Syarat Wajib dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal

Berbagai pertanyaan masuk ke meja redaksi muslim.or.id, berkaitan dengan zakat mal. Untuk melengkapi dan menyempurnakan pemahaman tentang zakat mal tersebut, maka berikut ini kami ringkas satu tulisan ustadz Kholid Syamhudi dari majalah As Sunnah edisi 06 tahun VII/2003M terkait syarat wajib zakat mal dan cara mengeluarkannya.

Syarat seseorang wajib mengeluarkan zakat mal adalah sebagai berikut:

  1. Islam
  2. Merdeka
  3. Berakal dan baligh
  4. Memiliki nishab

Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat mal bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat mal dengan dasar firman Allah,

“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)

Makna al afwu (dalam ayat tersebut-red), adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang.

Syarat-syarat nishab

  1. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
  2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani)

Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika menemukannya.

Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut.

Nishab, Ukuran dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal

1. Nishab emas

Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.
1 dinar = 4,25 gr emas
Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.

Dalil nishab ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)

Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.

Contoh:
Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga tersebut.

2. Nishab perak

Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.

3. Nishab binatang ternak

Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.

“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)

Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:

a. Onta
Nishab onta adalah 5 ekor.
Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci -red.

b. Sapi
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.

Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

Jumlah SapiJumlah yang dikeluarkan
30-39 ekor1 ekor tabi’ atau tabi’ah
40-59 ekor1 ekor musinah
60 ekor2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
70 ekor1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah
80 ekor2 ekor musinnah
90 ekor3 ekor tabi’
100 ekor2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah

Keterangan:

  1. Tabi’ dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
  2. Musinnah adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
  3. Setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor musinnah.

c. Kambing

Nishab kambing adalah 40 ekor. Perhitungannya adalah sebagai berikut:

Jumlah KambingJumlah yang dikeluarkan
40 ekor1 ekor kambing
120 ekor2 ekor kambing
201 – 300 ekor3 ekor kambing
> 300 ekorsetiap 100, 1 ekor kambing

4. Nishab hasil pertanian

Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am: 141)

Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Satu wasaq setara dengan 60 sha’ (menurut kesepakatan ulama, silakan lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/364). Sedangkan 1 sha’ setara dengan 2,175 kg atau 3 kg. Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha’ x 3 kg = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ADVERTISEMENT

“Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)

Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg

5. Nishab barang dagangan

Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.

Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:

1) Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang sejenisnya.
2) Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
3) Nilainya telah sampai nishab.

Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.

Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:

Modal – Hutang:

Rp. 200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000

Jadi jumlah harta zakat adalah:

Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000

Zakat yang harus dibayarkan:

Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000

6. Nishab harta karun

Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)

Cara Menghitung Nishab

Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?

Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468).

Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya.

Demikian tulisan singkat tentang syarat wajib zakat mal dan cara mengeluarkannya, mudah-mudahan bermanfaat.

***

Diringkas dari tulisan: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan ulang oleh muslim.or.id

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/367-syarat-wajib-dan-cara-mengeluarkan-zakat-mal.html

Enam Hal yang Tidak Membatalkan I’tikaf Meski Keluar dari Masjid

Tinggal di masjid selama bulan Ramadhan adalah bagian dari tata cara i’tikaf yang benar, menurut ulama ada enam hal yang yang tidak membatalkan i’tikaf meski keluar dari masjid.

Pada dasarnya bagi siapa saja yang melakukan i’tikaf tidak boleh baginya keluar dari masjid. Jika ia keluar dari masjid tanpa ada keperluan, maka batal lah itikafnya. Karena i’tikaf adalah diam di masjid dalam waktu tertentu, jika ia meninggalkan masjid sebelum selesai waktunya maka ia telah melakukan perkara yang menafikan itikaf itu. (Lihat, Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/477)

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي المَسْجِدِ، فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ البَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا» (رواه البخاري)

Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, ”Dan jika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam benar-benar memasukkan kepala beliau kepadaku sedangkan beliau tetap di masjid, maka aku pun meyisir rambut beliau. Dan beliau tidak memasuki rumah kecuali untuk keperluan jika beliau melakukan itikaf.” (Riwayat Al Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa siapa yang melakukan i’tikaf tidak menyibukkan diri kecuali berdiam diri di masjid, baik untuk melaksanakan shalat-shalat, membaca Al Quran maupun berdzikir. Dan tidak keluar kecuali bagi siapa yang memiliki keperluan. (Syarh Shahih Al Bukhari li Ibni Baththal, 4/165)

Nah, apa saja hal-hal yang membolehkan seorang yang beriitikaf untuk keluar dari masjid dan hal itu tidak membatalkan itikafnya?

Buang Hajat

Dibolehkan bagi siapa saja yang beritikaf untuk keluar dari masjid dalam rangka membuang air besar maupun air kecil. Perkara ini merupakan ijma seluruh umat Islam. Demikian juga boleh untuk mandi wajib. Membuang hajat di rumah tetap dibolehkan meski di masjid tersedia tempat untuk itu. Tidak disyaratkan pula untuk boleh keluar dalam rangka membuang hajat jika hajatnya sangat mendesak, karena hal itu bisa menimbulkan madharat. Dan tidak pula diharuskan cepat-cepat dalam membuang hajatnya itu. Namun jika harus berkali-kali membuang hajat dikarenakan diare, menurut mayoritas ulama madzhab Syafii tidak merusak i’tikaf. (Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/490,491)

Makan dan Minum

Dalam madzhab Syafii dibolehkan seseorang keluar dari masjid menuju rumah ketika ia melakukan itikaf jika itu dilakukan untuk makan. Perkara itu dibolehkan meskipun ia bisa melakukannya di masjid. Demikian menurut pendapat mayoritas dan pendapat ini merupakan pendapat shahih.

Adapun minum jika seseorang merasa haus sedangkan di masjid tidak tersedia air minum, maka ia boleh pulang ke rumahnya. Namun jika tersedia air minum di masjid, maka ada perbedaan para ulama mengenai hukumnya, yang paling shahih adalah tidak boleh keluar dari masjid. (Al Majmu` fi Syarh Al Muhadzdzab, 6/434)

Shalat Jenazah

Dalam madzhab Syafii ada perbedaan antara itikaf yang hukumnya wajib seperti itikaf karena nadzar dengan i’tikaf yang hukumnya sunnah. Untuk itikaf yang hukumnya wajib tidak boleh ditinggalkan meski untuk melaksanakan shalat jenazah. Namun jika itikaf sunnah, boleh keluar untuk melaksanakan shalat jenazah. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/497)

Menjenguk Orang Sakit

Siapa saja yang melaksanakan itikaf boleh menjenguk orang yang sakit tatkala ia melaksanakan itikaf sunnah, hal itu karena masing-masing, baik itikaf maupun menjenguk orang sakit sama-sama sunnah, maka ia bisa memilih. Namun jika itikaf yang dikerjakan adalah itikah wajib, maka tidak boleh baginya meninggalkan masjid untuk menjenguk orang sakit. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 498, 499)

Sakit

Jenis sakit ada dua, yakni sakit yang ringan dan sakit yang berat. Jika seorang menderita sakit ringan seperti batuk, demam ringan dan lainnya, maka tidak diperkenankan baginya untuk keluar dari masjid. Namun untuk penderita sakit berat di mana perlu tempat tidur dan pemeriksaan dokter, maka diperbolehkan keluar dari masjid. Namun apakah i’tikafnya terputus? Pendapat yang paling shahih menyatakan bahwa itikafnya tidak terputus. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/504)

Lupa

Jika seseorang keluar dari masjid karena lupa tatkala ia melakukan itikaf, maka I’tikafnya tidak batal. Dan pendangan ini adalah pendapat madzhab menurut mayoritas. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdab, 6/508)

Meski dibolehkan bagi siapa yang melakukan i’tikaf untuk keluar karena udzur, maka ketika ia memungkinkan untuk kembali ke masjid akan tetap ia memilih tidak kembali maka batallah itikafnya, hukumnya seperti orang yang keluar dari masjid tanpa ada udzur. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/510)*

HIDAYATULLAH

Kesejukan Pendingin Udara di Masjid Nabawi Pastikan Jamaah Tetap Nyaman Ibadah

Kerajaan Arab Saudi memberikan fasilitas terbaik untuk menciptakan kenyamanan bagi para para peziarah dan jamaah. Termasuk stasiun pendingin (AC) terbesar di dunia yang dipasang di dua masjid suci.

Dilansir dari Riyadh Daily, Jumat (14/4/2023), Stasiun Pendingin Udara Sentral terletak tujuh kilometer dari Masjid Nabawi. Stasiun ini memiliki area seluas 70 ribu persegi dan merupakan konsentrator terbesar di dunia untuk mendinginkan air.

Sistem stasiun pusat ini sangat efisien karena menyesuaikan tingkat pendinginan berdasarkan suhu luar ruangan untuk mempertahankan suasana yang konstan dan nyaman. Sistem ini juga menyegarkan udara karena kubah masjid dibuka dan ditutup pada waktu tertentu.

Stasiun ini, dengan enam pendingin berkapasitas masing-masing 3.400 ton dan mampu mendinginkan air hingga lima derajat, menggunakan mekanisme dan teknik terbaru untuk mendistribusikan air masuk dari stasiun dengan cara yang akurat, konsisten, dan otomatis.

Air masuk dari stasiun kemudian mencapai 151 unit pengolahan udara untuk didistribusikan dan didinginkan, dan masjid didinginkan dengan udara yang dipompa melalui pipa yang dihubungkan ke pilar masjid.

Siklus pendinginan air selesai setelah air kembali melalui pipa berinsulasi ke stasiun pusat. Pada saat yang sama, 436 misting fan dipasang di halaman Masjid Nabawi untuk membersihkan udara dan menurunkan panas agar jamaah merasa nyaman.

Jaringan kipas terus-menerus disterilkan untuk memastikan air bersih dari bakteri sehingga menjaga keselamatan para pengunjung. Badan Kepresidenan Umum untuk Urusan Masjid Nabawi bekerja dengan kader teknis dan teknik nasional khusus, untuk melaksanakan pekerjaan pemeliharaan yang diperlukan untuk stasiun tersebut, memantau kinerjanya, memperbarui bagian sistem yang diperlukan, dan melayaninya sepanjang waktu untuk memastikan seluruhnya beroperasi dengan efisiensi tertinggi.

IHRAM

Hakikat Lailatul Qadar Menurut Para Ulama

Berikut hakikat lailatul qadar menurut ulama. Lailatul Qadar atau yang disebut juga dengan “Malam Kemuliaan” atau “Malam Kebenaran” adalah malam yang sangat istimewa dalam agama Islam, karena pada malam tersebut turunnya Al-Quran mulai disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW oleh Malaikat Jibril. 

Memaknai hakikat Lailatul Qadar adalah untuk meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya ibadah dan menjadikan ibadah sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Malam Lailatul Qadar mengajarkan kita tentang keagungan dan kebesaran Allah SWT, serta mengingatkan kita bahwa kita harus selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Dalam rangka memaknai Lailatul Qadar, umat Muslim dianjurkan untuk melakukan ibadah dan amal yang baik, seperti sholat, membaca Al-Quran, sedekah, dan berdzikir kepada Allah SWT. Melakukan amal-amal ini pada malam Lailatul Qadar akan memberikan banyak keutamaan dan pahala yang besar, serta membantu kita untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Al-Qur’an membahas seputar Lailatul Qadar terdapat pada surah al-Qadar ayat 1-5

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ  #وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ #لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ #تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍ # سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ# 

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar 1] , Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? 2] Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan 3]. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan 4]. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar 5”

Pada ayat ini Allah menyebut prihal Lalilatul Qadar sebagai tanda dari turunnya al-Qar’an melalui Malaikat Jibril. Dimana pahala ibadah atau nilai kemuliyaan yang di peroleh bagi mereka yang mendapatkan melebihi seribu bulan.

Melalui ayat ini Muhammad ibn Musa bin Isa bin Alial al-Damiri menukil perkataan Muhammad Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa Lailatul qadar atau Lail al-Mubrakah adalah waktu al-Qur’an diturunkan ke langit dunia secara utuh lalu diturunkan secara berangsur ke dunia.

Pada malam Lailatul Qadar, menurut beliau, Allah perintahkan malaikat untuk membagikan rahmatnya kepada para manusia yang ada di bumi. Sebagaimana Muhammad ibn Musa bin Isa bin Alial-Damiri menyebutkan dalam kitab al-Najm al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj [3/173] berikut:

قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ رُشْد: لَيْلَةُ الْقَدْرِ هِيَ اللَيْلَةُ الْمُبَارَكَةُ اَلَّتِيْ ذَكَرَ اللهُ أَنَّهُ أَنْزَلَ فِيْهَا الْكِتَابُ الْمُبِيْنُ, وَأَنَّهُ يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمِ وَأَنَّهَا [خَيْرٌ مِنْ أَ لْفِ شَهْرٍ [القدر: 3] وَأَنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَنَزَّلُ فِيْهَا بِكُلِّ أَمْرٍ وَأَنَّهَا سَلَامٌ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ.

Muhammad Ibnu Rusyd berkata: lailatul qadr adalah malam penuh berkah yang menjadi waktu turunnya alguran. Pada malam dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. Malam itu “lebih baik dibanding seribu bulan” [al-Qadr: 3] Para malaikat turun dengan membawa segala sesuatu [dari Allah]. Dan lailatul qadr adalah malam penuh kesejahteraan sampai terbit fajar. 

Sementara turun atau penetapan Lailatul Qadar, Ulama menyebut bahwa sepuluh terahir dari bulan Ramadan merupakan waktu yang berpotensi untuk mendapatkan bulan yang penuh mulia ini. Bahkan, tujuh hari terahir merupakan anjuran bagi mereka yang merasa tidak mampu untuk mendapatkan Lailatul Qadar. Sebagaimana Imam al-Syaibani dalam kitab Musnad Ahmad [9/346] berikut; 

اِلْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي

“Carilah Lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terlewatkan tujuh hari yang tersisa dari bulan Ramadhan

Selain Ibnu al-Damiri, Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib pun ikut berkomentar putar Lailatul Qadar. Pemilik kitab Tafsir al-Ra’yi ini menjelaskan, bahwa dalam beberapa hal terkait waktu memperoleh keutamaan dan balasan pahala besar dalam ibadah, sengaja Allah rahasiakan agar manusia berlomba-lomba memperolehnya. Allah tidak menyebut dimana, kapan, waktu maupun tempat tertentu.

Sebagaimana al-Razi menjelaskan;

 أنه تعالى أخفى هذه الليلة لوجوه أحدها: أنه تعالى أخفاها، كما أخفى سائر الأشياء، فإنه أخفى رضاه في   الطاعات، حتى يرغبوا في الكل، وأخفى الإجابة في الدعاء ليبالغوا في كل الدعوات، وأخفى الاسم الأعظم   ليعظموا كل الأسماء، وأخفى في الصلاة الوسطى ليحافظوا على الكل، وأخفى قبول التوبة ليواظب المكلف على   جميع أقسام التوبة، وأخفى وقت الموت ليخاف المكلف، فكذا أخفى هذه الليلة ليعظموا جميع ليالي رمضان. 

 “Sesungguhnya Allah swt telah merahasiakan malam Lailatul Qadar karena beberapa alasan. Pertama, Allah telah merahasiakannya sebagaimana Ia rahasiakan beberapa hal. Sebagaimana Allah merahasiakan ridha-Nya dalam ketaatan, sehingga manusia menyukai semua ketaatan. 

Merahasiakan dikabulkan doa di antara doa-doa, agar manusia bersungguh-sungguh dalam setiap doanya. Merahasiakan ismul a’zham di antara nama-nama-Nya, agar manusia mengagungkan semua nama-Nya. Merahasiakan shalatul wustha di antara semua shalat lima waktu, agar manusia menjaga semua waktu shalat. 

Merahasiakan diterimanya taubat di antara taubat-taubat, supaya manusia bersungguh-sungguh dalam setiap taubatnya. Merahasiakan kematian di dalam kehidupan, supaya manusia takut kepada Allah. 

Demikian pula merahasiakan malam Lailatul Qadar di antara malam-malam Ramadhan, supaya manusia bersungguh-sungguh beribadah pada semua malam Ramadhan.” 

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya, Fathul Bari [5/155], menyebut alasan kenapa Allah merahasiakan penetapan Lailatul Qadar. Alasannya, orang yang sudah mengetahui tanggal turunnya sudah barang tentu tidak ada kesungguhan ibadah di hari yang lain. Mereka akan menunggu hari atau tanggal dimana Lailatul Qadar sudah ditetapkan. 

Dari alasan ini memang sangat perlu untuk merahasiakan kapan turunnya. Hal ini tak lain agar manusia memang dan bersungguh-sungguh untuk mengejar, mencari dan memperolehnya. 

Dari penjelasan ini kita bisa mengetahui kapan dan kenapa Lailatul Qadar perlu dicari oleh kita. Selain itu, bentuk ikhtiar di bulan Ramadhan ini maka seharusnya para insan atau manusia memang berusaha untuk mencarinya. Dikarenakan, sebagaimana yang telah di sebutkan di atas, Lailatul Qadar hanya berada di bulan Ramadhan saja, tidak di bulan-bulan yang lain. 

Demikian penjelasan seputar hakikat dari Lailatul Qadar menurut para ulama. Semoga bermanfaat. Sekian!

BINCANG SYARIAH

Hukum Menyalurkan Zakat Fitrah untuk Lembaga Sosial

Zakat fitrah adalah zakat yang harus didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan. Namun, saat ini banyak lembaga masyarakat yang juga turut berjuang untuk pelayanan masyarakat seperti IKSASS, Fatayat, Muslimat, IPPNU, dan sejenisnya. Lantas, bagaimanakah hukum menyalurkan zakat fitrah untuk lembaga sosial? 

Dalam literatur kitab fikih, terdapat 8 asnaf (pihak ) yang dapat menerima penyaluran harta zakat fitrah. Kedelapan asnaf itu selanjutnya dijadikan tolok ukur keabsahan oleh para ulama.

Mereka sepakat bahwa penyaluran zakat ke selain depan asnaf tersebut hukumnya tidak sah. Sehingga, menurut mayoritas ulama, membagikan zakat kepada lembaga sosial seperti dalam pertanyaan itu tidak boleh.

Hal ini berlandaskan firman Allah SWT dalam Surat Al-Taubah, ayat 60 berikut,

  إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu diperuntukkan bagi orang-orang fakir, orang miskin, pengelola zakat (amil), orang yang dibujuk hatinya (muallaf), dalam memerdekakan budak, orang yang memiliki utang, dan perjuangan di jalan Allah dan ibnu sabil. Demikianlah ketentuan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Namun demikian, ada juga kalangan ulama lain yang memperbolehkan dengan memasukkan lembaga sosial tersebut dalam konteks sabilillah. Hal ini karena banyak ulama yang mengartikan sabilillah dengan pengertian yang lebih luas, tidak hanya bermakna pejuang di medan perang.

Sebagaimana dalam kitab Fiqh al-Zakāt, juz 2, halaman 644 berikut,

قَدِ انْتَشَرَتْ أَرَاءُ الْعُلَمَاءِ فِىَّ تَفْسِيرِ قَوْلِهِ تَعَالَى ” وَفَى سَبِيلِ اللهِ ” فِىْ قَوْلِهُ تَعَالَى إِنَّمَا الصِّدْقَاتُ…. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ أَنَّ الْمُرَادَ بِسَبِيلِ اللهِ هِى مَصَالِحُ الْمُسْلِمِينَ عَامَّةً الَّتِى بِهَا قِوَامُ أَمْرِ الدِّينِ وَ الدَّوْلَةِ دُونَ الْأَفْرَادِ. وَيَدْخُلُ فِي عُمُومِ سَبِيلِ اللهِ إِنْشَاءُ الْمُسْتَشْفَيَاتِ الْعَسْكَرِيَّةِ وَكَذَا الْخَيْرَةُ الْعَامَّةُ وَإِشْرَاعُ الطُّرُقِ.

Artinya : “Terdapat ragam penafsiran di kalangan ulama tentang firman Allah “wa fi sabilillah” yang terdapat dalam redaksi “Innama as-shadaqatu … Ada yang mengatakan, bahwasanya yang dimaksud dengan kata tersebut adalah kemaslahatan orang-orang Islam secara umum, yang dengannya urusan Agama dan Negara menjadi tegak, bukan maslahat individu.

Membangun rumah sakit bala tentara masuk dalam keumuman kata fi sabilillah. Demikian pula kebaikan umum dan membangun jalan.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa masih terjadi perbedaan pendapat diantara ulama mengenai hukum menyalurkan zakat fitrah kepada lembaga sosial. Menurut mayoritas ulama, membagikan zakat kepada lembaga sosial itu tidak boleh. Namun, ada juga kalangan ulama lain yang memperbolehkan dengan memasukkan lembaga sosial tersebut dalam konteks sabilillah.

Demikian penjelasan mengenai hukum menyalurkan zakat fitrah kepada lembaga sosial. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat

Jika langit malam kelap-kelip dengan adanya bintang-bintang, maka umat ini terang benderang dengan adanya para ulama yang mengajari ilmu dan memberi teladan. Dan ini adalah kisah salah satu dari mereka. Ia masyhur sebagai ahli fikih paling muda di kalangan para sahabat Nabi. Ia juga merupakan sahabat yang paling utama dari kalangan Ansar. Termasuk salah satu sahabat yang meriwayatkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling banyak. Terhitung sebagai ahli suffah. Ia dikenal hidup fakir, namun kaya dengan perbendaharaan ilmu. Ia adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

Nama dan kunyahnya

Nama beliau

Ulama berselisih pendapat terkait nama asli Abu Sa’id Al-Khudri. Di antara perkataan mereka tentang nama beliau adalah:

Pertama: Beliau bernama Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Tsa’labah bin Ubaid bin Al-Abjar Abu Sa’id Al-Khudri. [1]

Kedua: Beliau bernama Sinan. Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya mengatakan, “Nama Abu Sa’id Al-Khudri adalah Sinan.” [2]

Namun, nama beliau yang masyhur di kalangan ulama adalah Sa’ad.

ADVERTISEMENT

Kunyah beliau

Abu Sa’id Al-Khudri Al-Anshari termasuk keturunan suku Al-Khazraj. Mereka disebut Bani Khudrah atau Balkhudrah. Ada juga yang menyebut mereka Banu Al-Abjar. Dan yang dimaksud Al-Abjar adalah ‘Udzrah bin ‘Auf bin Al-Harits bin Al-Khazraj. [3]

Keluarga besarnya

Ayah beliau

Ayah Abu Sa’id Al-Khudri bernama Malik bin Sinan bin Ubayd bin Tsa’labah Al-Anshari. Malik bin Sinan termasuk sahabat Nabi yang mengikuti perang Uhud. Dan termasuk jejeran sahabat yang mati syahid di pertempuran tersebut.

Penyebutan nama Malik bin Sinan secara  khusus dalam kitab-kitab sejarah Islam tidaklah ditemukan, kecuali dalam dua peristiwa. Yakni, syahidnya beliau dalam perang Uhud dan tatkala beliau menghisap darah dari wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “Wajah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka, maka Malik bin Sinan menghadap ke arah beliau dan menghisap darah dari wajahnya, kemudian menelannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Siapa saja yang senang melihat seseorang yang darahnya bercampur dengan darahku, maka hendaklah ia melihat Malik bin Sinan.’” [4]

Pada riwayat Ibnu Ishaq di dalam kitab Sirah-nya, Nabi bersabda, “Siapa pun yang darahnya bercampur dengan darahku, maka neraka tidak akan menyentuhnya.” [5]

Ibu beliau

Ibu Abu Sa’id Al-Khudri bernama Anisah binti Abi Haritsah dari Bani Adi bin An-Najjaar. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hubaib kepada orang-orang yang membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [6]

Saudara-saudara beliau

Ahli sejarah mencatatkan beberapa saudara Abu Sa’id, di antaranya:

Pertama: Qatadah bin An-Nu’man, saudara seibu.

Kedua: Fari’ah binti Malik, saudara seayah dan seibu.

Ketiga: Zainab, saudarinya yang lain.

Anak-anak beliau

Abu Sa’id dikaruniai beberapa anak dari pernikahannya dengan istrinya, Zainab. Di antaranya:

Pertama: Abdurrahman

Kedua: Abdullah

Ketiga: Hamzah

Keempat: Sa’id

Kelima: Basyir

Ahli sejarah juga menuliskan beberapa cucu beliau, di antaranya:

Pertama: Rubaih bin Abdirrahman bin Abu Sa’id

Kedua: Abdullah bin Abdullah bin Abu Sa’id

Baca juga: Biografi Ringkas Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin

Kelahirannya

Tidak ada kitab sejarah yang menuliskan secara pasti tahun kelahiran tokoh ini. Namun, berdasarkan beberapa catatan peristiwa, kita dapat menetapkan tahun kelahiran beliau dengan jalan berikut:

Catatan sejarah menunjukkan bahwa Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dianggap masih kecil saat terjadi perang Uhud, sehingga beliau ditolak oleh Nabi untuk diikutkan dalam pertempuran tersebut. Disebutkan bahwa umur beliau waktu itu baru 13 tahun. Sementara, perang Uhud terjadi pada bulan Syawal tahun 3 Hijriah. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan beliau lahir sekitar 10 tahun sebelum hijriah.

Ciri-cirinya

Beberapa ciri fisik Abu Sa’id Al-Khudri yang disebutkan dalam kitab sejarah sebagai berikut:

Pertama: Abu Sa’id tidaklah bercukur, di mana jenggotnya berwarna putih lebat.

Kedua: Dari Wahab bin Kisan, ia berkata, “Aku melihat Abu Sa’id memakai sutra.”

Ketiga: Dari Usman bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, ia berkata, “Aku melihat Abu Sa’id menipiskan kumisnya sebagaimana saudaraku Al-Haliq.”

Akhlaknya

Abu Sa’id Al-Khudri berhias dengan akhlak Islam yang mulia sebagai buah dari keimanan yang tertancap kuat di dalam hati beliau. Di antara akhlak beliau yang paling menonjol adalah:

Sabar dan menjaga kehormatan diri

Abu Sai’d Al-Khudri adalah salah satu sahabat yang ditempa secara langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan hikmah dan anutan sehingga menjadikan dirinya seorang pribadi muslim yang sejati. Di antara sifat terpuji yang ia miliki adalah ia senantiasa berjalan di atas kesabaran ketika menghadapi kesempitan dan ujian hidup.

Dikisahkan, ketika ayahnya meninggal dalam perang Uhud, ia kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta-minta. Namun, Nabi malah balik memberikan nasihat menggugah untuk mendidiknya, hingga petuah itu meresap kuat ke dalam sanubarinya.

Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan kisah tersebut dari jalur  Utaibah, anaknya sendiri, di mana Abu Sa’id berkata, “Ayahku meninggal pada perang Uhud sebagai syahid, dan tidak meninggalkan harta untuk kami sepeser pun. Maka, aku pun mendatangi Rasulullah dan meminta (harta) padanya. Maka, tatkala melihatku, beliau bersabda,

من استغنى أغناه الله، ومن يستعفف يعفه الله

“Barangsiapa yang merasa cukup (tidak meminta-minta), maka Allah akan mencukupi (kebutuhan)nya. Barangsiapa yang menjaga diri (dari yang haram), maka Allah akan menjaganya.” Maka, aku (Abu Sa’id -pen) pun kembali (tanpa membawa apa-apa).

Hadis tersebut juga terdapat di dalam Ash-Shahihain dari jalur Ata’ bin Yazid dari Abu Sa’id Al-Khudri dengan cerita dan lafaz berbeda, yakni “Bahwa orang-orang Ansar meminta-minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak seorang pun yang meminta kepada beliau kecuali diberi, hingga ludes apa yang beliau punya untuk diinfakkan kepada mereka. Beliau kemudian berkata kepada mereka,

ما يكن عندي من خير لا أدخره عنكم وإنه من يستعف يعفه الله ومن يتصبر يصبره الله ومن يستغن يغنه الله ولن تعطوا عطاء خيرا وأوسع من الصبر

Kebaikan (harta) di sisiku tidaklah tersisa, kecuali telah aku berikan kepada kalian. Barangsiapa yang menjaga diri (dari yang haram), maka Allah akan menjaganya. Dan siapa saja yang bersabar, maka Allah akan menjadikannya orang yang sabar. Begitu pula, barangsiapa yang merasa cukup (dari manusia), maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. Pemberian (dari Allah) tidak ada yang lebih baik dan lebih lapang bagi manusia selain kesabaran.” [7]

Selain itu, meskipun beliau dari kalangan Ansar, beliau sering bergaul dengan ahli suffah dan juga dikenal sebagai ahli suffah. Beberapa sahabat, meskipun hidup cukup, mereka memilih hidup zuhud dan sabar. Di antaranya dengan banyak berinteraksi dengan ahli suffah. Bahkan, beberapa ulama terkenal dari kalangan sahabat selain Abu Sa’id tinggal di samping Masjid Nabawi sebagai ahli suffah, semisal  Abu Hurairah dan Abdullah bin Mas’ud. [8]

Abu Nu’aim Al-Ashbahani berkata tentangnya, “Keadaannya dekat dengan keadaan ahli suffah. Meskipun ia adalah seorang Ansar yang memiliki rumah, namun ia lebih menyukai hidup dengan ahli suffah untuk meraih sabar, dan memilih berdiam sebagai ahli suffah untuk hidup fakir dan memelihara diri dari segala yang tidak baik.” [9]

Keberanian dan kepahlawanan

Di antara sifat yang juga dimiliki oleh Abu Sa’id Al-Khudri adalah keberaniannya dalam membela kebenaran, bagaimana pun keadaannya. Kisah beliau yang berkaitan dengan hal ini, semisal:

Pertama: Beliau diketahui sebagai salah satu sahabat yang membaiat Nabi di bawah pohon, yang dikenal sebagai Bai’atur Ridwan. Seperti telah masyhur diceritakan, bahwa pada saat itu, kondisi kaum muslimin yang awalnya berniat berhaji cukup mencekam. Di mana Usman yang diutus oleh Nabi untuk bernegoisasi dengan kaum Quraisy, tidak juga kembali dalam beberapa hari. Sampai kemudian terdengar berita jika ia terbunuh. Maka, Nabi pun mengambil ba’iat dari para sahabat untuk berjanji setia dan tidak akan pergi, jika semisal mereka harus berperang. Hal ini menunjukkan loyalitas dan keberanian para sahabat, meskipun jumlah mereka sedikit. Sampai-sampai Allah pun mengabadikan kisah mereka dalam Al-Qur’an yang mulia. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ رَضِیَ اللّهُ عَنِ المؤمِنِینَ اِذْ یُبَایِعُونَکَ تَحتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِی قُلوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّکِیْنَةَ عَلَیْهِمْ وَ اَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِیْبًا

Sungguh Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Lalu, Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (Q.S. Al-Fath: 18)

Kedua: Semangat beliau untuk berjihad bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan sejak beliau masih kecil, sebagaimana yang akan dikisahkan nantinya. Disebutkan dalam buku sejarah, bahwa beliau mengikuti 13 peperangan bersama kaum muslimin, baik yang diikuti oleh Nabi secara langsung (Gazwah) maupun yang bentuknya ekspedisi (pengiriman satuan militer atas perintah Nabi), di antaranya:

Pertama: Perang (Gazwah) Bani Mustaliq

Kedua: Perang (Gazwah) Khandaq

Ketiga: Perang (Gazwah) Bani Quraidzah

Keempat: Perang (Gazwah) Hudaybiah

Kelima: Ekspedisi (Syariyyah) Basyir bin Sa’ad ke Fadak

Keenam: Ekspedisi (Syariyyah) Al-Qamah bin Mujazzaz

Ketujuh: Perang (Gazwah) Mu’tah

Kedelapan: Ekspedisi (Syariyyah) Abdurrahman bin ‘Auf ke Dumah Al-Jandal

Kesembilan: Perang Fathul Makkah

Kesepuluh: Perang (Gazwah) Hunain

Kesebelas: Perang (Gazwah) Tabuk

Kedua belas: Perang (Gazwah) Ukaydir di Dumah Al-Jandul

Ketiga belas: Ekspedisi (Syariyyah) Ali bin Abi Thalib ke Yaman

Ketiga: Beliau pernah memberikan nasihat secara berani kepada Marwan bin Al-Hakam bin Abil ‘Ash tatkala ia menjadi orang pertama yang membuat bid’ah berupa melakukan khotbah sebelum salat Id. Padahal Marwan pada saat itu tengah menjabat sebagai khalifah Bani Umayah di Syam.

Peristiwa tersebut disampaikan di antaranya melalui jalur Thariq bin Syihab, di mana ia berkata, “Orang pertama yang memulai khotbah Id sebelum salat adalah Marwan. Maka, ada seseorang berdiri dan berujar kepadanya, “Salat (Id) itu seharusnya didahulukan sebelum khotbah.” Marwan menimpali, “Hal tersebut sudah ditinggalkan.” Maka Abu Sa’id berkata, “Adapun orang ini telah menunaikan apa yang seharusnya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” [10]

Keempat: Mengutamakan orang lain

Abu Sa’id Al-Khudri juga dikenal dengan sifat itsar atau mendahulukan orang lain dibanding diri sendiri. Sebagian orang yang menulis biografinya mensifatinya demikian dengan berkata, “Ia seorang yang mendahulukan orang-orang fakir.” [11]

Maka itsar ini merupakan kebiasaan baik dan akhlak yang mulia yang para sahabat dipuji oleh Allah dengan berfirman,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr ayat 9).

Hingga jadilah para sahabat itu sebagai generasi Qur’ani yang tiada taranya. Generasi salaf yang diteladani dalam akhlak mulia. Dan satu di antara mereka adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

Keislamannya

Kitab-kitab sejarah juga tidak menyebutkan cerita dan awal mula keislaman Abu Sa’id Al-Khudri radhiyyalahu ‘anhu. Namun, nampak bahwa beliau termasuk penduduk Madinah yang pertama-tama memeluk agama Islam. Hal ini terlihat jelas pada sikap pemuda terdidik ini. Bagaimana ia mendudukkan Islam dalam dirinya. Begitu juga kedalaman iman di dalam dirinya. Sehingga mendorong dirinya untuk ikut berjihad pada perang uhud bersama Nabi. Padahal umurnya pada waktu itu masih 13 tahun. Namun, usia belia tidak menghalangi niatnya untuk turut serta dalam pertempuran besar tersebut.

Berniat ikut perang Uhud

Pada saat perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyeleksi sahabat yang akan berangkat berjihad, di antaranya berdasarkan usia. Sekelompok sahabat yang masih remaja ditolak oleh beliau dan tidak diizinkan menyandang senjata di hari itu. Satu di antara sahabat muda tersebut adalah Abu Sa’id Al-Khudri. Pada saat itu, Abu Sa’id masih berusia 13 tahun.

Kisah penolakan dan pemulangan Abu Sa’id Al-Khudri, diceritakan sendiri olehnya, di mana ia berkata, “Aku mengusulkan diri untuk ikut perang Uhud pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara usiaku masih 13 tahun. Ayahku pun menggenggam tanganku seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, anak ini memiliki tulang yang sangat besar.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengamatiku dari atas ke bawah kemudian membenarkan ayahku. Namun, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memerintahkan ayahku sambil bersabda, ‘Kembalikan anak itu.’ Maka, ayahku pun memulangkanku.” [12]

Zaid bin Haritsah Al-Anshari radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap kecil dan menolak sejumlah orang pada peristiwa perang Uhud. Di antaranya Zaid bin Haritsah,  Al-Bara’ bin ‘Azib, Sa’ad bin Khaitsamah, Abu Sa’id Al-Khudri, dan Jabir bin Abdillah. [13]

Guru-gurunya

Berdasarkan riwayat-riwayat Abu Sa’id Al-Khudri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun sebagian besar ia berasal dari Nabi secara marfu’, beliau juga meriwayatkan hadis dari sahabat yang lain. Oleh karena itu, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menuliskan, “Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Zaid bin Tsabit, Abu Qatadah Al-Ansari, Abdullah bin Salam, Usaid bin Hudhair, Ibnu Abbas, Abu Musa Al-Asy’ari, Mu’awiyah, dan Jabir bin Abdillah.” [14]

Murid-muridnya

Murid-Muridnya dari golongan sahabat

Di antara sahabat yang meriwayatkan hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri adalah[15]:

Pertama: Ibnu Umar

Kedua: Jabir

Ketiga: Anas

Keempat: Istrinya (Zainab binti Ka’ab)

Kelima: Ibnu Abbas

Keenam: Zaid bin Tsabit

Ketujuh: Mahmud bin Lubayd

Murid-muridnya dari golongan tabi’in

Adapun tabi’in yang meriwayatkan hadis darinya adalah:

Abdurrahman (anaknya), Abu Umamah bin Sahl, Said bin Al-Musayyab, Thariq ibnu Syihab, Abu At-Tufail, Ata’ bin Abi Rabah, Ata’ bin Yasar, Ata’ bin Yazid, ‘Iyad bin Abdullah bin Abi As-Sarh, Al-Agar bin Muslim, Bisyr bin Sa’id, Abu Al-Wadak, Hafs bin Ashim, Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, saudaranya (Abu Salamah bin Abdurrahman), Raja’ bin Rabiah, Adh-Dhahaq Asy-Syirqi, ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Khabbab, Sa’id bin Al-Harits Al-Anshari, Abdullah bin Muhairiz,  Abdullah bin Abi ‘Utbah (pelayan Anas), Abdurrahman bin Abi Ni’m, Ubaid bin Umair, Uqbah bin Abdil Faiz, Iqrimah, ‘Amr bin Salim, Quz’ah bin Yahya, Muhammad bin Sirin, Nafi’ pelayan Ibnu Umar,  Yahya bin Imarah bin Abi Hasan, Mujahid, Abu Ja’far Al-Baqir, Abu Sa’id Al-Maqbiri, Abu Abdurrahman Al-Habli, Abu Utsman An-Nahdi, Abu Syu’ban pelayan Abu Ahmad, Abu Shalih As-Siman, Abu Al-Mutawakkul An-Naji, Abu Nadrah Al-Ubaid, Abu Al-Qamah Al-Hasyimi, Abu Harun Al-Abdi, dan selainnya. [16]

Pujian ulama terhadapnya

Di antara pujian ulama terhadap Abu Sa’id Al-Khudri:

Pertama: Diriwayatkan dari Hanzalah bin Abi Sufyan, dari ayahnya, ia berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah yang paling muda yang lebih berilmu dibanding Abu Sa’id Al-Khudri.” [17]

Kedua: Al-Imam Abu Bakr Al-Khatib berkata, “Abu Sa’id adalah orang Ansar yang paling utama. Ia menghafal hadis yang sangat banyak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [18]

Ketiga: Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Abu Sa’id Al-Khudri adalah salah satu ahli fikih dari kalangan sahabat, dan yang paling mulia serta paling cerdas di antara mereka.” [19]

Keempat: Al-‘Amiri berkata, “Abu Sa’id Al-Khudri adalah salah satu di antara sahabat yang masyhur, yang paling utama, paling banyak riwayatnya. Dan ia terhitung sebagai ahli suffah. Suka mengutamakan orang-orang fakir. Dikaruniai kesabaran. Seorang faqih. Serta seorang yang mulia dan terhormat.” [20]

Riwayat hadis darinya

Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan hadis sebanyak 1170 buah hadis, dan termasuk urutan ketujuh sahabat periwayat hadis terbanyak setelah Abu Hurairah (5374 hadis), Abdullah bin Umar (2630 hadis), Anas bin Malik (lebih dari 2286 hadis), Aisyah (2210 hadis), Abdullah bin Abbas (1660 hadis), dan Jabir bin Abdillah (1540 hadis) radhiyallahu ‘anhum ajma’in. [21]

Abu Sa’id Al-Khudri termasuk sahabat yang memiliki ingatan yang sangat kuat. Ia sama sekali tidak menuliskan hadis-hadis di dalam kitab, namun ia menghafalkan keseluruhan hadis yang ia riwayatkan. Tentang hal ini, ia pernah berkata kepada muridnya, “Janganlah engkau tulis hadis-hadis, dan jangan engkau jadikan ia sebagaimana Al-Qur’an (ditulis -pen). Akan tetapi, hafallah dariku sebagaimana aku menghafalnya.” Di kesempatan lain ia berkata, “Ambillah hadis-hadis sebagaimana aku mengambilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [22]

Abu Sa’id Al-Khudri jugalah yang meriwayatkan hadis larangan Nabi untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Janganlah kalian tulis dariku, selain Al-Qur’an. Dan siapa pun yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapusnya.” [23]

Salah satu mufti dari kalangan sahabat

Pakar sejarah menyebut Abu Sa’id Al-Khudri sebagai salah satu sahabat yang biasa berfatwa. Maka, tentang ini Ziyad bin Mina berkata, “Adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, dan sahabat Rasulullah lain yang serupa dengan mereka, berfatwa di Madinah. Maka, mereka mengambil hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sejak wafatnya Usman radhiyallahu ‘anhu hingga wafatnya diri mereka masing-masing.” [24]

Nasihatnya

Berikut adalah salah satu nasihat beliau, “Wajib bagimu bertakwa kepada Allah. Karena takwa adalah pemimpin setiap hal. Wajib pula atasmu untuk berjihad. Karena ia adalah kerahiban dalam Islam. Demikian juga, patut bagimu berzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an. Karena ia mengharumkanmu pada penduduk langit dan menyebutmu di tengah-tengah penduduk bumi. Wajib juga bagimu untuk diam, kecuali dalam rangka menyampaikan kebenaran. Maka engkau pun akan mengalahkan setan.” [25]

Wasiatnya

Sebelum meninggal, Abu Sa’id Al-Khudri memberikan wasiat kepada Abdurrahman, anaknya, di mana ia berkata, “Ayahku berkata padaku, ‘Aku semakin tua. Para sahabat dan kawananku telah pergi (wafat). Tolong, peganglah tanganku.’ Ayahku kemudian bertelekan kepadaku hingga tiba di tepi pemakaman Baqi, bagian yang belum ada kuburannya. Beliau kemudian berkata, ‘Wahai anakku, jika nanti aku mati, maka kuburkanlah aku di sini. Jangan buatkan aku tenda besar, dan jangan pula engkau iringi aku dengan api. Jangan pula tangisi aku dengan ratapan. Jangan engkau kabarkan manusia tentang kematianku. Ringankanlah dan segerakanlah.’ Ayahku kemudian wafat pada hari Jumat. Aku pun tidak suka memberitahu manusia sebagaimana ia melarangku. Namun, mereka datang kepadaku dan bertanya, ‘Kapan engkau mengeluarkan (jenazah)nya?’ Aku pun menjawab, ‘Setelah aku siapkan, baru aku keluarkan.’ Maka, manusia pun memenuhi pekuburan Baqi bersamaku.” [26]

Wafatnya

Setelah menjalani kehidupan dan umur yang terbilang cukup panjang, ia telah sukses mengumpulkan berbagai kebaikan dan keutamaan. Baik berupa ilmu, amal, akhlak yang mulia, sikap zuhud, dan jihad fii sabilillah. Abu Sa’id Al-Khudri pada akhirnya berpulang ke sisi Rabbnya ‘Azza Wajalla di Madinah. Kota tempat ia lahir, tumbuh, dan berjuang bersama Nabi dan para sahabat yang mulia radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Ulama berbeda pendapat terkait tahun wafat Abu Sa’id Al-Khudri. Di antara perkataan mereka tentang waktu kematiannya sebagai berikut:

Pertama: Beliau wafat pada tahun 74 Hijriah. Ini pendapat Al-Wakidi, Ibnu Numair, dan Ibnu Bakir. [27]

Kedua: Beliau wafat pada tahun 64 Hijriah. Ini perkataan Ali Al-Madini. [28]

Ketiga: Beliau wafat pada tahun 63 Hijriah. Ini perkataan lain dari Ali Al-Madini dan Ibnu Hibban. [29]

Keempat: Beliau wafat pada tahun 65 Hijriah. Ini pendapat Al-Askari. [30]

Abu Sa’id Al-Khudri dikuburkan di pemakaman Baqi sebagaimana yang ia wasiatkan kepada anaknya, Abdurrahman. Sebelumnya, dia menginginkan pemakaman yang sederhana. Sampai kemudian manusia di Madinah mengetahui berita kematiannya. Mereka pun berbondong-bondong menghadiri penguburan jenazahnya, sehingga pekuburan Baqi pun tumpah ruah dan penuh dengan manusia. Semua itu sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap Abu Sa’id Al-Khudri yang mereka kenal telah menjadi Mufti di Madinah dalam waktu yang cukup panjang. Begitu juga kisah kepahlawanan, kesahajaan, kesabaran, dan teguhnya beliau dalam memberikan nasihat, serta beramar makruf nahi mungkar kepada manusia. Semoga Allah mengumpulkan kita bersamanya, dan seluruh sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in di surga-Nya kelak, tempat yang penuh kenikmatan nan abadi.

***

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber bacaan dan terjemah:

Muhammad Abdullah Abu Su’aylik. 1999. Abu Sa’id Al-Khudri Shahibu Rasulillahi wa Mufti Al-Madinah fii Zamaanihi. Riyadh. Huquq At-Thaba’ Mahfuzah.

Catatan kaki:

[1]     Al-Mu’jam Al-Kabir 6/33, Al-Ishabah 2/33, Sirah Ibnu Hisyam 3/178, Thabaqat Khalifah hal. 96

[2]     Sirah Ibnu Hisyam 3/178.

[3]     Jamharah Ansab Al-Arab hal. 362 dan Al-Ishabah 2/32.

[4]     Al-Mu’jam Al-Kabir no. 5430, Ibnu Sakkan dan Sa’id Mansur sebagaimana dalam Al-Ishabah 3/320, Al-Maghazy karya Al-Waakidi 1/247.

[5]     Sirah Ibnu Hisyam 3/116, di mana sanadnya Munqati’. Juga terdapat dalam Al-Maghazhi karya Al-Waakidi 1/247.

[6]    Al-Majar: 429 dan Al-Ishabah 4/238.

[7]     Al-Jami’ Ash-Shahih, Kitab Ar-Riqaq nomor 6470.

[8]    Ahlus Suffah. Asy-Syaikh Shalih Najib Ad-Daq.

[9]    Al-Hilyah 1/369-370.

[10]   HR. Muslim 2/21-24.

[11]    Ar-Riyaadh Al-Mustathaabah hal 100.

[12]   Siyar Alam Nubala, 3/169, Tahdzib Ibnu Asaakir 6/113, dan Al-Mustadrak 3/563.

[13]    Mu’jam Al-Kabir, nomor 5150.

[14]   Tahdzib At-Tahdzib 3/416.

[15]    Siyar Alam Nubala 3/169 dan At-Tahdzib 3/416.

[16]   At-Tahdzib 3/316-317.

[17]   Thabaqat Ibnu Sa’ad, 2/374.

[18]   Tarikh Bagdad, 1/180

[19]   Tahdzib Al-Asma, 2/237.

[20]  Ar-Riyad Al-Mustathabah, hal. 100.

[21]   Aktsaru Ash-Shahabah Riwayah lilhadits. Mahmud Dawus Dasuqi  Khattabi.

[22]   Al-Mustadrak 3/564, Jami’ Bayan Al-‘Ilmi 1/76-77, dan Taqyid Al-Ilm halaman 36.

[23]   HR. Muslim hal. 229.

[24]   Thabaqat Al-Fuqaha, karya Asy-Syirasyi hal. 33.

[25]   Siyar A’lam Nubala 3/170.

[26]   Al-Mustadrak, 3/564.

[27]   Tahdzib At-Tahdzib 3/417.

[28]   Siyar Alam Nubala 3/171 dan At-Tarikh Al-Kabir 4/44.

[29]   Masyahir Ulama Al-Amshar hal 11 dan At-Tsiqat 3/150.

[30]   Tahdzib At-Tahdzib 3/417.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84260-abu-said-al-khudri.html

Teks Khotbah Jumat: Ramadan, Kesempatan Emas untuk Memperbanyak Sedekah

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

ADVERTISEMENT

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala.

Pertama-tama, marilah senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan menjalankan perintah-Nya ataupun dengan menjauhi larangan-larangan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu seringnya menasihati para sahabatnya perihal takwa ini. Sampai-sampai di akhir hayat beliau, saat beliau sedang berkhotbah di haji perpisahannya, beliau bersabda,

اتَّقُوا اللَّهَ ربَّكُم وصَلُّوا خَمْسَكُم وصُومُوا شَهْرَكُم وأدُّوا زَكَاةَ أَمْوالِكُم وأَطِيْعُوا ذا أمرِكم تدخلوا جنَّةَ ربِّكُم

Bertakwalah kalian kepada Allah, tunaikanlah kelima salat kalian, kerjakanlah puasa di bulan (Ramadan) kalian, tunaikanlah zakat harta kalian, dan patuhilah para pemimpin kalian, niscaya kalian akan masuk ke dalam surga Rabb kalian!.” (HR. Tirmidzi no. 616, Abu Dawud no. 1955, dan Ahmad no. 22161)

Di dalam hadis yang mulia ini, setelah Nabi mewasiatkan para sahabatnya untuk bertakwa, Nabi wasiatkan juga hal yang lain. Nabi wasiatkan kaum muslimin agar senantiasa menjalankan salat lima waktu. Nabi wasiatkan untuk berpuasa di bulan Ramadan. Dan Nabi wasiatkan untuk membayarkan zakat harta yang dimiliki.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Harta merupakan perhiasan kehidupan dunia. Dengannya hajat manusia terpenuhi. Kehidupan menjadi mudah. Dan manusia dapat mencapai kemaslahatan-kemaslahatan yang diinginkannya. Tidak mengherankan bila hati ini secara fitrah mencintainya. Hati bersemangat untuk mencarinya, berlomba-lomba di dalam memperbanyak dan mengumpulkannya.

Akan tetapi, Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya, sudah membagi-bagi untuk manusia bagian dari rezeki dan harta tersebut. Di antara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang berkecukupan dan hartanya berlimpah. Ada juga yang diuji dengan kemiskinan dan sangat butuh akan bantuan saudaranya.

Ma’asyiral mukminin, jemaah Jumat yang bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Hal ini tentu saja memiliki hikmah yang yang sangat agung. Allah Ta’ala ingin agar mereka yang diberi kecukupan harta membantu mereka yang kekurangan. Allah jadikan sedekah sebagai salah satu amal ibadah yang paling utama bagi mereka yang diberikan kelapangan. Dan Allah jadikan juga pahala dan balasan bagi seseorang sesuai dengan kadar sedekah yang dikeluarkannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَقْرِضُوا اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًاۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۙهُوَ خَيْرًا وَّاَعْظَمَ اَجْرًاۗ وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Muzammil: 20)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

يقولُ ابنُ آدَمَ: مَالِي، مَالِي، قالَ: وَهلْ لَكَ -يا ابْنَ آدَمَ- مِن مَالِكَ إلَّا ما أَكَلْتَ فأفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فأبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فأمْضَيْتَ؟!

”Anak Adam berkata, ‘Hartaku, hartaku.’” Nabi melanjutkan, “Padahal tidak ada harta bagimu, wahai Anak Adam, kecuali apa yang engkau makan hingga habis, yang engkau pakai hingga usang, atau yang engkau sedekahkan, maka engkau mendapatkan pahalanya.” (HR. Muslim no. 2958)

Jemaah Jumat yang semoga senantiasa diberikan keberkahan rezeki dan kelapangan.

Sedekah yang kita lakukan, selain ia merupakan tabungan pahala di akhirat kelak, ia juga menjadi sebab bertambahnya dan berkembangnya harta kita di kehidupan dunia ini. Bagaimana tidak? Sedang Allah Ta’ala sendiri yang berjanji akan mengganti apa yang diinfakkan dan dikeluarkan seorang hamba di jalan Allah Ta’ala,

وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. Saba’: 39)

Di dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala juga berfirman,

يا ابْنَ آدَمَ أنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ

“Wahai anak Adam berinfaklah, niscaya aku akan memberimu rezeki.” (HR. Bukhari no. 4684, 7411 dan Muslim no. 993)

Allah Ta’ala juga mengutus para malaikat turun di pagi hari untuk mendoakan orang-orang yang berinfak dan menyedekahkan hartanya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما مِن يَومٍ يُصْبِحُ العِبادُ فِيهِ، إلَّا مَلَكانِ يَنْزِلانِ، فيَقولُ أحَدُهُما: اللَّهُمَّ أعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، ويقولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا.

‘Tidak satu hari pun di mana seorang hamba berada padanya, kecuali dua malaikat turun kepadanya. Salah satu di antara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lainnya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi orang yang kikir.’” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Mirisnya di zaman ini, meskipun seseorang memiliki harta yang melimpah, ia masih saja berkeluh kesah. Ia merasakan sempitnya hati dan susahnya mendapatkan kebahagiaan. Ketahuilah, sesungguhnya hal itu dikarenakan pelitnya mereka di dalam menginfakkan harta di jalan Allah Ta’ala, ketidakpedulian mereka terhadap kaum fakir, dan ketidakpekaan mereka kepada orang-orang yang membutuhkan. Padahal sejatinya, sedekah dan infak merupakan sebab terbesar lapangnya dada dan dimudahkannya urusan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ

“Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan,

ابغُونِي ضُعَفَاءَكُم؛ فإنما تُرْزَقون وتُنْصَرون بضعفائكم

“Senangkanlah aku dengan berbuat baik kepada orang yang lemah di kalangan kalian, karena sesungguhnya engkau sekalian diberi rezeki dan pertolongan disebabkan orang-orang yang lemah di kalangan kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1702)

Ingatlah selalu wahai hamba-hamba Allah sekalian, akan firman Allah Ta’ala,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ * وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ * وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu, lalu dia berkata (menyesali), ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.’ Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munafiqun: 9-11)

Wallahu a’lam bisshawab

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Ma’asyiral mukminin yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala.

Jadikanlah momentum bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini untuk membiasakan diri kita memperbanyak bersedekah. Di bulan Ramadan ini, telah Allah Ta’ala bukakan pintu-pintu surga. Dan Allah berikan kita begitu banyak kesempatan untuk bersedekah. Di antara kesempatan tersebut adalah memberikan makanan berbuka untuk orang lain. Sebuah sedekah yang memiliki keutamaan yang sangat agung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Siapa saja yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan dan menggambarkan salah satu kamar yang ada di surga, beliau pun juga menyebutkan karakteristik penghuninya. Di antara karakteristik yang beliau sebutkan adalah memberi makan dan berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا. فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya. Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, ‘Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, yang senantiasa berpuasa, dan salat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan)

Jemaah yang semoga senantiasa diliputi kelapangan.

Panutan kita, role model terbaik kita, Nabi besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling dermawan. Dan kedermawanan beliau semakin bertambah ketika datang bulan Ramadan yang mulia ini. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan,

كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه و سلم أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِى رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِىُّ صلى الله عليه و سلم الْقُرْآنَ ، فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ. متفق عليه

“Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling dermawan masalah kebaikan (harta benda). Dan kedermawanan beliau mencapai puncaknya pada bulan Ramadan di saat berjumpa dengan Malaikat Jibril. Dan dahulu Malaikat Jibril ‘alaihissalam biasanya senantiasa menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada setiap malam di bulan Ramadhan hingga akhir bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca Al-Qur’an di hadapannya. Bila beliau telah berjumpa dengan Malaikat Jibril ‘alaihis salam, beliau terasa begitu dermawan dalam masalah kebaikan (harta benda) dibanding angin sepoi-sepoi yang berhembus.” (HR. Bukhari no. 3220 dan Muslim no. 2308)

Semoga Allah Ta’ala jadikan diri kita sebagai salah satu hamba-hamba-Nya yang diberikan kelapangan dan keluasan rezeki, diberikan hidayah dan kesadaran untuk bisa berbagi dan bersedekah kepada orang lain meskipun diri kita masih butuh. Semoga di sisa-sisa bulan Ramadan yang mulia ini, Allah berikan kita kesempatan untuk meneladani kedermawanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bersedekah dan berbuat baik kepada orang-orang yang membutuhkan.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84310-kesempatan-emas-untuk-memperbanyak-sedekah.html

2 Pegangan Manusia ketika Diberi Ujian oleh Allah SWT

UJIAN. Pasti akan diberikan Allah pada setiap makhluk yang bernyawa. Ada dua pegangan manusia ketika diberi ujian atau musibah.

Dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, kita senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah SWT. Sementara semenjak diciptakan, tabiat dasar manusia memang tidak pernah merasa puas.

Apabila diberi kesenangan, manusia lalai dan tak menentu. Sebaliknya jika diberi kesulitan, ia akan bersedih dan gundah gulana tak karuan. Padahal sejatinya bagi seorang mukmin, segala yang terjadi pada dirinya, seharusnya tetap menjadi kebaikan bagi dirinya.

Pegangan Manusia ketika Diberi Ujian: Istimewanya Seorang Muslim

Begitulah keistimewaan seorang mukmin sejati. Hal ini ditunjukkan dalam sebuah sabda yang diucapkan oleh pemimpin dan suri tauladan bagi orang-orang yang bertakwa. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Sungguh menakjubkan  keadaan seorang mukmin. Segala keadaan yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila dia mengalami kebaikan, dia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa keburukan, maka dia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim no.2999, dari sahabat Shuhaib)

Benarlah, bahwasanya hanya orang yang beriman yang bisa lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini karena ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah SWT serta tahu akan kelemahan dirinya.

Tidak dipungkiri memang, musibah dan bencana akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, orang yang dicinta kini telah tiada, harta benda musnah tak bersisa, berbagai agenda tertunda, bahkan segenap waktu dan perasaan tercurah untuk memikirkannya.

Musibah adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’li Ahkamil Qur’an, 2/175)

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)

Dunia ini adalah medan perjuangan seorang mukmin untuk menjadi sebaik-baik hamba. Allah SWT berfirman,

“Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2)

Pegangan Manusia ketika Diberi Ujian: Pentingnya Istirja’ Ketika Datang Musibah

Istirja’ adalah ucapan

إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُونَ

yang artinya “Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”

Shahabiyah Ummu Salamah radhiyallahu’anha menyebutkan sabda Rasulullah SAW,

“Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no.918)

Kalimat istirja’ adalah obat termanjur bagi mereka yang tertimpa musibah dan paling berguna bagi seorang hamba di dunia dan di akhirat karena ia mengandung dua pondasi atau pegangan dasar yang apabila seorang hamba merealisasikan dengan mengetahui dua pegangan tersebut, insya Allah dirinya terhibur dari musibah tersebut.

Pegangan Manusia ketika Diberi Ujian, pertama: adalah hendaknya seorang hamba itu mengakui bahwa dirinya, keluarganya, harta dan anaknya pada hakikatnya adalah milik Allah Ta’ala.

Dia hanya menitipkannya pada seorang hamba. Apabila Dia mengambilnya, ibarat pemilik barang mengambil barangnya yang dipinjam orang lain

Pegangan Manusia ketika Diberi Ujian, kedua: adalah bahwasanya tempat kembali dan akhir perjalanan seorang hamba adalah kepada “Pemilik” yang sesungguhnya.

Suatu masa, ia harus meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya, dan datang mengharap Rabbnya di hari akhir nanti seorang diri, sebagaimana Allah Ta’ala menciptakannya pertama kali, tanpa keluarga, harta, teman.

Seseorang tidak akan membawa apapun kecuali amal kebaikan dan keburukan di akhirat nanti. Karena itu, dengan mengetahui dan menyadari keadaan seorang hamba di awal penciptaan dan di akhir kehidupan dunia, bagaimana mungkin ia akan akan bergembira atau bersedih karena berpisah dengan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya?

Sebagian orang beranggapan bahwa orang yang ditimpa musibah seperti sakit dan semisalnya adalah orang yang dimurkai Allah Ta’ala, padahal tidaklah demikian kenyataannya. Terkadang seseorang diuji dengan penyakit dan musibah padahal ia seorang yang mulia di sisi-Nya seperti para nabi, rasul dan orang shalih. Musibah yang menimpa mereka tidak lain adalah untuk mengangkat kedudukan mereka dan dibesarkannya pahala serta sebagai contoh kesabaran bagi orang yang datang setelah mereka.

Pegangan Manusia ketika Diberi Ujian: Dengan Kesenangan dan Harta

Terkadang seorang diuji dengan kesenangan seperti harta yang banyak, anak-anak, istri dan lainnya, akan tetapi tidak sepantasnya dikatakan orang yang dicintai Allah Ta’ala jika tidak melakukan ketaatan kepada-Nya atau justru terlena karenanya. Orang yang mendapat berbagai kenikmatan bisa jadi memang termasuk orang yang dicintai Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya.

Seorang mukmin hendaknya yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah Ta’ala niscaya akan menimpanya dan tidak meleset sedikitpun. Sedangkan apa yang tidak ditakdirkan oleh-Nya pasti tidak akan menimpanya. Allah SWT berfirman yang artinya,

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikan itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(QS Al Hadid: 22-23)

Pegangan Manusia ketika Diberi Ujian: Tanda Cinta Allah pada Kita

Ingatlah, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.”(HR. Tirmidzi)

Ketahuilah, sesungguhnya musibah yang menimpa, tak lain adalah sarana penggugur dosa seorang hamba, seperti yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Ujian akan terus datang kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya, dan anaknya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa.” (HR. Ahmad)

Allah Maha Bijaksana, tiada keputusan dan ketentuan-Nya yang lepas dari hikmah. Tak terkecuali dengan perkara musibah ini. Kalaulah seandainya tidak ada faedah dari musibah ini kecuali sebagai penghapus dosa dimana itu saja sudah mencukupi, apatah lagi jika di sana ada setumpuk faedah?

Terakhir, mari kita perhatikan nasihat Ibnu Qayyim rahimahullah berikut ; “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lamu yang sia-sia di bawah sinar matahari.” []

SUMBER: MUSLIMAH.OR.ID.

I’tikaf yang Sah, Minimal Barapa Lama?

Dalam Madzhab Hanbali pendapat dhahir madzhab bahwasa boleh i`tikaf tanpa puasa, sehingga boleh tidak sampai satu hari, meski sebentar

Hidayatullah.com | PARA ulama berbeda pendapat menganai lama waktu i`tikaf atau waktu minimal dalam melaksanakan i`tikaf. Berikut ini pendapat para ulama dalam madzhab empat:

Madzhab Hanafi

Dalam Madzhab Hanafi, terdapat perincian dalam masalah ini. Jika i`tikaf  wajib, semisal i`tikaf karena nadzar maka minimal harus dilakukan dalam satu hari menurut Imam Abu Hanifah. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf lebih dari satu hari. Namun jika i`tikaf  sunnah, maka bisa dilakukan satu jam, menurut Muhammad bin Hassan. (Majma` Al Anhar, 1/256).

Madzhab Maliki

Imam Malik berpendapat bahwasannya waktu i`tikaf paling sedikit adalah sepuluh hari dan paling maksimal adalah satu bulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mu’tamad dalam madzhab. Dengan demikian lebih dari satu bulan hukumnya makruh. (Al Fawaqih Ad Dawani, 1/321).

Madzhab Syafi`i

Dalam Madzhab Syafi`i pendapat yang shahih adalah bahwa i`tikaf bisa dilakukan dengan berdiam diri di masjid dalam waktu sebentar atau lama.  Imam Al-Haramain menyatakan bahwa sebentar di sini tentu lebih dari waktu tuma`ninah.

Namun Imam Syafi`i menyatakan bahwa lebih utama dilakukan dalam satu hari, untuk menghindari khilaf dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa minimal waktu yang dihabiskan dalam i`tikaf adalah satu hari. (Lihat, Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/489).

Madzhab Hanbali

Dalam Madzhab Hanbali pendapat dhahir madzhab bahwasannya boleh i`tikaf tanpa puasa, sehingga boleh tidak sampai satu hari, meski sebentar. (Al Inshaf fi Ma’rifah Ar Rajih min Al Khilaf, 3/359).

Meski demikian, ada pula riwayat lain dari Imam Ahmad bahwa i`tikaf  minimal sehari karena disyaratkan puasa. Namun pendapat masyhur dalam madzhab adalah pendapat pertama. (Lihat, Al Mughni, 3/188).

Dalil Masing-Masing Madzhab

Dalil bahwa i`tikaf minimal satu hari, karena diwajibkan untuk berpuasa ketika i`tikaf. Pendangan ini merujuk kepada Hadits.

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((لَا اعْتِكَافَ إلَّا بِصِيَامٍ)) 

(رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)

“Dari Aisyah radhiyallahu `anha bahwa Nabi ﷺ bersabda,”Tidak ada i`tikaf  kecuali dengan puasa.” (Riwayat Ad Daraquthni).

Imam An-Nawawi menyatakan bahwasannya hadits ini dhaif. Kalau sekiranya diterima maka maksudnya tidak ada i`tikaf yang sempurna. (dalam Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/488).

Dalil I`tikaf Minimal Sepuluh Hari

Sedangkan Madzhab Maliki yang berpendapat bahwa i`tikaf  tidak boleh kurang dari sepuluh hari berhujjah bahwasannya Rasulullah ﷺ tidak pernah melaksanakan i`tikaf lebih sedikit daripada sepuluh hari. (Fawaqih Ad Dawani, 1/321).

Dalil i`tikaf Bisa Dilakukan Sebentar

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: ((أَوْفِ بِنَذْرِكَ)) (أخرجه البخاري)

Dari Ibnu Umar bhawsannya Umar berkatata,”Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar di masa jahiliyah untuk beri`itikaf di malam hari di Masjid Al Haram, Rasulullah ﷺ bersabda, ’Tunaikan nadzarmu.’” (Riwayat Al Bukhari).

Imam An-Nawawi menyatakan bahwasannya hadits menunjukkan bahwa i`tikaf  tidak perlu berpuasa, karena malam hari tidak ada puasa. (Syarh Shahih Muslim, 8/68).

Walhasil, boleh melakukan I`tikaf  meski tidak berpuasa, dengan demikian tidak harus satu hari, meski sebentar. Wallahu `alam bish shawab.*/Thoriq, lc, MA

HIDAYATULLAH

Kenali Tiga Bis yang Melayani Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi

Bis antar kota adalah angkutan jamaah haji antar kota perhajian.

Direktur Layanan Haji Luar Negeri Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (Ditjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Subhan Cholid menjelaskan tiga bis yang melayani jamaah haji Indonesia di Arab Saudi. Sebagaimana diketahui, kuota haji Indonesia tahun 2023/ 1444 Hijriyah sebanyak 221.000 orang terdiri dari 203.320 jamaah haji reguler, 17.680 jamaah haji khusus, dan 4.200 petugas.

“Selama di Arab Saudi, jamaah haji Indonesia mendapat layanan transportasi yang meliputi bis antar kota, bis shalawat dan bis masyair,” kata Subhan saat Bimbingan Teknis Terintegrasi PPIH Arab Saudi di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Kamis (13/4/2023).

Ia menjelaskan, bis antar kota adalah angkutan jamaah haji antar kota perhajian dengan rute Bandara Madinah ke Madinah, Madinah ke Makkah, Makkah ke Jeddah, Makkah ke Madinah, dan Madinah ke Bandara Madinah (Bandara Amir Muhammad Bin Abdul Aziz/ AMAA)

Bis sholawat adalah layanan untuk mengantarkan jamaah haji melaksanakan sholat lima waktu ke Masjidil Haram atau untuk mengangkut jamaah dari Masjidil Haram ke pemondokan.

Bis sholawat disediakan berdasarkan ketentuan Ta’limatul Hajj yang mewajibkan misi haji jika menempatkan jamaah haji pada wilayah dengan jarak 2 kilometer. Layanan bis sholawat ini beroperasi selama 24 jam yang dilengkapi dengan rute, halte dan terminal.

“Bis masyair adalah angkutan jamaah haji dengan rute Makkah ke Arafah, Arafah ke Muzdalifah, Muzdalifah ke Mina dan Mina ke Makkah,” ujar Subhan.

Dijelaskan juga rencana rute angkutan bis sholawat 2023. Jamarat – Mahbas Jin – Bab Ali. Syisyah 1 – Syib Amir. Syisyah 2 – Syib Amir. Syisyah 3 – Syib Amir. Syisyah 4 – Syib Amir.

Raudhah 1 – Syib Amir. Raudhah 2 – Syib Amir. Jarwal 1 – Syib Amir. Jarwal 2 – Syib Amir. Misfalah 1 – Jiad. Misfalah 2 – Jiad.

photo

Infografis Bus Shalawat – (Republika)

IHRAM