Ramadan: Bulan Pembersih, Peninggi, dan Harapan

Bulan Ramadan merupakan bulan yang diidamkan oleh orang-orang mukmin karena memiliki banyak keutamaan dan keisitimewaan di dalamnya yang tidak dimiliki bulan-bulan selainnya. Ada banyak keutamaan bulan Ramadan yang mungkin sudah sering kita dengar atau baca. Namun, dalam tulisan ini kita rangkum berbagai keutamaan bulan mulia tersebut menjadi tiga pokok bahasan.

Bulan Ramadan: Bulan pembersih

Di antara keutamaan bulan Ramadan adalah sebagai pembersih dan pelebur dosa-dosa. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Salat lima waktu, (salat) Jumat ke Jumat (berikutnya) serta (puasa) Ramadan ke Ramadan (berikutnya) menghapus dosa-dosa di antara mereka selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

Bahkan, ada hadis yang lebih khusus menerangkan bahwa setiap siang dan malam di bulan Ramadan kita dapat di ampuni dosa-dosanya,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni. Dan barangsiapa salat pada Lailatul Qadar imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis yang lain disebutkan,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang menunaikan salat malam (salat tarawih) di bulan Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ada banyak kesempatan mendapat ampunan di bulan Ramadan, baik pada siang harinya dengan puasa atau malam harinya dengan salat tarawih. Sehingga apabila ada yang tidak diampuni di bulan Ramadan, maka sungguh sangat merugi dan amat keterlaluan! Dalam suatu hadis disebutkan bahwa orang yang tidak diampuni di bulan Ramadan merupakan orang yang celaka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadan, kemudian Ramadan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala).” (HR. Ahmad dan Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad. Hadis sahih.)

Sudah sepatutnya kita berdoa dan sangat berharap kepada Allah Ta’ala agar kita diampuni selama bulan Ramadan.

Bulan Ramadan: Bulan peninggi

Keistimewaan bulan Ramadan selanjutnya adalah tingginya nilai pahala yang Allah Ta’ala berikan. Ada amalan ibadah yang lebih baik dari seribu bulan, ada yang Allah setarakan dengan haji, bahkan ada amalan yang nilai pahalanya tak terbatas.

Pada lailatul qadr Allah lipatgandakan amalan pada malam tersebut hingga lebih baik dari seribu bulan.

Allah Ta’ala berfirman,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 3)

Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa, “Amalan yang dilakukan di malam Lailatul Qadar lebih baik daripada amalan yang dilakukan di seribu bulan yang tidak terdapat Lailatul Qadar. Itulah yang membuat akal dan pikiran menjadi tercengang. Sungguh menakjubkan, Allah memberi karunia pada umat yang lemah bisa beribadah dengan nilai seperti itu. Amalan di malam tersebut sama dan melebihi ibadah pada seribu bulan. Lihatlah, umur manusia seakan-akan dibuat begitu lama hingga delapan puluh tahunan.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 977)

Selain itu, ada pula amalan yang Allah setarakan dengan haji, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ

“Jika Ramadan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadan senilai dengan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafaz lainnya disebutkan,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً

“Umrah pada bulan Ramadan senilai dengan haji.” (HR. Muslim)

Terlebih lagi, ada amalan yang pahalanya tanpa batas, yaitu puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به

“Setiap amalan manusia adalah untuknya, kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung.” (HR. Bukhari 7: 226 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu’ anhu)

Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal?

Bulan Ramadan: Bulan harapan

Ramadan adalah bulan di mana doa yang kita panjatkan lebih diijabah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga golongan yang doa mereka tidak ditolak: (1) orang yang berpuasa hingga ia berbuka, (2) imam yang adil, dan (3) doa orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syekh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Dalam hadis yang lain disebutkan,

إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة _ يعني في رمضان _ , وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan kebebasan dari siksa neraka pada setiap malam –yakni di bulan Ramadan- dan sesungguhnya setiap muslim pada waktu siang dan malam memiliki doa yang terkabul (mustajabah).” (HR. Ahmad 12: 420. Hadis ini disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ no. 2169)

Selain waktu di atas, ada banyak kesempatan mustajab yang bisa kita maksimalkan untuk memperbanyak doa seperti waktu sahur, di antara azan dan ikamah, pada hari Jum’at, dan pada lailatul qadr.

Jangan lupa juga untuk banyak berdoa agar di bulan Ramadan agar kita termasuk hamba yang mendapatkan ampunan-Nya dan tergolong insan yang di terima amalan-amalan-Nya.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84238-keistimewaan-bulan-ramadan.html

Hukum-Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita

PUASA pada bulan Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Dan puasa merupakan salah satu dari rukun Islam dan pondasi Islam yang besar. Ada beberapa hukum khusus tentang puasa bagi wanita.

Allah berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ )

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 183)

Maka apabila seorang anak wanita sudah sampai pada batas umur yang ia berkewajiban melaksanakan agama dengan nampaknya tanda-tanda baligh, salah satunya adalah ‘haidh, pada waktu itu kewajiban puasa atasnya dimulai.

Haidh itu terkadang nampak ketika berumur sembilan tahun. Terkadang ia juga belum mengetahui wajibannya berpuasa sehingga dia tidak berpuasa karena mengira bahwa dia masih kecil, sedangkan orang tua tidak memperhatikan hal itu dan tidak memerintah untuk berpuasa.

Hal ini merupakan suatu kelengahan yang sangat besar dalam meninggalkan rukun Islam. Jika hal seperti ini terjadi, maka wajib baginya untuk mengqadha puasa yang ketika pertama kali mengalami haidh itu, walaupun hal itu telah lama berlalu, karena hal tetap berlaku dan masih menjadi tanggungannya untuk dilaksanakan.

Catatan:

Dan wajib atasnya memberi makan fakir misk setiap hari setengah sha’ makanan (kurang lebih satu liter beras) di samping ia mengqadha puasanya.

ORANG YANG WAJIB BERPUASA RAMADHAN

Apabila bulan Ramadhan tiba, maka setiap muslim dan muslimah yang sudah Aqil baligh, dalam keadaan sehat dan sedang mukim di rumah (bukan musafir) wajib berpuasa.

Orang yang sedang sakit atau musafir (sedang melakukan perjalanan) pada bulan tersebut, maka ia boleh berbuka (tidak berpuasa), dan ia wajib mengqadha puasanya di bulan lain sebanyak hari yang ia tinggalkannya.

Allah Ta’ala berfirman:

… فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر …

“Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan Ramadhan, maka ia wajib berpuasa. Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al-Baqarah: 185)

Demikian pula orang yang berusia lanjut (tua renta) yang tidak sanggup berpuasa, atau seorang yang sedang sakit dengan sakit yang menahun, yang mana harapannya untuk sembuh tipis dalam waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan, baik dia laki-laki, maupun wanita, dia boleh tidak berpuasa, dan untuk itu dia harus memberi makan fakir miskin setiap hari setengah sha’ (kurang lebih satu liter) dengan makanan pokok yang biasa dimakan oleh penduduknya.

Allah Ta’ala berfirman:

“…maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS. Al-Baqarah: 184)

‘Abdullah bin ‘Abbas (Ibnu Abbas) mengatakan bahwa keterangan ayat ini untuk orang yang berusia lanjut yang mana kemampuan menjalankan tidak dapat diharapkan.’ (HR. Al-Bukhari)

Juga untuk orang sakit yang kesembuhan penyak tidak dapat diharapkan, sama seperti hukum orang yang berusia lanjut yang ia tidak perlu mengqadha puasa, karena ia tidak mungkin bisa melakukannya.

Khusus bagi wanita terdapat beberapa halangan (udzur) yang membolehkannya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, akan tetapi ia harus membayarnya dengan cara lain atau pada bulan yang lain dengan sebab dia tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tersebut.

Adapun halangan (udzur)nya sebagai berikut:

1- Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Haid dan Nifas

HAIDH DAN NIFAS

Diharamkan bagi wanita untuk berpuasa selama ia berada dalam keadaan haidh atau nifas, dan wajib baginya mengqadha puasa pada hari-hari lainnya, berdasarkan hadits yang tercantum dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu’anhaa ia berkata:

كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاة

“Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintah untuk mengqadha shalat.”

Ketika Aisyah ditanya oleh seorang wanita tentang hal tersebut: “Mengapa orang yang haidh harus membayar qadha puasa sedangkan dia tidak harus membayar qadha shalat?” Maka ‘Aisyah menjelaskan bahwa perkara-perkara ini merupakan perkara ‘tauqifiyah, yang mana hukum ini mengikuti nash (dalil) yang berlaku.

HIKMAH PERINTAH TERSEBUT

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmuu’ al-Fataawaa (XV/251): “Adapun yang keluar pada waktu haidh adalah darah haidh, dan orang yang sudah biasa haidhv dimungkinkan berpuasa pada waktu tidak keluar darah haidh, maka puasanya pada waktu itu merupakan puasa yang prima, karena tidak mengeluarkan darah yang dapat memperkuat keadaan tubuhnya, karena dia salah satu unsur tubuhnya.

Adapun apabila puasanya dilakukan pada waktu keluar darah, yaitu waktu haidh, darah yang keluar adalah bagian dari unsur tubuhnya yang akan menyebabkan tubuhnya kurang prima dan lemah, dan puasanya akan terlaksana dengan kondisi yang tidak stabil, maka wanita itu diperintahkan berpuasa bukan pada haidh.

1- Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Hamil dan Menyusui

Puasa bagi seorang wanita dalam keadaan hamil atau dalam keadaan menyusui bisa menyulitkan baginya atau bagi anak bayi di dalam kandungannya, atau keduanya mendapatkan kesulitan. Maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dalam keadaan tersebut.

Lalu apabila kesulitan itu terjadi pada anak bayinya saja yang menyebabkan ibu tidak berpuasa, maka ia wajib mengqadha puasa dan juga memberi makan orang miskin setiap harinya.

Apabila kesulitan terjadi pada ibunya, ia hanya cukup mengqadha puasanya saja.

Hal ini berdasarkan ayat tersebut karena hamil’ dan ‘wanita menyusui’ termasuk dalam pengertian yang umum dari firman Allah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنِ .

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS. Al-Baqarah: 184)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya (379) “Dan yang mengikuti pengertian dalam ayat ini (orang-orang yang berat menjalankannya) adalah wanita hamil dan wanita menyusui apabila keduanya mengkhawatirkan akan kesehatan dirinya atau anaknya.”

Syukhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Jika wanita yang sedang hamil itu mengkhawatirkan janinnya maka ia boleh tidak berpuasa dan membayar qadha puasanya untuk setiap hari yang ditinggalkaonnya, serta memberi makan setiap harinya seorang miskin sebayak satu kati roti (makanan pokok).”

a. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Mustahadhah

Adalah darah yang keluar yang tidak sesuai dengan darah haidh seperti yang telah kita bicarakan. Maka wanita yang mengalaminya wajib berpuasa, tidak dibolehkan berbuka dengan alasan darah istihadhah tersebut.
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata ketika membicarakan ‘tidak puasanya wanita yang sedang haidh: “berbeda dengan darah istihadhah, karena istihadhah keluarnya meliputi tenggang waktu dan tidak ada waktu jeda untuk diperintahkan berpuasa, dan mungkin menahannya agar tidak keluar sebagaim muntah, dan keluarnya darah pada luka bisul dan keluarnya mani pada waktu mimpi.

Untuk hal-hal tersebut tidak ada tenggang waktu tertentu yang memungkinkan untuk menjaga kejadiannya. Dengan demikian keadaan ini tidak dijadikan larangan untuk berpuasa seperti datangnya darah haidh (Majmuu’al-Fataawaa)(XXV/251)

b. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Kewajiban wanita haidh, wanita hamil dan wanita menyusui.

Apabila mereka tidak mengqadha puasa atas hari yang mereka tinggalkan antara bulan Ramadhan yang mereka tidak berpuasa dengan bulan Ramadhan yang akan datang, sedangkan segera mengqadha itu lebih utama (afdhal), dan jika hari-hari menjelang bulan Ramadhan yang mendatang itu tinggal (hanya beberapa hari lagi), maka kesempatan ini digunakan untuk mengqadha puasanya dari ditinggalkan pada Ramadhan yang telah lalu sehingga masuknya Ramadhan berikutnya.

Dan hal itu tidak disebabkan karena halangan (udzur) sehingga mereka belum mengqadhanya, maka wajib bagi mereka (nanti) untuk mengqadhanya dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap harinya menurut hitungan jumlah harinya.

Akan tetapi apabila ia tidak mengqadhanya disebabkan suatu halangan (udzur), maka mereka hanya mengqadha puasanya saja Demikian pula bagi orang yang mempunyai kewajiban puasa qadha yang disebabkan oleh halangan sakit atau safar (berpergian jauh), maka hukumnya sama seperti mereka yang tidak berpuasa karena haidh, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

c. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Puasa sunnah.

Tidak dibolehkan bagi wanita untuk puasa sunnah apabila suaminya berada di rumah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi shallallahu bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدُ إِلَّا بِإِذْهِ.

“Tidak boleh bagi seorang isteri melakukan puasa (sunnah), sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izin suaminya.”

Dalam sebagian riwsayat Ahmad dan Abu Dawud disebutkan:

“Adapun jika sang suami mengizinkannya untuk melakukan puasa Sunnah, atau suaminya tidak ada di rumah, atau memang ia tidak bersuami, maka disunnahkan baginya untuk mengerjakan puasa Sunnah terutama pada hari-hari yang disunnahkan berpuasa, seperti hari Senin dan hari Kamis, 3 hari setiap bulan (tanggal 13, 14, 15), 6 hari di bulan Syawwal, hari ‘arafah, dan hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram) dan sehari sebelumnya, atau sehari setelahnya.”

Pengecualian terjadi, yaitu tidak layak baginya mengerjakan puasa sunnah sedangkan ia mempunyai utang qadha Ramadhan, maka puasa qadha harus didahulukan.

d. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Wanita haidh suci di tengah hari Ramadhan

Apabila seorang wanita suci dari haidhnya di tengah hari pada bulan Ramadhan, maka ia harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa di sisa waktu tersebut hingga Maghrib. Dan puasa di hari itu harus diqadha beserta hari-hari yang ia tinggalkan karena Sedangkan imsaknya (menahan diri dan ikut berpuasa pada hari itu karena telah suci dari haidhnya) adalah suatu kewajiban baginya untuk menghormati waktu puasa/bulan Ramadhan. []

Dinukil dari kitab “Tuntunan Praktis Fikih Wanita” oleh Syaikh Dr. Shalih Fauzan Al-Fauzan.

ISLAMPOS

Hindari Kasus Penipuan, Masyarakat Diharap Cermat Pilih Travel Umroh

Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj meminta masyarakat untuk cermat dalam memilih agen travel untuk perjalanan umrah agar tak menjadi korban penipuan. Hal disampaikan usai Polda Metro Jaya mengungkap dan menindak tegas agen travel umrah PT Naila Safaah Wisata Mandiri yang diduga melakukan penipuan dan pelantaran terhadap jamaah umroh.

“Peristiwa ini menjadi pelajaran bagi masyarakat yang akan menunaikan ibadah umroh agar cermat dan selektif memilih travel supaya tidak tertipu, bisa mengecek melalui website Kementerian Agama travel-travel yang terpercaya,” ujar Mustolih Siradj kepada Republika.co.id, Rabu (29/3/2023).

Dalam kasus ini tidak tanggung-tanggung korban PT Naila Safaah sedikitnya mencapai 500 orang jamaah dengan kerugian mencapai Rp 90 miliar. Beberapa dari mereka tidak diberangkatkan atau gagal berangkat ibadah umrah dan yang sudah diberangkatkan pun nasib tragis.  Diduga puluhan korban terlantar tidak bisa kembali ke tanah air. 

“Jangan mudah tergoda dengan iming-iming harga murah, fasilitas wah, tapi ternyata yang diperoleh bukan khusyuk beribadah justeru masalah dan musibah,” ucap Mustolih.

Selain itu, Komnas Haji juga mendorong bagi jamaah umrah untuk bersikap kritis. Jika jamaah merasa dirugikan atas pelayanan yang tidak sesuai dengan janji-janji dari travel atau sampai ditelantarkan maka harus berani melapor kepada pihak terkait. Misalnya melapor Kementerian Agama (Kemenag) dan apabila diduga ada unsur pidana maka laporka ke pihak kepolisian setempat. 

“Jika terjadi di Arab Saudi bisa melalui kantor Konjen RI. Laporan bisa dilakukan secara daring melalui kanal-kanal media sosial di lembaga-lembaga tersebut,” terang Mustolih.

Menurut Mustolih, sebenarnya saat ini aturan umrah semakin ketat. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) wajib memberikan berbagai layanan. Lalu merujuk pada pasal 119A travel dan Pasal 126 pihak-pihak yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan jamaah umrah dikenai sanksi sampai pencabutan izin. 

“Selain itu, diwajibkan mengembalikan sejumlah biaya yang telah disetorkan oleh Jamaah serta kerugian imateriel lainnya. Ancaman pidana juga menanti, yakni pidana penjara sepuluh tahun atau pidana denda sampai 10 miliar,” tegas Mustolih.

IHRAM

Belasan Warga Payakumbuh Gagal Berangkat Umroh, Laporkan Travel ke Polisi

Sebanyak 11 warga Sumatra Barat melaporkan Biro Perjalanan Umroh PT MKW cabang Kota Payakumbuh ke Mapolda Sumatra Barat karena mereka gagal diberangkatkan ke tanah suci di bulan Ramadhan 1444 Hijriah.

Penasehat Hukum korban, Abdullah Faqih di Padang, Minggu mengatakan pihaknya telah membuat laporan polisi pada Sabtu (8/4/2023) dengan Nomor: STTLP/76.a/IV/2023/SPKT/POLDA SUMATERA BARAT terhadap PT MKW yang diduga melakukan tindakan pidana penipuan atau penggelapan.

Ia mengatakan biro perjalanan umroh ini menjanjikan 11 orangitu akan diberangkatkan umroh selama 30 hari di bulan suci Ramadan 1444 Hijriah pada tahun ini namun kenyataannya seluruh jamaah gagal berangkat.

“Para korban membuat laporan polisi ke Subdit IV Unit 3 Ditreskrimum Polda Sumbar setelah tidak mendapat kepastian keberangkatan dari biro perjalanan ibadah umroh,” kata dia.

Menurut dia atas kejadian ini kerugian yang dialami sejumlah calon jamaah ibadah umroh mencapai Rp 401.500.000. dan uang tersebut diserahkan secara bertahap kepada Biro Perjalanan Umroh PT MKW.

Ia mengatakan 11 jamaah telah memberikan keterangan kepada pihak kepolisian dan dilakukan pengembangan berkemungkinan terdapat unsur Pasal 55 KUHP.

“Kami akan terus mengupayakan sebaik mungkin agar pihak biro perjalanan umrah memenuhi kewajibannya sehingga para korban yang terlanjur kecewa dapat menemukan solusi terbaik,” kata dia.

Sementara itu Kabid Humas Polda Sumbar mengatakan kejadian tersebut terjadi sekitar bulan September 2022 dan jamaah ini dibujuk dan diiming-imingi melaksanakan umrah melalui travel MKW dengan biaya Rp 25 juta per orang selama satu bulan di Tanah Suci.

Pihak travel berjanji akan memberangkatkan jamaah ini pada hari ketiga bulan Ramadan 1444 Hijriah dan menjelang waktu itu, pihak travel meminta uang tambahan Rp11.500.000 kepada seluruh jamaah dengan alasan kenaikan biaya operasional dan semua langsung mengirimkan kepada pihak travel melalui transfer antarbank.

“Menjelang hari keberangkatan pihak travel selalu menunda-nunda keberangkatan dan hingga pembuatan laporan ini 11 korban ini belum juga diberangkatkan,” kata dia.

Ia mengatakan Polda Sumbar akan menindaklanjuti laporan ini yang sedang dalam proses penyelidikan di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sumbar.

“Untuk kelanjutan proses penyelidikan nanti akan kami informasikan lebih lanjut,” kata dia.

sumber : Anhttps://ihram.republika.co.id/berita/rsvawo430/belasan-warga-payakumbuh-gagal-berangkat-umroh-laporkan-travel-ke-polisitara

Kultum Nuzulul Quran: Hikmah Al-Quran Diturunkan pada Bulan Ramadhan

Mari pada kesempatan kali ini kita gali hikmah-hikmah yang terkandung di balik adanya peristiwa diturunkannya Al-Quran, atau yang kita kenal dengan istilah Nuzulul Quran. Karenanya, pada kesempatan ini kami akan menulis kultum Ramadhan dengan teman, “Kultum Nuzulul Quran: Sejarah Diturunkannya Al-Quran.”

Pembaca yang budiman!

Bulan Ramadhan merupakan saat yang tepat untuk membahas sejarah tentang waktu diturunkannya Al-Quran. Sebab, Allah menurunkan mukjizat yang satu ini pada Nabi Muhammad bertepatan dengan bulan Ramadhan.

Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Artinya, “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa Al-Quran merupakan mu’jizat paling sempurna yang Allah Swt turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan Al-Quran, kita semua bisa tahu hakikat hidup yang benar, dan dengan Al-Quran pula kita bisa menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat.

Syekh Dr. Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam salah satu karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Munir fil Aqidah wasy Syari’ah wal Manhaj, mengatakan alasan di balik peristiwa nuzulul quran terjadi pada bulan Ramadhan. Ia menyebutkan bahwa hikmah dari semua itu adalah untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungan Al-Quran.

Al-Quran merupakan kitab yang sangat agung melebihi kitab suci lainnya. Karenanya, kitab suci ini diturunkan kepada rasul-Nya bertepatan dengan bulan yang sangat agung juga, yaitu bulan Ramadhan, di malam yang sangat mulia, yaitu malam lailatul qadar.

Pembaca yang budiman!

Proses diturunkannya Al-Quran tidak sama dengan kitab suci yang lainnya, seperti Taurat, Zabur, dan Injil. Allah menurunkan tiga kitab suci tersebut secara langsung dan menyeluruh, berbeda dengan Al-Quran, Allah menurunkannya dengan cara bertahap, sesuai dengan kebutuhan umat Islam saat itu, dan proses diturunkannya Al-Quran dari awal hingga selesai terjadi selama 13 tahun.

Hikmah yang bisa kira raih dari adanya penurunan Al-Quran secara bertahap adalah agar kita bisa belajar Islam dengan cara sedikit demi sedikit dan hari demi hari (little by little and day by day). Sebab, seandainya Al-Quran itu diturunkan secara langsung semuanya, maka kita akan kesulitan dan merasa terbebani dengan semua aturan yang ada di dalamnya.

Karena itu, diturunkannya Al-Quran dengan cara yang bertahap ini harus benar-benar kita syukuri bersama, karena telah menjadikan umat Islam terdahulu bisa menerima Islam dengan lapang dada dan senang hati.

Berkaitan dengan hal ini, Sulthanul Auliya’ Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, dalam karyanya, Al-Ghuniah li Thalibi Thariqil Haq berpendapat bahwa yang lebih baik adalah Al-Qur’an yang diturunkan secara bertahap daripada kitab sebelumnya yang diturunkan secara spontan:

أَنَّ اللهَ أَنْزَلَ الْكِتَابَ جُمْلَةً وَاحِدَةً وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ مُتَفَرِّقًا. فَقِيْلَ أَيُّهُمَا أَحْسَنُ نُزُوْلًا؟ اَلْقُرْأَنُ أَحْسَنُ

Artinya, “Sungguh, Allah menurunkan Kitab (sebelum Al-Qur’an) satu kali secara keseluruhan, dan menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) secara terpisah. Maka, jika ditanyakan: di mana yang lebih baik turunnya? (Maka jawabannya) Al-Qur’an lebih baik.

Pembaca yang budiman!

Hal ini harus menjadi perhatian dan contoh bagi kita semua dalam mengajak orang lain yang baru mengenal Islam, agar tidak memaksa dan membebani mereka dengan semua aturan-aturan yang ada dalam Islam itu sendiri.

Mengajak pada kebaikan harus dengan cara bertahap sebagaimana proses nuzulul quran. Ini menjadi lebih membekas kepada orang lain, karena jika secara langsung dan memaksa, bisa dipastikan orang lain akan menilai Islam dengan penuh kebencian.

Demikian kultum Nuzulul Quran pada bulan Ramadhan ini. Semoga dengan adanya kultum ini bisa menumbuhkan cinta kita kepada Al-Quran, dan bisa lebih istiqamah lagi dalam membaca dan berpegang teguh pada ajaran di dalamnya. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Khutbah Jumat: Kiat Agar Harta Bisa Berkah di Bulan Ramadhan

Bagaimana agar harta bisa berkah di bulan Ramadhan? Beberapa tujuan harta dikeluarkan di bulan Ramadhan adalah untuk fidyah, zakat fitrah, zakat maal, sedekah buka puasa, dan sedekah secara umum.

Khutbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَكْمَلَ لَنَا الدِّيْنَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النِّعْمَةَ، وَجَعَلَ أُمَّتَنَا وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ خَيْرَ أُمَّةٍ، وَبَعَثَ فِيْنَا رَسُوْلًا مِّنَّا يَتْلُوْ عَلَيْنَا اٰيَاتِهِ وَيُزَكِّيْنَا وَيُعَلِّمُنَا الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ، أَحْمَدُهُ عَلَى نِعَمِهِ الْجَمَّةِ،

وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْــــكَ لَهُ شَهَادَةً تَكُوْنُ لـِمَنِ اعْتَصَمَ بِـهَا خَيْرَ عِصْمَةٍ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَرْسَلَهُ لِلْعَالـَمِيْنَ رَحْمَةً، وَفَرَضَ عَلَيْهِ بَيَانَ مَا أَنْزَلَ إِلَيْنَا فَأَوْضَحَ لَنَا كُلَّ الْأُمُوْرِ الـْمُهِمَّةِ، فَأَدَّى الْأَمَانَةَ وَنَصَحَ الْأُمَّةَ،

صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أُوْلِي الْفَضْلِ وَالْهِمَّةِ  أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْـمُسْلِمُوْنَ،

أُوْصِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَظِيْمِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Amma ba’du.

Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Segala puji bagi Allah, pemberi segala macam nikmat kepada kita sekalian yang memerintahkan kita untuk bersyukur kepada-Nya dengan bertakwa. Shalawat dan salam semoga tercurah pada suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Agar harta kita berkah, maka caranya adalah dikeluarkan untuk jalan kebaikan.

Allah telah menyifati humazah dan lumazah sebagai orang yang mencela yang lain dengan perbuatan atau isyarat dan dengan ucapan, lalu disebutkan tentang orang yang hanya mengumpulkan harta tanpa mau diinfakkan pada jalan kebaikan atau untuk bantu kerabatnya sehingga terjalin silaturahim.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (1) الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ (2) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ (3)

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.” (QS. Al-Humazah: 1-3)

Agar harta penuh berkah, hendaklah dibayar zakatnya atau disedekahkan. Renungkan ayat berikut ini.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ مِيتَةَ السُّوءِ

Sedekah itu dapat memadamkan murka Allah dan mencegah dari keadaan mati yang jelek.”  (HR. Tirmidzi, no. 664. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib)

Agar harta kita diberkahi di bulan Ramadhan, bisa disalurkan untuk beberapa hal berikut jika memang dituntut sesuai syaratnya.

Pertama: Membayar Fidyah

Fidyah diambil dari kata “fadaa” artinya mengganti atau menebus. Bagi beberapa orang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa dengan kriteria tertentu, diperbolehkan tidak berpuasa serta tidak harus menggantinya di lain waktu. Namun, sebagai gantinya diwajibkan untuk membayar fidyah.

Ada ketentuan tentang siapa saja yang boleh tidak berpuasa. Hal ini tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 184.

 وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ 

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Mereka yang membayar fidyah adalah yang tidak berpuasa secara permanen atau tidak berpuasa karena sebab orang lain, seperti:

  1. Orang sepuh,
  2. Yang sakit tak kunjung sembuh,
  3. Wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa karena khawatir pada bayinya, maka hendaklah ia membayar qadha’ dan fidyah.

Fidyah ditujukan kepada siapa?

Fidyah ditujukan kepada orang miskin, yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pokok.

Bagaimana cara bayar fidyah? Ada dua cara yang bisa dipilih. 

1. BAHAN MAKANAN POKOK

Yaitu sebesar 1 mud (6 ons) beras untuk setiap hari yang ditinggalkan diberikan kepada orang miskin.

• Ukuran fidyah dengan 1 mud adalah pendapat dari ulama Malikiyah dan Syafiiyah, juga dipilih oleh Thowus, Sa’id bin Jubair, Ats-Tsauri dan Al-Auza’i. Juga kata Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama.

Misalnya, tidak berpuasa untuk 7 hari, maka memberi 7 mud beras (7 x 6 ons = 42 ons beras) diberikan kepada 7 orang miskin.

2. MAKANAN SIAP SANTAP

Yaitu 1 porsi makanan sudah cukup untuk hari puasa yang ditinggalkan.

• Anas bin Malik ketika sudah lansia, ia membuatkan makanan dan mengundang orang miskin. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih.

Misalnya, memberi makanan siap santap kepada 7 orang miskin masing-masing 1 porsi makanan sebagai fidyah 7 hari tidak puasa.

Kapan bayar fidyah?

  1. Yang jelas fidyah tidak boleh dibayar secara total sebelum dapat kewajiban berpuasa Ramadhan. Sehingga fidyah tidak sah dibayarkan sebelum Ramadhan.
  2. Fidyah bisa dibayarkan setiap harinya setiap kali tidak berpuasa, paling cepat adalah malamnya.
  3. Fidyah bisa digabungkan untuk dibayarkan pada akhir Ramadhan atau nanti ketika memiliki kelapangan rezeki.

Kedua: Membayar Zakat Fitrah pada Akhir Ramadhan

Zakat fithri termasuk zakat badan. Nama lain zakat fithri adalah zakat fitrah. Zakat fitrah ini berupa satu sha’ makanan pokok yang ada di masyarakat, sekitar 2,5 kg beras (atau antara 2,1 – 3,0 kg). Zakat fitrah diwajibkan pada orang yang memenuhi tiga syarat berikut:

  1. Islam
  2. Mendapati tenggelam matahari terakhir di hari Ramadhan
  3. Mendapati kelebihan makanan untuk dirinya dan yang ia tanggung nafkahnya pada malam dan hari Id, dan dari pakaian yang layak baginya, serta dari tempat tinggal dan pembantu yang dibutuhkannya.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Kapan waktu bayar zakat fitrah?

  • Waktu wajib pembayaran zakat fitrah adalah tenggelamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan.
  • Waktu yang disunnahkan untuk membayar zakat fitrah adalah sebelum shalat Id sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, “Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.”
  • Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada hari Idulfitri secara keseluruhan. Jika zakat fitrah diakhirkan dari hari Idulfitri, hukumnya diharamkan dan wajib diqadha.
  • Zakat fitrah masih boleh disegerakan sejak awal Ramadhan. Dalam madzhab Syafii, zakat fitrah itu wajib karena dua sebab: (1) puasa pada bulan Ramadhan, (2) mendapati waktu berbuka dari berpuasa pada hari raya.

Ketiga: Membayar Zakat Maal

Zakat maal adalah zakat terkait dengan harta.

Inilah hukuman bagi orang yang enggan mengeluarkan zakat maal, begitu mengerikan, ia akan disiksa dengan harta zakatnya sendiri. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan dibuatkan untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan dipanaskan lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia mengetahui tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.” (HR. Muslim, no. 987)

Empat langkah membayar zakat maal, yaitu:

  1. Melihat apakah harta sudah mencapai nishab (kadar minimal suatu harta kena zakat). Nishab emas adalah 85 gram, nishab perak adalah 595 gram, nishab mata uang dan stok barang dagangan adalah 6,5 juta rupiah (antara nishab emas atau perak, manakah yang tercapai terlebih dahulu).
  2. Melihat harta tersebut apakah sudah bertahan selama haul (satu tahun hijriyah).
  3. Menghitung total harta/ stok barang dagangan dengan harga jual.
  4. Menghitung besar zakat yaitu 2,5% atau dibagi 40 dari total harta.

Keempat: Membahagiakan orang lain dengan hadiah (parsel dan bingkisan lebaran)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَصَافَحُوْا يَذْهَبُ الغِلُّ ، وتَهَادَوْا تَحَابُّوا ، وَتَذْهَبُ الشَحْنَاءُ

Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 2/ 908/ 16. Syaikh Al-Albani menukilkan pernyataan dari Ibnu ‘Abdil Barr bahwa hadits ini bersambung dari beberapa jalur yang berbeda, semuanya hasan)

Kelima: Membahagiakan orang miskin (misalnya: memberi makan berbuka puasa, memberikan bingkisan lebaran)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّاعِى عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –وَأَحْسِبُهُ قَالَ-: وَكَالْقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ.

Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus.” (HR. Muslim no. 2982).

Baca juga: Kriteria Disebut Fakir dan Miskin

Jangan khawatir miskin dengan sedekah!

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah menyemangati Bilal untuk bersedekah,

أَنْفِقْ بِلاَل ! وَ لاَ تَخْشَ مِنْ ذِيْ العَرْشِ إِقْلاَلاً

Berinfaklah wahai Bilal! Janganlah takut hartamu itu berkurang karena ada Allah yang memiliki ‘Arsy (Yang Maha Mencukupi).” (HR. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 1512)

Semoga Allah memberkahi setiap harta kita di bulan Ramadhan ini dan pada waktu lainnya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Jumat siang, 16 Ramadhan 1444 H, 7 April 2023

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/36513-khutbah-jumat-kiat-agar-harta-bisa-berkah-di-bulan-ramadhan.html

Hukum Memakamkan Dua Jenazah atau Lebih di Satu Lubang Kubur

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ يَقُولُ: أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ ، فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ، وَقَالَ: أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ يَوْمَ القِيَامَةِ ، وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menggabungkan dalam satu kubur dua orang laki-laki yang gugur dalam perang Uhud dan dalam satu kain, lalu bersabda, ‘Siapakah di antara mereka yang lebih banyak mempunyai hafalan Al-Qur’an?’

Ketika beliau telah diberi tahu kepada salah satu di antara keduanya, beliau pun mendahulukannya di dalam lahad, lalu bersabda, ‘Aku akan menjadi saksi atas mereka pada hari kiamat.’ Maka, beliau memerintahkan agar menguburkan mereka dengan darah-darah mereka, tidak dimandikan dan juga tidak disalatkan.” (HR. Bukhari no. 1343)

Terdapat beberapa faedah yang terkandung dalam hadis ini, di antaranya:

Faedah pertama

Dalam hadis tersebut terkandung dalil bolehnya memakamkan dua orang di satu liang lahad ketika terdapat hajat (kebutuhan) untuk melakukannya. Misalnya, banyaknya jenazah yang perlu dimakamkan dan sedikitnya jumlah orang yang memakamkannya. Atau bisa jadi karena keterbatasan fisik orang yang memakamkan, misalnya karena sedang sakit, atau terluka (karena peperangan), atau semacamnya. Adapun jika tidak terdapat hajat, maka hukum asalnya adakah memakamkan setiap jenazah di satu liang lahad tersendiri. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan makruhnya memakamkan dua orang atau lebih di satu liang lahad. Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah. (Lihat Al-Ikhtiyarat, hal. 89)

Pada saat perang Uhud, gugurlah 70 orang sahabat dalam satu hari, ini merupakan jumlah yang besar. Para sahabat pun mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau memerintahkan untuk menggabungkan dua atau tiga jenazah dalam satu liang kubur, karena adanya kesulitan (kesusahan) tersebut.

Sehingga dalam kondisi darurat yang sangat menyusahkan jika setiap jenazah dimakamkan di satu liang kubur tersendiri, diperbolehkan memakamkan dua jenazah di satu liang kubur, misalnya karena adanya peperangan, wabah (epidemi), atau karena bencana alam yang menghilangkan nyawa banyak orang sekaligus dalam waktu singkat. Dalam kondisi tersebut, diperbolehkan membuat kuburan massal untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan tersebut. (Lihat Tashilul Ilmam, 3: 34)

Faedah kedua

Hadis ini adalah dalil bolehnya menggabungkan dua jenazah dalam satu kain kafan jika ada hajat (kebutuhan). Ini merupakan salah satu kemungkinan makna hadis tersebut di atas. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu,

فَكُفِّنَ أَبِي وَعَمِّي فِي نَمِرَةٍ وَاحِدَةٍ

Maka, bapakku dan pamanku dikafankan dalam satu kain namirah (kain selimut bergaris terbuat dari wol).” (HR. Bukhari no. 1348)

Jika kain kafan yang tersedia sedikit, diperbolehkan menggunakan satu kain kafan untuk dua orang jenazah. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Dalam hadis tersebut terdapat dalil bolehnya menggabungkan dua jenazah di satu kain (kafan) yang sama, ketika memang terdapat kebutuhan untuk melakukannya.” (Tashilul Ilmam, 3: 34)

Adapun kemungkinan makna yang kedua adalah kain tersebut dipotong (dibagi) menjadi dua bagian, kemudian masing-masing bagian dipakai untuk membungkus jenazah. Hal ini dinilai lebih bisa menutup aurat dan juga tidak menyebabkan saling menempelnya kulit dua jenazah.

Faedah ketiga

Hadis tersebut merupakan dalil dianjurkannya mendahulukan jenazah yang memiliki keutamaan (keistimewaan) dibandingkan dengan jenazah yang lainnya ketika dimakamkan di satu liang lahad yang sama. Jenazah yang didahulukan ini diletakkan di arah kiblat. Dalam hadis di atas, penghafal Al-Qur’an itu lebih didahulukan atas jenazah yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tersebut meninggikan derajat dan kedudukan seseorang ketika dia menghafal dan mempelajari Al-Qur’an dilandasi rasa ikhlas karena Allah Ta’ala. Akan tetapi, hal itu tidaklah berarti bahwa keutamaan tersebut juga berlaku di alam akhirat. Karena bisa jadi yang dinomorduakan tersebut lebih utama di sisi Allah Ta’ala dibandingkan dengan yang pertama. Urutan ini hanyalah berdasarkan kedudukan di dunia.

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Dalam hadis tersebut terdapat dalil untuk mengutamakan para penghafal Al-Qur’an dan mendahulukannya di sisi arah kiblat. Hal ini untuk menampakkan keutamaan dan kemuliaannya. Inilah di antara keutamaan para penghafal Al-Qur’an.” (Tashilul Ilmam, 3: 34)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 272-273) dan Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram (3: 34).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84258-hukum-memakamkan-dua-jenazah-atau-lebih-di-satu-lubang-kubur.html

Petugas Haji Diminta Antisipasi Cuaca Panas dan Layani Jamaah Lansia

Muslim haji tahun 1444 Hijriyah atau 2023 bertepatan dengan musim panas di Arab Saudi yang suhunya bisa mencapai 50 derajat celcius. Sehubungan dengan itu, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) diminta untuk mengantisipasi cuaca panas dan melayani jamaah haji lansia.

Direktur Bina Haji Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Arsyad Hidayat, mengatakan, para petugas haji agar mewaspadai cuaca panas di Arab Saudi yang suhunya bisa mencapai 50 derajat celcius. Pada musim haji tahun ini diperkirakan cuaca sangat panas, sehingga jangan sampai para jamaah, terutama jamaah lansia mengalami kendala seperti hilang sandal.

“Dulu sempat kejadian ada jamaah haji Indonesia yang kehilangan sandal usai sholat di masjid, ia terpaksa berjalan kaki tanpa sandal, begitu menginjak aspal maka kakinya melepuh,” kata Arsyad saat Apel Pagi dalam Bimbingan Teknis Tugas dan Fungsi PPIH Arab Saudi di Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (8/4/2023).

Berangkat dari pengalaman tersebut, Arsyad berpesan pada tim penanganan krisis dan pertolongan pertama pada jamaah haji (P3JH) agar menyiapkan banyak sandal untuk membantu para jamaah yang mengalami kehilangan sandal.

Seperti diketahui, tahun ini merupakan kali pertama Indonesia kembali memberangkatkan jamaah dalam kuota normal setelah pandemi Covid-19. Totalnya ada 221.000 jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci. Terdiri dari 203.320 jamaah haji reguler dan 17.680 jamaah haji khusus.

Sebanyak 67.000 jamaah haji reguler dari 203.320 adalah jamaah haji lansia. Untuk itu, Kemenag meminta agar PPIH benar-benar melayani jamaah haji lansia.

“Tiga tahun jamaah dominan lansia tidak berangkat (karena aturan dan pandemi) sehingga tahun ini jumlah jamaah lansia menumpuk, maka di tahun ini kita bentuk organisasi khusus penanganan disabilitas dan lansia,” ujar Arsyad.

IHRAM

Ramadhan dan Kemerdekaan Indonesia

Dan pada Ramadhan 1364 H yang bertepatan dengan Agustus 1945, negeri ini pun merdeka!

BAGI bangsa Indonesia, Ramadhan adalah bulan sangat bersejarah. Di bulan Ramadhan inilah rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Lapar, haus, dahaga saat Ramadhan tak menghalangi perjuangan umat Islam dari masa ke masa memperoleh kemenangan. Dari Badar, Fathul Makkah, hingga kemenangan Ain Jalut terlakon pada bulan Ramadhan.

Dan pada Ramadhan 1364 H yang bertepatan dengan Agustus 1945, negeri ini pun merdeka! Pada bulan Ramadhan saat itu, berita menyerahnya Jepang memang simpang siur di Indonesia.

Bagi kaum yang memercayainya, khususnya para pemuda yang gejolak semangatnya sangat tinggi, menuntut segera para tokoh nasional seperti Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan.

Namun, Soekarno-Hatta masih ingin memastikannya pada Jepang, berharap PPKI dapat berjalan sebaik-baiknya. Tentara Nasional PETA dan para pemuda seperti: Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni mendesak Bung Karno untuk bersua dengan masyarakat, memproklamasikan segera Republik Indonesia.

Para tokoh PETA dan pemuda ini sempat bersua dengan perwakilan ulama K.H. Abdul Mukti. Kiai Abdul Mukti merupakan Konsul Muhammadiyah yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Harian Masyumi di Jakarta.

‘Sebaik-baiknya memilih tanggal dengan segera ialah 9 Ramadhan, bertepatan dengan 17 Aqustus 1945/ kata, “ K.H. Abdul Mukti yang pernah mendekam satu sel dengan para pemuda seperti Soekarni dan Chaerul Saleh saat masa kolonialisme. (Ahmad Mansur Suryanegara  (dalam Api Sejarah).

Darah kaum muda yang bergejolak memang tak sabaran. Rakyat di mana-mana sudah turun ke jalan meneriakkan Indonesia Merdeka.

Soekarno dan Hatta masih  saja menanti petunjuk Jepang. Hingga akhirnya mereka ‘diculik’ ke Rengasdengklok, hingga kembali ke rumah Laksamana Maeda, 9 Ramadhan 1364 H, atau 16 Agustus 1945 malam hari. Di sana sudah berkumpul ratusan pemuda, puluhan anggota Tjoou Sang In yang berada di Jakarta juga anggota PPKI.

Saat itu, Hatta mengaku tak membawa pernyataan proklamasi yang sudah dibuat tanggal 22 Juni 1945.  “Kami duduk sekitar sebuah meja dengan maksud untuk membuat sebuah teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak seorang pun di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, “ kenang Hatta.

Setelah mencapai kebulatan tekad, semua bersepakat bahwa Soekarno-Hatta didaulat mengatasnamakan rakyat Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada pagi harinya, jam 10.00 di halaman rumah Bung Karno. Dalam suasana haru di bulan Ramadhan, mereka pun bersantap sahur bersama.

Laksamana Maeda tak menyediakan nasi. Hanya ada beberapa butir telur, roti, dan ikan sarden. Dengan lahap, mereka pun makan.

Mereka kemudian kembali ke rumahnya masing-masing. Usai shalat, Bung Hatta tertidur sejenak di rumahnya. Semburat pagi menyapa jalanan padat ibu kota.

Tentara Jepang mencium gelagat tak beres. Ratusan tentara PETA berdatangan ke Pegangsaan Timur.

Dalam buku Sekitar Proklamasi (1981) Bung Hatta mengatakan bahwa dirinya sempat diberi makan sahur di kediaman Laksana Maeda.

“Waktu itu bulan puasa. Sebelum pulang saya masih dapat makan sahur di rumah Admiral Maeda,” kenang Hatta.

Makanan itu telah disiapkan oleh Satsuki Mishina, selaku asisten rumah tangga Maeda dan satu-satunya perempuan yang ada dalam rumah tersebut. Dia membuat dan menyiapkan nasi goreng, telur dan ikan sarden.

Setelah selesai masak, jamuan segera dihidangkan kepada para tokoh perumus proklamasi. Tanggal 9 Ramadhan, pagi-pagi ada suasana yang begitu aneh. Suasana yang dinanti-nanti.

Berbilang abad, negeri impian itu kian dekat, jelas sekali depan mata. Piagam Jakarta yang tersimpan rapi selama 52 hari akan mulai di jalanan.

Kesepakatan Bapak-Bapak Bangsa akan syariat dapat segera mewujud. Darah para syuhada membanjir di penjuru negeri.

Api yang terus berkobar di pelosok negeri. Cahaya yang menyelusup anak-anak bangsa. Kini, negeri impian itu semakin dekat. Bangsa ini menyatakan kemerdekaannya!

Dalam suasana haru dan sangat sederhana, negeri ini diproklamasikan. Atas berkat rahmat Allah, negeri ini merdeka!

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Kemerdekaan yang sudah sepatutnya kita syukuri, terjadi pada tanggal 9 Ramadhan. Di bulan suci nan mulia ini, rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Bulan Ramadhan nan mulia benar-benar menjadi bulan kemenangan. Semoga Ramadhan kali ini, menjadi bulan kemenangan bagi kita, keluarga, masyarakat dan bangsa ini. Marhaban Ya Ramadhan!*/Rizki Lesus, wartawan, peminat sejarah)

HIDAYatULLaH

Lakukan 3 Hal Ini Untuk Mendapatkan Kemuliaan Malam Nuzulul Quran!

Salah satu peristiwa penting dalam Islam yang terjadi di bulan Ramadhan adalah peristiwa Nuzulul Qur’an.  Di mana umat muslim memperingatinya di setiap 17 Ramadhan atau yang tahun ini bertepatan dengan tanggal 8 April 2023. Berikut lakukan 3 hal ini untuk mendapatkan kemuliaan malam Nuzulul Quran!

Nuzulul Quran sendiri merupakan malam istimewa, yakni Allah SWT pertama kalinya menurunkan wahyu ayat suci Al-Qur’an pada Rasulullah Muhamad SAW di Gua Hira.

Mengetahui keistimewaan daripada malam tersebut oleh karenanya, umat Islam dianjurkan untuk mengisi malam Nuzulul Quran dengan beribadah dan berdoa. Berikut 3 cara yang bisa dilakukan untuk mengisi malam Nuzulul Qur’an:

Istiqamoh Membaca Al-Qur’an

Sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama salah satunya oleh Ketua PCNU Sumedang, H. Sa’dullah berpesan bahwa cara terbaik mengisi malam Nuzulul Qur’an yakni dengan istiqomah membaca Al Qur’an

“Cara-cara yang baik untuk mengisi malam Nuzulul Qur’an yaitu, pertama istioamah membaca Al-Qur’an. Minimal harus khatam satu kali selama bulan Ramadhan,” terang beliau.

Bahkan keutamaan membaca Alquran telah disebutkan secara rinci, salah satunya melalui hadist dari Riwayat Abdullah Ibnu Mas‘ud yang menjelaskan, setiap satu huruf yang dibaca akan diberi balasan satu kebaikan.

Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran) maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf.” (HR At-Tirmidzi).

Memperbanyak I’tikaf

Jika kita menginginkan keutamaan malam Nuzulul Qur’an para ulama menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak i’tikaf di masjid.  Memperbanyak i’tikaf,yang dimaksudkan yakni diisi dengan memperbanyak bacaan Al-Qur’an atau dzikir lainnya.

Sebagaimana pendapat Ustadz M. Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Ta’lim Syubbanul Muttaqin Jayagiri, Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat dalam Tata Cara I’tikaf dan Keutamaannya di Bulan Ramadhan dijelaskan bahwa meski termasuk amalan sunnah yang bisa dilakukan kapan saja, namun di i’tikaf di bulan Ramadhan lebih dianjurkan karena banyak memuat keistimewaan.

Adapun untuk niat beri’tikaf sebagai berikut:

 ‎نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ للهِ تَعَالَى

Artinya:  “Aku berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah.”

Melaksanakan Shalat Malam dan Khusyuk Berdoa

Yang terakhir memperbanyak shalat malam dan berdoa. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ.

“Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat yang dilakukan di malam hari.”

Dari hadis di atas Ustadz Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah Semarang, Ahmad Mundzir pernah menjelaskan pula terkait keistimewaan-keistimewaan shalat malam diantaranya ada 5 keistimewaan yang dapat diraih bila mengerjakannnya.

Sebagaimana yang kita ketahui shalat malam merupakan shalat yang paling utama setelah shalat maktubah (lima waktu). Memiliki keutamaan layaknya sedekah yang dilakukan secara sirr (rahasia). Menjadi ciri khas orang-orang shalih.

Allah membanggakan hambanya yang melakukan shalat tahajud kepada para malaikat. Semua doa kebaikan yang dipanjatkan pasti akan dikabulkan oleh Allah SWT. Demikian semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH