoa kepada Allah dengan menyebut nama Allah “Ar-Rabb”, yaitu dengan memanggil “Ya Rabb, Ya Rabb”.

Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan (menyebut) nama Allah Ta’ala tersebut merupakan sebab pengkabulan doa. Karena Rabb merupakan pencipta, raja, yang mengatur seluruh urusan, dan pengaturan langit dan bumi berada di tangan-Nya.

Oleh karena itu, kita jumpai mayoritas lafadz doa yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah dengan menggunakan nama Allah Ta’ala ini,

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ ؛ رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ؛ فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ

“Ya Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.

Ya Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.”

Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 193-195)

Jadi, bertawassul dengan menyebut nama Allah tersebut (Ar-Rabb), meruapakan di antara sebab pengkabulan doa.

Ketiga, orang tersebut melakukan safar (perjalanan jauh). Mayoritas keadaan orang yang sedang safar adalah sebab pengkabulan doa. Hal ini karena orang yang sedang safar (misalnya dengan pesawat, pent.) merasa sangat butuh Allah Ta’ala. Merasa sangat butuhnya seorang hamba kepada-Nya ketika safar itu lebih besar daripada ketika sedang dalam kondisi tidak safar, lebih-lebih di zaman dahulu.

“Rambutnya kusut acak-acakan dan berdebu”, seolah-olah dia tidak memperhatikan kondisi dirinya sendiri. Karena kebutuhan yang lebih penting daripada itu adalah bersandar kepada Allah Ta’ala, dan berdoa kepada-Nya, apapun kondisinya, baik dalam kondisi kusut dan berdebu, atau dalam dalam kondisi nyaman. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada sore hari ketika hari Arafah, membanggakan orang-orang yang wukuf di Arafah di depan malaikat. Allah Ta’ala berkata,

أتوني شعثا غبرا ضاحين من كل فج عميق

“Mereka mendatangiku dalam keadaan kusut, berdebu, berjalan dari semua tempat yang jauh.”

Sebab-sebab pengkabulan doa ini tidaklah berfaidah sedikit pun ketika makanannya haram, pakaiannya haram dan dia pun tumbuh dari barang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?”

Jika syarat-syarat pengkabulan doa ini tidak terpenuhi, maka sangat kecil doa tersebut akan dikabulkan.

Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, namun tidak dikabulkan, maka hal tersebut karena suatu hikmah yang Allah Ta’ala ketahui dan tidak diketahui oleh hamba yang berdoa. Boleh jadi kita menginginkan sesuatu, padahal sesuatu tersebut tidak baik untuk kita.

 

Ketika syarat-syarat tersebut terpenuhi, namun tidak Allah Ta’ala kabulkan, maka bisa jadi:

(Pertama), dia tercegah dari kejelekan (bahaya atau musibah) yang lebih besar.

(Ke dua), Allah Ta’ala simpan doa tersebut sampai hari kiamat dan Allah Ta’ala penuhi pahalanya yang sangat besar.

Hal ini karena hamba yang berdoa dengan terpenuhi syarat-syaratnya, namun tidak dikabulkan, dan tidak dicegah dari kejelekan yang lebih besar, dia telah melakukan sebab-sebab (sebagaimana yang diperintahkan syariat, pent.). Tidak dikabulkannya doa tersebut adalah karena hikmah tertentu, sehingga dia mendapatkan pahala dua kali: (1) karena sebab doanya; (2) karena sebab musibah yang menimpa dirinya dengan tidak dikabulkannya doanya tersebut dan Allah Ta’ala simpan untuknya (berupa pahala) yang lebih besar dan lebih sempurna.

Perkara penting lainnya adalah hendaknya seseorang tidak merasa bahwa doanya tidak segera (lama atau lambat) terkabul. Karena hal semacam ini adalah sebab tidak dikabulkannya doa. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ

“Doa salah seorang di antara kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa.”

Para sahabat bertanya, “Apa maksud tergesa-gesa itu, wahai Rasulullah?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعَوْتُ و دَعَوْتُ و دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي

“Yaitu ketika seseorang berkata, “Aku berdoa, aku berdoa, aku berdoa, namun belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari no. 6340 dan Muslim no. 2735)

Maka tidak sepatutnya seseorang merasa bahwa doanya lama atau tidak segera Allah Ta’ala kabulkan, lalu mundur tidak berdoa dan meninggalkan doa. Bahkan seharusnya dia merengek-rengek dalam doanya. Karena setiap doa yang kita tujukan kepada Allah Ta’ala adalah ibadah yang mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala dan menambah pahala.

Oleh karena itu, wahai saudaraku, hendaklah kalian berdoa kepada Allah Ta’ala, dalam setiap urusanmu, baik yang umum atau yang khusus, yang sulit atau yang mudah. Jika tidak ada dalam doamu kecuali itu adalah bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala, maka itu sudah layak bagi seseorang untuk bersemangat di dalamnya. Wallahul muwaffiq.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43793-mengapa-doaku-belum-dikabulkan.html

Bersahabat dengan Alquran

Sesulit apapun kehidupan yang sedang dijalani, sekeras apapun perjuangan yang sedang dihadapi pasti akan terasa lebih ringan dan mudah jika dalam melaluinya ada sahabat yang selalu setia menyertai, dibanding jika semuanya harus ditanggung seorang diri.

Sebaliknya, sehebat apa pun pencapaian keberhasilan yang kita raih dan sedahsyat apapun penghargaan yang kita dapatkan akan terasa tak berarti apabila tidak ada siapapun untuk berbagi. Demikianlah dalam hidup ini pun akan menjadi sangat miris jika selamanya harus dijalani sendiri.

Oleh karena itu, dalam menjalani hidup ini, kita membutuhkan sahabat setia yang akan menjadi pengobat hati di saat sedih, penawar duka di saat luka, dan perisai jiwa di saat bahagia. Lantas siapakah sahabat sejati itu?

Jawabannya sangat jelas bahwa sahabat sejati bukanlah sahabat yang pandai mencederai, bukanlah sahabat yang senantiasa melukai, dan bukan juga sahabat yang selalu memuji.

Sahabat sejati adalah dia yang dapat menunjukkan jalan yang benar untuk menjadi pribadi yang dirindu oleh Ilahi, menjadi pribadi yang setiap aktivitasnya merupakan bentuk aktualisasi diri dan membentuk pribadi rabbani yang memiliki akhlak terpuji. Maka, sahabat sejati yang dapat menjadi kekuatan untuk setiap hamba adalah Alquran al-Kariim.

Seperti kita pahami bersama bahwa Alquran adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan menjadi petunjuk untuk setiap manusia. Lebih dari itu, dapat disimpulkan secara umum bahwa Alquran merupakan panduan utama yang dapat dijadikan sahabat sejati dalam mengarungi kehidupan agar sesuai dengan maksud dan tujuan Allah (Maqashid as-Syariah).

Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (Alquran). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS al-Maidah: 15-16).

Oleh karena itu, kita harus bisa bersahabat dengan Alquran karena Alquran adalah mukjizat abadi (mukjizat khalidah). Keberadaannya diyakini sebagaimana kata pepatah “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan” dan akan senantiasa relevan di setiap waktu dan zaman (shalih fi kulli zamanin wa makanin).

Untuk menjadikan Alquran sebagai sahabat sejati, tentu kita harus memosisikan dan memperlakukannya seperti kita memperlakukan sahabat dalam hidup ini. Cara kita memperlakukan sahabat dalam hidup seringkali menjadikannya sebagai teman curhat, mendengar nasihatnya, mengikuti petuahnya, dan ingin selalu dekat di sisinya. Bahkan, sering kali kita tidak bisa dipisahkan dalam jarak dan waktu.

Begitu pun ketika Alquran sudah menjadi sahabat sejati dalam kehidupan kita. Maka, tentu kita akan membuatnya terasa istimewa dalam hidup kita.

Banyak cara untuk bisa mengistimewakan Alquran agar menjadi sahabat sejati dalam hidup. Berikut ini adalah empat cara yang dapat dilakukan untuk menjadikan Alquran sebagai sahabat sejati yang istimewa:

Pertama, melafazkannya atau membacanya. Aktivitas membaca Alquran merupakan cara yang paling awal untuk bisa menjadikan Alquran sebagai sahabat sejati dalam kehidupan kita. Aktivitas membaca Alquran dapat dimaknai dengan melakukan rutinitas yang disusun secara sistematis dalam mengalokasikan waktu untuk bisa membaca Alquran.

Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah Alquran, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat menjadi pemberi syafaat bagi orang-orang yang bersahabat dengannya.” (HR Muslim).

Kedua, menghafalkannya. Kegiatan untuk bisa menghafal Alquran adalah langkah kedua yang dapat menjadikan Alquran sebagai sahabat sejati yang terpatri dalam hati dan tertera dalam jiwa. Sebagai sebuah kitab suci yang dijadikan pedoman hidup, ternyata Alquran merupakan satu-satunya kitab suci yang mudah dihafal di antara kitab samawi lainnya.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS al-Qamar (54) ayat 17, “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran itu?” (QS al-Qamar [54]: 17).

Ketiga, menadaburinya. Langkah ketiga untuk bisa menjadikan Alquran sebagai sahabat sejati dalam kehidupan adalah dengan berusaha untuk memahami dan menadaburinya. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an menuliskan bahwa disunahkan membaca Alquran dengan tadabur (berusaha merenungkan kandungan maknanya) dan tafahum (berusaha memahami kandungan maknanya).

Keempat, mengamalkannya. Langkah pamungkas yang harus dipastikan untuk bisa bersahabat dengan Alquran adalah berusaha untuk mengamalkan setiap ayat yang terkandung di dalamnya.

Proses untuk bisa mengamalkan ini dapat dipahami dengan cara menjadikan setiap aktivitas kita sesuai dengan tuntunan Alquran, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi.

Di antara aktivitas yang bisa dilakukan sebagai bentuk dari pengamalan Alquran, misalnya, menghargai waktu, menjaga hubungan baik dengan tetangga, tidak berlebih-lebihan dalam berperilaku, dan berusaha untuk menghindari transaksi ribawi.

Langkah-langkah untuk bisa mengamalkan Alquran merupakan kegiatan yang Rasulullah SAW sebutkan agar menjadi manusia yang paling baik. Sebagaimana dalam sebuah sabdanya, “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya (mengamalkannya).” (HR Bukhari).

Maka, melalui penjelasan di atas, sudah saatnya setiap kaum Muslimin bisa menjadikan Alquran sebagai sahabat sejatinya, yaitu dengan berakhlak sebagaimana akhlak Alquran, menerapkan manajemen hidup sebagaimana manajemen Alquran, cara bergaul ala Alquran dan semua urusan yang senantiasa disandarkan kepada nilai-nilai Alquran.

Tiga Sayuran Permintaan Musa dalam Alquran dan Khasiatnya

Allah SWT menciptakan segala sesuatu tentu dengan beragam manfaat yang terkandung di dalamnya, sekalipun manusia tidak mengetahuinya. Di antara mukjizat Alquran adalah informasi yang diberikan terkait segala benda sudah pasti memiliki khasiat dan rahasia tersendiri.

Termasuk sayuran. Ada tiga sayuran yang disebutkan dalam Alquran secara bersamaan pada ayat ke-61 surah al-Baqarah. Ini sebagaimana redaksi ayat yang berbunyi demikian:

”Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.”

Temuan dari ilmu pengetahuan mengungkapkan bahwa ketiga jenis sayuran ini ternyata memiliki khasiat dan manfaat yang utama bagi kesehatan. Menariknya, ketiga sayuran itu merupakan permintaan dari Bani Israel kepada Musa AS. Berikut ini ketiga sayuran yang dimaksudkan ayat tersebut di atas:

Mentimun

Rasulullah SAW seperti yang dikisahkan dari hadis riwayat Bukhari gemar mengkonsumsi timun dan kurma basah. Dan ternyata mentimun adalah jenis sayuran yang istimewa. Banyak kandungan zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh di dalamnya.

Mentimun rendah lemak jenuh, kolestrol, dan sodium. Mentimun juga sumber vitamain A, asam pantotenat, magnesium, fosfor, dan magnesium. Mentimun ini juga tinggi kalium, karbohidrat, vitamin C dan K.

Sebuah penilitian mengungkapkan, setidaknya ada 30 khasiat mentimun bagi kesehatan. Tiap bagian dari sayuran ini mengandung khasiatnya sendiri, mulai dari kulit, daging, bahkan bijinya. Seperti pencegah gangguan jantung, membantu pencernaan, dan mengatasi batu ginjal.

Bawang Merah

Bawang merah adalah jenis sayuran favorit dalam dunia kuliner sepanjang sejarah peradaban. Sayuran ini mengandung hormon auksin dan giberlin sebagai pengatur tubuh alami. Sayuran ini juga memiliki kandungan gizi berupa vitamin C, kalium, serat, dan asam folat.

Kandungan antiseptik dan senyawa alliin yang diproses oleh enzim allinase menjadi antimikroba yang bersifat bakterisida. Beberapa khasiatnya, antara lain, mengontrol kadar kolestrol, pencegah pertumbuhan sel kanker, dan mengontrol kader diabetes.

Bawang Putih

Tanaman ini disebut-sebut berasal dari Mesir, sesuai dengan konteks turunnya ayat ke-61 surah al-Baqarah di atas. Tak heran jika tradisi para Firaun menjadikan bawang putih sebagai barang suci dan sesajen untuk dewa mereka 5.000 tahun yang silam. Dunia Barat pun baru mengenal tanaman ini selama Perang Salib berlangsung.

Temuan termutakhir mengungkap khasiat bawang putih yang mengandung protein, vitamin B, C, dan E, mineral, dan arang nabati. Selain itu, juga terdapat protida, fostam oksida, dan antibiotik. Bawang putih bermanfaat sebagai penawar tifus, gangguan tenggorokan, batuk, TBC, dan melawan kolestrol jahat.

KHZANAH REPUBLIKA

Tingkatan Cobaan

Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Beliau SAW menjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sesudah mereka secara berurutan berdasarkan tingkat kesalehannya. Seseorang akan diberikan ujian sesuai dengan kadar agamanya. Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun.” (HR Bukhari).

Hadis di atas menunjukkan bahwa kadar cobaan berupa musibah yang diberikan Allah SWT itu bertingkat. Semakin tinggi tingkat keimanan, semakin berat ujian yang dialami.

Sejatinya cobaan itu merupakan proses penguatan iman dan ketakwaan. Maka, bersabarlah dan terimalah dengan segala keikhlasan apa yang terjadi. Tidak perlu segala cobaan itu disikapi berlebihan. Tafakuri dan temukan hikmah dari setiap ujian.

Sikap ikhlas atas kehendak-Nya dan menafakuri apa yang dialami, akan memberikan pengalaman spiritual yang luar biasa dan menjadi bekal dalam menjalani kehidupan. Kehidupan adalah sekolah, nilainya ditentukan seberapa hebat tingkat kesabaran, keikhlasan, keimanan, dan ketakwaannya. Tidak ada sesuatu pun yang tak bernilai, semuanya memiliki tujuan. Dan bagi mereka yang mampu mengambil pelajaran, kemuliaan hidup yang akan didapatkan.

Apabila saat ini kondisi ekonomi terasa sangat berat, rupiah yang terpuruk hingga nilai tukarnya terhadap dolar AS mencapai Rp 14 ribu, tetaplah bersyukurlah. Sebab, Indonesia masih aman, jauh dari kondisi perang. Bisa dibayangkan, dalam kondisi perang, bukan hanya mahal, tapi kehidupan menjadi sulit.

Apabila kita tengah menghadapi kebangkrutan usaha, utang menggunung, tetaplah berusaha dan bersyukur karena Allah tidak membangkrutkan iman dan ketakwaan kita. Bangkrut di dunia ini lebih baik daripada bangkrut di akhirat nanti.

Apabila ada salah satu anggota keluarga kita yang sedang sakit, kecelakaan, atau bahkan meninggal, ikhlaslah dan sadari bahwa tak ada sesuatu pun di dunia ini yang bukan atas kehendak-Nya. Tak ada sesuatu apa pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Kehidupan dunia ini sesungguhnya ladang amal saleh, mengumpulkan bekal untuk kehidupan abadi kelak.

Apabila kita tengah dilanda musibah, anak tidak bisa diatur karena kenakalannya, atau sedang ingin memiliki anak, sudah belasan tahun belum juga diamanahi oleh-Nya, tetaplah berbaik sangka kepada-Nya. Doa dan ikhtiar jangan kendur, terus berusaha dan percayakan bahwa Tuhan akan memberikan kita apa yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.

Ujian dan cobaan di dunia merupakan keniscayaan, siapa pun tidak bisa menghindarinya. Ibarat pelangi yang menjadi warna-warni kehidupan. Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 155 disebutkan, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Sabar dan bijak dalam menghadapi cobaan dari Allah tidak mudah untuk dilakukan. Ikhlas menerima ketentuannya, akan memberikan kekuatan jiwa dan pahala. Dalam surah az-Zumar ayat 10 disebutkan: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

Penyakit, kesulitan hidup, kehilangan orang yang paling disayangi, dan bencana merupakan bagian dari skenario indah Tuhan untuk menaikkelaskan derajat kita. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah segala sesuatu yang menimpa orang beriman dari kesusahan, sakit, kegundahan, kesedihan dan gangguan, hingga duri yang menusuknya, kecuali Allah menggugurkan kesalahannya dengan semua itu.” Wallahu’alam.

Oleh: Iu Rusliana

KHAZANAH

Bangun Tidur: Berdoa dan Puji Allah jangan Buka HP

KEGIATAN sederhana yang setiap hari kita lakukan selagi roh dan napas berada dalam diri. Bangun tidur apa yang pertama kali kita lakukan? Jujurlah, kebanyakan dari kita pasti akan sibuk membuka smartphone. Kita seakan membiarkan diri kita hanyut dalam nikmatnya ber-searching ria di internet, tanpa kita sadari pagi berlalu begitu saja. Tak ada hal yang membawa berkah.

Ketahuilah, Islam telah menyiapkan semua hal dalam hidup kita, sekalipun itu adalah hal kecil. Termasuk adab bangun tidur. Islam mengajarkan umatnya untuk berusaha bangun tidur sebelum fajar terbit. Dan hal yang pertama kali tersirat dalam hati dan terucap oleh lisan adalah zikir kepada Allah. Lalu kita mengucapkan:

“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah Dia mematikan kamu dan kepada-Nya kami dikembalikan. Kami masuki waktu pagi sedang kerajaan adalah milik Allah, juga keagungan dan kekuasaan merupakan kepunyaan Allah, serta kemuliaan dan kemampuan ada pada Allah Rabbul Alamiin. Kami masuki waktu pagi ini atas landasan fitrah Islam atas kalimat ikhlas, dan berpegang pada agama Nabi kami, Muhammad saw, serta agama ayah kami Ibrahim dengan setulus hati dan dalam keadaan muslim. Ia (Ibrahim) sama sekali bukan seorang musyrik. Ya Allah, dengan-Mu aku masuki waktu pagi dan petang. Berkat-Mu, aku hidup dan mati serta dikembalikan pada-Mu. Ya Allah aku meminta kepada-Mu agar Engkau bangkitkan kami hari ini kepada setiap kebaikan. Kami berlindung kepada-Mu jangan sampai kami melakukan keburukan atau kami membawa keburukan tersebut kepada seorang muslim atau seseorang membawakan keburukan kepada kami. Kami meminta pada-Mu kebaikan yang ada pada hari ini dan kebaikan yang ada di dalamnya, serta aku berlindung kepada-Mu dari keburukan hari ini dan keburukan yang ada di dalamnya.”

Selesai kita memanjatkan doa tersebut, sebaiknya kita lanjutkan dengan membersihkan diri dan bergegas bertemu dengan-Nya melalui dua rakaat pembuka awal keseharian kita. Agar kiranya Allah berkenan memberikan rida dalam setiap langkah kita pada satu hari yang akan kita jalankan.

Ingatlah, ketika kita hendak berpakaian, niatkanlah hal itu untuk melaksanakan perintah Allah yaitu menutup aurat. Hati-hatilah, jangan sampai niat kita dalam berpakaian untuk dilihat orang (riya) sehingga kita merugi. Naudzubillah

INILAH MOZAIK

Bantahan Telak untuk Orang yang Berkata ‘Saya Bermaksiat atas Kehendak Allah’

Dalam kajian rutin bulanan di Masjid Raya al-A’dham Kota Tangerang, Pemimpin Majlis al-Bahjah Buya Yahya mendapat sebuah pertanyaan dari salah seorang jamaah. Muslimah. Wanita itu bertanya, “Bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa selingkuh yang dia lakukan merupakan kehendak Allah Ta’ala? Apakah pernyataan tersebut benar?”

Tidak hanya laki-laki yang dijadikan objek pertanyaan oleh Muslimah tersebut, sejatinya banyak sekali orang yang mengaku beragama Islam, tapi berkeyakinan bathil macam ini. Atas nama pemahaman agama dan penyandaran diri kepada Allah Ta’ala, mereka mengklaim bahwa tindakan buruk, maksiat, dan dosa yang mereka kerjakan merupakan bagian dari Kehendak Allah Ta’ala. Sebab Dia Maha Berkehendak. Tiada satu pun yang terjadi di muka bumi dan alam semesta ini melainkan atas izin dari Allah Ta’ala.

“Semua yang terjadi di semesta raya ini,” jawab Buya Yahya terdengar santun dan tegas, “memang atas Kehendak Allah Ta’ala.” Tiada satu pun kejadian, pun yang paling kecil dan tidak bisa dilihat, semuanya atas Kehendak Allah Ta’ala.

“Akan tetapi,” lanjut dai yang juga pendiri Pondok Pesantren al-Bahjah ini, “Allah Ta’ala juga memberikan kehendak kepada hamba-Nya untuk berkehendak.”

Atas kehendak dari Allah Ta’ala tersebut, seorang hamba bisa memutuskan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Perbuatan inilah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala. Jika kebaikan, maka seorang hamba akan mendapatkan pahala. Jika keburukan, maka seorang hamba akan mendapatkan dosa.

Sebagai jawaban pamungkas, sosok yang kerap mengenakan jubah ini memberikan kiat jitu untuk membungkam argumen orang-orang berkeyakinan sesat ini.

Andai bertemu dengan orang yang berkeyakinan seperti ini (yang mengatakan bahwa maksiatnya atas Kehendak Allah Ta’ala), jelas Buya Yahya, “Ambil saja palu. Pukulkan di kepalanya dengan keras.” Jika orang tersebut marah-marah sembari menahan sakit, jawab saja dengan santai, “Itu kan Kehendak Allah Ta’ala!”

Atau, masih menurut beliau, arahkan saja dua tangan Anda tepat di kedua bola matanya. Coblos dua bola matanya. Saat dia menggerutu kesakitan itu, jawab saja dengan berkata, “Loh? Bukannya hal tersebut merupakan Kehendak Allah Ta’ala?”

Terkait takdir ini, kita memang mendapati dua kubu ekstrem. Kubu pertama menisbahkan semua perbuatan kepada Allah Ta’ala, termasuk perbuatan buruk. Sedangkan kubu kedua beranggapan bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk melakukan apa pun tanpa campur tangan Allah Ta’ala.

Maka akidah ahlus sunnah wal jamaah adalah akidah yang pertengahan di antara keduanya. Allah Ta’ala Maha Berkehendak, tapi Dia memberikan kehendak kepada hamba-hambanya untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Mereka meyakini semua kejadian atas Kehendak-Nya, tapi mereka tidak akan menisbatkan keburukan kepada Allah Ta’ala sebab Dia Mahabaik.

Wallahu a’lam.

 

[Pirman/BersamaDakwah]

Sumpah “Liaan” dalam Islam, Apa Itu?

Apa artinya sumpah liaan dalam syariat Islam?

Liyan artinya lain dalam kamus besar bahasa Indonesia. Sementara liaan?

Apabila seorang suami menuduh istrinya melakukan zina, tapi tidak dapat membuktikan atau tidak ada saksi, syariat Islam memberlakukan keduanya dengan sumpah liaan. Lalu bagaimana caranya?

Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Anta Tas’al wal Islam Yujiib menyebutkan suami bersumpah mengucapkan ”Wallahi, demi Allah” dengan mengucapkan juga tuduhannya. Ucapannya itu diulang sampai empat kali. Setelah itu yang kelima dia menyatakan mengutuk dirinya bila ia dusta.

Istri juga mengucapkan serupa. Kalau istrinya menolak, berarti betul tuduhannya bahwa ia berbuat zina.

Namun demikian, jika ia menolak melakukan sumpah itu, jatuhlah cerai abadi dan keduanya tidak dibolehkan rujuk kembali sampai mati.

Sungguh berat sekali risikonya menuduh istri berzina dibanding menuduh suami. Sebab, jika istri berzina, urusannya kepada bayi yang akan dilahirkan dan percampuran keturunan yang menimbulkan keraguan. Wallahua’lam.

[@paramuda/BersamaDakwah]

Balaghah, Ilmu Pengkaji I’jaz Qur`an

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa disiplin ilmu ini merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menjadi alat untuk menguak kemukjizatan al-Qur`an. Posisinya dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis seperti posisi ruh dari jasad. Dengan kata lain, ilmu ini merupakan media yang dapat menghantarkan seseorang memahami ke-i’jaz-an al-Qur`an.

Seseorang yang ingin menjadi mufassir, mutlak menguasai ilmu ini agar bisa memahami  isi dan pesan-pesan yang tersirat maupun tersurat dalam al-Qur`an. Dalam hal ini al-Zamakhsyari mengatakan bahwa ilmu yang paling sarat dengan rahasia yang rumit, paling padat isinya sehingga membuat manusia kesulitan memahaminya, termasuk orang alim sekalipun, yaitu ilmu tafsir. Dan, tidak akan mampu mendalami hakikat ilmu ini kecuali memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu yaitu ilmu ma’ani dan bayan. Kedua ilmu ini dipelajari dalam ilmu balaghah.

Secara ilmiah, ilmu balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang mengarahkan pembelajaran untuk dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan seseorang berdasarkan pada kejernihan dan ketelitian dalam menangkap keindahan bahasa. Juga mampu menjelaskan perbedaan yang ada di antara macam-macam uslub (ungkapan). Dengan menguasai konsep-konsep balaghah akan mengetahui rahasia-rahasia bahasa Arab dan seluk beluknya. Juga akan mampu membuka rahasia-rahasia kemu’jizatan al-Qur`an dan al-Hadits.

Al-Balaghah dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, ilmu ma’ani,  yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukkan maknanya dan mempelajari cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal. Kedua, ilmu bayan, yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif. Ketiga, ilmu badi’, yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna.

Perkembangan Ilmu Balaghah

Pada dasarnya ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan berbahasa ini telah menjadi pengetahuan yang menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, jauh sebelum al-Qur’an turun. Namun, kehadiran al-Qur’an telah menjadi salah satu faktor munculnya ilmu balagha. Keindahan bahasa al-Qur’an membuat pakar bahasa waktu itu kagum. Al-Qur’an diakui sebagai kitab yang memiliki ketepatan dan keindahan berbahasa Arab yang tak tertandingi.

Para pakar bahasa Arab yang biasa berbangga dengan keindahan syair mulai terperangah dengan keindaahan bahasa al-Qur’an. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.

Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab ternyata butuh ilmu bahasa yang berfungsi mengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab tanpa mempelajari kaidah bahasa yang benar yang berlaku di bangsa Arab.

Tema-tema ilmu balaghah sendiri muncul setelah ilmu nahwu dan sharaf berkembang pesat di zaman Khalifah Umayyah. Ketika itu para ulama pakar sastra mulai bicara tentang makna fashahah dan balaghah dan berusaha menjelaskannya dengan contoh dan bukti-bukti yang diriwayatkan dari orang-orang sebelum mereka.

Namun ilmu ini mulai dikenal luas saat dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, terjadi perdebatan yang sengit di kalangan para sastrawan dan para ahli bahasa dalam mengungkap mukjizat al-Qur`an. Ketegangan ini ditimbulkan oleh salah satu pendapat Ibrahim al-Nidzam yang mengatakan bahwa al-Qur’an tidak memiliki kekuatan mukjizat berupa kefasihan dan kebalighannya. Bahkan, semua orang Arab pasti bisa membuat kalimat yang nilainya sama dengan bahasa yang digunakan al-Qur`an. Pendapat ini mengundang reaksi keras para pakar sastra dan ulama waktu itu. Mereka kemudian menulis sebuah risalah yang isinya menolak semua argumen Ibrahim al-Nidzam, dan mengungkap kebobrokan aliran yang dianut olehnya.

Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (wafat 208 H), murid Al-Khalili (wafat 170 H). Kitab ini berisi ilmu bayan.  Sedangkan ilmu ma’ani, tidak diketahui pasti orang yang pertama kali menyusunnya. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz (wafat 225 H) dalam I’jazul Qur’an. Adapun penyusun kitab  ilmu badi’ pada masa awal adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (wafat 296 H) dan Qudamah bin Ja’far dengan Naqd asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (wafat 337 H).

Baru pada abad kelima hijriyah muncul seorang ulama yang menggabungkan ilmu-ilmu tersebut bernama Abu Bakar Abdul Qahir al-Jurjani (wafat 471 H). Al-Jurjani  mengarang kitab tentang ilmu ma’ani dengan judul Dalailul I’jaz, dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrorul Balaghah. Kemudian setelah itu datanglah Abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf as-Sakakiy al-Khawarizmi (wafat 626 H) dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu balaghah lebih lengkap daripada lainnya, yaitu kitab dengan judul Miftah al-‘Ulum.

Pada masa tersebut ilmu balaghah berkembang pesat karena adanya persinggungan dengan ilmu kalam dan filsafat terkait dengan i’jazul Qur’an. Persinggungan ini memunculkan istilah Madrasah Adabiyyah dan Madrasah Kalamiyyah berdasar kecenderungan yang dipilih dalam melakukan pembahasan balaghah.

Tiap-tiap madrasah ini memiliki ciri khas tersendiri. Para pakar Madrasah Kalamiyyah memfokuskan pembahasan balaghahdengan membuat batasan-batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian fokus dengan membuat berbagai macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa banyak menunjukkan contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa, mereka banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah logika.

Sedangkan Madrasah Adabiyyah, sangat berlebihan dalam mengajukan bukti-bukti (contoh-contoh) sastrawi baik puisi maupun prosa, dan sedikit sekali memperhatikan tentang definisi dan lain-lainnya. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka lebih banyak berpegang pada rasa seni, keindahan daripada kepada filsafat ataupun logika.

Madrasah Kalamiyyah memang sangat berkepentingan dengan penguatan i’jazul Qur’an. Karena hal itu adalah titik temu antara sastra, aqidah, filsafat ketuhanan, dan lainnya. Sedangkan Madrasah Adabiyyah, penguatannya pada karya sastra, latihan menyusun bahasa yang baik, dan mendidik rasa kritis. Akhirnya, Madrasah Kalamiyyah yang lebih unggul dan berkembang sampai sekarang.*/Bahrul Ulum

HIDAYATULLAH

Terlambat Salat Berjemaah? Inilah Caranya

MAKMUM masbuq atau masbuk adalah makmum yang terlambat salat berjemaah setelah satu rakaat atau lebih telah dijalani.

Adapun tata cara salat makmum masbuq diantaranya:

1. Jika makmum terlambat datang ke masjid dan imam sudah dalam posisi rukuk, sujud, atau julus (duduk tasyahud), maka ia harus melakukan takbiratul ihram (dengan berdiri) untuk mulai salat, lalu mengucapkan takbir (Allahu Akbar) lagi untuk kemudian mengikuti posisi imam.

Jika imam masih membaca surat Al-Fatihah atau surat pendek, maka hanya takbiratul ihram saja.

2. Setelah imam selesai melakukan salam dan mengakhiri salat, ia tidak boleh melakukan salam, tetapi langsung berdiri untuk menambah rakaat yang telah terlewat.

a. Bila ia baru bisa mengikuti 2 rakaat terakhir salat dzuhur, ashar, dan isya, maka ia harus menambah 2 rakaat (tanpa duduk tasyahud) setelah imam melakukan salam.

Bila ia baru bisa mengikuti satu rakaat terakhir salat dzuhur, ashar, dan isya, maka ketika imam melakukan salam ia harus berdiri dan salat satu rakaat (dengan Al-Fatihah dan membaca surat pendek), duduk tasyahud, berdiri lagi untuk rakaat kedua (dengan Al-Fatihah dan membaca surat pendek), lalu diteruskan berdiri lagi untuk rakaat ketiga (hanya Al-Fatihah).

b. Jika ia baru bisa mengikuti rakaat ke-2 dan ke-3 salat maghrib, maka ia harus berdiri dan menambah satu rakaat setelah imam melakukan salam.

c. Jika ia baru bisa mengikuti satu rakaat terakhir salat maghrib, ia harus berdiri setelah imam melakukan salam, salat satu rakaat, lalu duduk untuk membaca tasyahud, kemudian berdiri lagi untuk melakukan rakaat ke-3, setelah itu duduk untuk tasyahud akhir dan melakukan salam.

3. Bila makmum bergabung salat jemaah ketika posisi rukuk, maka ia dianggap telah mengikuti rakaat tersebut. Jika ia bergabung ketika imam sudah berdiri dari rukuk atau ketika sujud, ia dianggap telah terlambat mengikuti rakaat tersebut dan harus melakukannya lagi

 

INILAH MOZAIK