Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal?

Ada sebuah ungkapan (yang mungkin) tidak asing kita dengar,

الثَّوَابُ عَلَى قَدْرِ المَشَقَّة

“Pahala itu sesuai dengan kadar kesulitan (yang dihadapi).”

Benarkah seperti itu? Benarkah Allah Ta’ala akan memberikan pahala lebih atas sebuah amal yang sulit untuk dikerjakan? Apakah ungkapan tersebut berlaku pada semua jenis ibadah?

Berikut ini akan kita paparkan beberapa penjelasan mengenai ucapan tersebut.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, Perkataan ini tidak sepenuhnya lurus dan benar. Sebagaimana sebagian kelompok memanfaatkannya (ucapan tersebut) untuk dijadikan dalil (bolehnya) berbagai macam bentuk praktik keagamaan berupa tindakan menjauhi segala hasrat keduniawian dan ibadah-ibadah lainnya yang mengandung unsur ke-bid’ah-an, seperti yang dilakukan kaum musyrikin dan yang selainnya dari perbuatan mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan dari hal-hal yang baik. Juga seperti sikap terlalu mendalami sebuah urusan ataupun terlalu ketat dan berlebih-lebihan dalam perkara yang tidak seharusnya. Keduanya itu sangatlah dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

هَلَكَ المُتَنَطِّعُونَ. قالَها ثَلاثًا

“Celakalah orang yang berlebih-lebihan (dalam agama). Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim no. 2670)

Adapun ucapan, “Pahala itu sesuai dengan kadar ketaatan.”, maka terkadang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bisa terjadi pada sebuah amal yang mudah untuk dilakukan. Sebagaimana Allah Ta’ala berikan kemudahan untuk pemeluk agama Islam dengan dua kalimat yang bisa menjadi seutama-utamanya amalan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَلِمَتانِ خَفِيفَتانِ علَى اللِّسانِ، ثَقِيلَتانِ في المِيزانِ، حَبِيبَتانِ إلى الرَّحْمَنِ، سُبْحانَ اللَّهِ وبِحَمْدِهِ، سُبْحانَ اللَّهِ العَظِيمِ.

“Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan (mizan), dan dicintai oleh Ar-Rahman (Allah Ta’ala), Subhanallah wabihamdihi, Subhanallahil ‘azhiim.” (HR. Bukhari no. 6682 dan Muslim no. 2694)

Bisa jadi sebuah amalan terasa berat untuk dilakukan, maka keutamaannya itu bukan berdasarkan arti dan makna dari rasa beratnya tersebut. Kesabaran di dalam melaksanakannya serta adanya rasa letihlah yang akan menambah pahala. Sebagaimana seseorang yang datang dari tempat yang jauh untuk berhaji ataupun umrah, maka ia mendapatkan pahala yang lebih besar dari mereka yang datang dari tempat yang dekat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,

ولَكِنَّهَا علَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبِكِ

“Akan tetapi, ganjaran (sebuah amalan) itu berdasarkan ukuran nafkahmu atau keletihanmu.” (HR. Bukhari no. 1787 dan Muslim no. 1211)

Karena sejatinya, balasan pahala itu sesuai dengan kadar amal perbuatan yang terwujud karena jauhnya jarak. Dan jauhnya jarak akan memperbanyak usaha yang harus dikerahkan oleh seseorang sehingga -insyaAllah- akan memperbanyak pahala yang diperolehnya. Hal ini berlaku juga dalam perkara peperangan. (Al-Fatawa karya Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, 10: 620-622)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

مَثَلُ الذي يَقْرَأُ القُرْآنَ وهو حافِظٌ له، مع السَّفَرَةِ الكِرامِ البَرَرَةِ، ومَثَلُ الذي يَقْرَأُ وهو يَتَعاهَدُهُ، وهو عَلَيْه شَدِيدٌ؛ فَلَهُ أجْرانِ.

“Perumpamaan orang yang membaca Al-Quran dan ia menghafalnya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia dan baik. Sedangkan perumpamaan orang yang membaca (Al-Quran) dengan tekun, dan ia mengalami kesulitan di dalamnya, maka dia akan mendapat ganjaran dua pahala.” (HR. Bukhari no. 4937)

Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan tentang orang yang membaca Al-Qur’an dengan serius dan teliti, perhatian ketika membacanya, mengulang-ulang di dalam membacanya agar tidak lupa, hingga kemudian membuahkan rasa sulit dan berat karena lemahnya kemampuan di dalam menghafal. Nabi hallallahu ‘alaihi wasallam katakan bahwa orang semacam ini akan mendapatkan dua pahala: 1) pahala karena membaca Al-Qur’an; dan 2) pahala atas kesulitan dan rasa berat yang dirasakannya ketikan menghafalkannya.

Lalu, rasa sulit seperti apa yang dapat mempengaruhi pahala sebuah amal?

Harus dipahami, banyak sekali amalan yang menghasilkan banyaknya pahala ketika melaksanakannya berdasarkan rasa berat dan lelah di dalamnya. Hanya saja, rasa berat dan lelah ini bukanlah fokus dan tujuan amalan tersebut. Akan tetapi, keduanya merupakan konsekuensi yang timbul ketika seorang hamba melakukannya.

Pada asalnya, syariat Islam adalah agama yang memudahkan, syariat yang menghapuskan belenggu-belenggu rasa sulit dan berat. Syariat Islam tidak menginginkan adanya rasa berat dan sulit bagi seorang hamba ketika menjalankan amalan-amalan di dalamnya.

Al-Imam Al-Izz bin Abdi As-Salam rahimahullah dalam kitabnya Qawaid Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anaam mengatakan,

Jika ada dua perbuatan yang sama dan setingkat dalam hal kemuliaan dan kedudukan, sama juga dalam hal terpenuhinya syarat, sunah dan rukunnya, sedang salah satunya itu berat untuk dilakukan, maka keduanya sama-sama mendapatkan pahala karena kesamaannya dalam semua perbuatan. Akan tetapi, salah satunya memiliki perbedaan khusus atas apa yang dihadapinya dari rasa berat yang ditanggung karena Allah Ta’ala. Maka ia diberi balasan atas kesabaran terhadap rasa berat yang ditanggungnya dan bukan karena rasa berat itu sendiri. Karena, tidak dibenarkan melakukan sebuah pendekatan diri kepada Allah Ta’ala dengan suatu kesulitan. Sebuah taqarrub (pendekatan diri kepada Allah Ta’ala) sejatinya merupakan bentuk pengagungan kepada Rabb Subhanahu Wa Ta’ala sedangkan sebuah kesulitan bukanlah bentuk pengagungan dan penghormatan (kepada-Nya).(Qawaid Al-Ahkam Fii Mashalih Al-Anaam, 1: 36)

Oleh karenanya, apabila seorang muslim melaksanakan sebuah amal, kemudian amal tersebut menyebabkan rasa berat dan susah yang tanpa dibuat-buat dan tanpa ia sangka-sangka, atau tidak ada jalan bagi orang tersebut untuk melaksanakan amal, kecuali harus menerjang sebuah kesulitan dan rasa berat, maka Allah Ta’ala dengan kemuliaan dan keutamaan-Nya tidak akan menghalanginya dari pahala karena adanya rasa berat yang timbul bukan karena pilihannya tersebut. Contohnya adalah seseorang yang ingin menuju masjid atau ingin pergi berhaji namun tidak ada jalan lain, kecuali ia harus melewati jalan yang memberatkan dan menyusahkan, maka insyaAllah pahalanya akan tetap ia dapatkan.

Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah: 120)

Sejalan dengan kaidah ini adalah apa yang akan didapatkan seorang hamba berupa ampunan karena adanya musibah yang menimpanya, sedangkan ia tidak memiliki pilihan akan terjadinya musibah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah, baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah sampai pun duri yang melukainya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)

Agama ini mudah dan tidak menyusahkan

Mahasuci Allah Ta’ala yang telah menjadikan agama ini mudah secara fitrah. Mahasuci Allah Ta’ala yang tidak menjadikan rasa berat dan susah dalam agama ini, tidak membebani kita dengan sesuatu yang tidak kita mampu, karena pada hal tersebut terdapat pemaksaan kepada jiwa dan perlawanan terhadap rasa keadilan.

Pernah suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, sedangkan di sisinya ada seorang wanita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,

مَن هذِه؟ قَالَتْ: فُلَانَةُ، تَذْكُرُ مِن صَلَاتِهَا، قَالَ: مَهْ، علَيْكُم بما تُطِيقُونَ، فَوَاللَّهِ لا يَمَلُّ اللَّهُ حتَّى تَمَلُّوا وكانَ أحَبَّ الدِّينِ إلَيْهِ مَادَامَ عليه صَاحِبُهُ

“Siapakah ini?” Aisyah menjawab, “Ini adalah si Fulanah.” Aisyah menyebutkan perihal salat wanita tadi (yang sangat luar biasa banyaknya dan tekunnya). Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Cukup, jangan demikian, hendaklah engkau semua berbuat sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang menjadi bosan. Dan agama yang paling dicintai-Nya adalah apa yang senantiasa dikerjakan secara rutin dan kontinyu.” (HR. Bukhari no. 43)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk beramal sesuai dengan kemampuan kita, bersikap pertengahan dan tidak berlebihan, sehingga kita tidak mudah merasa bosan dan malas untuk mengerjakan amal kebaikan tersebut.

Ketahuilah bahwa di antara kaidah fikih pokok dalam agama ini ada yang berbunyi,

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Adanya kesulitan akan memunculkan adanya kemudahan.”

Dan kaidah lainnya berbunyi,

إذا ضَاقَ الأمرُ إتَّسَع  

“Apabila sesuatu itu sempit, hukumnya menjadi luas.”

Kedua kaidah tersebut menunjukkan bahwa maksud dan tujuan ketaatan dan amal ibadah dalam agama Islam adalah tegaknya kemaslahatan bagi mereka yang dikenai kewajiban syariat dan bukan untuk menyusahkan dan memberatkan mereka. Semua itu agar seorang hamba menjalani ketaatan tersebut dengan lapang dada dan bersemangat.

Seorang hamba tidak boleh menyengaja bersusah-susah dalam beramal, menganggap bahwa pahalanya akan menjadi besar karena rasa susah yang dirasakannya. Dan boleh baginya untuk melakukan sebuah amal yang menjadi besar pahalanya karena memang adanya rasa susah di dalam melaksanakannya serta rasa susah tersebut memang bagian dari amal tersebut.

Sebagaimana rasa malas dan bermudah-mudahan menjadi pintu masuk setan untuk menggoda kita, maka sikap ghuluw, ekstrim, dan berlebih-lebihan pun menjadi salah satu pintu setan untuk memberikan rasa was-was ke dalam diri seorang hamba. Sebagian salaf mengatakan,

مَا أَمَر الله بِأَمرٍ إلا وَلِلشَّيْطَانِ فِيه نَزْغَتَانِ إما إلى تَفرِيطٍ وإما إلى مُجَاوَزَة وهي الإِفراط، ولا يُبَالِي بِأَيِّها ظَفر زيادة أو نقص

“Tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan sebuah perintah kecuali setan memiliki dua tipuan dan gangguan di dalamnya, baik itu mengarahkan kepada sikap meremehkan dan melalaikan ataupun mengarahkan kepada sikap melampaui batas dan berlebihan, dan dia tidak peduli mana yang sukses, (membawa seorang hamba ke sikap) berlebihan ataupun meremehkan.” (Tahdzib Madariju As-Saalikiin, hal. 333).

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari artikel berbahasa Arab dengan judul “Ats-Tsawab Alaa Qadri Al-Masyaqqah.” Yang ditulis oleh Khaulah Darwisy. Dengan beberapa penyesuaian bahasa dan penambahan.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84148-pahala-sebuah-amal.html

Bahaya Menghujat, dan Mengapa Islam Melarangnya

BETAPA bahaya menghujat ternyata bisa mematikan hidup seseorang.

Kita tidak pernah tahu apa yang sedang dialami dan dirasakan seseorang. Karena itu jangan sembarangan berkomentar, menghujat dan mencemooh orang lain. Sebab bisa saja komentar dan hujatan tersebut semakin memperkeruh kehidupan seseorang yang sedang menghadapi permasalahan yang pelik dan sebagainya?

Seperti suatu kali, pernah da Sulli seorang aktris asal korea dikabarkan bunuh diri setelah beberapa tahun terakhir dirinya berjuang melawan depresi akibat dihujat netizen. Meski menyayangkan tindakan Sulli tersebut, namun publik juga mengecam hujatan-hujatan netizen yang secara tidak langsung dinilai membunuh Sulli secara mental sehingga akhirnya mendorong artis tersebut bunuh diri.

Terlepas dari benar atau tidak nya kabar tersebut namun, tidak sedikit kasus di Indonesia mengenai bullying yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Betapa mirisnya hal itu dilakukan di negara yang mayoritas memeluk agama islam ini. Hal ini menandakan bahwa memang penting adanya edukasi mengenai perbuatan menghujat sesama manusia, khususnya sesama saudara semuslim.

Dalam Islam sendiri, perbuatan menghujat orang lain sangat tidak diperbolehkan. Jika melihat dalam QS al-Humazah ayat 1, menghujat lewat media sosial dapat digolongkan dalam hujatan al-lamz yaitu hujatan melalui perkataan. Tindakan seperti ini sangat dikecam dan tidak dibenarkan.  Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah berikut ini,

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS Al-Humazah: 1)

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, dalam ayat ini diterangkan bahwa mencela ada dua macam. Yaitu mencela dengan perbuatan (al-hamz) dan mencela melalui perkataan (al-lamz). Hujatan yang sering dilancarkan dalam kolom komentar di dunia maya termasuk dalam golongan al-lamz yang meski tidak menyakiti secara fisik tapi perkataan tersebut memberikan bekas yang menyakitkan dalam hati.

Teguran yang disampaikan dalam firman Allah di atas sebagai peringatan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela dan melampaui batas. Sebab orang yang mencela dan mengumpat biasanya melakukan perbuatan melampaui batas dengan menghamburkan fitnah di manapun dan kapan pun. Hal ini dijelaskan dalam ayat lainnya yang menjelaskan tentang kriteria pencela atau pengumpat,

“Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.” (QS. Al-Qalam: 11)

Dikutip dari buku ‘Kesempurnaan Ibadah Puasa’ Abdul Manan bin Hajji Muhammad Sobari, ada 10 siksaan yang Allah janjikan untuk golongan ini. Abu Hurairah RA berkata bahwa Nabi Muhammad SAW telah bersabda:

“Barang siapa selama hidupnya mengumpat satu kali, maka Allah menyiksanya dengan 10 macam siksaan, yaitu: ia jauh dari rahmat Allah, para malaikat tidak mau mendekat, saat sakaratul maut yang menyakitkan, dekat dengan neraka, semakin jauh dari surga, dahsyat siksa kuburnya, amal baik dihapus, ruh Nabi Muhammad sakit karena dia, Allah SWT murka, dan ia akan jadi orang pailit ketika ditimbang amal di hari kiamat.”

Abu Umamah Al Baahily juga pernah berkata bahwa: besok pada hari kiamat ada seorang hamba diberi catatan amal dan ia melihat beberapa kebaikan yang tidak ia kerjakan. Ia kemudian bertanya pada Allah: Wahai Tuhanku! dari mana kebaikan ini. Allah menjawab ‘ini amal baik orang yang pernah mengumpatmu sementara kamu tidak tahu dan tidak merasa’.

Sayyidina Ali RA pun pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda “Jauhilah olehmu sekalian dari mengumpat, karena sesungguhnya dalam mengumpat ada tiga bencana: yakni doa tidak dikabulkan, kebaikan tidak diterima, dan kejelekan bertambah.”

Alasan lain Islam melarang umatnya saling meremehkan, menghujat dan menghina sesama adalah sebab belum tentu yang meremehkan lebih baik dari pada yang diremehkan. Karena, boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik di sisi Allah dari mereka yang mengolok-olok. Sebagaimana Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al-Hujurat; 11)

Berdasarkan ayat tersebut, menurut Ibnu Katsir meremehkan dan mengolok-olok orang lain termasuk ciri-ciri sifat sombong. Sebab dengan melakukan itu berarti kita telah merendahkan orang lain dan merasa lebih baik darinya.

Karenanya, jangan pernah kita meremehkan perkataan yang terucap dari lisan. Sungguh perkataan itu bisa menghidupkan sekaligus membunuh. Mari kita membiasakan diri untuk berpikir sebelum berucap, karena setiap perkataan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt. Bahkan, hal yang kita anggap remeh ini akan menjadi besar dihadapan Allah swt.

“(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” (QS An-Nur 15). []

ISLAMPOS

10,3 Juta Jamaah Sholat di Masjid Nabawi Selama Ramadhan

Masjid Nabawi di Madinah didatangi sekitar 10,3 juta jamaah selama Ramadhan. Madinah menyambut para  jamaah di tengah sistem pelayanan yang diawasi oleh pemerintah kota Madinah.

Selain itu, sekitar 2,3 juta makanan buka puasa telah didistribusikan kepada orang-orang yang berpuasa, dengan menyediakan 1 juta botol air Zamzam.

Badan Pengelola Masjid Nabawi menerima pengunjung dan jamaah 24 jam sehari, selain memperhitungkan pembukaan atap Masjid Nabawi bersamaan dengan kepadatan pengunjung dan jamaah.

Badan tersebut melengkapi karpet di dalam Masjid Nabawi sebesar 100 persen, termasuk juga halaman dan atap, sesuai dengan kepadatan pengunjung dan jamaah.

Sumber:

https://saudigazette.com.sa/article/631335/SAUDI-ARABIA/103-million-worshippers-prayed-at-Prophets-Mosque-during-first-3rd-of-Ramadan

Tarawih Cepat vs Tarawih Santai

Bismillahirrahmanirrahim

Tuma’ninah dalam salat termasuk salah satu rukun salat, baik salat wajib maupun sunnah. Semakin besar kadar tuma’ninah dalam salat, maka pahala pun akan semakin besar.

Dalilnya adalah hadis yang menceritakan seorang yang salah salatnya atau dikenal dengan hadis al-musii’ fi sholaatihi.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

أنَّ رَجُلًا دَخَلَ المَسْجِدَ فَصَلَّى، ورَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في نَاحِيةِ المَسْجِدِ، فَجَاءَ فسَلَّمَ عليه، فقالَ له

“Bahwasanya seseorang masuk ke masjid kemudian melaksanakan salat. Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di dalam masjid tersebut. Usai salat, lelaki itu datang mendekat ke Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberi salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi berkata kepadanya,

ارْجِعْ فَصَلِّ فإنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

“Ulangi salatmu, karena sebenarnya kamu belum salat.”

فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ سَلَّمَ، فَقَالَ: وعَلَيْكَ، ارْجِعْ فَصَلِّ فإنَّكَ لَمْ تُصَلِّ، قالَ في الثَّالِثةِ: فأعْلِمْنِي،

“Lelaki itu pun salat kembali. Usai salat, dia datang ke Nabi dan memberi salam. Lalu Nabi menjawab, ‘Wa’alaik … (Semoga demikian pula untuk Anda). Ulangi salatmu, karena sebenarnya kamu belum salat.’ Beliau berkata dengan perkataan yang sama untuk ketiga kalinya. Lelaki itu kemudian berkata kepada Nabi, ‘Mohon ajari saya salat yang benar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarinya.”

إذا قُمْتَ إلى الصَّلَاةِ، فأسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ، فَكَبِّرْ واقْرَأْ بما تَيَسَّرَ معَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ حتَّى تَعْتَدِلَ قائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حتَّى تَطْمَئِنَّ ساجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حتَّى تَسْتَوِيَ وتَطْمَئِنَّ جالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حتَّى تَطْمَئِنَّ ساجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ افْعَلْ ذلكَ في صَلَاتِكَ كُلِّهَا

“Jika Anda hendak salat, sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah, lalu bacalah ayat Al-Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian ruku’lah sampai ruku’nya terasa tuma’ninah. Lalu bangkitlah dan ber-i’tidal-lah (bangkit dari ruku’) seraya berdiri. Kemudian sujudlah sampai sujudnya terasa tuma’ninah. Lalu bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil tuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai tuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap salatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur lelaki itu supaya mengulang salat. Hal ini karena tidak adanya tuma’ninah pada salatnya yang menyebabkan salat tidak sah. Sehingga teguran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Ulangi salatmu, karena sebenarnya kamu belum salat” ini juga bisa disampaikan kepada siapa saja yang terlalu cepat salatnya atau tidak tuma’ninah dalam salatnya.

Perbandingan mana yang lebih utama, antara tarawih cepat 23 raka’at, dengan 11 raka’at santai, sama dengan membandingkan antara kuantitas dengan kualitas. Tentu kualitas lebih unggul daripada sekedar banyak-banyakan kuantitas. Maka salat tarawih dengan sedikit raka’at namun khusyu’ dan tuma’ninah, lebih besar pahalanya dan lebih utama daripada tarawih banyak raka’at tetapi tergesa-gesa tidak khusyu‘.

Syekh ‘Alwi bin Abdul Qadir As-Saqof (pengasuh website Ilmiyah dorar.net) menerangkan,

ولو خُيِّرَ المأمومُ بينَ مَسجِدَينِ، فالأوْلى -واللهُ أعلَمُ- أنْ يَختارَ مَن قدَّمَ التَّروِّيَ والطُّمأنينةَ في الصَّلاةِ على مَن قدَّمَ عددَ الرَّكَعاتِ وصلَّى إحْدى عَشْرةَ ركعةً خَفيفةً جدًّ

“Kalau makmum diberi pilihan antara salat di dua masjid, maka yang lebih utama –wallahu a’lam– memilih masjid yang imamnya lebih memperhatikan tuma’ninah dalam salat, daripada imam yang lebih perhatian pada jumlah raka’at. Dia melakukan salat sebelas rakaat adalah sangat ringan.” Silakan dilihat fatwanya di sini. 

Demikian…

Wallahua’lam bis showab.

Penulis : Ahmad Anshori

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/62247-tarawih-cepat-vs-tarawih-santai.html

Fenomena Beragamnya Rakaat Shalat Tarawih, Mana Dalilnya?

Salah satu fenomena di bulan Ramadhan ialah beragamnya rakaat shalat tarawih. Kemudian, dari Mana dalilnya? Dalam realitanya, ada keberagaman di masyarakat kita dalam menjalankan shalat tarawih.

Ada yang menjalankannya dengan 11 rakaat dengan witir dan ada yang menjalannya sebanyak 23 rakaat dengan witir. Meskipun beragamnya jumlah rakaat shalat tarawih bukan merupakan fenomena baru, tidak ada salahnya kita membincangkannya kembali.

Dr. KH. Muchlis Hanafi, sebagaimana dalam salah satu keterangannya, melihat fenomena jumlah rakaat shalat tarawih berangkat dari istilah qiyam ramadhan, sebagaimana termaktub dalam salah satu hadis Nabi Muhammad Saw. Hadis yang dimaksud secara lengkap berbunyi:

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Artinya: ”Barangsiapa menjalankan qiyam Ramadhan atas dasar iman dan mencari ridha Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari).

Berdasarkan paparan yang disampaikan oleh Dr. KH. Muchlis Hanafi, yang dimaksud dengan qiyam ramadhan bisa sholat tahajud bisa shalat tarawih. Untuk masuk pada argumen yang menyatakan shalat tarawih adalah 11 rakaat, DR. KH. Muchlis Hanafi masuk dengan mengutip salah satu hadis yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah, yakni:

ما كان رسول الله ﷺ يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا قالت عائشة: قلت يا رسول الله تنام قبل ان توتر؟ قال: يا عائشة إنّ عينيّ تنامان ولا ينام قلبي متفق عليه

Artinya: “Rasulullah Saw. tidak pernah shalat melebihi 11 rakaat baik dalam maupun di luar bulan Ramadhan. Beliau sholat empat rakaat dan jangan ditanya kualitas dan lamanya.Kemudian Nabi sholat empat rakaat lagi, dan jangan ditanya kualitas dan lamanya.

Kemudian Nabi sholat sebanyak tiga rakaat. Sayyidah ‘Aisyah bertanya: wahai rasulullah, apakah sebelum sholat witir engkau tidur terlebih dahulu? Nabi menjawab: wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur,namun hatiku tidak tidur” (muttafaqun ‘alaih).

Hanya saja, apabila diperhatikan dengan lebih seksama, riwayat dari sayyidah ‘Aisyah di atas bukanlah berbicara tentang shalat tarawih, melainkan shalat witir.

Hal ini terlihat dengan jelas dari pertanyaan sayyidah ‘Aisyah kepada Nabi, apakah engkau tidur terlebih dahulu sebelum menjalankan shalat witir? Meskipun tidak bisa disangkal bahwa shalat witir adalah bagian dari qiyamul lail (ibadah yang dilakukan di malam hari). Sehingga, istilah qiyamul lail memiliki arti lebih umum daripada tarawih.

Sementara itu, ketika Dr. KH. Muchlis Hanafi masuk untuk membicarakan jumlah shalat tarawih adalah 23 rakaat merujuk pada yang ditetapkan oleh sayyidina Umar bin Khattab. Menurutnya, shalat tarawih dalam kebijakan sayyidina Umar bin Khattab karena para sahabat memiliki kualitas bacaan yang tidak sama dengan kualitas yang dimiliki Nabi.

Dalam hemat penulis, hal ini bisa salah persepsi di kalangan masyarakat luas, seolah jumlah 23 rakaat adalah ijtihad dari sayyidina Umar.

Dalam salah satu keterangannya, Imam Abu Hanifah menyatakan,

قد سئل أبو حنيفة عما فعله عمر رضي الله عنه فقال: التراويح سنة مؤكدة ولم يتحرجه عمر من تلقاء نفسه ولم يكن فيه مبتدعا ولم يأمر به إلا عن أصل لديه وعهد من رسول الله ﷺ

Artinya: “Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah muakkad. Apa yang menjadi kebijakan sayyidina Umar bukan lahir dari pemikirannya sendiri dan tidak dapat dikategorikan melakukan bid’ah, melainkan karena haltersebutjuga sudah adapada masa  Rasulullah” (Hujjah Ahlussunnah wal Jama’ah, h. 30).

Meskipun tidak dapat diingkari, sebagaimana terjadi penambahan jumlah rakaat shalat tarawih di Madinah pada masa khalifah Umar bin ’Abdul ‘Aziz, yakni 36 rakaat belum termasuk witir, sebagaimana dijelaskan juga oleh Dr. KH. Muchlis Hanafi. Hal ini karena untuk menyamai ibadah yang dilakukan oleh masyarakat Mekkah.

Sebab, masyarakat Mekkah, setiap selesai shalat tarawih sebanyak empat rakaat, mereka melakukan tawaf. Oleh sebab itu, untuk mengganti tawaf yang dilakukan oleh masyarakat Mekkah, masyarakat Madinah menggantinya dengan sholat empat rakaat.

Melihat fenomena yang dilakukan oleh khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Azizi di atas, KH. Ahmad Subki Masyhudi dalam kitab Hujjah Ahlussunnah walJama’ah menyatakan bahwa diperkenankan ulama berijtihad untuk menambahi jumlah rakaat shalat sunnah. Sebab, setiap individu manusia diperkenankan untuk menjalan shoalat sunnah pada malam dan siang hari sesuai yang ia mampu.

Kesimpulan

Meskipun fenomena beragamnya jumlah rakaat shalat tarawih terjadi di kalangan ulama, hanya saja berdasarkan madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali, shalat tarawih sunnahnya adalah 20 rakaat. Dan kebijakan yang lahir dari sayyidina Umar bukanlah ijtihad pribadi beliau.

Sayyidina Umar hanya berijtihad untuk lebih mensistematisasi pelaksanaan shalat tarawih yang berjumlah 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat-sahabatnya.

BINCANG SYARIAH

Ramadhan: Lautan Rahmat dan Ampunan

Ramadhan terkadang hanya identik dengan diskon dan takjil saja, bagi orang beriman, harus menjadi media pengampunan dan lautan rahmat

PERNAHKAH kita melihat seekor induk burung yang begitu menyayangi anak-anaknya hingga menyuapkan makanan lewat mulutnya? Itu hanya secuil saja dari satu tetes rahmat Allah SWT.

Dia masih menggenggam erat di sisi-Nya 99 dari seratus rahmat yang diciptakan-Nya. Menurut para ulama, Allah SWT baru menurunkan satu tetes saja ke seluruh makhluk dari rahmat-Nya yang begitu luas.

Itu berlangsung dari awal penciptaan makhluk hingga Hari Kiamat kelak.

Suatu hari Rasulullah ﷺ pernah melewati sejumlah orang yang sedang tertawa-tawa. Nabi lalu mengingatkan tentang surga dan neraka.

Maka turunlah ayat di bawah ini;

نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الألِيمُ

“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS: Al-Hijr [15]: 49-50).

Ibnu Katsir menyebut, hadits yang diceritakan Ibnu Abi Hatim tersebut predikatnya mursal. Dalam kisah yang lain, ada seorang Sahabat yang berkata bahwa Rasulullah ﷺ muncul dari pintu yang biasa dimasuki oleh Bani Syaibah dan bersabda,

“Jangan sekali lagi aku melihat kalian dalam keadaan tertawa-tawa.” Nabi lalu berpaling dan sesampai di Hijr Ismail, tiba-tiba ia kembali dengan langkah mundur. Nabi bersabda, “Sesungguhnya ketika aku keluar, Jibril datang dan berkata: ‘Hai Muhammad, sesungguhnya Allah berfirman: “Kami tidak akan membuat hamba-hamba Kami berputus asa. Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang dan sesungguhnya azab-Ku adalah sangat pedih.”

Rahmat dan Azab

Penulis tafsir Ruh al-Ma’ani, al-Alusi al-Baghdadi, menjelaskan mengapa kata “rahmat” lebih didahulukan daripada “azab” pada ayat di atas. Tak lain, sebagai isyarat kuat agar jiwa manusia kian terpanggil untuk bersegera menuju ampunan Allah SWT yang telah dibentang seluas-luasnya.

Rasulullah ﷺ bersabda,

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «لو يعلمُ المؤمنُ ما عند الله من العقوبة، ما طَمِع بِجَنَّتِهِ أحدٌ، ولو يَعلمُ الكافرُ ما عند الله من الرَّحمة، ما قَنَطَ من جَنَّتِهِ أحدٌ».

[صحيح] – [رواه مسلم]

“Seandainya seorang Mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi Allah, maka pastilah dia akan begitu ambisi akan surga-Nya, dan seandainya seorang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka pastilah dia tidak akan berputus asa dari rahmat-Nya.” (Riwayat Muslim).

Ahli tafsir ath-Thabari menerangkan, ayat ini juga seruan untuk bertaubat sekaligus kabar gembira bagi seluruh manusia. Allah SWT niscaya mengampuni seluruh dosa asalkan mereka bertaubat dari kemaksiatan tersebut dan kembali kepada-Nya.

Allah berjanji menghapus seluruh aibnya dan tidak menghukum atas perbuatan yang dilakukan. Namun senada, Allah SWT juga memperingatkan kepada seluruh makhluk-Nya agar tidak bermaksiat apalagi terang-terangan menampakkan dosa serta enggan bertaubat kepada-Nya.

Allah menegaskan bahwa azab-Nya sangatlah pedih dan tidak ada siksaan yang menyetarainya.

Ramadhan Karim

Di antara keberuntungan orang beriman adalah kehidupannya selalu dihampiri oleh bulan Ramadhan. Rutinitas selama 12 bulan dalam setahun senantiasa dicelup dengan rahmat dan berkah Ramadhan.

Beruntungnya, hal ini tidak dipunyai selain mereka, sebab Allah SWT mengkhususkan panggilan-Nya kepada orang-orang yang memiliki iman saja.

Apalagi Ramadhan adalah bulan yang dilimpahi keistimewaan yang dibutuhkan oleh orang beriman dalam kehidupannya.

Apa yang istimewa? Salah satunya karena turunnya al-Qur`an dan adanya Lailatul-Qadr. Hal ini hanya terjadi dalam asy-syahru al-karim (bulan mulia).

Al-Qur`an adalah rahmat terbesar bagi seluruh alam semesta. Sedangkan Lailatul-Qadr disebut lebih baik daripada seribu bulan. Ini menjadi isyarat kemurahan Allah SWT dengan ampunan-Nya yang tak terhingga kepada orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.

 Tidak heran, Ramadhan selalu menjadi masa-masa paling indah bagi orang beriman. Bukan saja indah ketika dijalani dengan ragam kegiatan ibadah dan taqarrub, tapi orang-orang shalih terdahulu menyambutnya dengan munajat indah sejak berbulan-bulan sebelumnya.

Bagi seorang Muslim, kegembiraan menyambut Ramadhan tentu tak boleh berlalu begitu saja. Apalagi jika sekadar latah dan larut dengan gebyar media dan iklan di layar kaca semata.

Bagi sebagian orang, Ramadhan terkadang hanya identik dengan diskon produk yang diobral besar-besaran. Ramadhan dikenal hanya karena adanya pasar takjil yang murah meriah di setiap jelang waktu buka puasa.

Hendaknya seorang Muslim menyadari bahwa ia menyambut Ramadhan dengan suka cita karena bulan tersebut menawarkan urusan agung yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia. Yaitu rahmat dan ampunan dari Allah SWT.

Motivasi al-Qur`an

Selanjutnya, atas dorongan imannya, seseorang akan bersungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, khususnya membaca dan mempelajari al-Qur`an. Ia sadar, membaca al-Qur`an bukan lagi sekadar mengejar pahala berlipat dari setiap huruf, sebagaimana dijanjikan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Tapi juga berburu syafaat dan ampunan Allah SWT dengan al-Qur’an. Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah ﷺ bersabda;

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

“Dikatakan pada orang yang menjadi penjaga al-Qur`an: ‘Bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu (tingginya derajatmu di surga) adalah tergantung pada akhir ayat yang engkau baca.” (Riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi).

Diriwayatkan ‘Aisyah, Ummu al-Mukminin, setiap satu ayat yang dibaca maka orang itu akan dinaikkan satu tingkatan surga hingga ia berhenti pada ayat terakhir hafalannya.

Beliau berkata,

إِنَّ عَدَدَ دَرَجِ الْجَنَّةِ عَدَدُ آيِ الْقُرْآنِ ‌فَمَنْ ‌دَخَلَ ‌الْجَنّةَ ‌مِمَّنْ ‌قَرَأَ القُرْآن لمْ يَكُنْ فَوْقَهُ أحَدٌ

“Tingkatan-tingkatan surga sejumlah bilangan ayat-ayat al-Quran. Maka penghuni surga dari kalangan pembaca al-Quran adalah penghuni tingkatan surga tertinggi, tidak ada penghuni surga di atasnya.” (Al-Jami’ ash-Shaghir, as-Suyuthi, 4690—Maktabah asy-Syamilah)

Motivasi lain dari al-Qur’an bagi pemburu rahmat dan ampunan-Nya adalah hadits Nabi ﷺ. Dari Abu Umamah Al Bahiliy, (beliau berkata), “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلاَ تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ

“Bacalah Al Qur’an karena Al Qur’an akan datang pada hari kiamat nanti sebagai syafi’ (pemberi syafa’at) bagi yang membacanya. Bacalah Az Zahrowain (dua surat cahaya) yaitu surat Al Baqarah dan Ali Imran karena keduanya datang pada hari kiamat nanti seperti dua awan atau seperti dua cahaya sinar matahari atau seperti dua ekor burung yang membentangkan sayapnya (bersambung satu dengan yang lainnya), keduanya akan menjadi pembela bagi yang rajin membaca dua surat tersebut. Bacalah pula surat Al Baqarah. Mengambil surat tersebut adalah suatu keberkahan dan meninggalkannya akan mendapat penyesalan. Para tukang sihir tidak mungkin menghafalnya.” (HR. Muslim no. 1910. Lihat penjelasan hadits ini secara lengkap di At Taisir bi Syarhi Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, 1/388).

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat di atas sedianya mengantar orang beriman untuk meyakini bahwa hanya satu yang mampu mengampuni dosa dan kesalahannya selama ini. Terlebih dengan datangnya Ramadhan sebagai bulan rahmat dan ampunan bagi orang beriman.

Jadi, apa lagi yang menghalangi kita untuk enggan merintih dan bermunajat kepada Dzat Maha Penyayang lagi Maha Pengampun kepada hamba-Nya?*/ Masykur, dosen STIS Hidayatullah Balikpapan

HIDAYATULLAH

Bagaimanakah Rasulullah Menghidupkan Malam-Malamnya?

Qiyamullail, bangun di malam hari untuk salat dan melakukan ketaatan merupakan salah satu amal ibadah paling agung dan ketaatan yang yang paling disukai oleh Allah Ta’ala. Qiyamullail merupakan ciri khas orang-orang saleh serta identitas bagi orang-orang yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman memuji mereka yang cinta kepada kehidupan akhirat, lalu bersemangat di malam hari untuk qiyamullail,

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ,

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16)

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ 

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ 

Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (salat malam) karena salat amalan adalah kebiasaan orang saleh sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Salat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa.” (Lihat Irwa’ Al-Ghalil no. 452. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan)

Pada bulan Ramadan yang suci ini, Allah Ta’ala perintahkan kita untuk berpuasa di siang hari dan Nabi anjurkan kepada kita untuk menghidupkan malam-malamnya dengan qiyamullail (salat malam).

Sudah sepantasnya seorang muslim mengumpulkan energinya untuk bangun dan menghidupkan malamnya di bulan yang penuh berkah ini, sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kepada baginda kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa saja yang melakukan qiyam/ salat (di malam hari) Ramadan dengan dasar iman, dan berharap pahala serta rida Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim 759)

Di dalam menjalankan anjuran dan ajaran ini, cara yang benar dan sesuai sunah adalah mengikuti setiap petunjuk dan cara yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara sahih. Oleh karenanya, perlu bagi kita untuk untuk menyimak kembali, tentang bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghidupkan malam-malamnya, tentang bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat malamnya.

Berikut ini adalah hadis-hadis Nabi yang menunjukkan kepada kita tentang bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bangun malam untuk melaksanakan salat.

Nabi terbiasa bangun untuk beribadah di malam hari, baik itu di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan yang lainnya

Hal ini beliau lakukan sepanjang tahun. Akan tetapi, saat sudah masuk Ramadan terlebih lagi di sepuluh hari terakhir, beliau akan mengikat kencang sarungnya, berdiri, dan menghidupkan malamnya, serta membangunkan keluarganya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan,

كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا دَخَلَ العَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وَشَدَّ المِئْزَرَ.

“Jika memasuki sepuluh terakhir (dari Ramadan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh, dan mengikat tali sarungnya.” (HR. Muslim no. 1174)

Nabi tidak berlebih-lebihan di dalam melaksanakannya

Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jauh dari ghuluw dan sikap berlebih-lebihan. Oleh karenanya, dalam perkara salat malam pun beliau tetap beristirahat tidur dan tidak salat sepanjang malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي.

“Demi Allah, aku yang paling takut pada Allah dan paling takwa pada-Nya. Namun ingat, aku berpuasa, dan terkadang tidak berpuasa. Aku beribadah di malam hari, tapi aku juga tidur. Dan aku juga menikah dengan beberapa wanita. Barangsiapa yang membenci sunahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063)

Dan benar adanya bahwa waktu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk qiyamullail, mendirikan salat berbeda-beda terlaksana pada tiga bagian waktunya. Nabi pernah salat malam di awal waktunya, pernah pula di pertengahannya, dan pernah juga di akhirnya. Di akhir hidup beliau, beliau (mendahulukan) salat malam di akhir waktunya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri beliau,

مِن كُلِّ الليلِ قد أوترَ : أوَّلُه ، وأوسطُه ، وآخرُه ، فانْتَهَى وِتْرُه إلى السَّحَرِ

“Pada setiap (bagian) waktu malam beliau  telah melakukan salat witir: awal, tengah, dan akhir. Pada akhirnya, (sebagaimana yang engkau ketahui ketika beliau meninggal dunia) beliau salat di waktu sahur (sesaat menjelang subuh).” (HR. Bukhari no. 996, Muslim no. 745, Abu Dawud no. 1435, dan Tirmidzi no. 456. Lafaz hadis di atas adalah riwayat Tirmidzi)

Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan,

“Sunnahnya salat malam tidak dilakukan sepanjang malam. Sebagian ulama mengecualikannya pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Karena Aisyah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa di sepuluh malam terakhir ini, Nabi benar-benar menghidupkannya.”

Waktu pelaksanaan terbaiknya adalah sepertiga malam terakhir

Hal ini karena Allah Ta’ala memilih waktu tersebut sebagai waktu turun-Nya ke langit dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan,

يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي، فأسْتَجِيبَ له؟ مَن يَسْأَلُنِي فأُعْطِيَهُ؟ مَن يَستَغْفِرُني فأغْفِرَ له؟

“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun di setiap malamnya ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman, ‘Barangsiapa berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Barangsiapa memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)

Berangkat dari sini seorang muslim disunahkan untuk bergegas tidur di awal waktu agar dirinya siap untuk bangun di sepertiga malam terakhir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan contoh perihal salat malam ini. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

بِتُّ في بَيْتِ خَالَتي مَيْمُونَةَ بنْتِ الحَارِثِ زَوْجِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وكانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عِنْدَهَا في لَيْلَتِهَا، فَصَلَّى النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ إلى مَنْزِلِهِ، فَصَلَّى أرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، ثُمَّ قَالَ: نَامَ الغُلَيِّمُ أوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا، ثُمَّ قَامَ، فَقُمْتُ عن يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِي عن يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ، حتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أوْ خَطِيطَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إلى الصَّلَاةِ

“Aku bermalam di rumah bibiku, Maimunah binti Al-Harits, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersamanya karena memang menjadi gilirannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan salat Isya, lalu beliau pulang ke rumahnya dan salat empat rakaat, kemudian tidur dan bangun lagi untuk salat. Kemudian beliau bersabda, ‘Si anak kecil sudah tidur (maksudnya Ibnu Abbas) (atau kalimat yang semisal dengan itu).’  Kemudian beliau bangun salat. Kemudian aku pun bangun dan berdiri di sisi kirinya, beliau lalu menempatkanku di sisi kanannya. Setelah itu beliau salat lima rakaat, kemudian salat dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar dengkurannya, kemudian beliau keluar untuk melaksanakan salat Subuh.” (HR. Bukhari no. 117 dan Muslim no. 763)

Bagaimana jika tidak yakin bisa terbangun di sepertiga malam terakhir?

Sebagian ulama menjelaskan,

Siapa yang belum dimampukan bangun di sepertiga malam terakhir, yang lebih utama dilakukan olehnya adalah mengakhirkan pelaksanaannya di sepertiga malam pertengahan. Karena sepertiga malam pertengahan lebih dekat ke waktu sepertiga malam terakhir. Setiap salat yang dilaksanakan mendekati waktu yang paling utama, maka semakin besar pahalanya. Saat seseorang mengakhirkan salat malam sampai datangnya waktu malam pertengahan, maka ia akan merasakan kelelahan dan rasa capek ketika menunggu. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,

ولَكِنَّهَا علَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبِكِ

“Akan tetapi, pahala (sebuah amalan) itu berdasarkan ukuran nafkahmu atau keletihanmu.” (HR. Bukhari no 1787 dan Muslim no 1211)

Hadis ini menunjukkan bahwa rasa capek dan letih yang dirasakan seorang hamba akan mempengaruhi besaran dan jumlah pahala yang akan didapatkannya.

Adapun apabila penundaan salat tersebut ke sepertiga malam pertengahan akan menyebabkan dirinya terlewat dari melaksanakan salat subuh, atau menyebabkan dirinya tidak fokus dan tidak bisa memahami serta merenungi makna ayat di dalam salatnya karena rasa kantuk yang menyerangnya, maka yang lebih utama bagi dirinya adalah salat di sepertiga malam awal setelah menyelesaikan salat isya. Karena di waktu tersebut, ia masih mampu fokus di dalam membaca serta memahami ayat-ayat Al-Qur’an di dalam salat.

Tidak ada batasan maksimal jumlah rakaat salat malam

Suatu ketika, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait salat malam, sedangkan beliau masih berada di atas mimbar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Salat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu Subuh, hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi salat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Bukhari no. 990)

Berapa pun rakaat yang kita lakukan, maka itu diperbolehkan. Dilaksanakan dengan cara dua rakaat kemudian salam, dua rakaat kemudian salam, dan ditutup dengan salat witir. Meskipun kita hanya salat dua rakaat kemudian salam dan dilanjut satu rakaat witir kemudian salam, maka itu juga sudah terhitung sebagai salat malam. Akan tetapi, semakin banyak rakaat yang bisa kita lakukan dibarengi dengan kualitas salat yang baik dan sesuai tuntutan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tentu lebih utama.

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Duruusun Li As-Syaikh Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqithi 39/3 dengan beberapa penyesuaian dan penambahan.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84096-bagaimanakah-rasulullah-menghidupkan-malam-malamnya.html

Ayat Ahkam: Kewajiban Puasa Ramadhan, QS Al-Baqarah: 183

Pembaca yang dirahmati Allah, puasa merupakan sebuah ibadah yang telah dilaksanakan oleh umat sebelum masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW. Secara kebahasaan, puasa (shaum) bermakna menahan diri dari segala sesuatu, baik itu menahan diri dari makan minum ataupun menahan diri dari berbicara, sebagaimana pernah diucapkan oleh Siti Maryam, Ibunda Nabi Isa AS,

إِنِّى نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ ٱلْيَوْمَ إِنسِيًّا

innī nażartu lir-raḥmāni ṣauman fa lan ukallimal-yauma insiyyā

“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS. Maryam [19]: 26)

Pada ayat diatas, kata shaum yang diucapkan oleh Siti Maryam bermakna menahan diri dari berbicara.

Kemudian secara istilah syariat, puasa berati menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit matahari hingga terbenam matahari disertai dengan niat dan persyaratan tertentu. Secara historis, pensyariatan puasa bagi umat Nabi Muhammad dimulai sejak bulan Sya’ban tahun kedua hijriah seiring dengan turunnya ayat 183 dari surah al-Baqarah [2],

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ كَما كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alallażīna ming qablikum la’allakum tattaqụn

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Meskipun umat sebelum islam telah melaksanakan puasa, namun kewajiban puasa ramadhan di bulan suci hanya berlaku pada masa syariat Islam Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, titika temu antara umat Nabi Muhammad dengan umat sebelumnya adalah pada pensyariatan puasanya saja, bukan pada kewajiban puasa selama bulan ramadhan.

Selain berpegangan pada dalil ayat Al-Quran diatas, kewajiban puasa juga bersumber pada hadis Nabi yang menjelaskan tentang rukun Islam:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله ﷺ: بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Dari Abdullah bin Umar -semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Islam dibangun di atas 5 syahadat Tiada tuhan Selain Allah dan Muhammad Utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, puasa ramadhan.” (HR Bukhari Muslim)

Setelah memahami bahwa hukum berpuasa selama bulan ramadhan adalah wajib dan bahkan menjadi satu diantara lima rukun islam, maka bagi seseorang yang membangkang akan kewajiban berpuasa dihukumi sebagai seorang kafir. Beda halnya dengan orang yang tahu tentang kewajiban berpuasa, tidak membangkangnya, namun tidak melaksanakannya dengan alasan malas atau lain sebagainya, maka orang semacam itu tidak dianggap kafir, melainkan dianggap fasiq.

Dengan demikian, bagi seorang muslim, tidak diperbolehkan untuk secara mentah-mentah menghukumi kafir kepada saudara sesama muslim yang tidak berpuasa. Karena tidak berpuasanya seseorang belum tentu merupakan bentuk pengingkaran terhadap  kewajibannya. Bisa jadi karena ia bodoh, awam, atau malas.

Berikutnya, wajib hukumnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar khususnya pada orang-orang fasiq yang mengakui tentang kewajiban berpuasa namun masih enggan melakukannya. Cara paling ideal dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar tersebut ialah memberikan kondisi senyaman mungkin agar dia mau berpuasa dan terus mengingatkannya untuk mau berpuasa, menahan lapar dan dahaga serta hawa nafsu, setidaknya ketika berada di hadapan kita. Diluar pengawasan kita, maka bukan lagi menjadi kewajiban untuk meneliti secara mendetail apakah orang tersebut berpuasa atau tidak.

Demikian, semoga bermanfaat, wallahu a’lam bi shawab.

BINCANG SYARIAH

Hakikat Menahan Diri dalam Puasa Menurut Grand Syekh Al Azhar

Bulan puasa merupakan salah satu bulan yang selalu dinanti oleh seluruh umat Islam di mana pun berada. Bagaimana tidak, pada bulan ini semua orang akan berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dan membersihkan diri dari segala bentuk kedurjanaan yang menghinggapi diri. Berikut ini rahasia menahan diri dalam berpuasa. 

Banyak yang beranggapan bahwa menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa⎯mulai dari makan, minuman, atau pun bersenggama⎯merupakan suatu perkara yang begitu berat (masyaqah) di dalam ibadah puasa. Namun siapa sangka, ketika ditelisik dengan seksama, justru kepayahan tersebut memiki beberapa rahasia (sir) atau falsafat yang tiada tara. 

Rahasia Menahan Diri dalam Puasa 

Grand Syekh Al Azhar, Syekh Ahmad Tayyib dalam bukunya yang berjudul “Min Dafatiry Al Qadimah” menjelaskan beberapa rahasia atau falsafat yang cukup menarik terkait ibadah puasa, salah satunya perihal falsafah menahan diri (At Tark). 

Dalam buku tersebut, beliau menjelaskan bahwa kepayahan (masyaqah) yang ada di dalam puasa sebenarnya tidak lepas dari  falsafah  “At Tark” itu sendiri; sebab ketika kita merenungkan perihal rukun islam,–mulai dari membaca syahadat, shalat, zakat, atau pun haji–pasti kita akan temukan bahwa ke empat rukun tersebut dibangun atas asas mengerjakan (Al Fi’l) dan meninggalkan (At Tark). 

Sedangkan puasa, ia hanya berasaskan At Tark saja, yakni meninggalkan hal-hal yang diinginkan oleh nafsu serta dapat membatalkan puasa. Dalam puasa  tidak ada sama bentuk (format) ibadah bisa dikerjakan, beda halnya dengan empat rukun islam di atas.

Falsafat ketiadaan (Al Adamiyyah) inilah yang menyebabkan eksistensi puasa bersifat rahasia di mata manusia, selama yang bersangkutan tidak mempublikasikannya. Hanya Allah dan orang yang berpuasa saja yang mengetahuinya, bahkan sampai-sampai dikatakan bahwa malaikat Hafadzah tidak menulis ganjaran ibadah puasa, sebab ia tidak bisa melihatnya. 

Oleh sebab itu, puasa merupakan satu-satunya ibadah yang sangat sulit diselubungi sifat riya, berbeda halnya dengan ibadah-ibadah lainnya yang dapat dengan mudah diselubungi sifat riya, baik dalam skala kecil maupun besar.

Selain itu, seluruh amal ibadah mempunyai potensi untuk dinikmati oleh pelakunya kecuali puasa; sebab dalam puasa tidak ada ruang bagi jiwa-raga manusia untuk merasakan kenikmatannya, bahkan secara tabiat, puasa selamanya akan menimbulkan kepayahan dan kemasyaqahan yang berat bagi pelakunya.

Maka tidak heran, jika puasa memiliki keistimewaan tersendiri di hapadan Allah swt, sebagaimana termaktub dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah di dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim: 

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَام، فَإنَّهُ لِي وَأنَا أجْزِي بِهِ

“Seluruh amal ibadah anak Adam untuk mereka sendiri kecuali puasa, sesungguhnya puasa untuk-Ku dan Aku sendiri lah yang akan membalasnya”. (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam menafsiri hadits tersebut, Ulama-ulama Arifin memiliki penafsiran yang cukup menarik, diantaranya: 

Pertama, tidak membutuhkan (Al Istighna) makan dan minum merupakan salah satu dari sebagian sifat Allah Swt. Oleh sebab itu, ketika berpuasa seakan-akan manusia menyembah Allah dengan salah satu dari sebagian sifat-Nya dan ia berusaha untuk bertingkah laku (Takhalluq) seperti tingkah laku-Nya Allah Swt. 

Kedua, puasa tidak bisa dijadikan sarana ibadah terhadap selain Allah, seperti halnya orang-orang kafir yang tidak pernah mengagungkan berhala-berhala mereka melalui sarana puasa

Ketiga, ketika hari kiamat kelak, seluruh amal ibadah manusia dapat berkurang dan ganjarannya diberikan terhadap orang yang pernah ia alami, kecuali puasa. Ganjarannya tidak akan berkurang sama sekali, walaupun ia memiliki hak adami (dosa terhadap sesama manusia) atau pernah berbuat zalim terhadap orang lain. 

Itulah sekelumit rahasia falsafat menahan diri (At Tark) dalam puasa yang dikemukan oleh Grand Syekh Al Azhar Syekh Ahmad Tayyib di dalam bukunya. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kekerasan Jalanan di Bulan Ramadan

Bismillah.

Belum lama terdengar berita kasus penganiayaan oleh sebagian pemuda dan remaja di kota Yogyakarta pada bulan Ramadan ini. Kejadian serupa juga kita dengar telah terjadi pada bulan Ramadan tahun lalu. Ya, kasus dan kejadian semacam ini adalah perkara yang patut untuk kita cermati dan menjadi bahan koreksi bersama terutama kaum muslimin.

Saudaraku yang dirahmati Allah, salah satu tanda pengagungan kepada Allah adalah memelihara dan menjaga kemuliaan waktu dan tempat yang Allah muliakan. Di antaranya adalah masjid, karena masjid merupakan tempat yang paling dicintai oleh Allah di atas muka bumi. Oleh sebab itu, ada adab-adab khusus yang berkenaan dengan penggunaan masjid. Tidak semua bentuk kegiatan bisa dilakukan di masjid. Begitu pula sebagian waktu yang Allah muliakan di atas waktu yang lain seperti bulan Ramadan yang menjadi syiar ibadah puasa, membaca Qur’an, sedekah, dan salat malam bagi kaum muslimin. Waktu yang mulia ini tidak boleh dirusak dengan berbagai tindak kezaliman dan pelanggaran hak manusia yang lain. Walaupun pada waktu yang lain kezaliman itu haram dilakukan, maka di bulan Ramadan ini hal itu menjadi semakin diharamkan!

Rusaknya keamanan

Saudaraku yang dirahmati Allah, keamanan adalah salah satu nikmat agung yang Allah berikan kepada kita. Dengan nikmat aman, maka manusia bisa bekerja, berdakwah, mengurus keluarga, membantu sesama, dan melakukan berbagai kegiatan bermanfaat dengan lancar dan bebas dari cekaman rasa takut. Oleh sebab itu, Allah mengingatkan kepada para penduduk Makkah tentang nikmat makanan dan nikmat rasa aman sebagaimana dimuat dalam surah Quraisy.

Bahkan, keamanan menjadi anugerah yang Allah janjikan kepada kaum beriman ahli tauhid yang membebaskan dirinya dari belenggu syirik dan kezaliman. Allah berfirman,

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَلَمۡ یَلۡبِسُوۤا۟ إِیمَـٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah yang akan diberi petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)

Keamanan dan petunjuk yang dijanjikan Allah ini hanya akan diraih dengan sempurna oleh ahli tauhid yang menegakkan keadilan dalam ucapan dan perbuatannya.

Islam tidak pernah mengajarkan tindak kejahatan atau kezaliman, baik atas diri sendiri maupun terhadap orang dan pihak yang lain. Bahkan terhadap binatang sekalipun, kezaliman itu diharamkan. Oleh sebab itu, disebutkan ada sebagian orang yang masuk neraka gara-gara mengurung hewannya dan tidak memberinya makanan dan tidak membiarkannya lepas untuk mencari makanan hingga akhirnya mati kelaparan. Di dalam hadis juga ditegaskan bahwa segala bentuk kezaliman itu akan berubah menjadi kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.

Pada hari kiamat pun, Allah memberikan keutamaan bagi para pemimpin yang adil dalam jajaran orang yang diberi naungan Allah dari teriknya panas matahari di atas padang mahsyar, sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada tujuh golongan manusia yang diberi naungan Allah pada hari tiada naungan, kecuali naungan dari-Nya… (salah satunya/yang pertama) adalah pemimpin yang adil.”

Disebutkan juga dalam rangkaian hadis itu sosok pemuda yang tumbuh dalam ketaatan beribadah kepada Rabbnya. Disebutkan juga tentang orang yang hatinya senantiasa bergantung di masjid.

Hal ini menunjukkan kepada kita betapa Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan menjaga hak-hak manusia serta memelihara kehormatan syiar-syiar agama. Allah berfirman,

ذَ ٰ⁠لِكَۖ وَمَن یُعَظِّمۡ شَعَـٰۤىِٕرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ

“Yang demikian itu karena barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu berangkat dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

Ramadan adalah salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah karena di dalam bulan ini diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi segenap manusia. Pada bulan Ramadan, Allah juga mewajibkan ibadah puasa yang hal itu termasuk di dalam rukun Islam yang menjadi kewajiban pokok bagi setiap muslim dan muslimah.

Pendidikan keluarga dan masyarakat

Tidak dipungkiri bahwa generasi muda dan remaja adalah buah dari pendidikan dari keluarga serta kondisi masyarakatnya. Banyak anak yang mengalami penyimpangan pemikiran dan perilaku berawal dari rusaknya rumah tangga atau lingkungan pergaulan yang buruk. Oleh sebab itu, Allah telah memerintahkan kepada segenap pemimpin rumah tangga untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari panasnya api neraka. Menjaga diri dan keluarga dengan pendidikan dan pengawasan serta pembinaan yang berkesinambungan. Hal ini sedikit banyak akan membantu proses pembinaan mental dan spiritual kaum muda, terlebih di masa kini ketika teknologi telah merenggut banyak waktu dan lingkungan pergaulan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kunci kebaikan manusia adalah dengan memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Oleh sebab itu, Allah berfirman,

فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَلَا یَشۡقَىٰ

“Maka, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma menafsirkan ayat ini bahwa Allah telah memberikan jaminan kepada orang yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.

Kini perhatikanlah kondisi anak muda, remaja, dan pemuda yang ada di sekitar kita! Apakah mereka menjadi sosok yang cinta dengan Al-Qur’an dan memiliki semangat kuat dalam belajar ilmu agama dengan cara yang benar? Kenyataan memberikan pelajaran bagi kita bahwa banyak anak muda yang lebih gandrung kepada drama korea, atlet sepak bola, grup musik, dan artis-artis dunia daripada mengenali sejarah Islam, membaca ayat Al-Qur’an, dan menghafal hadis dan petunjuk sang Nabi akhir zaman shallallahu ‘alaihi wasallam. Subhanallah!

Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian kaum dengan sebab Kitab ini (yaitu al-Qur’an) dan merendahkan dengannya sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim)

Allah muliakan para sahabat Nabi dan memuji mereka dengan pujian yang sudah tertulis dalam Taurat dan Injil disebabkan ilmu dan amal saleh mereka yang selalu mendahulukan bimbingan Allah dan Rasul-Nya di atas semua tradisi dan pendapat manusia.

Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu berkata, “Kami adalah suatu kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam. Oleh sebab itu, kapan saja kami mencari kemuliaan dari selain Islam, niscaya Allah akan menghinakan kami.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)

Para sahabat menjadi mulia karena mereka menjadikan petunjuk Islam di atas kepala dan jiwa mereka. Mereka tunduk kepada aturan dan petunjuk Rabb penguasa langit dan bumi. Adapun sebagian orang di masa kini, lebih mendahulukan perasaan, tradisi, filsafat, dan hawa nafsunya di atas ayat Allah dan petunjuk rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam! Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

Apabila kita mau jujur, kita akan melihat bahwa masih banyak masjid kaum muslimin ini yang hanya ramai dengan TPA ketika bulan Ramadan tiba. Adapun pada bulan Syawwal dan sesudahnya, seolah-olah TPA itu sudah sirna dan hancur tak berbekas, tenggelam oleh euforia hari raya yang tidak pada tempatnya. Apakah seperti ini yang mereka sebut sebagai kecintaan kepada Al-Qur’an dan Kitabullah?! Jawablah wahai saudaraku. Mengapa perhatian kepada TPA dan pendidikan anak-anak kaum muslimin begitu kurang di luar bulan Ramadan? Apalagi pendidikan agama untuk mereka yang sudah masuk jenjang sekolah menengah dan universitas. Ketika pendidikan agama hanya diberikan dalam porsi 2 atau 3 jam saja dalam sepekan, padahal selama belasan jam setiap harinya mereka telah sibuk dengan ilmu dunia, hiruk pikuk medsos, dan pergaulan dengan lingkungan yang tidak kondusif.

Saudaraku yang dirahmati Allah, apa yang hendak anda banggakan dengan masjid yang megah dan mewah atau organsisasi massa yang mewakili umat Islam dan memiliki sekolah di mana-mana sementara perhatian kepada pendidikan Al-Qur’an dan Islam untuk kaum muda di masjid-masjid kaum muslimin masih sangat lemah terlebih di luar bulan puasa? Apakah anda akan membanggakan profil remaja yang gemar tawuran dan tega menganiaya manusia di bulan Ramadan yang begitu mulia? Inikah yang disebut sebagai harapan masa depan dan pembawa panji peradaban Islam?!

Kemuliaan dengan kembali kepada petunjuk Allah

Dari sinilah kita pun memahami bahwa sesungguhnya kemuliaan dan kejayaan kaum muslimin tidak bisa diukur dengan kecanggihan teknologi, banyaknya perbendaharaan harta, atau luasnya daerah kekuasaan mereka. Akan tetapi, kejayaan yang memancarkan kemurnian iman dan keluhuran akhlak. Inilah pesan mulia dari ibadah puasa Ramadan bagi manusia. Karena manusia akan mulia dengan takwa dan mengendalikan hawa nafsu serta ambisi dan keinginannya.

Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa selain haus dan lapar saja. Betapa banyak orang yang salat malam tetapi tidak mendapatkan, kecuali begadang atau ngantuk saja. Betapa banyak orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak melaksanakan aturan dan petunjuk yang ada di dalamnya. Sahabat ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu berkata, “Seandainya hati kita ini bersih, niscaya ia tidak akan merasa kenyang dari menikmati kalam Rabb kita (yaitu ayat-ayat Al-Qur’an).” Puasa mengasah ketakwaan hati dan perbuatan anggota badan kita.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat selamat kaum muslimin yang lain dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من كان يؤمن بالله واليوم الآجر فليقل خيرا أو ليصمت. من كان يؤمن بالله و اليوم الآخر فليكرم جاره

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bulan Ramadan mengajarkan kepada kita untuk memiliki kepedulian dan empati kepada orang-orang yang kesusahan dan hidup dalam keadaan lapar dan dahaga. Bulan Ramadan mengajarkan kepada kita untuk mencintai kebaikan bagi sesama sebagaimana kita senang kebaikan itu ada pada diri kita. Bulan Ramadan pun selalu mengingatkan kita bahwa ada hak orang-orang fakir dan miskin di dalam harta kita. Bulan Ramadan senantiasa memperingatkan kita dari segala bentuk ucapan dan perbuatan yang dapat membatalkan pahala puasa. Ke manakah nilai-nilai yang mulia ini pada diri sebagian orang yang merusak kemuliaan bulan ini dengan tindak aniaya kepada manusia secara terang-terangan?! Semoga Allah berikan petunjuk kepada kami dan mereka semuanya.

Saudaraku yang dirahmati Allah, kita tidak sedang mencari kambing hitam atau melimpahkan tanggung jawab itu kepada siapa-siapa, sebab kitalah yang paling bertanggung jawab terhadap diri dan keluarga kita. Baik buruknya keadaan negeri ini akan sangat ditentukan bagaimana kita menunaikan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Amanah pendidikan dan pembinaan agama bagi keluarga dan generasi muda pada khususnya. Allah berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ یُغَیِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Apabila dahulu kita berada dalam keamanan dan kini berubah menjadi terserang oleh cekaman rasa takut dan tindak kezaliman, maka ini tidak lain karena kurangnya kita dalam menjaga hak-hak Allah dan menunaikan kewajiban agama terlebih dalam membina dan mengawasi perkembangan generasi muda. Jangan sampai kita termasuk golongan orang yang digambarkan dalam ungkapan ‘Semut di seberang lautan tampak, tetapi gajah di pelupuk mata tidak tampak.’ Semoga Allah memperbaiki keadaan generasi muda di negeri ini dan juga pemerintah dan rakyatnya.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84070-kekerasan-jalanan-di-bulan-ramadan.html