Alasan Membaca Qunut Witir di Separuh Terakhir Bulan Ramadhan

Pada separuh terakhir bulan Ramadan, biasanya imam sholat tarawih akan membaca doa qunut di rakaat terakhir shalat witir. Hal ini membuat sebagian orang bertanya terkait alasan membaca qunut Witir di separuh terakhir bulan Ramadhan.

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menyatakan kesunnahan membaca doa witir pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana dalam kitab Al-Wasith, Juz 2, Halaman 213 berikut,

الخامس القنوت مستحب في الوتر في النصف الأخير من رمضان بعد رفع الرأس من الركوع وقال أبو حنيفة يقنت قبل الركوع في الوتر جميع السنة وقال مالك بعد الركوع في جميع شهر رمضان وفي الجهر بالقنوت خلاف

Artinya : “Pasal yang ke lima disunnahkan membaca qunut pada shalat witir di separuh terakhir bulan Ramadhan setelah mengangkat kepala dari ruku. Imam Abu Hanifah berpendapat sunnah melakukan qunut sebelum melakukan rukuk pada sholat witir di sepanjang tahun.

Imam malik berpendapat qunut setelah rukuk pada sholat witir hukumnya sunnah di bulan Ramadan secara keseluruhan. Adapun tentang hukum membaca nyaring pada qunut, masih terjadi perbedaan pendapat diantara ulama.”

Menurut sebagian ulama, salah satu hikmah disunnahkan membaca qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan adalah sebagai harapan hikmah sirnanya siksaan dan kekejian orang kafir, sebagaimana terpilihnya separuh akhir dalam setiap bulan untuk melakukan bekam, sebagai harapan keluarnya penyakit dan sirnanya hama.

Sebagaimana dalam kitab Mirqotul Mafatih Syarhu Misykatul Mashobih berikut,

ﺃﻱ : ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ، ﻭﻟﻌﻠﻪ ﻣﻘﻴﺪ ﺑﺎﻟﺪﻋﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻟﻤﺎ ﻣﺮ ﺑﺴﻨﺪ ﺹﺣﻴﺢ ﺃﻭ ﺣﺴﻦ ، ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ، ﺃﻥ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺘﺼﻒ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ، ﺛﻢ ﻭﺟﻪ ﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻷﺧﻴﺮ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺗﻔﺎﺅﻻ ﺑﺰﻭﺍﻟﻬﻢ ﻭﺍﻧﺘﻘﺎﻟﻬﻢ ﻣﻦ ﻣﺤﺎﻟﻠﻬﻢ ﻭﺍﻧﺘﻘﺎﺻﻬﻢ ، ﻛﻤﺎ ﺍﺧﺘﻴﺮ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻷﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﻬﺮ ﻟﻠﺤﺠﺎﻣﺔ ﻭﺍﻟﻔﺼﺪ ﻣﻦ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﺪﻡ ﻟﺨﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺮﺽ ﻭﺯﻭﺍﻝ ﺍﻟﻌﺎﻫﺔ .

Artinya : “Maksudnya dalam shalat witir dan barangkali hal itu teruntuk mendo’akan orang-orang kafir sesuai hadits yang telah lewat dengan sanad yang shahih atau hasan dari Umar Ra, bahwa apabila ramadhan sudah dapat separuh terakhir, maka hendaknya melaknat orang-orang kafir dalam shalat witir .

Kemudian wajah hikmah terpilihnya separuh akhir itu sebagai sikap pengharapan dengan sirnanya mereka, berpindahnya mereka dari perkemahannya, dan berkurangnya jumlah mereka, sebagaimana terpilihnya separuh akhir dalam setiap bulan untuk melakukan bekam, sebagai harapan keluarnya penyakit dan sirnanya hama.”

Demikian penjelasan mengenai alasan membaca qunut shalat witir di separuh terakhir bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Amalan Baik dan Buruk Dilipatgandakan di Bulan Ramadhan

Pertanyaan:

Benarkah bahwa amalan-amalan shalih itu dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan? Jika benar, apa dalilnya dan berapa kali lipat? Mohon pencerahannya ustadz.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Benar bahwa amalan kebaikan dan amalan keburukan dilipatgandakan di waktu-waktu yang mulia, termasuk di bulan Ramadhan. Dasar dari hal ini adalah riwayat dari sebagian sahabat Nabi. Dalam kitab Mathalib Ulin Nuha (6/251-252) disebutkan,

وتضاعف الحسنة والسيئة بمكان فاضل كمكة والمدينة، وبيت المقدس وفي المساجد. وبزمان فاضل كيوم الجمعة, والأشهر الحرم ورمضان.أما مضاعفة الحسنة; فهذا مما لا خلاف فيه. وأما مضاعفة السيئة; فقال بها جماعة تبعا لابن عباس وابن مسعود

“Ada pelipatgandaan amalan kebaikan dan amalan keburukan di tempat yang utama seperti Mekah, Madinah, Baitul Maqdis, dan di masjid secara umum, demikian juga di waktu yang utama seperti hari Jum’at, bulan-bulan haram, dan bulan Ramadhan. Adapun pelipatgandaan pahala amalan kebaikan, ini perkara yang tidak ada perselisihan di dalamnya. Adapun pelipatgandaan dosa amalan keburukan, ini merupakan pendapat sejumlah ulama berdasarkan pendapat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud”.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga menjelaskan tentang masalah ini:

السيئات تضاعف من جهة الكيفية، السيئات تُضاعف من جهة الكيفية لا من جهة العدد، أما الحسنات تضاعف كيفية وعددًا

”Amalan keburukan (di bulan Ramadhan) dilipatgandakan dari segi ukuran dosanya, namun tidak dari segi bilangan pengalinya. Adapun amalan shalih (di bulan Ramadhan) dilipatgandakan dari segi ukuran dan bilangan pengalinya” (Fatawa ad-Durus, no.36890).

Dilipatgandakan dari segi ukuran, artinya satu amalan di dalam Ramadhan lebih besar ukuran satu amalan di luar Ramadhan. 

Dilipatgandakan dari segi bilangan pengalinya, artinya satu amalan di dalam Ramadhan sama dengan n kali lipat dari amalan di luar bulan Ramadhan. 

Berapa n tersebut? Tidak ada hadits yang shahih yang menetapkan berapa pelipatgandaan pahala amalan shalih di bulan Ramadhan. Semua haditsnya berkisar antara lemah atau palsu. Namun terdapat beberapa riwayat pendapat para salaf yang menyebutkannya, di antaranya Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah mengatakan:

صوم يوم من رمضان أفضل من ألف يوم ، وتسبيحة فيه أفضل من ألف تسبيحة ، وركعة فيه أفضل من ألف ركعة

“Puasa di bulan Ramadhan lebih utama dari 1000 puasa. Tasbih di bulan Ramadhan lebih utama dari 1000 tasbih. Satu rakaat di bulan Ramadhan lebih utama dari 1000 rakaat” (Lathaiful Ma’arif, hal 151).

Oleh karena itu, setiap detik di bulan ini begitu berharga. Jangan sia-siakan. Semoga Allah ta’ala memberi taufik. 

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa sallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/41914-apakah-amalan-baik-dan-buruk-dilipatgandakan-di-bulan-ramadhan.html

Belajar Bersyukur

Bismillah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, datangnya bulan Ramadan merupakan nikmat besar yang wajib kita syukuri. Pada bulan inilah kewajiban puasa ditunaikan oleh kaum muslimin. Walaupun menahan lapar dan haus sejak pagi hingga terbenam matahari bukanlah perkara yang disukai oleh hawa nafsu.

Hal ini tentu menyimpan pelajaran penting bagi manusia, bahwa seringkali kebaikan itu Allah berikan melalui pintu perkara-perkara yang sekilas tidak enak dan tidak menyenangkan. Sebagaimana telah diingatkan di dalam Al-Qur’an bahwa bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kalian. Begitu pula sebaliknya, kalian menyukai sesuatu, tetapi justru itu buruk untuk kalian.

Hal ini semakin memperkuat keimanan kita tentang betapa sempurna ilmu Allah dan betapa luas hikmah serta rahmat-Nya. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis sahih bahwa Allah jauh lebih penyayang kepada hamba daripada kasih sayang ibu kepada anaknya.

Bulan Ramadan ini begitu istimewa bagi kaum beriman. Mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk meraup pahala sebanyak-banyaknya. Mereka sangat mengharap ampunan Allah atas dosa-dosanya. Mereka pun khawatir dan takut akan azab-Nya. Mereka pun berusaha melakukan apa-apa yang Allah perintahkan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mencari pahala, niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa untuk meraih ampunan itu, amal puasa harus disertai dengan iman dan ihtisab (niat mencari pahala dari Allah).

Oleh sebab itu, berpuasa bukanlah semata-mata menahan haus dan lapar. Lebih daripada itu, ia membutuhkan kekuatan iman dan pemahaman yang benar dalam beragama. Para ulama menjelaskan bahwa ilmu merupakan syarat diterimanya amal, sebab ilmu itulah yang akan meluruskan niat seseorang di dalam beramal kebaikan.

Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amal tanpa ilmu, maka apa-apa yang dia rusak justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” Artinya, jika kita ingin menunaikan kewajiban ibadah puasa ini dengan benar, maka kita tidak boleh bosan belajar tentang tuntunan berpuasa.

Betapa banyak orang yang mengerjakan suatu amalan dan dia mengira bahwa amalnya itu mendekatkan dirinya kepada Allah, tetapi sesungguhnya menjauhkan dia dari Allah. Di antara sebabnya adalah karena beramal mengikuti hawa nafsu dan tidak mengikuti dalil.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Dari situ kita pun mengerti bahwa ibadah kepada Allah tidak boleh hanya berdasarkan perasaan atau logika. Ibadah itu dibangun dengan wahyu.

Seperti itulah cara beragama para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Maka, berbicara tentang keutamaan ibadah puasa, wajibnya puasa Ramadan tidak bisa lepas dari pondasi iman, tauhid, dan manhaj (metode beragama).

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidaklah menjadi mulia dan dicintai Allah, kecuali karena kejujuran iman dan kesetiaan mereka kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, para ulama menegaskan bahwa amal-amal itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat disebabkan apa-apa yang tersimpan di dalam hati berupa iman, keikhlasan, dan tauhid.

Mensyukuri nikmat Allah berupa datangnya bulan Ramadan ini tentu tidak cukup dengan spanduk ucapan “Selamat Ramadan” atau yang semacam itu. Akan tetapi, butuh kesadaran hati tentang agungnya kewajiban ini, memuji Allah, dan berusaha menjaga ibadah puasa dari segala perusaknya.

Ada ibadah-ibadah hati yang perlu kita benahi di dalam ibadah puasa ini. Di antaranya rasa cinta kepada Allah, takut kepada-Nya, berharap kepada Allah, dan bertawakal kepada Allah semata. Karena kita tidak mungkin bisa berpuasa, kecuali dengan pertolongan Allah.

Bahkan, dalam ibadah puasa itu pun pada hakikatnya tersimpan ibadah hati yang sangat penting, yaitu keikhlasan. Ikhlas itulah yang membuat amal yang kecil menjadi besar. Di dalam puasa juga terkandung kesabaran.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145)

Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah bersepakat bahwa amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah (keyakinan).” (lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridai (Allah), maka itu adalah batil (sia-sia).” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 103)

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan, kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan, kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat, kecuali apabila bersesuaian dengan As-Sunnah.” (lihat Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hal. 77 cet. Dar Al-Mujtama’)

Ibadah tidak akan diterima apabila tercampur dengan kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu. Jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Ibadah juga tidak akan diterima jika tidak dilandasi dengan iman. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa yang kufur kepada iman, maka sungguh terhapus semua amalnya, dan di akhirat nanti dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah: 5)

Dan cukuplah seorang disebut tidak beriman (kafir), meskipun dia hanya mengingkari salah satu rukun iman. Sebagaimana yang terjadi di masa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhuma. Ketika itu ada sebagian orang yang mengingkari takdir. Mereka biasa dikenal dengan sekte Qadariyah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud kemudian dia infakkan, maka Allah tidak akan menerimanya dari mereka sampai mereka beriman kepada takdir.”

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Beliau pun menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan dan peribadahan kepada berhala, serta mengikhlaskan ibadah mereka untuk Allah semata.” (lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hal. 211)

Ketakwaan hati (yaitu yang berporos pada keikhlasan) inilah yang menjadi sebab utama keselamatan. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu ’anhu)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka, barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah, sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itulah, pokok ajaran Islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَن یَبۡتَغِ غَیۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِینࣰا فَلَن یُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)

Semoga Allah beri taufik kepada kita untuk mensyukuri nikmat datangnya bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya. Allah Yang menguasai hal itu dan Al-Qadir/Yang Mahamampu atasnya.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84204-belajar-bersyukur.html

Keppres Biaya Haji 1444 H Terbit, Cek Besarannya yang Harus Anda Bayar Sesuai Embarkasi

Keputusan Presiden (Keppres) tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1444 Hijriah/2023 Masehi yang Bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji dan Nilai Manfaat sudah terbit. Keppres Nomor 7 tahun 2023 ini ditandatangani Presiden pada Kamis (6/4/2023) lalu.

Keppres ini mengatur Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) per embarkasi. Ketentuan ini berlaku bagi jamaah haji, Petugas Haji Daerah (PHD), dan Pembimbing Kelompok Bimbingan lbadah Haji dan Umrah (KBIHU).

Berikut besaran Bipih jamaah haji:

a. Embarkasi Aceh sebesar Rp 44.364.357,26

b. Embarkasi Medan sebesar Rp 45.2O1.652,26

c. Embarkasi Batam sebesar Rp 47.429.308,26

d. Embarkasi Padang sebesar Rp 46.044.85O,26

e. Embarkasi Palembang sebesar Rp 48.005.008,26

f. Embarkasi Jakarta (Pondok Gede) sebesar Rp 51.338.008,26

g. Embarkasi Jakarta (Bekasi) sebesar Rp 51.338.008,26

h. Embarkasi Solo sebesar Rp 49.893.98I,26

i. Embarkasi Surabaya sebesar Rp 55.928.458,26

j. Embarkasi Balikpapan sebesar Rp 50.792 .20I,26

k. Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp 50.753.057,26

l. Embarkasi Makassar sebesar Rp 52.182.703,26

m.Embarkasi Lombok sebesar Rp 51.268.349,26

n. Embarkasi Kertajati sebesar Rp 52.837.858,26

Dalam keterangan yang didapat Republika, Sabtu (8/4/2023), besaran Bipih jamaah haji ini dipergunakan untuk sejumlah biaya. Di antaranya penerbangan haji, biaya hidup (living cost), serta sebagian biaya layanan Arafah, Mudzalifah dan Mina (Armuzna).

Selain itu, Keppres ini mengatur besaran Bipih PHD dan Pembimbing KBIHU. Biaya yang ditetapkan adalah:

a. Embarkasi Aceh sebesar Rp 84.602.294,26

b. Embarkasi Medan sebesar Rp 85.439.589,26

c. Embarkasi Batam sebesar Rp 87.667.245,26

d. Embarkasi Padang sebesar Rp 86.282.787,26

e. Embarkasi Palembang sebesar Rp 88.242.945,26

f. Embarkasi Jakarta sebesar Rp 91.575.945,26 (Pondok Gede)

g. Embarkasi Jakarta sebesar Rp 91.575.945,26 (Bekasi)

h. Embarkasi Solo sebesar Rp 90.131.918,26

i. Embarkasi Surabaya sebesar Rp 96.166.395,26

j. Embarkasi Balikpapan sebesar Rp 91.030.138,26

k. Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp 90.990 .994,26

l. Embarkasi Makassar sebesar Rp 92.420.640,26

m. Embarkasi Lombok sebesar Rp 91.506.286,26

n. Embarkasi Kertajati sebesar Rp 93.075.795,26

Bipih PHD dan KBIHU ini dipergunakan untuk biaya penerbangan, akomodasi, konsumsi, transportasi, pelayanan di Arafah, Mudzalifah dan Mina, perlindungan, pelayanan di embarkasi atau debarkasi dan pelayanan keimigrasian.

Tidak hanya itu, biaya ini juga mencakup premi asuransi dan perlindungan lainnya, dokumen perjalanan, biaya hidup (living cost), pembinaan jamaah haji di Tanah Air dan Arab Saudi, pelayanan umum di dalam negeri dan Arab Saudi, serta pengelolaan BPIH.

Di sisi lain, Keppres tersebut juga mengatur tentang Besaran BPIH Tahun 1444 H/2023 M yang bersumber dari Nilai Manfaat. Nilai Manfaat ini digunakan untuk membayar selisih BPIH, dengan besaran Bipih sebesar Rp 8.090.360.327.2I3,67.

Sementara itu, besaran BPIH Tahun 1444 H/2023 M yang bersumber dari Nilai Manfaat untuk jamaah haji reguler lunas tunda sebesar Rp 845.708.000.000,00.

Diatur juga dalam hal terjadi perubahan besaran BPIH yang bersumber dari Nilai Manfaat untuk jamaah Haji reguler lunas tunda. Hal tersebut ditetapkan oleh Menteri Agama. 

IHRAM

Menggemaskan! Kucing Ini Melompat di Pundak Syeikh Walid Saat jadi Imam Tarawih, Baru Turun setelah Cium Pipi

Dalam sebuah video yang viral di media sosial menunjukkan seekor kucing melompat ke dada Syeikh Walid Mehsas yang tengah menjadi imam tarawih di  Aljazair. Hewan peliharaan ini baru turun setelah mencium pipi sang imam.

Peristiwa ini terjadi di Masjid Abu Bakar al-Siddiq di Bordj Bou Arreridj, Provinsi Aljazair, Afrika, pada Selasa, 3 April 2023. Ketika sang imam, Syeikh Walid Mehsas sedang membacakan ayat al-Quran, tiba-tiba kucing berekor cokelat itu melompat ke dada sang imam.

Tidak terpengaruh, Syeikh Mehsas menepuk lembut kucing itu dan tetap melanjutkan bacaan Al-Quran saat shalat tarawih malam Ramadhan.

Syeikh Mehsas tidak merasa terganggung sedikitpun, bahkan dengan tenang memeluk, mengelus kucing itu.

Entah karena merasa nyaman, hewan itu melompat ke bahu sang imam. Setelah dua kali mencium pipi imam, hewan lucu ini kemudian melompat ke lantai.

Video 38 detik akhirnya viral di seluruh dunia bahkan telah diambil beberapa kantor berita asing. Video ini banyak menuai pujian dari warganet.

“Semuanya indah dalam momen ini: bacaannya, ketenangannya, kucing berterima kasih padanya dengan sebuah ciuman,” komentar @tayyabawrites.

“Saya suka fakta bahwa dia begitu dalam dan khusu’ sampai matanya tertutup dan dia bahkan tidak diganggu oleh kucing … mashaallah ❤️, “ tulis @Mims_djiddo.

Sementara akun instagram @aliya_k_pasha menamabahkan sebuah hadits Nabi ﷺ tentang kucing dalam bentuk terjemahan. “Dari Kabsyah anak perempuan Ka’b bin Malik, ia berkata: Kabsyah binti Ka’b sendiri ada dalam pangkuan anak laki-laki Abu Qatadah. Suatu saat, Abu Qatadah masuk ke rumahnya dan Kabsyah menyiapkan air untuk wudlu untuk Abu Qatadah. Tak berselang lama, datang seekor kucing yang lalu meminum air wudlu tersebut.  Kemudian oleh Abu Qatadah, wadah air itu dijulurkan pada kucing tersebut sehingga memudahkannya minum. Kabsyah berkata: Abu Qatadah melihat heran pada saya. Abu Qatadah berkata: Wahai anak perempuan saudaraku, apa kamu heran? Aku berkata: ya. Abu Qatadah berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ berkata: sesungguhnya kucing itu bukan benda najis. Kucing termasuk hewan yang senang mengelilingi kalian.” (Diriwayatkan Imam empat dan Tirmidzi).*

HIDAYATULLAH

Ramadhan: Khatamkan, dan Raih Kedasyatan Al-Quran

Tadabbur al-Qur`an adalah sumber kebaikan, menghatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan salah satu upaya meraih amal sholeh yang dasyat

BERAGAM kekhasan akan ditemukan di bulan Ramadhan. Bukan saja pada fadhilah amalan di dalamnya yang berlipat ganda, juga karena menyimpan kekhasan diturunkannya al-Qur`an.

Allah SWT tentu sengaja memilih Ramadhan sebagai bulan diturunkan kitab-Nya dengan hikmah yang besar. Ramadhan dan al-Qur`an memang berkaitan sangat erat.

Itulah sebabnya menjelang Ramadhan, yang terbayang bukan saja ibadah puasa, namun juga terencana untuk lebih dekat kepada al-Qur`an.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن جبريل كان يعْرضُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً ، فَعرضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِي الْعَامِ الَّذِي قُبِضَ فيه

“Dahulu Jibril mendatangi dan mengajarkan al-Qur`an kepada Nabi setiap tahun sekali (pada bulan Ramadhan). Pada tahun wafatnya Rasulullah , Jibril mendatangi dan mengajarkan al-Qur`an kepada beliau sebanyak dua kali (untuk mengokohkan dan memantapkannya).” (Riwayat Imam Bukhari).

Perhatian Khusus

Allah SWT menghadirkan Ramadhan bukan sekadar untuk berpuasa. Tujuan yang juga sangat penting yaitu mempelajari al-Qur`an. Suasana ibadah sangat kondusif untuk mempelajari Kitabullah.

Dalam hadits di atas dikisahkan bahwa Jibril menemui Nabi ﷺ  setiap bulan Ramadhan. Bukan cuma sekali dua kali, tapi setiap malam. Tujuannya yaitu mudarasah (mempelajari) al-Qur`an.

Ibnu Hajar menjelaskan, “Zhahir dari Hadits ini menunjukkan jika keduanya saling bergantian membaca al-Qur`an. (Fathul-Bari’, Bab: Kanannabi Ya’ridhul-Qur`an ala Jibril).

Imam Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat beberapa fawaid (faedah) antara lain disunnahkannya mudarasah al-Qur`an (di bulan Ramadhan).” (Syarah Shahih Muslim, Bab: Kanannabiyu Ajwadunnas bil-Khair minarrih).

Itulah sebabnya para ulama salafush-shalih memberikan perhatian khusus pada al-Qur`an di bulan Ramadhan. Mereka bahkan meliburkan majelis-majelis ilmunya dan fokus pada masalah ini.

Memang mempelajari al-Qur`an tidak terbatas di bulan Ramadhan saja. Tapi mempelajari di bulan suci ini memiliki beragam kelebihan.

Salah satunya adalah kemudahan, baik dalam mempelajari maupun mengamalkan.

Mempelajari al-Qur`an berbeda dengan ilmu lain.

Jika ilmu yang lain hanya bermodal otak, maka al-Qur`an tidak cukup itu. Kecerdasan otak belum cukup untuk mengambil manfaat darinya.

Allah SWT berfirman

إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan Dia menyaksikannya.” (Al-Al-Qaaf [50]: 37).

 Kata Ibnul Qayyim, “Ini adalah wadah yang menerima al-Qur`an, yaitu hati yang hidup. (al-Fawaid).

Ramadhan dengan seluruh rangkaian ibadah di dalamnya adalah wasilah (alat) pensucian jiwa. Sehingga saat hendak mempelajari al-Qur`an, hati sudah tersiapkan sebagai wadah bertakhtanya nilai-nilai Qur`ani.

Khatam dan Tadabbur

Salah satu ciri khas para salaf di bulan Ramadan adalah mengkhatamkan al-Qur`an. Bukan sebatas khatam bacaan, tapi juga khatam tadabbur (memikirkan, merenungi, dan menghayati).

Tadabbur merupakan wasilah untuk mengambil manfaat dari kedahsyatan al-Qur`an. Dengan tadabbur, seseorang mengetahui apa yang diinginkan dari suatu makna. (Husain al-Harbi dalam Qawaiduttadabbur wa Dhawabithuhu wa Tathbiqatuhu hal 5).

 Jika tanpa melakukan tadabbur, maka itu termasuk keburukan. Allah SWT berfirman;

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوۡنَ الۡقُرۡاٰنَ اَمۡ عَلٰى قُلُوۡبٍ اَ قۡفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?” (QS: Muhammad [47]: 24).

Tadabbur al-Qur`an adalah sumber kebaikan. Ibnul Qayyim menjelaskan pula tentang manfaatnya, “Secara global, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi qalbu daripada membaca al-Qur`an dengan penuh tadabbur dan tafakur.” (Miftah Daris-Sa’adah hal 204).

Kita semua dituntut mengamalkan al-Qur`an. Namun bagaimana mungkin mengamalkan jika tidak memahaminya? Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Rasulullah ﷺ .

Kata Nabi ﷺ

يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لا يَبْقَى مِنَ الإِسْلامِ إِلا اسْمُهُ , وَلا يَبْقَى مِنَ الْقُرْآنِ إِلا رَسْمُهُ , مَسَاجِدُهُمْ يَوْمَئِذٍ عَامِرَةٌ , وَهِيَ خَرَابٌ مِنَ الْهُدَى , عُلَمَاؤُهُمْ شَرُّ مَنْ تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ , مِنْ عِنْدِهِمْ تَخْرُجُ الْفِتْنَةُ , وَفِيهِمْ تَعُودُ

Artinya: “Akan datang suatu Zaman pada manusia, di mana pada waktu itu tidak tinggal Islam kecuali namanya saja, Dan tidak tinggal Al-Quran melainkan tulisannya saja, Masjid-masjid dibangun megah namun kosong dari petunjuk, Dan ulama mereka adalah makhluk yang terjelek yang berada di kolong langit, dari mulut-mulut mereka keluar fitnah dan (sungguh, fitnah) itu akan kembali kepada mereka.” (HR: Al-Baihaqi)

Penyebabnya tidak lain karena al-Qur`an terabaikan dan tidak ditadabburi sehingga tidak diamalkan. Secara fisik masih ada, dicetak bahkan dipelajari cara baca dan dihafalkan, tapi pemahaman yang benar terhadapnya langka.

Sekadar membaca dan menghafal belum jaminan al-Qur`an akan menyelamatkan kita dari penyimpangan. Bukankah orang Khawarij di zaman Ali bin Abi Thalib RA adalah orang yang sangat menakjubkan bacaan dan hafalan al-Qur`annya? Tapi Rasulullah ﷺ  mengatakan bahwa pada orang semacam itu al-Qur`an yang mereka baca hanya sampai di tenggorokan.

Kenapa itu bisa terjadi? Karena mereka tidak memahaminya dengan benar. Pemahamannya tidak merujuk pada pemahaman para Sahabat.

Akibatnya, kesimpulan hukum yang mereka hasilkan meleset jauh dari pemahaman para Sahabat.

Menyebarnya pemahaman yang salah terhadap al-Qur`an adalah sebab hilangnya ilmu di dalamnya. Dan pemahaman yang salah tidak mungkin melahirkan pengamalan yang benar.

Suatu ketika Nabi ﷺ  pernah menyampaikan jika ilmu akan hilang. Lalu seorang sahabat bernama Ziyad bin Labid bertanya, “Bagaimana ilmu itu hilang sedangkan kami membaca al-Qur`an dan membacakannya kepada anak-anak kami dan anak-anak kami membacakannya kepada anak-anak mereka hingga hari kiamat?”

Rasulullah ﷺ  berkata, “Celakalah engkau wahai Ziyad, sesungguhnya aku menganggapmu termasuk di antara orang paling faqih di Madinah. Bukankah orang Yahudi dan Nasrani membacakan Taurat dan Injil tapi mereka sedikitpun tidak mengamalkan apa yang ada di dalamnya?” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam mentadabburkan al-Qur`an butuh kehati-hatian. Apalagi dengan kapasitas ilmu alat yang terbatas. Kita sangat perlu merujuk pada tafsir.

Dari tafsir itulah kita akan mendapati penjelasan al-Qur`an dari Rasulullah ﷺ , para Sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama setelahnya. Makna dari tafsir tersebut akan membantu kita dalam mentadabburi ayat al-Qur`an.*/Ahmad Rifai, pengajar di Pesantren Hidayatullah Balikapapan

HIDAYATULLAH

Cara Nabi Mendapatkan Lailatul Qadar

Berikut ini penjelasan terkait cara nabi mendapat fadhilah lailatul qadar. Dalam literatur kitab klasik, dijumpai beberapa keterangan yang menyatakan kesunnahan mencari malam lailatul qadar. Hal ini karena seseorang yang bangun pada lailatul qadar dalam keadaan beriman dan ikhlas karena Allah maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. 

Sebagaimana dalam kitab Fiqhul ‘Ibadat, halaman 566 berikut,

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَطْلُبِهَا لِمَا رَوَى أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيِ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : ” مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “

Artinya : “Disunahkan mencari lailatul qadar berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah Ra dari Nabi Muhammad Saw Beliau bersabda: Barang siapa yang bangun pada lailatul qadr dalam keadaan beriman dan Ikhlas karena Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Keutamaan beribadah pada malam lailatul qadar sebanding dengan beribadah dalam kurun waktu seribu bulan, dan barangsiapa yang bangun malam pada lailatul qadar maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Sebagaimana dalam kitab An Nawadir Wa Ziyadat, juz 2, halaman 102 berikut, 

قَالَ إُبْنُ حُبَيْب : رُوِيَ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ هِيَ اللَيْلَةُ الْمُبَارَكَةُ – اِلَى اَنْ قَالَ- … وَجَعَلَهَا اللهُ خَيْرًا مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ فِيْ تَفْضِيْلِ الْعَمَلِ فِيْهَا وَأَحْفَاهَا لِيَجْتَهِدَ فِيْ إِصَابَتِهَا لِيَكُوْنَ أَكْثَرَ لِأَجْرِهِمْ 

Artinya : “Ibnu Hubaib berkata: diriwayatkan bahwa sesungguhnya lailatul qadr adalah malam yang penuh berkah…dan Allah menjadikannya lebih baik daripada seribu bulan dari segi-segi keutamaan perbuatan. Lailatul qadr disamarkan tidak seperti malam lainnya agar umat muslim lebih serius untuk mendapatkannya sehingga pahala yang didapatkan lebih banyak.”

Fadhilah lailatul qadr bisa didapat dengan beberapa cara yang pernah dicontohkan oleh Nabi Saw. Semasa hidupnya, Nabi selalu berusaha mendapatkan fadlilah lailatul qadr dengan cara beriktikaf di masjid pada malam hari dan sang hari. 

Sebagaimana dalam kitab Nihayatul Mathlab Fi Dirayatil Madzhab, juz 4, halaman 77 berikut,

صَدَّرَ الشَّافِعِيُّ كِتَابَ الْاِعْتِكَافَ بِالْقَوْلِ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ كَانَ يَلْتَمِسُهَا فِيْ العَشْرِ الأَوَاخِرِ» ويعتكف فيها ليلا ونهاراً.

Artinya : “Imam al-Syafi’i memulai bab tentang Iktikaf dengan pembahasan tentang lailatul qadar, sesungguhnya Rasulullah Saw mencari keutamaan lailatul qadr pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan dan beriktikaf pada malam hari dan siang hari.”

Imam Kamaluddin menambahkan bahwa orang mukmin dianjurkan menghidupkan malam lailatul qadar dengan cara melaksanakan shalat, membaca al-Qur’an, dan memperbanyak doa. Sebagaimana dalam kitab Najmul Wahhaj, juz 3, halaman 370 berikut,

 (ِلطَلَبِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ) فَيُحْيِيْهَا بِالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ وَكَثْرَةِ الدُّعَاءِ؛ فَإِنَّهُ ‏ أَفْضَلُ لَيَالِي السَّنَةِ,  وَخَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ لَيْسَ فِيْهَا لَيْلَةُ الْقَدرِ.  

Artinya : “(untuk mencari lailatul qadar) maka hidupkanlah lailatul qadar dengan shalat, membaca al-Qur’an, dan memperbanyak doa karena itu adalah malam-malam yang paling utama dan lebih baik dibandingkan seribu bulan yang tidak ada lailatul qadr-nya.”

Demikian penjelasan mengenai cara nabi mendapat fadhilah lailatul qadar. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Korban PHK Wajib Membayar Zakat? 

Berikut ini penjelasan terkait apakah korban PHK wajib membayar zakat? Pasalnya, di saat Covid-19 ini banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban Pumutusan Hubungan Kerja (PHK). Berikut penjelasannya.  

 Selain shalat dan puasa, rukun-rukun Islam lain yang juga wajib untuk dilakukan oleh semua umat Islam adalah mengeluarkan zakat, atas semua harta benda yang dimilikinya, baik berupa barang, tanaman, perdagangan dan semacamnya.

Rukun Islam nomor tiga setelah shalat ini sudah sangat maklum perihal kewajibannya. Dan, para ulama sejak dahulu sudah memutuskan semua itu. Sebab, Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, telah memberikan keputusan akan kewajiban zakat. Dalam Al-Qur’an, Allah swt. berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

Dengan berdasarkan ayat ini, terbentuklah sebuah kesepakatan (konsensus) ijma’ dari para ulama, bahwa wajib mengeluarkan zakat bagi semua umat Islam tanpa terkecuali. Dan, orang yang ingkar akan kewajibannya, sama artinya ia ingkar pada ketentuan Allah dan rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, ia mengatakan:

وُجُوْبُ الزَّكَاةِ مَعْلُوْمٌ مِنْ دِيْنِ اللهِ ضُرُوْرَةً فَمَنْ جَحَدَ وُجُوْبَهَا فَقَدْ كَذَبَ اللهَ وَكَذَبَ رَسُوْلَهُ

Artinya, “Kewajiban zakat sudah diketahui dari agama Allah (Islam) secara pasti. Maka, siapa yang ingkar akan kewajibannya, maka sungguh telah mengingkari Allah dan rasul-Nya.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2001], juz V, halaman 331).

Kendati demikian, Islam sebagai agama universal dan paripurna, yang memiliki visi dan misi tidak memberi beban pada pemeluknya, perihal beberapa kewajiban-kewajiban dan ketentuan yang tidak mereka mampu, tentu memberikan dispensasi (keringanan) terhadap semuanya, termasuk zakat.

Selain itu, pada bulan puasa Ramadhan, Allah tidak hanya mewajibkan puasa bagi semua umat Islam, ada kewajiban lain yang juga harus dipenuhi oleh mereka, yaitu untuk mengeluarkan zakat fitrah, sebagai penyempurna dari puasanya selama satu tahun.

Kewajiban yang satu ini tentu tidak memandang ras dan suku, siapa saja yang beragama Islam maka wajib untuk mengeluarkannya. Hanya saja, Islam memberikan sebuah keringanan bagi mereka yang tidak mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Orang-orang yang tidak memiliki harta, misalnya, baik harta dagangan, harta pertanian, mereka tidak memiliki kewajiban zakat. Misalnya, orang fakir, yaitu orang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki pemasukan (uang) dalam setiap harinya, maka orang yang seperti ini tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

Orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat lainnya, adalah orang miskin, yaitu orang yang masih memiliki pemasukan (usaha) untuk menghidupi keluarganya, hanya saja semua hasil pemasukan tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhannya dalam setiap hari.

Nah, dua orang dalam contoh di atas tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Semua itu tidak lain disebabkan syariat Islam merupakan ajaran mudah yang tidak pernah memberatkan bagi pemeluknya perihal kewajiban yang tidak mereka mampu. Nah, apakah orang yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) juga gugur kewajiban zakatnya? Mari kita bahas.

PHK dan Kewajiban Zakat

Perlu diketahui, bahwa orang yang di PHK adalah orang yang sebelumnya pernah memiliki pekerjaan tetap, dan penghasilan yang cukup. Hanya saja, ia dipecat dan akhirnya tidak lagi memiliki penghasilan dalam kebutuhan kesehariannya.

Orang-orang yang di PHK dalam ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian, ada yang masih mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah, karena memiliki tabungan yang banyak misalnya, maka orang yang seperti masih memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, sekalipun statusnya adalah orang yang di PHK.

Kedua, yaitu orang di PHK yang semua hartanya tidak ada. Sebab, selama ia bekerja, semua penghasilannya sudah cukup digunakan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga ketika ia harus di PHK, maka sama halnya ia tidak memiliki harta sedikit pun.

Nah, orang yang seperti ini dalam kitab-kitab turats dikenal dengan istilah mu’sir (orang yang tidak mampu). Apakah wajib zakat? Simak penjelasan berikut.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H), dalam salah satu kitabnya memposisikan orang mi’sir (tidak mampu), sebagai orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Akan tetapi, gugurnya kewajiban ini apabila tidak mampunya di saat yang bersamaan dengan kwajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Misalnya, orang di PHK pada bulan Ramadhan, dan tidak memiliki uang yang cukup untuk mengeluarkan zakat fitrah, maka kewajibannya gugur. Namun, jika di PHK pada sebelum bulan Ramadhan, dan ketika sudah memasuki bulan Ramadhan telah menemukan pekerjaan baru, misalnya, maka orang yang seperti ini tetap memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Berbeda, jika misalnya ada orang di PHK di bulan Ramadhan, kemudian selama bulan Ramadhan ia tidak menemukan pekerjaan baru, usaha baru, dan penghasilan baru, kemudian di bulan selanjutnya menemukan pekerjaan tersebut, maka ia tetap tidak memiliki kewajiban mengeluarkan zakat. Sebab, waktu kewajibannya telah berlalu. Perhatikan penjelasan berikut,

 (وَلَا) فِطْرَةَ عَلَى (مُعْسِرٍ) وَقْتَ الْوُجُوبِ إجْمَاعًا وَإِنْ أَيْسَرَ بَعْدُ

Artinya, “Tidak wajib zakat fitrah bagi orang yang tidak mampu (mengeluarkan) pada saat waktu wajibnya (mengeluarkan zakat) secara ijma’ (konsensus), sekalipun ia menjadi mampu setelah waktu wajib.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah Kubra: 1983], juz XII, halaman 406).

Alhasil, orang yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah, termasuk orang yang di PHK, tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, dan tidak pula wajib untuk menggantinya (qadha).

Sebab, mengganti zakat fitrah hanya berlaku bagi orang yang mampu mengeluarkan zakat fitrah, hanya saja ia tidak membayarnya.

Demikian penjelasan terkait  apakah korban PHK Wajib membayar zakat? Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Lebih dari Sekedar Puasa yang Sia-Sia

Puasa Ramadan merupakan ibadah yang agung dan mulia. Ia adalah salah satu dari rukun Islam. Allah Ta’ala menyiapkan berbagai keutamaan bagi yang berpuasa di bulan Ramadan, diantaranya

Pertama: Ampunan dosa yang telah lalu. (HR. Bukhari No. 2014, Muslim 760)

Kedua: Balasan pahala yang tidak terhingga. (HR. Ibnu Majah No. 1638, Bukhari 1904 dan Muslim 1151)

Ketiga: Ada 2 kebahagiaan. (HR. Ibnu Majah No. 1638, Bukhari No. 1904 dan Muslim No. 1151)

Keempat: Pintu surga Ar-Rayyan. (HR. Bukhari No. 1896, Muslim No. 1152)

Kelima: Perisai dari Neraka. (HR. Ahmad No. 14669)

Keenam: Syafa’at puasa di akhirat. (HR. Ahmad, 1429)

Betapa besar harapan setiap orang yang masuk bulan Ramadan untuk mendapatkan seluruh fadhilah puasa tersebut. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pula telah mengabarkan bahwa ada di antara kaum muslimin yang mereka berpuasa menahan makan, minum, serta syahwatnya di siang hari, namun tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan haus.

رُبّ صائم حَظُّهُ من صيامه الجوع والعطش

Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut, kecuali rasa lapar dan haus.” (HR. Ahmad No. 8693, Shahih Ibnu Hibban 257/8, Albani dalam Shahih At-Targhib 262/1)

Di antara alasan yang membuat mereka tidak mendapatkan keutamaan tersebut adalah tidak mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dalam berpuasa.

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah justru mengamalkannya, maka Allah Ta’ala tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari No. 1903, Abu Daud No. 2362, Ahmad No. 10562)

Mereka tidak makan dan minum, namun tidak menjaga lisan dari perkataan sia-sia, dusta, keji, dan jorok. Bahkan, melakukan dosa besar dengan melakukan gibah alias gosip. Padahal, sejatinya puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus, namun juga menjaga lisan.

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ

Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja, akan tetapi puasa adalah menahan diri dari berkata sia-sia dan jorok.” (HR. Ibnu Hibban No. 3479 dan Hakim No. 1570, Albani dalam Shahih At-Targhib No. 1082) 

Amalan puasa yang begitu besar di sisi Allah ta’ala, yang dilaksanakan penuh selama bulan Ramadan, berletih-letih bangun sahur di waktu subuh, dan haus di siang hari, semua menjadi sia-sia dan tidak ada hasilnya oleh sebab lisan yang tidak dijaga saat berpuasa. Walau pun letih badan berpuasa, namun tidak ada nilainya di sisi Allah Ta’ala. Letih tinggallah letih, penyesalan tidak ada artinya.

Kesyirikan lebih daripada itu semua

Jika perkataan dusta dan sia-sia menjadi sebab puasa menjadi sia-sia, maka kesyirikan adalah sebab seluruh amal ibadah menjadi sia-sia. Seluruh ibadah yang telah dilakukan seorang hamba, dari amalan salat, puasa, zakat, haji, sedekah, berbakti kepada orang tua, umrah dan ibadah agung lainnya, akan sirna dan menjadi debu yang berterbangan ketika seseorang melakukan dosa kesyirikan.

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (para rasul) sebelummu, ‘Jika engkau berbuat kesyirikan, niscaya akan (benar-benar) terhapus (seluruh) amalmu dan tentu Anda termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)

Konteks ayat ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam Tafsir At-Thabari, “Jika engkau melakukan kesyirikan wahai Muhammad, benar-benar akan batal seluruh amalmu, tidak akan meraih pahala dan ganjaran, kecuali ganjaran sebagaimana pelaku kesyirikan kepada Allah Ta’ala.”

“Walau konteksnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah umatnya. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berbuat kesyirikan dan tidak terjatuh dalam kesalahan tersebut.” (Tafsir Qurthubi)

Pelajaran yang utama dari ayat ini adalah jika seorang Nabi dan Rasul yang mulia saja, yang dijamin masuk surga, tidak pernah berbuat dan jatuh ke dalam kesyirikan, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat kesyirikan, maka akan terhapus seluruh amalnya.

Ayat ini ancaman untuk kita umatnya, yang memiliki amal pas-pasan, yang masih malas beramal saleh, bekal amalnya masih sedikit. Jika kita berbuat kesyirikan kepada Allah Ta’ala kemudian meninggal dalam keadaan belum bertobat dari dosa tersebut, maka akan terhapus semua amal kita (yang sedikit itu), dan Allah Ta’ala tidak mengampuni dosa syirik.

انَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah Ta’ala mengampuni dosa selainnya (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah Ta’ala, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48)

Sebagaimana perkataan dusta, sia-sia, dan keji orang yang berpuasa akan melenyapkan pahala puasa, kesyirikan bukan hanya menghapus amalan puasa, namun seluruh amal ibadah yang pernah dilakukan selama hidup, terhapus dan menjadi debu yang berterbangan.

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Oleh karena itu, kesyirikan lebih mengerikan dibanding perkataan sia-sia orang yang berpuasa. Masih banyak kaum muslimin yang justru kuat dan semangat menjaga puasanya dengan baik, namun di saat yang sama juga melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala dengan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, menyembelih hewan untuk selain Allah Ta’ala dan meyakini ada yang mengetahui hal gaib selain Allah Ta’ala dan bentuk kesyirikan lainnya. Oleh karena itu, tegakkan tauhid dan jauhilah kesyirikan,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Sembahlanlh Allah dan jangan engkau mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisa 36)

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Ditulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84202-lebih-dari-sekedar-puasa-yang-sia-sia.html

Hadis Tiga Larangan terkait Kubur

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur makam (memberi semen pada makam), duduk, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim no. 970)

Terdapat beberapa faedah yang terkandung dalam hadis ini, di antaranya:

Faedah pertama

Hadis tersebut merupakan dalil terlarangnya perbuatan mengapur makam, yaitu memberi semen pada pusara makam. Dalam bahasa Arab, kata الجص adalah suatu bahan berwarna putih yang digunakan untuk menghiasi bangunan. Larangan ini berkonsekuensi hukum haram karena tidak ada dalil yang bisa memalingkan dari keharaman tersebut.

Faedah kedua

Hadis tersebut berisi larangan duduk di atas makam, karena di dalam perbuatan tersebut terdapat unsur perendahan, penghinaan, dan sikap tidak peduli. Terdapat satu hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

Jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api, lalu terbakar baju dan kulitnya, itu lebih baik baginya daripada dia harus duduk di atas makam.” (HR. Muslim no. 971)

Hadis di atas menunjukkan bahwa duduk di atas makam merupakan salah satu dosa besar karena terdapat ancaman khusus yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Faedah ketiga

Dalam hadis di atas terdapat larangan membuat bangunan di atas makam, karena dalam perbuatan tersebut terdapat berbagai kerusakan (mafsadah) yang mungkin timbul, di antaranya:

Pertama, membuat bangunan di atas makam merupakan sarana terbesar menuju peribadatan kepada makam tersebut. Karena membuat bangunan di atas makam itu didorong oleh motivasi pengagungan kepada orang yang dimakamkan tersebut, dan juga berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam memujinya. Ini di antara sebab dan sarana menuju kemusyrikan.

Kedua, membuat bangunan di atas makam itu menyerupai (tasyabbuh) terhadap peribadatan kepada berhala dan juga mirip dengan perbuatan para penyembah kubur dari golongan Syi’ah Rafidah yang membuat kubah-kubah di atas makam para wali dan orang-orang saleh.

Ketiga, perbuatan tersebut menyelisihi misi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul ‘alaihimus shalatu wassalam, yaitu menyebarkan tauhid, memerangi kemusyrikan, dan sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik.

Terdapat satu hadis dari Abul Hayyaj Al-Asadi, beliau menceritakan,

قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

Ali bin Abu Thalib berkata, “Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan patung-patung, kecuali kamu hancurkan. Dan jangan pula kamu meninggalkan makam yang ditinggikan, kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim no. 969)

Keempat, perbuatan tersebut berarti menghambur-hamburkan harta dan menyia-nyiakan harta tanpa ada manfaat. Perbuatan menghambur-hamburkan harta ini terlarang dalam syariat.

Kelima, membuat bangunan di atas makam bisa mempersempit lahan makam, dan juga mengubah fungsi makam dari yang semestinya.

***

@Rumah Kasongan, 11 Ramadan 1444/ 2 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 344-346).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84156-hadis-tiga-larangan-terkait-kubur.html