Untukmu Wahai Pencari Kebaikan, Inilah Saatnya

Tidak asing lagi bagi para pencari kebaikan, bahwasanya bulan Ramadan adalah bulan yang sarat akan kebaikan-kebaikan. Bagi para pencari kebaikan, bulan Ramadan bukanlah waktu untuk sebatas menunaikan kewajiban rukun islam berupa puasa, bukan pula untuk sebatas melepas tanggung jawab saja.

Namun, mereka memandang bulan Ramadan adalah waktu dan momentum yang tepat untuk melakukan ketaatan-ketaatan, meningkatkan keimanan dan ketakwaan, waktu untuk berjalan di atas ketaatan dan melepaskan segala kemaksiatan. Demikianlah halnya pandangan orang-orang beriman, orang-orang yang mencari kebaikan pada bulan ini.

Allah Ta’ala berfirman,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) menafsirkan ayat di atas dengan berkata,

يَقُوْلُ تَعَالَى مُخَاطِبًا لِلْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ هَذِهِ الآيَةِ، وَآمِرًا لَهُمْ بِالصِّيَامِ

Pada ayat ini, Allah Ta’ala berfirman secara langsung kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk berpuasa.[1]

Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang beriman bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk berpuasa di bulan Ramadan. Sehingga, pantaslah mereka menyambut bulan ini dengan penuh suka cita dan riang gembira. Tidak sampai di situ, terdapat hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau memberikan kabar yang membuat gembira para sahabatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَك، فَرَضَ اللّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أبْوَابُ السَّمَاء، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، لِلّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Telah datang kepada kalian Ramadan, bulan yang penuh dengan keberkahan. Allah ‘Azza Wajalla telah mewajibkan atas kalian untuk berpuasa. Pada bulan Ramadan, dibukakan pintu-pintu langit, ditutup pintu-pintu (neraka) jahim, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan Ramadan, Allah memiliki malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang terhalang untuk mendapatkan kebaikan pada malam itu, maka ia telah merugi.[2]

Bulan Ramadan ini merupakan bulan yang dapat memberikan kebahagiaan tersendiri bagi pencari kebaikan, bagi mereka yang beriman. Bagaimana tidak? Bulan ini adalah bulan yang penuh dengan keberkahan. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan di atas. Keberkahan Ramadan terus mengalir di setiap saat, di setiap waktu demi waktu, dari jam ke jam. Maka, untukmu para pencari kebaikan di bulan ini, ketahuilah!

Ramadan adalah bulan yang penuh berkah

Di antara yang menunjukkan berkahnya bulan Ramadan adalah dikarenakan:
Pertama: Pada bulan Ramadan, terdapat syariat puasa. Yaitu, dengan menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami istri.
Kedua: Pada bulan Ramadan, dibukakan pintu-pintu langit.
Ketiga: Pada bulan Ramadan, dibukakan pintu-pintu surga. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

تُفْتَحُ فِيهِ أبْوَابُ الجَنَّةِ

Pada bulan Ramadan, dibukakan pintu-pintu surga.”[3]
Keempat: Pada bulan Ramadan, ditutup pintu-pintu neraka.
Kelima: Pada bulan Ramadan, setan-setan dibelenggu.
Keenam: Pada bulan Ramadan, terdapat satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan.

Keberkahan ini begitu spesial, karena hanya terdapat pada bulan Ramadan dan tidak ada di bulan-bulan selainnya. Seperti contohnya pintu surga terbuka, pintu neraka tertutup, dan setan-setan dibelenggu. Ini semua hanya terdapat pada bulan Ramadan dan ini semua merupakan keberkahan yang begitu besar. Keberkahan yang seharusnya dapat mengasah semangat para pencari kebaikan, menyalakan kembali tekad-tekad yang tinggi, dan membangkitkan semangat kaum muslimin untuk kembali kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.[4]

Wahai pencari kebaikan! Inilah saatnya untuk bersegera kepada ketaatan

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi rahimahullah (wafat th.279), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

Pada malam pertama bulan Ramadan, setan-setan dan jin-jin yang jahat dibelenggu. Pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu pun pintu neraka yang terbuka. Dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satu pun pintu surga yang tertutup. Serta, seorang penyeru menyeru, ‘Wahai yang mengharapkan kebaikan, bersegeralah (kepada ketaatan). Wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat, berhentilah. Allah memiliki hamba-hamba yang diselamatkan dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadan.[5]

Perhatikanlah secara seksama sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ

Seorang penyeru menyeru, ‘Wahai yang mengharapkan kebaikan, bersegeralah (kepada ketaatan).’”
Maka, bersegeralah! Engkau sudah berada pada musim dan kesempatan yang penuh kebaikan dan ketaatan. Bersegeralah dan bersemangatlah! Jangan engkau sia-siakan kesempatan emas ini! Inilah saatnya kita berada pada waktu yang penuh dengan keuntungan berupa kebaikan yang berlimpah.

وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ

Wahai yang mengharapkan keburukan atau maksiat berhentilah.

Maksudnya, amat sangat tidak layak bagi seseorang yang ingin melakukan perbuatan buruk atau terbesit padanya suatu keburukan, untuk memberikan celah bagi dirinya tenggelam pada keburukan itu, Hanyut dalam kesesatan itu dan terus menerus berada pada kesesatan itu di musim yang mulia dan penuh dengan keberkahan ini.

Jika hatimu tidak tergerak, tidak ada ambisi dan semangat sama sekali untuk melakukan ketaatan di bulan Ramadan ini, tidak ada keinginan untuk menyesali perbuatan buruk, untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala. Pertanyaannya; “Di bulan mana lagi hatimu akan tergerak untuk melakukan ketaatan?.”[6] Maka, inilah momentum yang sangat tepat dan kesempatan terbaik untukmu wahai pencari kebaikan.

وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

Allah memiliki hamba-hamba yang diselamatkan dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadan.”
Allah Ta’ala pada setiap malam di antara 2522 malam-malam yang mulia, di bulan Ramadan, membebaskan hamba-hamba-Nya dari neraka jahanam. Seorang muslim hendaknya berusaha untuk memperoleh hal ini, agar dirinya diselamatkan oleh Allah Ta’ala dari neraka-Nya. Dan ini merupakan kemenangan yang sesungguhnya.[7]

Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفۡسٍ۬ ذَآٮِٕقَةُ ٱلۡمَوۡتِ‌ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ‌ۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَ‌ۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلۡغُرُورِ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

Untukmu wahai pencari kebaikan, berbahagialah dengan hadirnya bulan Ramadan ini. Pancarkanlah sinar-sinar kebahagiaan dalam hatimu, letakkanlah bulan ini di tempat yang tertinggi di dalam hatimu. Pujilah Allah Ta’ala karena telah memberikan kepadamu karunia-Nya untuk sampai kembali kepada bulan ini. Bersyukurlah kepada Allah atas nikmat ini. Tentunya di antara bentuk syukur kepada Allah adalah bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah dan ketaatan di bulan ini, dan jangan lupa untuk menunaikan hak-hak Allah pada bulan Ramadan ini.

Untukmu wahai pencari kebaikan, inilah saaatnya untuk mengsampingkan dan mengerdilkan ego dan emosimu. Selimutilah dirimu dengan kebaikan dan kesabaran.

Untukmu wahai pencari kebaikan, inilah saatnya untuk meninggalkan segala perkataan dusta, sumpah serapah, perkataan kasar, dan semisalnya. Kembalilah dan katakanlah perkataan yang mulia.

Untukmu wahai pencari kebaikan, inilah saatnya untuk kembali kepada Al-Qur’an yang mungkin engkau telah melupakannya selama sebelas bulan belakangan ini. Engkau tinggalkan ia dalam keadaan usang dan berdebu. Ambillah Al-Qur’anmu! Bacalah dan tadaburi makna-maknanya!. Berusahalah untuk membacanya dengan lancar dan sempurna. Kelak engkau akan mendapatkan syafa’at dan dikumpulkan bersama para malaikat yang mulia.

Untukmu wahai pencari kebaikan, inilah saatnya untuk memperbaiki dan berbenah diri. Mungkin di bulan ramadan sebelumnya engkau tenggelam di dalam kelalaian, tenggelam dalam bujuk rayu setan untuk tetap bermalas-malasan, tidur-tiduran, menggunakan gadget secara berlebihan. Inilah saatnya untuk memperbaiki itu semua.

Untukmu wahai pencari kebaikan, inilah saatnya.

Wallahul muwaffiq.

***

Depok, 2 Ramadan 1445 H / 13 Maret 2024

Penulis: Zia Abdurrofi

Sumber: https://muslim.or.id/92573-untukmu-wahai-pencari-kebaikan-inilah-saatnya.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Mencium Istri di Siang Hari, Apakah Puasanya Batal?

Rasulullah ﷺ membolehkan orang yang kuat menahan syahwatnya untuk mencium istrinya pada waktu puasa dan melarangnya bagi yang tidak kuat menahan syahwatnya

ADA orang yang berpuasa, tapi pada siang hari ia mencium istrinya. Apakah puasanya tidak batal ustadz?

Jawaban: Orang yang berpuasa dan mencium istrinya tidak lepas dari dua keadaan. Pertama; orang tersebut kuat menahan syahwatnya.

Artinya, dia hanya sekedar mencium saja dan bisa menahan diri untuk tidak melanjutkan kepada hal-hal yang lebih dari itu. Untuk golongan seperti ini, menurut mayoritas ulama dibolehkan untuk mencium istri atau suaminya dalam keadaan berpuasa.

Apakah ini dikhususkan bagi suami istri yang sudah tua saja?

Jawaban: Hal ini tidak dikhususkan bagi pasangan suami istri yang tua saja, tetapi mencakup juga pengantin baru atau pasangan suami istri yang masih muda, asal kuat menahan syahwatnya.

Kedua; orang tersebut tidak kuat menahan syahwatnya. Artinya, jika ia mencium istrinya kemungkinan akan berlanjut pada hal yang lebih dari itu, bahkan sampai pada hubungan badan.

Untuk golongan yang kedua ini, hukum mencium istri ketika puasa menjadi makruh karena dikhawatirkan akan menjurus kepada hal-hal yang membatalkan puasa.  Bahkan bisa menjadi haram jika ia yakin hal tersebut akan menghantarkannya pada hubungan badan.

Dasar pijakan dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a:

عن عاشة رضى الله عنها قالت :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل وهو صائم ويباشر وهو صائم ،  ولكنه كان أملككم لأربه .

“Dari Aisyah ra bahwasanya ia berkata: “Bahwasanya Rasulullah mencium (istrinya) sedang beliau  dalam keadaan puasa , begitu juga beliau menyentuh istrinya sedang beliau dalam keadaan puasa, tetapi beliau paling kuat menahan syahwatnya diantara kalian.” (HR Bukhari Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya maka tidak apa  mencium istrinya  dalam keadaan puasa.

2. Hadits riwayat Umar r.a:

وعن عمر رضي الله عنه، قال: هششت يومًا، فقبلت وأنا صائم، فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت: إني صنعت اليوم أمرًا عظيمًا: قبلت وأنا صائم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” أرأيت لو تمضمضت بماء وأنت صائم؟ ” قلت: لا بأس بذلك، قال ” ففيم؟ “

“Diriwayatkan dari Umar r.a, ia berkata: Pada suatu hari aku senang melihat istriku, kemudian aku menciumnya sedang aku dalam keadaan puasa. Kemudian aku datang kepada Rosulullah ﷺ sambil berkata, ’Pada hari ini aku telah melakukan  sesuatu yang besar, saya telah mencium istriku dalam keadaan puasa.’ Rosulullah bersabda, ’Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur dengan air dalam keadaan puasa?’ Saya berkata, ‘tidak apa-apa.’ Bersabda Rasululullah , ‘Kalau begitu, apa yang ditanyakan?’.” (Hadits Shahih, HR Abu Daud).

Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasululullah ﷺ tidak menegur Umar bin Khattab ra ketika mencium istrinya dalam keadaan berpuasa. Karena Rasululullah ﷺ mengetahui bahwa Umar ra orang yang kuat menahan syahwatnya maka ia dibiarkan saja.

Bahkan beliau memberitahu Umar bahwa mencium istri pada waktu puasa hakikatnya seperti orang yang berwudlu dalam keadaan puasa.

3. Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a:

وعن أبي هريرة رضى الله عنه  أن رجلاً سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن المباشرة للصائم فرخَّص له، وأتاه آخر فنهاه ،  فإذا الذي رخص له شيخ، والذي نهاه شاب .

“Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah tentang sentuhan antara suami istri yang sedang berpuasa. Maka Rosulullah memberikan keringanan baginya, kemudian datang laki-laki lain yang bertanya tentang hal itu juga, tapi Rasulullah   kali ini melarangnya.  Berkata Abu Hurairah, ‘Ternyata yang diberi keringanan adalah orang yang sudah tua, sedang yang dilarang adalah orang yang masih muda’.” (Hadits Hasan, HR Abu Daud dan Baihaqi).

4. Hadits riwayat Abdulah bin Amru bin Ash r.a:

وعن  عبد الله بن عمرو بن العاص قال :كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم، فجاء شاب فقال: يا رسول الله، أقبل وأنا صائم؟ فقال: “لا” فجاء شيخ فقال: أقبل وأنا صائم؟ قال: “نعم” .

Dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwasanya ia berkata: “Suatu ketika kami bersama Rosulullah , tiba-tiba datang seorang pemuda bertanya, “Wahai Rasulullah bolehkah saya mencium istri saya dalam keadaan puasa?’ Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’ Kemudian datang seorang yang tua bertanya, ’Wahai Rasulullah bolehkah saya mencium istri saya dalam keadaan puasa?’ Beliau menjawab, ‘Boleh’.” (HR Ahmad, hadits ini shohih menurut Syekh Muhammad Syakir).

Hadits Abu Hurairah dan Abdullah bin Amru r.a di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ membolehkan orang yang kuat menahan syahwatnya untuk mencium istrinya pada waktu puasa dan melarangnya bagi yang tidak kuat menahan syahwatnya.

Adapun perkataan Abu Hurairah dan Abdullah bin Amru yang menjelaskan bahwa yang dibolehkan adalah orang yang sudah tua, sedang yang dilarang adalah orang yang masih muda, itu hanya kebetulan saja.

Sebab, rata-rata orang yang sudah tua lebih kuat menahan syahwatnya dibanding yang muda. Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan jika sebagian yang muda justru lebih kuat menahan syahwatnya dari pada yang tua.

Maka ukuran yang tepat dalam hal ini bukanlah tua dan muda tetapi ukurannya adalah yang kuat menahan syahwatnya dan yang tidak kuat, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Wallahu A’lam.*/Dr. Ahmad Zain an-Najah, Lc, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Memecah Salat Tarawih untuk Salat Malam Lailatulqadar

Pada akhir Ramadan, kita biasa menyaksikan pemecahan salat tarawih. Salat yang sebelumnya hanya di awal saja (bakda Isya), dipecah menjadi dua waktu: sebagian di awal dan sebagian di akhir (menjelang sahur). Apakah hal tersebut diperbolehkan oleh syariat? Sebagai makmum, bagaimana kita menyikapinya?

Berikut ini beberapa poin pembahasan, yang insyaAllah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jelas.

Keutamaan qiyam Lailatulqadar

Qiyam Lailatulqadar adalah suatu ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, dan memiliki keutamaan yang luar biasa. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis,

مَن قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Lailatulqadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.[1]

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan keutamaan malam Lailatulqadar, bahwa siapa pun yang menghidupkan malam yang penuh berkah ini dengan melaksanakan salat dan membaca Al-Qur’an, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu, kecuali dosa-dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Karena telah disepakati bahwa dosa-dosa tersebut tidak akan diampuni, kecuali dengan rida mereka. Namun demikian, hal ini harus dilakukan dengan “iman dan mengharapkan pahala,” yaitu dengan sungguh-sungguh meyakini keutamaan malam tersebut dan berbuat amal baik di dalamnya dan bertujuan mencari keridaan Allah dalam ibadah-ibadahnya.

Balasan dinyatakan dalam bentuk lampau ( غُفِرَ) yang artinya “diampuni” , padahal ampunan tersebut akan terjadi di masa yang akan datang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa hal tersebut pasti terjadi, dan merupakan anugerah dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya. [2]

Hakikat qiyam Lailatulqadar

Tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

من قام ليلة القدر

Barangsiapa yang melakukan qiyam Lailatul Qadar,”

Syekh Shalih bin Abdullah bin Hamad Al-’Ushaimiy hafidzahullah mengatakan,

(هذا) دال على أن العبادة المستحبة في ليلة القدر هو قيام تلك الليلة، وإنما يكون قيامها بإطالة الصلاة، وكثرة قراءة القرآن في أثناء تلك الصلاة. وأما ما عدا ذلك من الأعمال فهو دون مرتبة الصلاة.

Ucapan Nabi tersebut menunjukkan bahwa ibadah yang dianjurkan pada malam Lailatulqadar adalah melakukan qiyam (salat malam) pada malam itu. Qiyam Lailatulqadar tersebut hanyalah dengan memperpanjang salat dan memperbanyak membaca Al-Qur’an di dalam salat tersebut. Sedangkan amalan-amalan ibadah selainnya, maka amalan tersebut di bawah tingkatan salat.

Kemudian, beliau hafidzahullah melanjutkan, “Namun, disunahkan bagi seorang hamba jika dia melakukan salat pada malam tersebut dan membaca Al-Qur’an, untuk berdoa kepada Allah. Karena dia melakukannya dengan harapan lebih dikabulkan, bukan karena malam Lailatulqadar. Hal ini karena tidak ada bukti bahwasanya malam Lailatulqadar merupakan malam terkabulkannya doa. Malam Lailatulqadar yang menjadikan doa di dalamnya lebih terkabulkan adalah karena doa tersebut terkait dengan amalan yang baik, yaitu qiyam (salat malam) pada waktu yang baik, yaitu malam yang penuh harapan untuk dijawab doanya.” [3]

Empat tingkatan qiyam Lailatulqadar

Setelah kita mengetahui bahwasanya qiyam Lailatulqadar hanya khusus pada amalan salat, maka kita dapat mengelompokkan tingkatan-tingkatan manusia dalam melaksanakannya.

Syekh Shalih Al-’Ushaimiy hafidzahullah menyebutkan bahwasanya ada empat tingkatan salat malam Lailatulqadar yang disunahkan:

Tingkatan pertama: Melakukan salat malam sepanjang malam.

Tingkatan kedua: Melakukan salat malam pada awal dan akhir malam, sehingga melakukan sebagian salat malam di awal malam, kemudian melanjutkan sebagian lainnya di akhir malam.

Tingkatan ketiga: Melakukan salat malam hanya pada akhir malam.

Tingkatan keempat: Melakukan salat malam hanya pada awal malam, setelah salat Isya.

Yang paling sempurna adalah jika seorang hamba mampu untuk mengisi sepuluh malam terakhir Ramadan dengan salat, membaca Al-Qur’an, berdoa, dan melakukan iktikaf di masjid (yaitu, tingkatan yang pertama). Namun, jika tidak mampu, disarankan untuk melakukan qiyam pada awal dan akhir malam, melakukan salat, membaca Al-Qur’an, dan berdoa sebisa yang mampu di awal malam, kemudian melanjutkannya di akhir malam (yaitu, tingkatan kedua). Jika masih tidak mampu, maka dapat melakukan qiyam di salah satu sisi malam, dan lebih disarankan untuk mengakhirkan salat hingga akhir malam (yaitu, tingkatan ketiga) jika memungkinkan, karena melakukan salat malam di akhir malam lebih utama daripada di awal malam (yaitu tingkatan keempat). [4]

Hukum memisahkan Tarawih antara awal dan akhir malam

Dari tingkatan-tingkatan di atas, kita mengetahui bahwasanya jika seseorang tidak mampu untuk salat malam semalam suntuk (sebagaimana praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), maka disarankan untuk melakukan qiyam pada awal dan akhir malam.

Oleh karena itu, jika salat Tarawih dipisah antara awal dan akhir malam, dan Witir dikerjakan di akhir malam, itu tidak masalah. Jika mereka menyelesaikan rakaat Tarawih dan menunda Witir hingga akhir malam, hal ini juga tidak ada masalah. Salat yang mereka kerjakan sebelum Witir dihitung sebagai salat malam.

Jika mereka menunda beberapa rakaat Tarawih untuk salat Witir bersama di akhir malam, itu juga diperbolehkan. Bahkan, jika mereka memisahkan salat Witir dengan Tarawih di awal malam dan kemudian ingin menambah nafilah (salat sunah) setelahnya, itu juga tidak dilarang.

Dengan demikian, hukum memisahkan Tarawih antara awal dan akhir malam adalah boleh, bahkan disarankan bagi sebagian keadaan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Wallahu a’lam. [5]

Bagaimana kita, sebagai makmum menyikapinya?

Berikut ini beberapa catatan penting tentang salat Tarawih yang dipecah, khususnya dari sisi makmum:

Pertama: Tidak ada dua Witir dalam satu malam

Berdasarkan hadis,

لا وِترانِ في ليلةٍ

Tidak ada dua Witir dalam satu malam.[6]

Oleh karena itu, jika Witir sudah dikerjakan pada awal malam, maka tidak perlu dikerjakan kembali pada akhir malam, dan sebaliknya.

Kedua: Salat Witir merupakan salat terakhir pada malam tersebut

Berdasarkan hadis:

اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ وِتْرًا

Jadikanlah Witir sebagai salat terakhir kalian.[7]

Maka, salat Witir sebaiknya dikerjakan pada akhir malam.

Oleh karena itu, lebih utama bagi kita untuk menjadikan salat Witir di akhir malam sesuai dengan sunah Nabi Muhammad ﷺ.

Demikian penjelasan ringkas tentang salat malam Lailatulqadar dan pemecahan salat tarawih karenanya. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

***

10 Ramadhan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Referensi:

Syarh Maqashid Shaum li ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdis Salam As-Sulamiy, Shalih bin Abdillah Al-’Ushoimiy, Nuskhah ke-1.

Fii Rihabi Lailatil Qadr, Shalih bin Abdillah Al-’Ushoimiy, Nuskhah ke-1.

Sumber: https://muslim.or.id/92769-memecah-salat-tarawih.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Muntah Siang Hari Bulan Ramadhan

Pembatal puasa adalah sesuatu yang masuk ke dalam perut, bukan sesuatu yang keluar darinya

ADA orang bertanya. “Ustad, sayamendengar bahwa muntah dapat membatalkan puasa. Padahal, saya sering muntah ketika naik kendaraan dan saya harus naik bus jika pulang. Bagaimana ustadz?

Muntah yang tidak disengaja seperti mabuk kendaran tidaklah membatalkan puasa. Sebaliknya jika ia muntah dengan sengaja maka puasanya batal.

Dasarnya adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

من ذرعه القيء وهو صائم ، فليس عليه قضاء ومن استقاء فليقض

“Siapa yang muntah (tanpa sengaja) sedang dia dalam keadaan puasa maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengganti (puasanya). Dan barang siapa sengaja muntah maka hendaknya dia mengganti puasanya.” (Hadits Shahih, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Sebagian ulama mengatakan bahwa muntah tidak membatalkan puasa, baik disengaja, maupun tidak sengaja. Mereka beralasan dengan dua hal :

Pertama;  Bahwa hadits Abu Hurairah di atas adalah hadits dhaif yang tidak boleh dijadikan sandaran hukum.

Kedua; bahwa yang membatalkan puasa itu adalah sesuatu yang masuk ke dalam perut, bukan sesuatu yang keluar darinya.

Yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, karena sebagaimana disebut di atas bahwa hadits Abu Hurairah di atas adalah hadits shahih. Wallahu A’lam.*/Dr Ahmad Zain an-Najah, lc, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Tuduh Kelompok Islam Radikal, Presiden Putin: Siapa yang Beri Perintah Serangan?

Pasca penembakan massal di Crocus City Hall Moskow, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan pihaknya akan memburu pelaku dan otak dari serangan teroris tersebut. Menurutnya, ada skenario besar berada di belakang aksi yang merenggut nyawa kurang lebih 137 orang itu.

Putin mengatakan serangan teror di gedung konser Balai Kota Crocus, pinggiran Moskow, adalah kelompok Islam radikal. Tapi, pihaknya sedang menyelidiki siapa yang memberi perintah serangan. Sebanyak 137 orang tewas dibantai dalam penembakan massal dan pembakaran gedung konser pada Jumat malam lalu. Presiden Rusia sebelumnya mengecamnya sebagai serangan biadab. Menurut orang nomor satu Rusia tersebut, Ukraina kemungkinan sebagai pemberi perintah para teroris.

“Serangan ini dilakukan oleh kelompok Islam radikal,” kata Putin dalam pidato pembuka panggilan video dengan para aparat penegak hukum, Senin (25/3/2024)..

Putin mengatakan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya kini berusaha menutupi proksi mereka di Kyiv, dengan bersikeras bahwa Ukraina tidak ada hubungannya dengan serangan teroris tersebut dan bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah kelompok Islamic State—sebelumnya bernama ISIS.

“Tapi kami tahu siapa yang melakukan serangan itu. Kami ingin tahu siapa yang memesannya,” papar Putin.

Pihak penegak hukum Rusia saat ini sedang menyelidiki para pelaku, yang telah ditangkap dan dibawa ke hadapan hakim pengadilan. “Investigasi harus dilakukan secara profesional, tanpa bias politik apa pun,” kata Putin.

Kelompok teroris yang menamakan dirinya Islamic State Khorasan (ISIS-K) telah mengaku bertanggung jawab atas serangan mengerikan tersebut. Dinas Keamanan Federal (FSB) Rusia menahan tujuh tersangka pelaku, yang sedang berkendara menuju Ukraina, serta empat tersangka kaki tangan mereka. Orang-orang tersebut diidentifikasi sebagai etnis Tajik. Putin mencatat bahwa fakta bahwa para teroris sedang menuju Ukraina menimbulkan pertanyaan yang perlu dijawab.

“Siapa yang menunggu mereka di sana? Jelas bahwa mereka yang mendukung rezim Kyiv tidak ingin menjadi kaki tangan dan sponsor terorisme. Tapi masih banyak pertanyaan yang tersisa,” katanya.

AS dan Uni Eropa dengan cepat menegaskan bahwa Ukraina tidak ada hubungannya dengan serangan tersebut dan bahwa Islamic State, sebuah kelompok bayangan yang diduga beroperasi di Afghanistan dan Asia Tengah adalah satu-satunya pelakunya.

ISLAMKAFFAH

Posting Makanan atau Minuman di Siang Hari Bulan Puasa, Bagaimana Hukumnya?

Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam. Perbuatan menahan diri dari makan, minum dan segala yang membatalkan, sejak terbit fajar sampai matahari terbenam. Dikerjakan oleh muslim yang sudah mencapai batas tertentu: baligh dan berakal.

Banyak dalil tentang kewajiban berpuasa, diantaranya surat Al-Baqarah 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Juga hadis nabi Muhammad tentang kewajiban puasa

قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Artinya:

“Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang atau terjauhkan (dari kebaikan).” (HR. Ahmad)

Dan masih banyak lagi dalil al-Quran dan Hadis mengenai kewajiban puasa. Maka tidak boleh tidak serta menjadi kewajiban bagi muslim yang telah mencapai batas yang ditentukan syari’at untuk melaksanakannya. Apabila meninggalkan puasa sebab tidak ada alasan yang dapat dibenarkan oleh syari’at akan mendapat siksa.

Namun kejadian mutakhir yang sudah merebak di media sosial, postingan makanan atau minuman yang diunggah di siang hari. Utamanya di status-status Whatsapp, yang juga sering dijumpai. Bagaimana hukum postingan semacam tersebut dalam pandangan Islam? Bolehkah atau tidak, sebab sudah menjadi kebiasaan bagi sebgin para pengguna medsos akhir-akhir ini.

Sebelum menjawab kepada inti pertanyaan, perlu diketahui bersama bahwa di sekitar kita bukan hanya terdiri dari kalangan umat Islam. Juga terdapat non muslim yang hidup bersama-sama di tengah kita. Maka kita bisa menjumpai berbagai warung yang buka di siang hari untuk mereka yang non muslim, dan itu tidak menjadi persoalan. Atau bahkan muslim sekalipun juga diperkenankan untuk tidak puasa sebab hal yang diperbolehkan oleh agama seperti sakit, perjalann jauh ataupun perempuan yang sedang haid. Maka tidak menjadi persoalan bila kita mendapatkan kantin rumah sakit buka di siang hari untuk mereka yang sakit, warung makan di terminal ataupun di rest area jalan tol tetap beroperasi.

Kejadian di atas tidak menjadi persoalan tentang keberadaan tempat makan bagi orang-orang yang tidak berpuasa sebab uzur atau tidak memiliki kewajiban. Meski bersifat publik, orang yang berpuasa juga harus memahami terhadap orang selain dirinya yang tidak berkewajiban untuk menunaikannya.

Juga terhadap perusahaan yang bergerak di industri makanan biasanya memajang iklan yang berbentuk poster dengan papan di pinggir jalan atau iklan media cetak atau elektronik, tidak menjadi persoalan. Sebab bila dihentikan, akan merugikan perusahaan yang di dalamnya ada banyak pekerja yang begantung pada usaha tersebut dan bisa menjadi penyebab terputusnya nafkah kepada keluarga apabila dihentikan. Tetapi dengan catatan tidak menyimpang dari syariat, misal makanan halal, prosesnya halal dan seterusnya.

Lain halnya dengan postingan seseorang atau kelompok yang tidak memiliki motif yang berasaskan kebermanfaatan. Mereka biasanya hanya iseng mengunggah orang yang sedang memakan makanan yang lezat , atau meminum minuman segar ditambah es di siang hari, apalagi berbentuk video dengan suara yang makin membuat ngiler penontonnya. Maka ini jelas tidak diperbolehkan bahkan mengharah kepada keharaman. Sebab Allah Swt berfirman dalam surah al-Baqarah 11

وَإِذَا قِیلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُوا۟ فِی ٱلۡأَرۡضِ قَالُوۤا۟ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ

Artinya,

“Dan ketika dikatakan kepada orang-orang munafik: ‘Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi’, mereka justru menjawab: ‘Niscaya kami adalah orang-orang yang membuat kebaikan.”

Dari ayat di atas, Jalaluddin as-Suyuti dalam Tafsir Jalalain menjelaskan maksud makna “kerusakan yang dilakukan oleh orang munafik” adalah sebuah kekufuran dan menghalangi orang lain untuk beriman kepada Allah Swt.

Dalam hadis Nabi Saw. juga dijelaskan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا (رواه مسلم)

Artinya:

“Barang siapa mengajak kepada petunjuk (amal baik), maka ia mendapatkan pahala sama seperti pahalanya orang yang mengikutinya. Tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang melakukannya. Barang siapa yang mengajak pada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa setimbang dengan dosa orang yang mengikutinya. Tanpa sedikitpun mengurangi dosa orang yang melakukannya.” (HR Muslim). 

Hadis ini mengajak umat Islam untuk selalu terus menerus untuk mencintai kebaikan. Dengan pahala yang dijanjikan, seyogyanya ini menjadi landasan untuk menjadi pionir untuk kebaikan. Kebaikan tidak hanya berdampak bagi pelaku kebaikan juga berdmpak bagi yang mengajaknya. Begitupun kejelekan tidak hanya kepada para pelakunya, tetapi juga kepada orang yang mengajak terhadap keburukan. Demikian yang dijelaskan oleh Sayyid Muhammad Alawi al Maliki dalam kitab Kasyful Ghummah.

Walhasil, mengajak orang untuk berbuat keburukan tidak diperkenankan alias dilarang dalam agama. Mengajak keburukan di era medsos bukan hanya berbentuk ungkapan-ungkapan melainkan visual yang menampilkan sesuatu yang bisa mendorong orang untuk melakukukannya. Bahkan perbuatan tersebut masuk ke dalam jenis perbuatan dosa. Semoga kita dijauhkan dari perbuatan yang tidak diridai oleh Allah Swt dan nabi-Nya. Amin.

ISLAMKAFFAH

Mengapa Negara-Negara Islam Tidak Maju?

“Jika Islam adalah agama yang benar, mengapa negara Islam tidak maju dan selalu berkonflik?”

Demikianlah, kiranya sebuah ujaran yang sering kita dengar dari pihak oposisi dari kalangan liberal, progresif, filsuf, dan cendikiawan yang kurang melek sejarah, dan hanya mengekor pada sembarang ide dari barat berucap.

Ide-ide progresif bermoto “kebebasan berpikir” pun laku di kalangan para mahasiswa, akademisi, para intelek, free thinker, aktivis, dan semisalnya. Sebab, bagi mereka, memegang teguh tradisi adalah kejumudan. Membaca tulisan agama adalah kemunduran dan mengikuti petuah tokoh agama adalah kuno. Sebagai akibatnya, sekarang kita harus mendengar “kebijaksanaan” para filsuf eksistensialis semacam Friedrich Nietzsche atau Albert Camus, serta membaca novel-novel tulisan Dostoevsky atau Leo Tolstoy agar semakin “berbudaya.”

Berangkat dari fenomena progresifisme itulah, ungkapan semacam, “Jika Islam benar, mengapa umat Islam lemah?”, “Jika Islam benar, mengapa negara Islam tidak maju dan penuh konflik?”, dan ungkapan, “Jika Islam benar, mengapa tidak ada ilmuwan muslim yang mendapat penghargaan nobel?” pun muncul.

Ketika kita renungkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini dan berbagai turunannya, maka kita dapati adanya sesat pikir (logical fallacy) dan standar yang keliru dalam menilai. Berikut kami akan jelaskan dalam bentuk poin-poin:

Pertama: Keliru menggeneralisasi semua umat Islam

Orang-orang yang mengatakan hal demikian mengalami kekeliruan generalisasi. Karena, mereka mengambil contoh dari sekelompok umat Islam lalu mengeneralisir semua umatnya di dunia. Sebab, umat Islam di dunia hidup dalam kondisi yang bermacam-macam. Umat Islam di Suriah tidak sama dengan umat Islam di Saudi. Begitu pun umat Islam di Indonesia tidak sama dengan umat Islam di Qatar. Sehingga, umat Islam tidak dalam satu kondisi serupa. Oleh sebab itu, tidak semua umat Islam hidup dalam kemunduran dari aspek materil. Sebab, standar hidup beberapa kelompok umat Islam sangat beragam. Bahkan, ada yang lebih tinggi dibanding penduduk negara-negara maju.

Kedua: Konflik terbesar, pelakunya bukan umat Islam

Jika dikatakan bahwa negara-negara Islam penuh konflik, kita perlu menengok kembali sejarah. Konflik mana yang paling mematikan sepanjang sejarah dan siapakah sosok pelaku di baliknya? Jawabannya adalah Perang Dunia 2 yang menewaskan sekitar 50 juta orang dan pihak yang memulainya adalah kubu barat yang berideologi ateis dan sekuler. Biasanya, merekalah pihak yang mengolok-olok Islam sebagai agama ekstremis, radikal, dan penuh konflik.

Menurut logika mereka, kita juga bisa mengatakan semua orang ateis dan sekularis adalah ekstrimis, radikal, dan penuh konflik. Sebab, konflik-konflik paling mematikan dilakukan oleh orang yang berideologi tersebut. Ditambah lagi bukti langsung yang sedang terjadi, yaitu invasi Israel terhadap Gaza sejak 7 Oktober 2023, yang telah memakan korban per tanggal 12 Maret 2024 sebanyak 31,045 warga sipil Palestina [1]. Sehingga, semakin terlihat siapa yang sebenarnya pantas disebut ekstremis, radikal, dan penuh konflik.

Penulis juga mendapatkan temuan menarik dalam buku berjudul War Peace Islam” [2] mengenai konflik dengan latar belakang ideologi atau agama mana yang paling menimbulkan korban jiwa dari tahun 0-2008 Masehi. Berikut tabel kesimpulannya:

Dapat dilihat bahwa konflik dengan latar belakang Kristen, Antiteis (Ateis dan Sekuler), dan Buddha berada di tiga besar dari tujuh ideologi atau agama. Sedangkan konflik dengan latar belakang Islam, menempati urutan 6 dari 7.

Seandainya kita gunakan kebiasaan mereka yang kerap melabeli umat Islam dengan radikal dan ekstremis, maka label ekstremis itu seharusnya lebih pantas ditujukan kepada pengikut agama-agam tersebut. Sebab, korban jiwa konflik dengan latar belakang agama tersebut jauh lebih banyak dibandingkan Islam.

Ketiga: Jangan lupakan kolonialisme

Kolonialisme yang dilakukan negara-negara Eropa dari abad 15 sampai pertengahan abad 20 menyisakan luka yang amat mendalam bagi umat Islam. Hampir semua umat Islam pada periode tersebut dijajah oleh Eropa. Mulai dari umat Islam di bagian paling barat, Maroko, hingga umat Islam paling timur, Indonesia.

Gaya penjajahan Eropa sangat berbeda dengan pembukaan (futuhāt) wilayah atau kota yang dilakukan kaum Muslimin. Sebab, penjajahan Eropa bersifat eksploitatif dan koersif. Tujuannya jelas, mengekstrak sumber daya alam dan manusia sebanyak mungkin. Sehingga, saat itu perekonomian umat Islam dibabat habis. Sampai setelah era kolonialisme berakhir, negara-negara Islam yang baru terbentuk (baca: dibentuk Eropa), terseok-seok dengan keadaan politik, ekonomi, dan sosial yang babak belur setelah dieksploitasi. Alamnya diekstrak, sedangkan manusianya diperbudak. Dampaknya, beberapa negara bekas jajahan belum pulih dari kolonialisme tersebut, baik belum pulih karena efek langsung kolonialisme maupun efek tidak langsung, seperti dukungan negara-negara barat pasca kolonialisme terhadap pemimpin-pemimpin sekuler di negara berpenduduk mayoritas muslim.

Keempat: Islam dilihat dari sumbernya bukan umatnya

Kita sebagai ahli sunnah waljamaah, beriman bahwasanya sifat maksum atau bebas dari kesalahan hanya dimiliki oleh para Nabi ‘alaihimush shalatu wassalam, dan kita beriman bahwa kaum muslimin memiliki pemahaman agama yang bertingkat-tingkat. Ada yang memahami sebagian besar syariat Islam, dan ada yang memiliki pemahaman serta praktik yang terbatas terhadap ajaran Islam.

Oleh karenanya, perbuatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok kaum muslimin bisa dibenarkan dan bisa disalahkan, tergantung kesesuaiannya dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijmak ulama. Sehingga, seharusnya Islam tidak dinilai dari perbuatan orang Islam, tetapi dinilai dari dalil-dalilnya.

Maka, jika ingin melihat hakikat Islam, kita perlu kembali ke asalnya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ, yang mana beliau adalah teladan sempurna dan praktis terhadap ajaran Islam. Sebagaimana yang dikatakan istri beliau Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كان خُلقه القرآن

Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.[3]

Kelima: Sunnatullah di alam semesta

Majunya peradaban barat saat ini disebabkan karena mereka mengambil sebab-sebab kemajuan secara materil. Sebab-sebab tersebut Allah Ta’ala jadikan bagi semua makhluk-Nya, baik yang beriman maupun tidak. Kita sebagai umat Islam beriman bahwasanya Allah Ta’ala menciptakan suatu ketetapan, siapa yang mengambil ketetapan tersebut, maka akan menuai hasilnya, meskipun dia seorang kafir yang bermaksiat kepada Allah. Maka, Allah ‘Azza Wajalla memberikan setiap orang sesuai dengan usaha yang dilakukan.

Keenam: Standar sukses bukan maju secara materil

Merupakan kekeliruan besar jika kita menganggap sesuatu itu sebagai sukses dan maju berdasarkan sisi materil saja. Sebab, kemajuan seseorang atau suatu populasi di dunia dari sisi materil bukanlah tujuan Allah Ta’ala menciptakan manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyāt: 56)

Sehingga, sukses secara materil tanpa didukung dengan tujuan terbesar diciptakannya manusia, yaitu beribadah kepada Allah dan menaati perintah-Nya, tidak bernilai apa pun. Bahkan, hal itu adalah faktor yang membuat manusia menjadi sombong dan inkar.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, ungkapan “Jika Islam benar, mengapa negara Islam tidak maju?” atau ungkapan semisalnya mengandung kesalahan berpikir dan kesalahan standar menilai sebagaimana dijelaskan di atas. Maka, kebenaran Islam tidak dapat diganggu gugat hanya karena kondisi ekonomi atau sosial dari pemeluknya. Melainkan, kita perlu melihat Islam dari dalil-dalilnya. Sehingga, kita sampai pada kesimpulan bahwa Islamlah satu-satunya jalan kebenaran dan jalan keselamatan. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَـٰمُ ۗ

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

***

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho

Sumber: https://muslim.or.id/92570-mengapa-negara-negara-islam-tidak-maju.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Jangan Ceritakan Dosa Zina Kepada Siapapun Sampai Mati!!

Saya telah melakukan dosa zina sewaktu kecil, tapi saya tidak tahu itu dosa tpi saat bersamaan saya takut ketahuan, saya saat ini ingin menikah tapi saya tidak mau mengatakan dosa zina tersebut kepada calon suami saya karena ini bersangkutan nanti dengan keluarga besar, bagaimana saya harus bersikap secara islam?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bukan syarat taubat dari zina harus menceritakan dan melaporkan dosa zina itu kepada orang lain, siapapun dia. Baik calon suaminya, orang tuanya, saudaranya, ustadnya, gurunya, bahkan termasuk pemimpin yang ada di negerinya.

Buraidah bin Hashib Radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita,

Suatu ketika Maiz bin Malik datang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللهِ، طَهِّرْنِي

“Ya Rasulullah, sucikan aku…”

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَيْحَكَ، ارْجِعْ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ وَتُبْ إِلَيْهِ

“Jangan lancang…, pulang dan memohon ampun kepada Allah, taubat kepada-Nya.”

Pulanglah Maiz. Tidak berselang lama, dia datang lagi. Dia tetap melaporkan,

يَا رَسُولَ اللهِ، طَهِّرْنِي

“Ya Rasulullah, sucikan aku…

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَيْحَكَ، ارْجِعْ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ وَتُبْ إِلَيْهِ

“Jangan lancang…, pulang dan memohon ampun kepada Allah, taubat kepada-Nya.”

Pulanglah Maiz. Tidak berselang lama, dia datang lagi. Dia tetap melaporkan yang sama dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sama sampai 3 kali. Hingga di kedatangan yang keempat, baru Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima pengaduan Maiz. (HR. Muslim 1695 dan Nasai dalam al-Kubro 7125).

Hadis ini dengan tegas menunjukkan bahwa BUKAN syarat taubat harus mengaku. Karena inti dari taubat adalah memohon ampun kepada Allah karena menyesali perbuatannya. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan sebisa mungkin dirahasiakan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ

“Siapa yang tertimpa musibah maksiat dengan melakukan perbuatan semacam ini (perbuatan zina), hendaknya dia menyembunyikannya, dengan kerahasiaan yang Allah berikan.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, no. 1508)

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

ويؤخذ من قضيته – أي : ماعز عندما أقرَّ بالزنى – أنه يستحب لمن وقع في مثل قضيته أن يتوب إلى الله تعالى ويستر نفسه ولا يذكر ذلك لأحدٍ . . .

Berdasarkan kasus ini – Sahabat Maiz yang mengaku berzina – menunjukkan bahwa dianjurkan bagi orang yang terjerumus ke dalam kasus zina untuk bertaubat kepada Allah – Ta’ala – dan menutupi kesalahan dirinya, dan tidak menceritakannya kepada siapapun.

Lalu beliau mengatakan,

وبهذا جزم الشافعي رضي الله عنه فقال : أُحبُّ لمن أصاب ذنباً فستره الله عليه أن يستره على نفسه ويتوب..

Dan ini juga yang ditegaskan as-Syafii Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

Saya menyukai bagi orang yang pernah melakukan perbuata dosa, lalu dosa itu dirahasiakan Allah, agar dia merahasiakan dosanya dan serius bertaubat kepada Allah… (Fathul Bari, 12/124).

Orang lain tidak memiliki kepentingan dengan maksiat kita yang sifatnya pribadi. Sehingga sekalipun dia tidak tahu, tidak akan memberikan pengaruh apapun bagi kehidupannya. Sebaliknya, ketika dia tahu, tidak akan semakin memperbaiki dirinya. Apalagi ketika maksiat itu dilakukan saat belum baligh, yang tidak ada nilai dosa sama sekali.

Karena itu, bertaubatlah dan jangan ceritakan dosa zina kepada siapapun sampai mati!!

Demikian. Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!

Menjaga Harmoni antara Kesehatan Jasmani dan Rohani : Belajar dari Praktek Berpuasa

Perbincangan mengenai kesehatan jasmani dan rohani seringkali menimbulkan beragam pandangan. Namun, seharusnya kita tidak melihatnya sebagai dua pilihan yang berseberangan, melainkan sebagai dua aspek yang saling melengkapi dalam mencapai keseimbangan.

Kesehatan jasmani, yang berfokus pada kondisi fisik dan fisiologis seseorang, dikelola oleh dokter dan tenaga medis. Ini mencakup aspek-aspek seperti nutrisi, olahraga, perawatan medis, dan penanganan penyakit atau cedera. Kesehatan jasmani yang baik menjadi dasar bagi kehidupan yang produktif dan bermakna, memungkinkan seseorang menjalani aktivitas sehari-hari dengan nyaman dan tanpa gangguan yang signifikan.

Sementara itu, kesehatan rohani berfokus pada kesejahteraan psikologis, emosional, dan spiritual seseorang. Praktik-praktik seperti meditasi, doa, refleksi, dan pengembangan nilai-nilai spiritual menjadi bagian penting dari perawatan kesehatan rohani. Kesehatan rohani memainkan peran penting dalam membentuk persepsi diri, kualitas hubungan interpersonal, dan penanganan stres dan kesulitan kehidupan.

Kesehatan jasmani dan rohani saling terkait dan memengaruhi satu sama lain. Kesehatan jasmani yang buruk dapat mempengaruhi kesehatan rohani seseorang, begitu juga sebaliknya. Sebagai contoh, seseorang yang menderita penyakit kronis mungkin mengalami tekanan emosional dan stres yang dapat memengaruhi kesehatan rohani mereka. Di sisi lain, ketenangan pikiran dan kestabilan emosional yang diperoleh melalui praktik spiritual dapat membantu seseorang menghadapi tantangan kesehatan fisik dengan lebih baik.

Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya; jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut menyoroti pentingnya menjaga kesehatan hati, yang merupakan pusat dari kesehatan rohani. Kesehatan hati, yang mencakup ketenangan batin, kebersihan moral, dan keseimbangan spiritual, sangat memengaruhi kesejahteraan keseluruhan individu. Oleh karena itu, perawatan kesehatan jasmani dan rohani haruslah menyertakan perhatian terhadap kesehatan hati, agar kesejahteraan holistik dapat tercapai.

Dalam banyak tradisi agama, kesehatan jasmani dan rohani dianggap sama-sama penting. Dokter dan para ulama atau kiai sering bekerja bersama untuk menyediakan perawatan yang holistik bagi individu, mengakui bahwa kesehatan yang baik melibatkan aspek-aspek fisik, mental, dan spiritual. Oleh karena itu, daripada mempertimbangkan mana yang lebih penting, lebih baik melihatnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kesejahteraan keseluruhan seseorang.

Kesehatan jasmani dan rohani adalah dua sisi dari koin yang sama, yang saling melengkapi dalam pencapaian kesejahteraan holistik. Dengan menjaga keseimbangan antara keduanya, seseorang dapat meraih kehidupan yang sehat dan berarti, menjalani hari-hari dengan nyaman dan bermakna. Sehingga, mari bersama-sama memberikan perhatian yang sama terhadap kesehatan jasmani dan rohani, demi mencapai kesejahteraan yang utuh dan berkelanjutan.

Manfaat Puasa untuk Kesehatan Jasmani dan Rohani

Puasa tidak hanya merupakan kewajiban agama bagi umat Islam, tetapi juga merupakan praktik yang memiliki manfaat besar bagi kesehatan jasmani dan rohani. Praktik puasa telah diakui oleh banyak orang sebagai cara yang efektif untuk mencapai keseimbangan yang optimal antara tubuh dan jiwa. Berikut ini adalah beberapa argumen yang mendukung pentingnya puasa sebagai jalan untuk menyeimbangkan kesehatan jasmani dan rohani:

Manfaat Kesehatan Jasmani

Detoksifikasi Tubuh: Puasa memberikan kesempatan bagi tubuh untuk membersihkan diri dari racun dan zat-zat berbahaya yang terakumulasi dalam tubuh. Selama puasa, tubuh fokus pada pemulihan dan regenerasi sel-sel yang rusak, yang membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

Penurunan Berat Badan: Puasa intermiten telah terbukti efektif dalam membantu menurunkan berat badan dan meningkatkan metabolisme. Dengan mengatur pola makan selama puasa, seseorang dapat mengurangi asupan kalori dan meningkatkan pembakaran lemak.

Kesehatan Jantung: Puasa telah terbukti dapat meningkatkan kesehatan jantung dengan menurunkan kadar kolesterol dan tekanan darah. Hal ini dapat mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke.

Manajemen Gula Darah: Puasa juga dapat membantu meningkatkan sensitivitas insulin dan mengatur kadar gula darah. Ini sangat bermanfaat bagi orang yang menderita diabetes atau memiliki risiko penyakit diabetes.

Manfaat Kesehatan Rohani

Peningkatan Kesadaran Spiritual: Puasa membantu individu untuk meningkatkan kesadaran spiritual dan hubungan dengan Tuhan. Dengan menahan diri dari makanan dan minuman, seseorang dapat lebih fokus pada ibadah dan introspeksi diri.

Pengendalian Diri dan Kesabaran: Puasa mengajarkan nilai-nilai seperti pengendalian diri, kesabaran, dan ketahanan. Dengan menahan diri dari keinginan dan godaan selama puasa, seseorang belajar untuk mengendalikan nafsu dan emosi.

Empati dan Kepedulian: Puasa juga membantu memperkuat rasa empati dan keprihatinan terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Dengan merasakan sendiri sensasi lapar dan haus, seseorang dapat lebih memahami penderitaan orang lain dan menjadi lebih dermawan.

Puasa bukan hanya merupakan praktik ibadah, tetapi juga merupakan cara yang efektif untuk mencapai keseimbangan yang optimal antara tubuh dan jiwa. Rasulullah Muhammad SAW juga telah memberikan banyak ajaran tentang pentingnya puasa dalam Islam. Beliau bersabda, “Puasa itu perisai (pelindung). Jika salah seorang di antara kamu berpuasa, janganlah ia berkata kata kotor dan janganlah ia bertengkar, jika ada yang mengganggunya atau berbuat buruk padanya, hendaklah ia berkata, ‘Saya sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Puasa adalah benteng yang menjaga kesehatan jasmani, rohani dan emosi. Dengan melaksanakan puasa dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, seseorang dapat memperoleh manfaat kesehatan yang besar serta mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meningkatkan ketakwaan dan kesadaran spiritual.

ISLAMKAFFAH

Takhrij dan Analisis Matan Hadis Terbelenggunya Setan pada Bulan Ramadan

Hadis yang merupakan sumber kedua bagi kehidupan beragama kaum Muslimin, menjadi hal yang banyak disoroti bagi Sarjana-Sarjana hadis tak terkecuali untuk meneliti keotentisitasannya. Sarjana Barat saja, tak terhitung berapa banyak Sarjana Barat abad ke-19 yang tertarik pada kajian ini. Nabia Abbott misalnya, dengan keahlian filologinya menghasilkan kesimpulan yang terkait al-Qur’an dan Hadis. Senada dengan Abbott, Fuad Sezgin juga serupa. Ia mengemukakan penemuannya hingga menjadikannya terbilang sebagai tokoh yang non-skeptis terhadap keotentikan hadis.

Pada abad ke-21 saat ini, hadis masih tidak luput dari perkara tersebut. Maraknya kasus-kasus yang semakin beragam, seperti politik, agama, sosial, budaya dan lain sebagainya, hadis masuk pada ranah-ranah tersebut tanpa diperhatikan keotentisitasannya dan dijadikan satu-satunya kambing hitam (dalil) untuk memuaskan opiniopini audience-nya.

Contoh hadis yang dijadikan dalil ialah hadis tentang terbelenggunya setan pada bulan Ramadan. Hadis ini dijadikan dalil terkait bulan Ramadan di mana, hal ini menunjukkan keunikan tersendiri pada bulan Ramadan. Dinilai unik, karena merujuk pada hadis tersebut didapat informasi bahwa pada saat tiba bulan Ramdhan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Dan yang paling penting adalah informasi mengenai terbelunggunya setan pada bulan tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau ulang kualitas dan kuantitas hadis tersebut serta mengeksplorasi pemahaman hadis tersebut pada konteks saat ini.

Takhrij Hadis Tentang Terbelenggunya Setan Pada Bulan Ramadan

Dalam penelitian suatu hadis, ada beberapa langkah metodologis yang menjadi tolak ukur penelitian hadis itu sendiri, yaitu pertama-tama redaksi hadis yang telah ditentukan harus di-takhrij sebagai pintu utama penelitian. Setelah itu, hasil dari takhrij diinventarisasi untuk melakukan i’tibar sanad hadis. Barulah setelah itu melakukan kritik sanad dan matan. Terakhir analisis terhadap pemahaman hadis secara lebih luas terkait tekstual dan kontekstual hadis tersebut. Takhrij Hadis Hadis yang akan di-takhrij ialah hadis tentang terbelenggunya setan pada bulan Ramadan dengan redaksi sebagai berikut:

إذا كان رمضان فتحت أبواب الرحمة و غلقت أبواب جهنم و سلسلت الشياطين

Artinya: “Jika datang bulan Ramadan terbukalah pintu-pintu rahmat, tertutuplah pintu-pintu neraka dan setan-setan dibelenggu.”

Setelah dilakukan kegiatan takhrij hadis, hadis di atas bersumber dari: Al-Bukhari, kitab al-shaum, no. 1.766 dan kitab bad’ al-khalq, no. 3.035. Muslim, kitab al-shiyam, no. 1.793 dan 1.794. Nasai, kitab al-shiyam, no. 2.070, 2.071, 2.072, 2.073, 2.074, 2.075, 2.077 dan 2.078.  Ahmad, kitab baqi’ musnad al-muktsirin, no. 7.450, 7.451, 8.330, 8.559 dan 8.837. Malik, kitab al-shiyam, no. 604. Al-Darimi, kitab al-shaum, no. 1710.

Kandungan Matan Hadis

Setan dalam al-Qur’an dengan redaksi syaithan ditemukan di 56 ayat al-Qur’an, sedangkan dengan redaksi syayathin ditemukan sebanyak 12 ayat. Namun, secara eksplisit di dalam ayat al-Qur’an tidak ditemukan adanya informasi tambahan mengenai pembelengguan setan pada bulan Ramadan. Beberapa ayat menceritakan penggodaan setan terhadapmanusia, perbuatan-perbuatan yang mencerminkan perbuatan buruk setan dan lain sebagainya.

Begitu pula dalam hadis-hadis yang di luar tema hadis ini. Tidak terdapat hadis-hadis lain yang bertentangan dengan hadis tersebut. Juga tidak ditemukan adanya data-data sejarah yang menginformasikan hal ini. Dengan demikian, matan hadis yang diteliti berkualitas maqbul. Pemahaman Hadis Menurut Nurun Najwah dalam memahami hadis Nabi, ada tiga tahapan yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman, yaitu pemahaman terhadap makna teks, pemahaman terhadap konteks historis dan berdasarkan petunjuk al-Qur’an untuk dapat menangkap ide moral yang dituju.

Pada kitab-kitab syarah diakumulasi bahwa matan hadis ini hanya dapat dipahami secara majazi. Al-Baji dalam al-Muntaqa menyebutkan, apa yang dimaksud dengan futtihat abwab al-rahmah ialah dalam bulan Ramadan pahala bagi orang-orang yang mengerjakan puasa dilipatgandakan dan perkerjaan apapun (kebaikan) dapat membawa seseorang kepada surga.

Adapun maksud dari gulliqat abwab jahannam ialah adanya percikan berkah dari bulan Ramadan itu sendiri. Berkah yang dimaksud ialah banyaknya ampunan Tuhan, pengampunan dosa dan banyak melakukan kebaikan-kebaikan. Sedangkan makna dari sulsilat al-syayathin ada dua pemaknaan, yaitu setan yang dibelenggu dalam arti yang sebenarnya dan setan yang seperti terbelenggu. Hal ini karena pada saat datangnya bulan Ramadan, usaha yang dilakukan oleh setan untuk menggoda orang-orang yang bertakwa tidak berpengaruh.

Al-Nawawi mengatakan hadis tersebut secara umum dapat dipahami dengan makna asli dan dapat dipahami dengan konteks yang berbeda, seperti dengan datangnya bulan Ramadan, adanya keharusan untuk menghormati bulan Ramadan. Selain itu, dengan kesakralan bulan Ramadan maka pada bulan tersebut mudahnya mendapat pahala dan ampunan. Di sisi lain, ada pemahaman lain bahwa terlihat sedikitnya gangguan dan godaan dari setan-setan, seolaholah setan-setan pengganggu tersebut dibelenggu.

Demikian pula dengan Ibn Hajar, yang lebih mengakumulasi pendapat-pendapat dari Ulama-ulama lain. Ibn Hajar menambahkan bahwa terbukanya pintu langit merupakan indikasi adanya diturunkannya rahmat dari langit, baik berupa taufiq (petunjuk) maupun terkabulnya doa-doa yang baik-baik. Sedangkan pada gulliqat abwab mengindikasikan keharusan seorang yang berpuasa pada bulan Ramadan untuk mengindari dari perbuatanperbuatan yang buruk.

Adapun alasan terbelenggunya setan, dikonfirmasi oleh al-Baji bahwa hal itu karena kebiasaan setan yang mencuri berita dari langit. Nampak sedikit rancu pada konklusi ini. Pada QS. Al-Jinn, kita dikonfirmasi oleh al-Qur’an bahwa ada informasi mengenai pencurian berita langit oleh jin. Sayyid Quthb dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa dalam al-Qur’an sendiri memang telah dikonfirmasi mengenai kebiasaan setan (setan dari kalangan jin) sebagaimana disebutkan di atas, setan yang dimaksud adalah jin yang memiliki sifat negatif. Salah satu sifat buruknya ialah mencuri berita dari langit dan membisikkan berita tersebut kepada paranormal dan dukun-dukun.

Akan tetapi, informasi yang diberikan al-Qur’an ialah ketika para jin/setan mencoba mencuri berita-berita dari langit, mereka dihadang dengan penjagaan kuat dan panah-panah api. Hal ini tentu berbeda dengan konteks hadis yang jika dipahami secara hakiki dibelenggu pada bulan Ramadan karena mendengar berita dari langit. Konteks kalimat yang digunakan dalam al-Qur’an ialah shigah fi’il mudhari’, hal ini menunjukkan adanya kesinambungan kejadian tersebut hingga seterusnya. Padahal peristiwa ini telah terjadi pada masa Nabi.

Menurut hemat penulis, hadis di atas lebih cocok jika dipahami secara majazi. Kandungan hadis tentang terbelenggunya setan pada bulan Ramadan merupakan kalimat pendukung untuk kandungan yang lebih umum, yaitu adanya keutamaan bulan Ramadanyang dapat dianalogikan sebagai bulan yang mulia. Kemuliaan bulan Ramadan tersebut diumpamakan dengan dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka serta dibelenggunya setan.

ISLAMKAFFAH