Haji Bagi Narapidana, Bolehkah?

Haji sebagai rukun Islam kelima merupakan kewajiban bagi mereka yang mampu.  Secara pengertian syariat, haji berarti berangkat ke Tempat Suci untuk melaksanakan tawaf, sa’i, wukuf di Padang Arafah dan seluruh amalan manasik lain.

Allah SWT berfirman, “Mengerjakan haji merupakan kewajiban hamba terhadap Allah, yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkarinya maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran [3]:97).

Para ulama bersepakat syarat untuk menunaikan haji, yakni berakal, baligh, merdeka, dan mampu atau isthitha’ah. Makna mampu di sini terjadi perbedaan pendapat dalam kriterianya. Ada yang berpendapat dari segi pendanaan, bagi untuk melakukan perjalanan maupun untuk keluarga yang ditinggalkan. Ada pula yang berpendapat mampu dalam hal fisik atau kuat dalam melakukan perjalanan dan menempuh rukun-rukunnya.

Melihat standar kemampuan yang berbeda-beda, setiap orang yang memiliki kriteria di atas secara umum boleh untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sehat secara jasmani dan memiliki kekayaan melimpah namun fisiknya berada di dalam jeruji alias di penjara? Bolehkah seorang narapidana menunaikan ibadah haji?

Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haji untuk narapidana dalam fatwa bernomor 1 Tahun 2001. MUI melihat ayat perintah haji tersebut, kewajiban haji hanya bagi orang yang mampu.

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal menafsirkan kemampuan atau isthitha’ah dalam haji lebih dititikberatkan pada kemampuan biaya atau mal. Dari pendapat keduanya, orang sakit yang tidak dapat menunaikan haji sendiri namun ia memiliki biaya, ia sudah dipandang masuk dalam kriteria isthitha’ah. Caranya, dengan membiayai orang lain untuk menghajikannya.

Imam Syafi’i beragumentasi dengan hadis yang dikeluarkan Daraqutni dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ketika ayat tentang haji turun, seorang laki-laki berdiri dan bertanya ke Rasul SAW, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan sabil di ayat itu?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Biaya dan kendaraan’.”

Menurut Imam Syafi’I, hadis tersebut hanya mensyaratkan biaya dan kendaraan tanpa menyebutkan tentang kesehatan.

Selain itu, Imam Malik mengatakan bahwa syarat satu-satunya dalam tafsir isthitha’ah hanya pada kesehatan saja. Menurutnya, orang yang secara fisik tidak dapat melaksanakan ibadah haji sendiri maka gugur kewajibannya. Meskipun ia memiliki harta untuk menyuruh orang lain menghajikannya. Imam Malik berpendapat bahwa orang sakit masuk kategori tidak mampu karena haji harus dikerjakan oleh orang mukallaf sendiri. Imam Malik juga berpendapat bahwa ibadah haji tidak bisa diwakilkan.

Imam Abu Hanifah berpendapat hadis di atas hanya menjelaskan sebagian syarat wajib haji. Rasulullah SAW memang tidak menjelaskan syarat kesehatan. Namun, sehat sudah termaktub dalam jalan menuju Baitullah. Bagaimana mungkin, Imam Abu Hanifah menjelaskan, seseorang mengendarai kendaraan menuju Baitullah tanpa kondisi fisik yang prima. Jadi, Imam Abu Hanifah mensyaratkan isthitha’ah yang bermakna mampu dalam hal biaya dan sekaligus fisik.

Terkait diperbolehkannya mewakilkan haji, Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada hadis Abu Razin. Yakni, ia diperintahkan Rasulullah SAW untuk menghajikan ayahnya dan berumrah. Juga, Ibnu Abbas yang meriwayatkan seorang perempuan berkata, “Ya Rasulullah, kewajiban Allah berupa haji telah berlaku untuk ayahku, namun ia adalah seorang tua renta yang tak mampu lagi duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku menghajikannya?” Rasulullah menjawab, “Ya,” (muttafaq ‘alaih).

Komisi Fatwa MUI yang saat itu dipimpin KH Ma’ruf Amin menegaskan bahwa kemampuan berhaji mencakup kemampuan biaya dan kesehatan fisik. Jika kondisi badannya tidak memungkinkan untuk melaksanakan haji tersendiri, ia boleh melaksanakan haji dengan mewakilkannya.

Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, seorang narapidana berarti tidak mampu secara fisik untuk berangkat sendiri ke Tanah Haram karena sebuah kondisi. Namun, jika ia memiliki biaya maka kewajibannya tidak gugur dan bisa melaksanakan haji dengan mewakilkan kepada orang lain.

REPUBLIKA

Kisah Penjual Mi Ayam Menabung 22 Tahun untuk Pergi Haji

Kegigihan Linda Syafitri dalam mengumpulkan uang dengan berjualan makanan, membuat dia akhirnya mampu berangkat haji. Perempuan 32 tahun itu akan menunaikan rukun Islam kelima pada Agustus mendatang.

Sehari-harinya, Linda menjual mi ayam dan bakso di depan Gedung DPRD Sumut, Jl Imam Bonjol, Medan. Sejak kecil, dia memang terbiasa membantu ayahnya berjualan. Tahun ini, perempuan berkerudung itu terhitung telah berdagang selama 22 tahun. “Sudah lama juga ngumpulinnya (modal naik haji). Dari mulai uang jajan yang dikasih ayah dulu,” kata Linda saat ditemui wartawan, Kamis (19/7).

Linda mengaku memang dekat dengan ayahnya. Ibunya telah lama meninggal. Ini jugalah yang membuat dia akhirnya berniat memberangkatkan sang ayah ke Tanah Suci. Namun, ayahnya menolak.

“Pas terkumpul di tahun 2011, bulan puasa, saya bilang ke ayah saya, Ayah, yuk ke bank. Ayah mau saya berangkatin haji. Rupanya ayah saya enggak mau. Saya ajak tetap enggakmau juga. Ya sudahlah, saya aja yang berangkat,” ujar Linda.

Tujuh tahun menunggu, Linda akhirnya mendapatkan gilirannya. Warga Jl Sumarsono, Gang Masjid, Medan Helvetia, ini akan diberangkatkan pada 8 Agustus 2018. Dia tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 17 embarkasi Medan.

“Semoga setelah naik haji, saya menjadi manusia yang lebih baik lagi,” kata Linda.

 

REPUBLIKA

Cek Akomodasi Haji di Tanah Suci Melalui Aplikasi Cek Porsi Haji!

Musim Haji telah datang. Kini, calon jamaah haji bisa dengan muah mengetahui informasi seputar Akomodasi Haji di Tanah Suci dengan melihatnya melalui aplikasi berbasiskan Android melalui smartphone.

Download dan installah aplikasi Cek Porsi Haji, Klik di sini!

Informasi Akomodasi meruakan fitur terbaru dari Apliaksi Cek Porsi Haji. Fitur lainya, yang sudah banyak dimanfaatkan, di antaranya:

  1. Cek Jadwal Keberangkatan Calon Jamaah Haji berdasarkan Nomor Porsi Haji yang telah diperoleh Calon Jamaah Haji dari Kemenag RI;
  2. Artikel Islami/Dakwah setiap hari, minimal 6 kali sehari;
  3. Cek Visa Umrah. Inilah fitur yang bermanfaat bagi calon jamaah umrah untuk mengecek kepastian keberangkatanya sesuai dengan Visa yang didapat;
  4. Fitur dan informasi lainnya.

Semoga kedepannya aplikasi Porsi Haji ini makin sempurna dan lebih lengkap lagi agar bisa meberikan banyak manfaat bagi kita semua.

Semoga bagi calon jamaah haji dianugerahi Allah SWT sebagai haji mabrur, yang imbalannya surga. Dan, bag saudara-saudara lainnya yang belum mendaatkan kesempatan berhaji atau umrah, dimudahkan niat sucinya itu. Amien.

 

Shalat, Obat Hati dan Bekal Rohani

SHALAT yang khusyu’  mewujudkan ubudiah yang benar-benar karena Allah, ikhlas, pasrah, rendah diri terhadap Zat Yang Mahasuci. Di dalam shalat, mereka meminta segala sesuatu kepada Allah dan meminta dari Nya hidayah untuk menuju jalan yang lurus, dan Allah Mahakaya lagi mulia. Kepada-Nyalah, seseorang berkenan memohon ijabah dan mencurahkan segala sesuatu, baik dalam hal cahaya hidayah, limpahan rahmat, maupun ketenangan.

Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbarui semangat dan sekaligus sebagai peyucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan diri. Ia adalah pelipur lara dan pengaman dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan dan senjata bagi yang merasa terasing.

Dengan shalat, kita dapat memohon pertolongan atas ujian zaman, tekanan-tekanan orang lain, dan kekejaman pada durjana. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang beriman, jadikanlah shalat dan sabar sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS: Al- Baqarah: 153 )

Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam ketika menghadapi persoalan genting, beliau berlindung melalui shalat. Ruku dan sujud dalam shalatnya dilakukan secara khusyu’  , membawa rasa dekat kepada Allah. Bersama Allah pula, beliau merasa berada di suatu tempat atau sandaran yang kokoh, sehingga merasakan aman tenteram, percaya diri, dan penuh keyakinan, dan memperoleh perasaan damai, sabar terhadap segala bentuk ujian dan cobaan, serta rela terhadap takdir Allah atas dasar kesetiaan sejati dan kejujuran, dan memperkokoh cita-cita yang besar dalam kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya bagi hamba-Nya yang beriman dan bekerja secara jujur tanpa pamrih.

Shalat itu membersihkan jiwa dan menyucikan dari sifat-sifat buruk, khususnya sifat-sifat yang dapat mengalahkan cara hidup materialis, seperti: menjadikan dunia itu lebih penting daripada segala-galanya, mengomersialkan ilmu, dan mencampakkan rohaninya. Kasus semacam ini dicontohkan Allah Subhanahu Wata’ala dalam ayat,

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً

إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً

وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً

إِلَّا الْمُصَلِّينَ

الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ

Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” ( QS:Al–Ma’aarij :19-23)

Dalam ayat lain,

 “… Sesunguhnya shalat itu mencegah dari [ perbuatan-perbuatan ] keji dan mungkar…”  ( Al-Ankabuut : 45 )

Orang yang benar-benar melaksanakan shalat, dari shalat yang satu ke shalat lain, merasakan sempitnya waktu di dalam bersimpuh di bawah kekuasaan Allah. Ia memohon kepada-Nya untuk ditunjukkan jalan yang lurus dalam keadaan pasrah dan khusyu’  . Begitulah seterusnya dalam menyambut shalat berikutnya, sehingga terasa taka da putus-putusnya hubungan dengan-Nya, dan tidak putus-putusnya pula mengingat Allah, diantara shalat yang satu dengan yang lain, sehingga tak sempat lagi melakukan maksiat. Demikianlah Allah menaungi hamba-Nya yang memelihara shalatnya karena merindukan perjumpaan dengan-Nya dan sama sekali tidak mungkin menjauhkan-Nya.

Bagi siapa saja yang memelihara waktu-waktu shalat dan tujuan shalatnya benar-benar karena Allah, melatih dirinya menentang dan mengalahkan arus kesibukan hidup, tidak mendahulukan kepentingan materi, dengan demikian jiwanya mampu menaklukkan ujian dunia beserta kesenangannya, begitu pula dalam menumpuk-numpuk harta.

Allah berfirman,

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak [pula] oleh jual beli dari mengingat Allah, dan [dari] mendirikan shalat, dan [dari] membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang [di hari itu] hati dan penglihatan menjadi gonjang.”  (QS: An-Nuur : 37 )

Dalam shalat terdapat bekas dan kesan pendidikan lainnya. Misalnya, mendidik jiwa seseorang, yang dengan shalat itu, ia mampu merasakan wujud dari kesatuan umat di kalangan kaum muslimin diseluruh penjuru dunia yang mengarahkan sasaran shalat mereka ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah al-Haram. Perasaan persatuan ini juga menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi sesame kaum muslimin dalam kehidupan atau tanah air yang satu, yang terhimpun di dalam masjid setiap shalat.

Setiap shalat, mereka selalu memperhatikan tibanya waktu shalat dan menjaga atau berusaha keras untuk menunaikan secara tepat pada waktunya, sesuai dengan ketentuan syara. Mereka juga menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan-kesibukan demi terlaksananya kewajiban-kewajiban terhadap Rabb-Nya.

Juga menyangkut tertibnya shalat berjamaah yang barisnya lurus di belakang imam tanpa adanya celah kosong ( antara makmum yang satu dan makmum lainnya, di kanan dan di kirinya ), hal ini berarti mengembalikan kaum muslimim pada perlunya Nizham  ( tertib organisasi ).

Adapun yang berkaitan dengan disiplin terhadap imam yaitu tidak mendahuluinya, menunjukkan adanya ketaatan mutlak dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintah-perintahnya.

Kemudian berkaitan dengan imam yang lalai ( dalam bacaan, misalnya ) diharuskan bagi makmum untuk mengingatkannya (dengan membaca subhanallah) ini menunjukkan keharusan  makmum menegur atau mengingatkan pemimpinnya jika lalai atau melakukan kesalahan.

Demikian juga pada shalat berjamaah, agar diperhatikan dalam pengisian shaf , yaitu agar tidak didasarkan atas status social jamaah, juga tidak memandang  kekayaan atau pangkat walaupun dalam shaf  terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak ( al-musaawah) tanpa mempedulikan tingginya kedudukan maupun tuanya umur.

Shalat pun memberikan kesan kesehatan, yang terwujud dalam gerakan-gerakan pada setiap rakaatnya, yaitu pada shalat fardhu, lima kali sehari (17 Rakaat) secara seimbang. Hal ini menunjukkan suatu olahraga fisik pada waktu yang teratur, dengan cara yang sangat sederhana dan mudah dalam gerakan-gerakannya.*/Ziyad Makareem, dari buku Berjumpa Allah lewat Shalat karya Syekh Mustafa

 

HIDYATULLAH

Menjodohkan Anak tanpa Izin, Bolehkah?

Perjodohan masih menjadi permasalahan klasik yang terus menyeruak pada era modern. Perempuan-perempuan masa kini menolak perjodohan yang dilakukan orang tuanya dengan alasan zaman. Kisah Siti Nurbaya dijadikan alasan jika perjodohan hanya identik dengan predikat kuno dan primitif.

Sebenarnya, bolehkah seorang orang tua atau wali menjodohkan anak perempuannya tanpa kerelaan sang anak? Pembahasan tentang perjodohan anak perempuan mendapat perhatian dari para ulama. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya menjodohkan anak perempuan tanpa kerelaan sang anak.

Perwalian hakikatnya adalah hak yang diberikan Islam kepada sebagian orang atas orang lain dengan tujuan tertentu demi merealisasikan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Orang yang memiliki hak perwalian ini wajib ditaati oleh orang yang diwalikan kepadanya baik suka maupun tidak suka.

Dua sebab terjadinya perwalian, yakni adanya ketidakmampuan dan ketidaklayakan pada seseorang. Adanya salah satu dari dua sebab ini, menurut para ulama, cukup untuk menjadikan berlakunya hak perwalian orang lain atasnya.

Dalam kitab ad-Duur al-Mukhtar disebutkan perwalian adalah pemberlakuan pendapat atas orang lain. Para ulama menyebut hak perwalian yang otomatis berlaku baik suka maupun tidak suka dengan sebutan hak perwalian ijbar (pemaksaan).

Menurut ulama Hanafiyah, perwalian ijbar tidak dilakukan, kecuali atas anak perempuan yang masih kecil (belum baligh) dengan illat (sebab) perwalian ini merupakan usia anak yang masih kecil. Masih menurut  ulama Hanafiyah, jenis perwalian tersebut tidak berlaku pada anak gadis yang sudah baligh. Anak yang  sudah baligh tidak mendapatkan pemaksaan dalam perwalian, namun hanya berupa anjuran. Hal ini termasuk urusan pernikahan.

Kitab Tabyin al-Haqaiq menyebutkan bahwa perwalian dalam nikah ada dua. Pertama, perwalian yang dianjurkan saja untuk wanita baligh dan berakal baik perawan atau sudah menikah. Kedua, perwalian ijbar, yakni perwalian atas gadis kecil yang sifatnya mengikat.

Ulama dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa perwalian ijbar ini ditujukan kepada setiap gadis perawan baik yang masih kecil maupun yang telah baligh. Ulama Malikiyah hanya memberikan hak ini kepada ayahnya saja, semdangkan ulama Syafi’iyah memberikannya kepada ayah dan kakek.

Al-Baqi dalam al-Muntaqa berkata, “Kakek dan para wali selain ayah tidak boleh memaksa gadis perawan untuk menikah. Inilah yang dikatakan Malik.”

Seorang ulama Syafi’iyah, As-Suyuthi dalam al-Asybah wa an-Nazhair berpendapat bahwa ayah dan kakek memiliki beberapa hukum yang khusus, di antaranya hak perwalian ijbar untuk menikahkan anak perempuan dan laki-laki.

Al-Khatib asy-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj berpendapat, ayah berhak menikahkan gadis perawan baik masih kecil maupun telah dewasa tanpa izin darinya. Namun, disunahkan untuk meminta izin darinya. Ayah  tidak boleh menikahkan anak yang pernah menikah, kecuali dengan izinnya. Posisi kakek seperti ayah jika ia telah tiada.

Mantan mufti agung Mesir Syekh Prof Ali Jum’ah Muhammad berpendapat sesuai dengan Mazhab Hanafiyah. Syarat terlaksananya pernikahan dari seorang wali atas anak perempuannya yang telah baligh dan berakal, yaitu adanya izin dan kerelaan dari sang anak.

Dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i berpendapat tentang pelibatan sang anak perempuan dalam rencana pernikahan. “Jika seorang wali menikahkan anak perempuan dengan orang berpenyakit kusta, orang gila, atau yang dikebiri maka pernikahan tersebut tidak boleh. Jika anak tersebut telah baligh, ia memiliki hak khiyar (memilih) bila mengetahui penyakit-penyakit tersebut sejak awal.”

Jika seorang anak gadis telah dinikahkan tanpa kerelaannya, ada ulama yang membolehkan sang anak untuk memilih meneruskan pernikahannya atau berpisah. Dalilnya sebuah hadis dari Ibnu Abbas RA, beliau menceritakan, “Ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan bahwa ayahnya menikahkannya, sementara dia tidak suka. Kemudian, Rasulullah SAW memberikan hak pilih kepada wanita tersebut (untuk melanjutkan pernikahan atau pisah).” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah). Allahu a’lam.

Cara Lindungi Diri dari Cuaca Ekstrem di Saudi

Cuaca di Tanah Suci selama musim haji diperkirakan akan mencapai 40-50 derajat Celcius. Kondisi ini membuat jamaah haji akan dihadapkan dengan cuaca panas yang ekstrem selama beribadah.

Agar kondisi fisik tetap prima di bawah terik matahari, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan jamaah haji. Salah satunya adalah menjaga asupan cairan yang cukup agar tidak dehidrasi dan mengalami heat stroke atau serangan panas.

“Minimal dua liter (air putih per hari), tapi juga bisa lebih karena panas,” ujar spesialis gizi klinik dari RSCM dan juga RSIA Bunda Aliyah, Nurul Ratna Mutu Manikam kepada Republika.co.id.

Meskipun tidak merasa haus, jamaah haji disarankan menyempatkan diri minum air secara teratur. Persediaan air minum yang cukup banyak di Tanah Suci juga perlu dimanfaatkan dengan baik.

Untuk menyiasati kebutuhan cairan di cuaca panas yang cukup ekstrem, jamaah haji juga disarankan memilih makanan yang berkuah. Dengan begitu, jamaah haji akan mendapatkan tambahan asupan cairan saat makan.

Nurul mengatakan jamaah haji jangan ragu banyak minum air hanya karena dapat memicu buang air kecil lebih sering. Alasannya, konsekuensi kurang minum di saat cuaca panas jauh lebih buruk dari sekadar bolak-balik ke toilet akibat banyak minum.

“Karena dehidrasi bisa bikin meninggal, heat stroke, terutama (pada) orang tua,” kata Nurul.

Senada dengan Nurul, spesialis kedokteran olahraga dari Rumah Sakit Jakarta, Grace Tumbelaka juga menyarankan jamaah haji banyak minum selama di Tanah Suci. Jamaah haji perlu lebih memperbanyak minum air jika warna urine terlihat mulai pekat.

Mengingat cuaca yang sangat panas dan berangin, jamaah haji juga perlu melindungi diri dari paparan cahaya matahari langsung agar fisik tetap prima. Selain menggunakan pakaian dengan bahan yang menyerap keringat, jamaah haji juga disarankan menggunakan penutup kepala.

“Kepala harus ditutupi supaya (sinar) matahari tidak langsung kena kepala, dan proses penguapannya juga nggak cepat kan,” jelas Grace.

Kepala Pusat Kesehatan Haji Eka Jusuf Singka juga menekankan pentingnya menghindari paparan sinar matahari langsung selama beribadah di Tanah Suci. Untuk itu, jamaah haji disarankan selalu membawa alat pelindung diri (APD) setiap kali keluar dari pondokan.

Salah satu APD yang sebaiknya dipakai jamaah haji saat beraktivitas di luar ruangan adalah payung. Beberapa APD lain yang tak kalah penting untuk selalu dibawa jamaah haji adalah kacamata hitam, masker, botol semprotan, alas kaki dan kantong alas kaki.

“Kalau mau keluar, lihat-lihat cuacanya,” kata Eka.

 

REPUBLIKA

Innalillahi, Kiai Karismatik Saifuddin Amsir Meninggal Dunia

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Telah berpulang guru serta kiai panutan umat Muslim khususnya di Jakarta, Abuya KH Saifuddin Amsir pada Kamis (20/7). Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 01.20 WIB di Rumah Sakit OMNI Pulomas.

Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengunggah kabar meninggalnya KH Saifuddin di akun media sosialnya, Instagram. Ia mendoakan ahli fikih dari Betawi tersebut agar amal ibadahnya diterima Allah SWT.

Dilansir dari NU Online, warga Nahdliyin Jakarta pasti mengenal kiai kharismatik ini. Saifuddin bin Amsir Naiman al-Batawiy adalah salah seorang ulama Betawi terkemuka abad ke-21. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang sangat berpengaruh di Jakarta.

Beberapa karya yang telah diraciknya dari pelbagai literatur klasik karangan para sarjana masa lalu merupakan bukti kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki KH Saifuddin Amsir. Sejumlah karyanya merupakan masterpiece yang telah diteliti oleh para sarjana dalam dan luar negeri.

Karyanya yang telah dicetak antara lain Tafsir Jawāhir al-Qur’ān (empat jilid), Majmū’ al-Furū’ wa al-Masāil (tiga jilid), dan al-Qur’ān, I’jazan wa Khawāshan, wa Falsafatan. Selain beraliran tafsir falsafi, kitab ini merupakan racikan dari beberapa tema dari kitab Jawāhir al-Qur’ān (hlm. 1-140), al-Dzahāb al-Ibrīz fi Khawāsh al-Qur’ān al-Aziz (142-172),Qānūn al-Ta’wīl (173-184).

Ketiganya karya Hujjat al-Islām Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazāli ath-Thūsī asy-Syāfi’ī. Kitab ini juga terinspirasi dari beberap kitab. Antara lain Fadhāil al-Qur’ān karya Syeikh al-Hāfidz Ibn Katsir (hlm. 175-312), ‘Ajāib al-Qur’ān karya Syeikh Fakhruddin al-Rāzī (hlm. 313-475), dan al-Dur al-Nadzim fi Khawāsi al-Qur’ān al-Karīm karya Imam al-Yafi’i (hlm. 477-623).

Komentar yang ditulis Kiai Saifuddin Amsir menyertai tiap bahasan yang dinukil dari kitab-kitab tersebut. Dalam menyusun karyanya, Rais Syuriah PBNU ini memilih karya-karya Imam al-Ghazali sebagai rujukan yang sangat representatif dalam membahas tema-tema terkait dengan I’jāz (Kemukjizatan), Khawās (Kekhususan), dan Falsafat (Filosofi) al-Qur’an.

Dalam daftar pustaka karangannya, disebutkan al-Ghazali memiliki karya tafsir sebanyak 30 jilid. Kiai Saifuddin sempat mengatakan pemikiran brilian al-Ghazali tak hanya menjadi rujukan para sarjana Muslim, tetapi juga sarjana non-Muslim.

Semasa hidupnya, KH Saifuddin dikenal sebagai orang yang taat. Di luar kesibukannya berkarya, ia masih tetap istiqamah menggawangi berbagai majlis ta’lim yang tersebar di seantero Jakarta. Hari-harinya penuh jadwal pengajian di berbagai tempat.

Kiai Amsir akrab disapa Abuya oleh masyarakat Betawi. Ia merupakan sosok yang rendah hati. Tak jarang, santri yang senantiasa menyertainya merasa akrab bak teman sejawat. Namun, ketika sedang mengajar atau di atas mimbar, kharismanya menguasai.

Kemampuan panggungnya ini menarik para politisi untuk mendekat agar bersedia bergabung dengan partai tertentu. Namun, Kiai Amsir dengan halus menolak semua politisi yang melobinya. Meski demikian, ketika PBNU membidani kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kiai Amsir pernah bergabung lantaran penghormatannya yang besar kepada Gus Dur.

 

REPUBLIKA

Islam Beri Perhatian Kesehatan THT

Pengobatan dunia Islam dikenal dengan pengobatan tingkat tinggi dengan memperhatikan observasi klinis dan mengesampingkan mitos serta legenda.

Pengobatan telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) merupakan contoh partisipasi pengobatan dunia Islam dan kontribusi pada studi anatomi, fisiologi, dan penyakit bagi dunia Arab.

Memutihkan Gigi, Bolehkah?

Wanita secara natural ingin tampil cantik dan menawan. Tentu kecantikan sejatinya hanya untuk suaminya jika ia sudah menikah. Meski banyak pula wanita yang rela tampil cantik di muka umum demi mendapat pujian.

Salah satu cara yang dilakukan untuk tampil cantik adalah melakukan pemutihan gigi atau bleaching. Bleaching gigi bahkan menjadi tren gaya hidup bagi seseorang yang ingin tampil menawan.

Bleaching atau teknik memutihkan gigi bisa dilakukan dengan beberapa cara. Biasanya menggunakan bahan-bahan kimia, seperti gel pemutih gigi, pasta gigi, hingga obat kumur. Lalu apakah boleh seorang Muslimah melakukan pemutihan gigi?

Islam pada dasarnya mencintai kebersihan dan keindahan. Karena itu, Islam menganjurkan umat Islam untuk menjaga kebersihan dan senantiasa bersih dalam segala hal. Allah SWT berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS al-Baqarah [2]:222).

Termasuk menjaga kebersihan diri adalah menjaga kebersihan gigi dan mulut. Bahkan, Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk menjaga kondisi gigi dan mulut dengan bersiwak.

Rasulullah SAW bersabda, “Siwak membersihkan mulut dan membuat ridha Allah.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Al Hakim dan al-Baihaqi). Dalam riwayat Imam Ahmad, Rasulullah bersabda, “Kalau saja tidak memberatkan umatku, akan aku suruh menggunakan siwak setiap akan shalat.”

Siwak dan sikat gigi menjadi cara seseorang untuk menjaga kesehatan dan kebersihan gigi. Sehingga, gigi yang kotor dan berwarna kuning justru harus dibersihkan. Memutihkan gigi sendiri tidak termasuk mengubah ciptaan Allah SWT yang masuk kategori haram. Sebab, gigi pada dasarnya berwarna putih.

Jika tindakan memutihkan gigi sendiri tak masalah, yang harus diperhatikan adalah metodenya. Menjaga kebersihan gigi agar tampak putih dengan bersiwak tentu dibolehkan. Bahkan, bernilai sunah muakad karena dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Namun, jika menggunakan teknik bleaching, harus benar-benar diperhatikan dampaknya terhadap kesehatan. Memutihkan gigi dengan teknik bleaching ternyata bisa menyebabkan gigi sensitif karena menggunakan bahan-bahan kimia.

Menurut Profesor Linda C Niessen MD dari A&M Health Science Center Baylor College of Dentistry, Dallas, gigi yang sensitif akibat pemutihan dengan bahan kimia berarti proses tersebut kurang aman.

Setelah melakukan bleaching, bisa muncul efek seperti kesemutan ringan pada gigi saat mengonsumsi minuman dingin atau panas. Artinya, jika hal itu terjadi, sensitivitas pada gigi meningkat. Hal ini disebabkan adanya abrasi pada lapisan gigi.

Jika hal itu terjadi, melakukan bleaching sebaiknya tidak dilakukan. Karena justru merusak  kesehatan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.”

Maka dibanding berbagai teknik lain, sangat dianjurkan menjaga kesehatan gigi dengan bersiwak. Selain bisa memutihkan gigi, juga bernilai sunah. Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, “Hendaklah kamu bersiwak, sebaik-baiknya sesuatu adalah siwak. Menghilangkan lubang, memudahkan keluarnya dahak, menajamkan pandangan, menguatkan gusi, menghilangkan bau, memperbaiki pencernaan, meningkatkan  derajatnya di surga, menyenangkan malaikat, membuat ridha Allah, dan membuat benci setan (HR Abdul  Jabbar Al Khaulani, Menurut As-Suyuti hadis sahih).