Cara Minum Air bagi Jamaah Haji agar tak Dehidrasi

Jamaah haji dianjurkan untuk banyak minum air agar tak dehidrasi.

Musim haji 2023 diperkirakan terjadi bertepatan dengan cuaca panas menyengat. Saat itu, diprediksi hawa panas bisa mencapai 48 derajat celsius, bahkan lebih.

Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) Haji Kementerian Kesehatan Liliek Marhaendro Susilo menjelaskan, yang harus dilakukan oleh jamaah haji maupun petugas haji adalah memperbanyak minum air. Dalam mengonsumsi air ini ada caranya atau teknik khusus.

“Ada caranya, tekniknya, yaitu satu menit satu teguk. Dalam satu jam bisa 200 mililiter air,” kata dia dalam keterangan yang didapat Republika, Kamis (13/4/2023).

Menurutnya, teknik seperti itu penting. Alasannya, jika jamaah ataupun petugas langsung minum air dalam jumlah banyak, toilet di Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram Makkah jaraknya jauh.

“Kalau minumnya langsung banyak, berpotensi selalu ingin ke belakang, ke toilet, padahal jauh. Makanya, per teguk tapi sering,” lanjut dia.

Selanjutnya, ia menyebut saat puncak haji atau prosesi di Arafah, Muzdalifah dan Mina, biasanya jumlah jamaah haji yang meninggal mengalami peningkatan.  Ada beberapa faktor yang memperngaruhi, seperti ancaman suhu panas atau tinggi dan aktivitas yang begitu padat.

Faktor selanjutnya, yakni kerentanan kesehatan pada jamaah haji. Dalam pelaksanaan haji 2023 jumlah lansia lebih dari 67 ribu atau sepertiga dari jumlah total jamaah. Selain itu, terdapat ancaman kekambuhan penyakit yang dipicu oleh kelelahan dan kondisi fisik yang menurun.

Dari berbagai kerentanan tersebut, dibutuhkan kampanye petugas haji kepada jemaah haji 2023 di antaranya minum tak menunggu haus atau jangan sampai kehausan, minum obat teratur bagi jemaah haji risti dan memiliki komorbid.  

“Sebagai puncak haji kegiatan di Armuzna, seharusnya jamaah haji 2023 mengatur tenaga atau energinya. Misalnya, saat di Makkah sebelum ke Armuzna, jamaah haji harus menghemat energi dengan mengurangi ibadah-ibadah sunnah,” ucap Liliek.

Berdasarkan data, ia menyebut dari total jumlah jamaah haji 30 persen mandiri dalam beribadah. Sementara sisanya 70 persen jamaah memiliki risiko kesehatan.  

IHRAM

Inilah Waktu Terbaik Membayar Zakat Fitrah

Berikut inilah waktu terbaik membayar zakat fitrah. Pasalnya, pada saat Ramadhan, menjelang Idul Fitri, seorang muslim diwajibkan membayar zakat jika mampu. Nah tenggat waktu idealnya kapan?

Zakat fitrah hukumnya adalah wajib. Disebut zakat fitrah sebab diwajibkan bagi setiap muslim yang masih hidup sampai waktu berbuka puasa pada akhir Ramadhan menjelang Idul Fitri.

Sebagaimana puasa Ramadhan, zakat fitrah difardukan pada tahun kedua Hijrah. Nah, lalu kapan sebaiknya waktu pembayaran zakat fitrah?

Waktu pembayaran zakat fitrah dimulai sejak hari pertama puasa Ramadhan hingga hari dimana terbenamnya matahari Idul Fitri yaitu pada hari raya pertama atau tanggal satu syawal.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin berikut ini

ووقت أدائها من وقت الوجوب إلى غروب شمس يوم الفطر فليلزم الحر المذكور أن يؤديها قبل غروب شمسه

“Waktu pembayarannya adalah sejak waktu diwajibkan hingga terbenam matahari idul fitri. Maka bagi orangyang merdeka seperti di atas hendaklah membayarkan fitrahnya sebelum terbenamnya matahari idul fitri.”

Menurut mayoritas ulama, boleh mempercepat pembayaran zakat fitrah sejak awal Ramadhan. Namun sunnah hukumnya untuk tidak sampai menunda hingga selesai shalat Idul Fitri, sebab menunda memberikan zakat fitrah hingga selesai shalat Idul Fitri hukumnya makruh.

Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud bahkan Rasulullah menyebut jika membayar fitrah setelah shalat Idul Fitri maka terhitung sebagai sedekah biasa.

Syekh Zainuddin al-Malibari menyebutkan bahwa haram hukumnya menunda pembayaran zakat fitrah sampai melewati hari Idul Fitri tanpa ada udzur yang menghalangi, misal mustahiq sedang tidak ada.

Mengutip pendapat Imam Sibramalisi, bukanlah udzur untuk menunggu orang yang lebih membutuhkan zakat fitrah. Maka ia wajib mengqadha seketika itu juga karena kelalaiannya.

Tapi dibolehkan atau sunnah menunda fitrah guna menanti kedatangan semacam kerabat atau tetangga selama itu tidak melewati terbenamnya matahari Idul fitri atau hari pertama syawal. Sebab jika melewatinya hukumnya berdosa.

Menurut Syekh Zainuddin al-Malibari, kewajiban menunaikan zakat fitri ini mempunyai hikmah tersendiri. Para ulama mengibaratkan kewajiban zakat fitrah terhadap bulan Ramadhan bagaikan sujud sahwi terhadap shalat, ia menambal kekurangan puasa sebagaimana sujud sahwi menambal kekurangan shalat.

Ini diperkuat hadis shahih yang menyatakan bahwa zakat fitrah itu membersihhan orang yang puasa dari hal yang tiada gunanya dan keji. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasul berikut

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Artinya: “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah, sebagai pembersih bari orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia dan ucapan jorok serta sebagai makanan bagi orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat id maka zakatnya diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat id maka hanya menjadi sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud)

Demikian penjelasan terkait waktu terbaik membayar zakat fitrah. Semoga bermanfaat. Wallahu’alam. (Baca: Hukum Zakat Fitrah dengan Uang Pinjaman).

Tulisan ini juga telah pernah di muat di BincangMuslimah.com. Klik disini

Orang Tidak Mampu Puasa, Apakah Wajib Membayar Zakat Fitrah?

Zakat Fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Namun, terkadang dijumpai beberapa orang yang tidak mampu melaksanakan puasa lantaran sudah tua, sakit dan lainnya. Lantas, orang tidak mampu puasa, apakah wajib membayar zakat fitrah? 

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menjelaskan bahwasanya zakat fitrah merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam, tanpa membedakan antara orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, antara anak kecil dan orang dewasa, bahkan antara yang kaya dan yang miskin, penduduk kota dan desa. Semuanya diwajibkan membayar zakat fitrah apabila memiliki kelebihan kebutuhan primer pada hari raya idul fitri.

Sebagaimana keterangan Syekh Yusuf Qardawi dalam kitab Fiqh al-Zakāt, juz 2, halaman 391 berikut,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ:( عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ، ذَكَرٍ وَأُنْثَى، صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ، فَقِيرٍ أَوْ غَنِيٍّ).

( رَوَاهُ أَحَمْدٌ وَالشَّيْخَانِ وَالنَّسَائِيُّ وَهُوَ الْحَديثُ رَقْمَ( 186) مِنْ كِتَابِ الزَّكَاةِ.

مِنَ الْفَتْحِ الرَّبَّانِيِّ: 9 / 139) وَهَذَا مَنْ كَلَاَمٍ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَلَكِنَّ مِثْلَهُ لَا يُقَالُ بِالرَّأْي.

وَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ تُدْلِنَا عَلَى أَنَّ هَذِهِ الزَّكَاةِ فَرِيضَةٌ عَامَّةٌ عَلَى الرُّؤُوسِ وَالْأَشْخَاصِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لَا فَرْقَ بَيْنَ حُرٍّ وَعَبْدٍ، وَلَا بَيْنَ ذَكَرٍٍ وَأُنْثَى، وَلَا بَيْنَ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ بَلْ لَا فَرْقَ بَيْنَ غَنِيٍّ وَفَقِيرٍ، وَلَا بَيْنَ حَضَرِيٍّ وَبَدُوِيٍّ.

Artinya : “Diriwayatkan dari Abū Hurairah tentang zakat fitrah: “Wajib bagi setiap orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki, dan perempuan, baik anak kecil atau orang dewasa, fakir atau kaya.

Ini merupakan pendapat Abi hurairah, akan tetapi selain Abi Hurairah tidak memberikan komentar, Hadis ini menunjukkan kepada kita, bahwa zakat ini merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam, tanpa membedakan antara orang merdeka den hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, antara anak kecil dan orang dewasa, bahkan antara yang kaya dan yang miskin, penduduk kota dan desa.”

Kaum muslim yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan juga tetap dikenai kewajiban membayar zakat fitrah. Alasannya, karena zakat fitrah dan puasa merupakan dua kewajiban yang berbeda. Sehingga meninggalkan salah satunya tidak mesti menggugurkan kewajiban yang lain. Keduanya sama-sama wajib dilaksanakan.

Sebagaimana dalam kitab Yas’alūnaka, juz 3, halaman 63 berikut,

وَصَوْمُ رَمَضَانَ لَا يَغْنَي عَنْ أَدَاءِ زَكَاةِ الْفِطْرِ كَمَا أَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ لَا تَغْنَي عَنْ صَوْمِ رَمَضَانَ فَكُلٌّ مِنْهُمَا وَاجِبٌ مُسْتَقِلٌّ, وَكُلٌّ مِنْهُمَا مَطْلُوبُ الْأَدَاءِ مِنَ الْمُسْلِمِ الْقَادِرِ

Artinya : “Puasa Ramadhan tidak terkait dengan pelaksanaan Zakat fitrah, sebagaimana zakat fitrah tidak memiliki kaitan dengan puasa Ramadhan, Keduanya merupakan kewajiban yang berbeda, Setiap musim yang mampu dituntut untuk menunaikan keduanya.”

Demikian penjelasan mengenai orang tidak mampu puasa, apakah wajib membayar zakat fitrah? Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. [Baca juga: Apakah Mustahik Wajib Berzakat Fitrah?]

*Editor: Zainuddin Lubis

BINCANG SYARIAH

Sejumlah Faktor Penyebutan Ka’bah

Ada sejumlah hal penyebutan Ka’bah.

Alquran Surat Al Maidah ayat 97 menyebutkan:

جَعَلَ ٱللَّهُ ٱلْكَعْبَةَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ قِيَٰمًا لِّلنَّاسِ وَٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَٱلْهَدْىَ وَٱلْقَلَٰٓئِدَ ۚ ذَٰلِكَ لِتَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Ja’alallāhul-ka’batal-baital-ḥarāma qiyāmal lin-nāsi wasy-syahral-ḥarāma wal-hadya wal-qalā`id, żālika lita’lamū annallāha ya’lamu mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍi wa annallāha bikulli syai`in ‘alīm

Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

DR Muhammad Ilyas, penulis buku Sejarah Mekah, yang mengutip kitab Al-Qamus al Muhith, “Ka’aba: Al Nihayah li Ibn Al-Atsir, dinamakan dengan ‘Ka’bah’ karena beberapa sebab:

a. Bentuknya yang persegi empat, di mana pada umumnya orang Arab menyebut setiap rumah berbentuk persegi empat dengan Ka’bah.

b. Karena ketinggiannya dari tanah.

c. Karena bangunannnya yang terpisah dari bangunan lainnya.

IHRAM

Infografis Itikaf dan Amalan yang Menyertainya

Ada sejumlah amalan yang bisa dilakukan untuk itikaf.

Itikaf dan Amalan yang Menyertainya

Saat melaksanakan itikaf di 10 hari terakhir Ramadhan, ada berbagai macam amalan yang dianjurkan untuk memperbanyak pahala, seperti membaca Alquran, shalat sunnah, memperbanyak zikir, dan memperbanyak sholawat kepada nabi.

Dalam kitabnya yang bejudul Mausuu’atul Aadaab al-Islamiyah, Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada mengungkapkan beberapa amalan yang dianjurkan saat beritikaf di masjid.

 Pertama, memperbanyak ibadah dan berdoa

Kedua, merendahkan diri kepada Allah SWT

 Ketiga, memperbanyak membaca Alquran

Keempat, memohon ampun

Kelima, memperbanyak shalat

Keenam, memperbanyak Zikir

Ketujuh, bertafakur dan Bertadabur

Kedelapan, memperbanyak sholawat

Sumber: Mausuu’atul Aadaab al-Islamiyah, Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada

Pengolah: Agung/Hafil, Ilustrator:

REPUBLIKA

Mati Syahid, Apakah Dimandikan dan Disalatkan?

Berkaitan dengan jenazah orang yang mati syahid, terdapat sebuah hadis dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ يَقُولُ: أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ ، فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ، وَقَالَ: أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ يَوْمَ القِيَامَةِ ، وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menggabungkan dalam satu kubur dua orang laki-laki yang gugur dalam perang Uhud dan dalam satu kain, lalu bersabda, ‘Siapakah di antara mereka yang lebih banyak mempunyai hafalan Al-Qur’an?’

Ketika beliau telah diberi tahu kepada salah satu di antara keduanya, beliau pun mendahulukannya di dalam lahad, lalu bersabda, ‘Aku akan menjadi saksi atas mereka pada hari kiamat.’ Kemudian beliau memerintahkan agar menguburkan mereka dengan darah-darah mereka, tidak dimandikan dan juga tidak disalatkan.” (HR. Bukhari no. 1343)

Terdapat dua masalah yang akan kami uraikan dari hadis di atas.

Pertama, apakah jenazah mati syahid itu dimandikan?

Hadis di atas menunjukkan bahwa jenazah orang yang mati syahid di peperangan itu tidak dimandikan. Yang dimaksud dengan peperangan di sini adalah peperangan melawan musuh dari orang-orang kafir. Ini adalah mazhab jumhur (mayoritas) ulama. Hikmah mengapa jenazah orang mati syahid itu tidak dimandikan adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau mengatakan tentang para sahabat yang gugur pada saat perang Uhud,

لَا تُغَسِّلُوهُمْ، فَإِنَّ كُلَّ جُرْحٍ – أَوْ كُلَّ دَمٍ – يَفُوحُ مِسْكًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Janganlah kalian mandikan, karena setiap luka atau setiap darah akan menjadi minyak misk pada hari kiamat.” (HR. Ahmad 22: 97, sanadnya sahih)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang mati syahid terbunuh di peperangan untuk meninggikan kalimat Allah, jenazah mereka itu tidak dimandikan. Akan tetapi, dibiarkan bersama dengan darah-darah mereka. Hal ini karena bekas darah tersebut adalah bekas (tanda) yang baik, sehingga tanda ketaatan tersebut dibiarkan untuk memuliakannya. Mereka akan datang pada hari kiamat dengan membawa darah tersebut sebagai tanda ketaatan. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang kondisi orang ihram, mereka dibiarkan sebagaimana kondisi ketika ihram agar datang pada hari kiamat dalam bentuk yang mulia tersebut.” (Tashilul Ilmam, 3: 34-35)

Adapun selain mati syahid karena peperangan, seperti: 1) meninggal karena sakit perut; 2) meninggal karena wabah penyakit tha’un; 3) seorang wanita yang meninggal pada masa nifas; 4) meninggal karena tertimpa benda keras; 5) meninggal karena tenggelam; atau 6) meninggal karena terbakar, maka mereka itu tetap dimandikan sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. (Lihat Al-Mughni, 3: 476)

Hal ini karena jenazah tersebut itu disebut syahid berkaitan dengan pahala yang akan mereka dapatkan di akhirat, bukan berkaitan dengan hukum dimandikan dan disalatkan ketika di dunia. Hal ini berbeda dengan hukum mati syahid karena peperangan melawan orang-orang kafir (yang tidak dimandikan dan tidak disalatkan).

Baca juga: Fikih Pengurusan Jenazah

Kedua, apakah jenazah mati syahid itu disalatkan?

Masalah kedua, apakah jenazah mati syahid itu disalatkan? Hadis ini menunjukkan bahwa jenazah mati syahid itu tidak disalatkan. Ini adalah mazhab Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. (Lihat Bidayah Al-Mujtahid, 2: 41 dan Al-Majmu’, 5: 260)

Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa jenazah mereka tetap disalatkan. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Hadis ini dibawa ke makna anjuran, karena perkataan Imam Ahmad mengisyaratkan hal tersebut.” (Al-Mughni, 3: 467)

Para ulama tersebut berdalil dengan hadis yang diriwayatkan dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

خَرَجَ يَوْمًا فَصَلَّى عَلَى أَهْلِ أُحُدٍ صَلَاتَهُ عَلَى الْمَيِّتِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari keluar untuk menyalatkan syuhada perang Uhud sebagaimana salat untuk mayit.” (HR. Bukhari no. 1344 dan Muslim no. 2296)

Dalam riwayat Bukhari disebutkan dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu,

قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَتْلَى أُحُدٍ بَعْدَ ثَمَانِي سِنِينَ كَالْمُوَدِّعِ لِلْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyalati para korban Uhud setelah delapan tahun, seolah-olah seperti perpisahan antara orang yang hidup dengan orang yang telah mati.” (HR. Bukhari no. 4042)

Kesimpulan yang lebih mendekati adalah bahwa imam (pemimpin) kaum muslimin diperbolehkan untuk memilih apakah akan menyalati jenazah mati syahid ataukah tidak. Hal ini karena terdapat dalil untuk dua kondisi tersebut, yaitu ada dalil yang menunjukkan jenazah mereka tidak disalati dan ada dalil yang menunjukkan jenazah mereka disalati. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad, juga pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, sebagian ulama Syafi’iyyah dan sebagian ulama Hanabilah. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 4: 295; Al-Majmu’, 5: 260; Al-Ikhtiyarat, hal. 87; dan Al-Inshaf, 2: 500)

Zahir hadis ‘Uqbah bin Amir di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu menyalati mereka sebagaimana salat jenazah pada umumnya. Akan tetapi, zahirnya menunjukkan bahwa salat itu adalah salat perpisahan, bukan salat jenazah, karena salat jenazah dilaksanakan sebelum jenazah dimakamkan. Wallahu Ta’ala a’lam.

Adapun hikmah mengapa jenazah orang yang mati syahid itu boleh untuk tidak disalatkan adalah karena Allah Ta’ala telah memuliakannya, sehingga tidak butuh untuk disalati. Allah Ta’ala telah memuliakan orang yang mati syahid di peperangan dengan persaksian-Nya,

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلاَ تَقُولُواْ لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبيلِ اللّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاء وَلَكِن لاَّ تَشْعُرُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati. Bahkan, (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 154)

Orang yang mati syahid karena peperangan itu boleh untuk tidak disalati, karena salat itu hakikatnya adalah syafaat (doa) untuk mereka. Sedangkan Allah Ta’ala telah memuliakan mereka dengan persaksian-Nya, sehingga tidak butuh disalatkan. (Lihat Tashilul Ilmam, 3: 35) Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 16 Ramadan 1444/ 7 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 272-274) dan Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram (3: 34-35).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84263-jenazah-mati-syahid.html

Cara Mendapatkan Lailatul Qadar 

Berikut ini tata cara mendapatkan Lailatul Qadar. Puasa Ramadhan, Tarawih, Idul Fitri dan Zakat Fitrah adalah paket ibadah di bulan Ramadhan yang sangat istimewa bagi semua umat Islam. Saking istimewanya, sampai-sampai orang yang shalat fardhunya bolong-bolong merasa tidak “afdhal” kalau tidak berpuasa.

Begitu pula orang yang jarang atau tidak pernah shalat Jum’at atau berjamaah di masjid dan mushalla, ikut berbondong-bondong shalat tarawih dan Idul Fitri, bahkan merebut dan menempati tempat yang paling depan.

Sekalipun demikian, akan tetapi tetap lebih baik dari orang yang tidak melakukan apa-apa sama sekali. Artinya, mending orang yang berpuasa sekalipun tidak shalat, dari pada orang yang tidak berpuasa dan tidak shalat.

Bulan Ramadhan adalah bulan dimana rahmat Allah, ampunan Allah, pahala Allah, dan segala kebaikan Allah ditumpahkan, dihambur-hamburkan dan ditawar-tawarkan kepada umatnya.

Namun sayang sekali, bulan yang paling agung itu terkadang justru di isi dengan persaingan tidak sehat, permusuhan, saling maki akibat perbedaan-perbedaan yang kerap muncul menyertai keagungan Ramadhan.

Ya begitulah manusia. Meski berada dalam bulan suci Ramadhan, tetap saja tak bisa luput dari salah dan dosa. Penulis tak akan panjang lebar membahas ini, melainkan fokus membahas malam Lailatul Qadar. Bagaimana itu?

Hakikat Lailatul Qadar

Muhammad Ibnu Rusyd mengatakan, bahwa Lailatul Qadar yang ada di dalam Al-Qur’an juga disebut dengan Lailatul Mubarakah. Adalah waktu dimana Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia secara utuh, lalu diturunkan secara berangsur kepada Nabi Muhammad Saw. Menurutnya, pada malam Lailatul Qadar inilah Allah memerintahkan para Malaikat turun ke dunia untuk membagi-bagikan rahmatnya.

Lalu kenapa disebut Lailatul Qadar? Menurut sebagian ulama, disebut Lailatul Qadar karena pada malam-malam itu seluruh alam dipenuhi dengan Malaikat.

قال محمد بن رشد: ليلةالقدر هي الليلة المباركة التي ذكر الله انه انزل فيها الكتاب المبين، وانه يفرق فيها كل أمر حكيم وانها (خير من الف شهر) (القدر) وان الملائكة تتنزل فيها بكل أمر، وانها سلام حتى مطلع الفجر. النجم الوهاج في شرح المنهاج

Muhammad Ibnu Rusyd berkata: Lailatul Qadar adalah malam berkah yang sudah Allah firmankan dalam Al-Qur’an, pada malam tersebut Allah membagi-bagikan setiap hal yang bijaksana, “dan sesungguhnya Lailatul Qadar lebih baik di banding seribu bulan.” (al-Qadar: 3) dan para malaikat turun dengan membawa segala sesuatu (dari Allah) dan Lailatul Qadar adalah malam penuh keselamatan sampai terbit fajar.

قيل: سميت بذلك، لعظم قدرها. وقيل: لان الارض تضيق بالملائكة فيها. وهي الليلة المباركة التي فيها يفرق كل أمر حكيم. وهي خصيصة لهذه الامة لم تكن لمن قبلها، وهي باقية الى يوم القيامة، وترى ويحققها من شاء من عباده

Dikatakan, diberi nama Lailatul Qadar karena keagungan kualitasnya, dan diriwayatkan juga (penamaan tersebut) karena pada malam tersebut bumi dipenuhi dengan malaikat, Lailatul Qadar adalah malam barokah yang pada malam tersebut Allah membagi-bagikan setiap hal yang bijaksana.

Tak hanya itu, Lailatul Qadar merupakan salah satu keistemewaan yang dimiliki umat ini (umat Muhammad) dan tidak dimiliki oleh umat sebelumnya. Lailatul Qadar akan tetap ada sampai hari kiamat dan Allah akan mewujudkan Lailatul Qadar terhadap hamba yang dikehendakinya.

Waktu fadhilah Lailatul Qadar 

Keberadaan malam Lailatul Qadar sepeninggal Nabi Muhammad Saw. memang menjadi topik yang masih diperdebatkan dikalangan ulama, meskipun keutamaan malam Lailatul Qadar ini bukan hal yang tabu dikalangan umat muslim. Masalah keutamaan Lailatul Qadar pernah disabdakan langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Namun, yang menjadi persoalan adalah kapan fadhilah Lailatul Qadar itu bisa didapat. 

Mengenai persoalan ini, para ulama pecah menjadi empat pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa Lailatul Qadar terjadi setiap hari di bulan Ramadhan. Pendapat kedua, Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan tanpa ditentukan apakah pada hari-hari ganjil atau bukan. Pendapat ketiga, Lailatul Qadar terjadi pada hari-hari ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dan pendapat keempat, malam Lailatul Qadar hanya bisa diperoleh pada tujuh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Perbedaan tersebut didasarkan pada beberapa hadist tentang waktu terjadinya Lailatul Qadar yang diriwayatkan dengan berbagai macam matan (redaksi) yang berbeda. Dari berbagai perbedaan di atas, Imam Syafi’i lebih memilih pendapat ulama yang mengatakan bahwa, Lailatul Qadar bisa didapat pada hari-hari ganjil di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.

Berbeda dengan Imam Qadhi Husain, beliau lebih setuju dengan ulama yang berpendapat bahwa, malam Lailatul Qadar bisa didapat pada malam-malam sepuluh terakhir bulan tanpa mengkhususkan pada malam ganjil tertentu. Sebuah hadits mengatakan:

حدثنا عفان، حدثنا وهيب، حدثنا ايوب، عن عكرمة، عن ابن عباس، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: التمسوها في العشر الأواخر من رمضان، في تاسعة تبقى، او سابعة تبقى، او خامسة تبقى 

Artinya: “menceritakan kepada kami Affan, menceritakan kepada kami Wuhaib, menceritakan kepada kami Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda: carilah Lailatul Qadar pada malam sepuluh terakhir dari bulan ramadhan, pada malam ke sembilan yang tersisa (21), tujuh yang tersisa (23) dan lima yang tersisa (25).”

Hadits lain mengatakan:

حدثنا محمد بن بشار، حدثنا محمد بن جعفر، حدثنا شعبة، عن عقبة بن حريث، قال: سمعت ابن عمر يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: التمسوها في العشر الأواخر يعني ليلة القدر، فان ضعف احدكم، او عجز، فلا يغلبن على السبع البواقي

Artinya: “menceritakan kepadaku Muhammad bin Yasar, menceritakan kepadaku Muhammad bin Jakfar, menceritakan kepadaku Syu’bah, dari Uqbah bin Harits beliau berkata: aku mendengar Ibnu Umar berkata: Rasulullah Saw bersabda: carilah Lailatul Qadar pada malam sepuluh terakhir, yakni Lailatul Qadar, apabila dari salah satu dari kalian tidak mampu maka janganlah kalian memaksakan diri pada tujuh malam yang tersisa.”

ولفظ الشافعي: وطلبها في الوتر منه، أي: من العشر، احب إلي، ومن هذاالخبر اخذ القاضي الحسين تأكد طلبها في العشر الأخير ايضا، لان الوتر لا يدري انه اراد به الماضي او الوتر المستقبل، فيدحل فيه الكل

Pernyataan Imam Syafi’i: “Mecari Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh terakhir bulan Ramadlan lebih aku sukai”, dari pernyataan Imam Syafi’i ini ada sebuah hadist yang dijadikan dasar dari kesunnahan mencari Lailatul Qadar pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan (tanpa menghususkan pada malam- malam ganjil), karena tidak diketahui malam terakhir yang telah lalu ataukah yang akan datang. Karena itu, masuklah semua sepuluh hari tersebut.”

Cara mendapatkan Lailatul Qadar 

Fadhilah Lailatul Qadar bisa didapat dengan beberapa cara yang pernah dicontohkan oleh Nabi. Semasa hidupnya, Kanjeng Nabi selalu berusaha mendapatkan fadhilah Lailatul Qadar dengan cara beri’tikaf di masjid pada malam hari dan siang hari. Imam Kamaluddin menambahkan bahwa, orang mukmin dianjurkan menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan cara melaksanakan shalat, membaca Al-Qur’an, dan memperbanyak doa.

Keutamaan beribadah pada malam Lailatul Qadar sebanding dengan beribadah dalam kurun waktu seribu bulan. Dan, barang siapa yang bangun malam pada Lailatul Qadar, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lalu.

Dalam kitab Nihayah al-mathlab fi dirasah al-mazhab, dikatakan: 

صدر الشافعي كتاب الاعتكاف بالقول في ليلة القدر، فان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يلتمسها في العشر الأواخر، ويعتكف فيها ليلا، ونهارا

Imam Syafi’i memulai bab tentang I’tikaf dengan pembahasan tentang Lailatul Qadar. Sesungguhnya Rasulullah Saw. mencari keutamaan Lailatul Qadar pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan dan beri’tikaf pada malam hari dan siang hari.

Secara tak langsung, Imam Syafi’i mengatakan, bahwa untuk memperoleh malam Lailatul Qadar maka harus mengikuti cara-cara Kanjeng Nabi seperti, memperbanyak baca Al-Qur’an, doa, karena itu adalah malam-malam yang paling utama dan lebih baik dibandingkan seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadarnya.

Demikian juga dalam kitab Fiqhu al-Ibadah, Syafi’i, 566: 

ويستحب ان يطلبها لما روي ابو هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من قام ليلة القدر ايمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من دنبه

Artinya: “Disunnahkan mencari Lailatul Qadar berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra. dari Nabi Muhammad Saw., beliau bersabda: barang siapa yang bangun pada malam Lailatul Qadar dalam keadaan beriman dan ikhlas karena Allah Swt., maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Demikian penjelasan tata cara mendapatkan Lailatul Qadar. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Apakah Malam Lailatul Qadar Jatuh Pada Tanggal Ganjil?

Apakah malam Lailatul Qadar jatuh pada tanggal ganjil Ramadhan? Sebagaimana yang diketahui, dalam bulan suci Ramadhan Allah SWT memberikan suatu kemuliaan di salah satu malamnya yakni Lailatul Qadar. 

Malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, pada malam ini bahkan pahala akan dilipatgandakan. Umat muslim juga meyakininya, sebagai malam di mana Al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Qadr ayat 1-5:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ) ٢ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ  تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ)٥ 

Artinya :  “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar (1) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (2) Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan (3) Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan (4)  Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar (5)”.

Menurut sejumlah pendapat ulama pada malam Lailatul Qadar, umat muslim disunnahkan untuk memperbanyak ibadah seperti berdoa, sholat, dzikir, membaca Al-Qur’an melalui amalan itikaf.

Dalam risalah Imam al-Ghazali berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah) halaman 435, itikaf untuk mendapatkan keistimewaan malam Lailatul Qadar adalah sebagai berikut:

“Adab itikaf, yakni: terus menerus berdzikir, penuh konsentrasi, tidak bercakap-cakap, selalu berada di tempat, tidak berpindah-pindah tempat, menahan keinginan nafsu, menahan diri dari kecenderungan menuruti nafsu dan menaati Allah azza wa jalla.”  Melihat dari keistimewaan malam lailatul qadar ini, lantas seperti apakah ciri-ciri malam Lailatul Qadar?

Malam Ganjil Ramadhan

Syariat islam menjelaskan bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang sangat dihormati dan dianggap sangat istimewa dalam agama Islam. Dalam hadis riwayat Bukhari dibenarkan bahwa malam lailatul qadar ini jatuh pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan.

Oleh karenanya umat Muslim dianjurkan untuk meningkatkan ibadah dan berdoa karena pada malam tersebut, pahala amalan akan dilipatgandakan. “Carilah Lailatul Qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan.” (HR Bukhari).

Langit Bersih dan Tidak Hujan

Ciri-ciri malam Lailatul Qadar adalah langitnya bersih dan tidak hujan. Pada malam Lailatul Qadar, umat Muslim di seluruh dunia berbondong-bondong untuk beribadah dan memperbanyak amalan baik.

“Malam Lailatul Qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak, dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas.” (HR. Ahmad)

Siangnya Matahari Tidak Menyengat

Selain langit yang bersih dan tidak hujan, ciri-ciri selanjutnya yakni malam tersebut juga dipercaya di siang harinya matahari tidak menyengat. “Dari Ubaiy bin Ka’ab, Rasulullah bersabda:

Pagi hari dari malam Lailatul Qadar terbit matahari tidak menyengat bagaikan bejana sampai meninggi.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Abu Daud). Dalam buku berjudul Jaminan Mendapatkan Lailatul Qadar oleh Dr Ahmad Sarwat, Lc, dijelaskan malam Lailatul Qadar ini yang juga diperingati sebagai malam turunnya Al-Qur’an.

Matahari Bersinar dengan Indah

Selain dipercaya di siang harinya matahari tidak menyengat, ciri-ciri malam Lailatul Qadar juga dipercaya matahari terbit dengan indah dan tidak bersinar kuat seperti bulan purnama.

“… Dan sesungguhnya, ciri-ciri malam Lailatul Qadar adalah matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu.” (HR. Ahmad)

Dalam sejumlah hadis juga menjelaskan bahwa para ulama menetapkan bila seseorang beramal salih di malam qadar itu, maka dia akan mendapat pahala seperti melakukannya dalam 1.000 bulan. 

Demikian penjelasan terkait apakah malam Lailatul Qadar jatuh pada tanggal ganjil Ramadhan? semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Ramadan Bulan Jihad Kendalikan Nafsu Amaroh dan Lawwamah

Selain sebagai bulan yang penuh ampunan, Ramadan juga menjadi bulan yang sarat dengan perjuangan umat Islam dalam menggapai kesempurnaan. Melalui ibadah puasa, bulan Ramadan seolah menjadi tonggak pergulatan diri dalam mengendalikan nafsu insani.

Perjuangan umat Islam di bulan Ramadan adalah hal yang selalu ditemukan tiap tahunnya, namun nyatanya itu bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, tantangan mengendalikan nafsu yang banyak ragamnya merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.

Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia, Dr. KH. Ali M. Abdillah, MA., menjelaskan bahwa bulan Ramadan dapat dianggap sebagai bulan jihad karena dalam setiap manusia, ada nafsu yang harus dikendalikan. Nafsu sendiri terbagi menjadi dua, ada yang disebut dengan amaroh dan yang disebut dengan lawwamah. Dua hawa nafsu ini selalu mengajak insan untuk berpaling dari Allah dan membuat kerusakan di muka bumi.

“Contoh hawa nafsu lawwamah itu nafsu yang digerakkan oleh iblis. Iblis masuk ke dalam diri manusia melalui aliran darah, sebagaimana hadits assyaithon yajri majroddam. Ketika aliran darah banyak bersumber dari makanan haram, maka hal itu paling cepat memproduksi setan atau iblis dalam diri manusia. Bisa dilihat, orang yang banyak memakan barang yang haram, pasti muncul perilaku yang destruktif atau merusak. Seolah-olah dia tidak memiliki sifat kemanusiaan, seperti raja tega. Ini sesungguhnya adalah sifat hayawanat atau sifat kebinatangan,” jelas pria yang kerap disapa Kyai Ali di Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Pengasuh Pondok Pesantren al Rabbani Islamic College Cikeas ini menjelaskan jika dalam teori tasawuf ada yang disebut dengan nafsu sabu’iyah atau nafsu binatang liar. Selayaknya binatang liar yang berkelahi, kalau lawannya tidak mati, pasti akan dihabisi sampai tinggal tulang belulang.

Inilah kekejian binatang liar. Ketika didominasi oleh nafsu amaroh dengan karakter sabuiyah yang dominan, pasti muncul sifat karakter rakus, kemudian raja tega, menghalalkan segala cara, dan juga dia akan semena-mena. Kemudian amaroh juga punya karakter bahimiyah atau binatang ternak.

Menurut Kyai Ali, manusia dengan karakter bahimiyah memiliki orientasi hidup hanya untuk mencari makan, kemudian menuruti hawa nafsu biologisnya. Ini bisa dilihat binatang ternak yang polanya seperti itu. Karakter bahimiyah orientasi hidupnya hanya bekerja dari pagi sampai malam, kemudian melupakan ibadah, lalu setelah dapat uang untuk foya-foya dan mengikuti hawa nafsu.

“Puasa harus memiliki dampak yang positif untuk menurunkan tensi penguasaan nafsu pada  diri manusia. Cara yang paling efektif untuk menundukkan nafsu amaroh baik yang sabuiyah maupun bahimiyah, yaitu dengan cara lapar. Lapar ini sebagai akar untuk bisa memutus mata rantai terjadinya dominasi nafsu amaroh,” imbuh Kyai Ali.

Ia memberikan contoh jika manusia telah dikuasai oleh nafsu sabuiyah. Ketika orang yang bodoh didoktrin oleh doktrin agama yang mengambil satu atau dua ayat terkait dengan kepentingan tertentu. Misalnya ayat tentang jihad, dijamin masuk surga dan disediakan 72 bidadari. Jika ada orang yang dangkal pemahaman beragamanya lalu mempercayai doktrin sesat tersebut, berarti telah muncul nafsu sabuiyah-nya. Layaknya binatang buas, rasa kemanusiaannya hilang karena didominasi oleh virus kekerasan yang masuk ke dalam pikirannya, ingin masuk surga secara instan tapi dia mengabaikan sisi kemanusiaan.

“Dia tidak berpikir bahwa korban yang menjadi sasaran dia itu juga manusia. Apakah keluarga yang ditinggalkan akan begitu saja mengikhlaskan ketika pelakunya telah bebas? Tidak mungkin. Segala perbuatan akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah, apalagi membunuh orang lain, keluarganya pasti tidak rida. Bagaimana mau mendapatkan 72 bidadari ketika dia sudah melakukan kesalahan fatal dengan melanggar hak manusia lain,” terang Kyai Ali.

Ketua PW Matan DKI Jakarta ini juga menjelaskan bahwa zikir dapat membersihkan diri dari nafsu yang negatif. Zikir dapat memasukkan nur ilahi kedalam hati. Kalau hatinya itu baik, maka seluruh aktivitasnya itu baik. Tapi kalau hatinya rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya.

Ketika hatinya sudah di cahayai dengan nur ilahiyah, lanjutnya, maka dampaknya akan muncul perilaku yang baik dan pribadi yang bermanfaat di tengah masyarakat. Ia akan menjadi orang yang selalu memberikan kebaikan kepada agama dan bangsa. Maka dari itu, puasa dan zikir ini merupakan teknik yang sudah teruji sistem ini dari abad ke abad untuk menggerus atau menetralisir virus-virus nafsu amaroh dan lawwamah.

Kyai Ali pun berpesan bahwa jihad di bulan Ramadhan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa dilakukan dengan menjalankan ibadah puasa secara baik dan bersungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas iman. Dengan demikian, puasa yang dikerjakan bisa meraih derajat ketakwaan yang hakiki. Sebab target orang puasa itu harus ada peningkatan ketaatannya.

“Maka kaitannya dengan NKRI adalah harus memperbaiki kualitas lahir dan batin dalam berbangsa dan bernegara, khususnya bagi yang masih memiliki pemahaman kurang pas terkait konsep negara. Ramadan bisa menjadi waktu renungan bahwa Indonesia ini baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur, negara baik yang mendapatkan ridha dari Allah,” tuturnya.

Buktinya, imbuh Kyai Ali, banyak pihak, termasuk ulama-ulama luar negeri, yang terpesona dengan Indonesia karena terdapat beragam agama dan suku tapi masyarakat Indonesia bisa saling toleran dan berdamai. Semakin mendalam pemahaman keagamaan seseorang pasti akan memiliki pengaruh semakin luas juga rasa toleransinya kepada sesama muslim dan sesama manusia.

“Itulah yang disebut membangun ukhuwah islamiyah untuk sesama muslim dan membangun ukhuwah wathaniyah untuk sesama anak bangsa. Mudah-mudahan di puasa tahun ini kita bisa menjadi lebih baik dan senantiasa dalam ridha dan lindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,” pungkas Kyai Ali.

ISLAMKAFFAH