Jangan Pernah Remehkan Satu Kebaikan

Setiap amal baik ada pahalanya. Seperti disebutkan dalam hadis, satu kebaikan akan dibalas dengan sepu luh kebaikan, bahkan lebih. Nabi bersabda, “Barang siapa berniat untuk berbuat suatu kebaikan, tetapi tidak melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu amal kebaikan. Jika ia berniat baik lalu ia melakukannya, Allah menca tat nya berupa sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan masih dilipat gandakan lagi.” (HR alBukhari dan Muslim)

Setidaknya ada beberapa amal yang nilai pahalanya bisa berkembang semakin banyak meskipun orang yang beramal telah meninggal dunia. Pertama, amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh. Jariyah dalam bahasa Arab artinya “mengalir”, yakni pahalanya terusmenerus mengalir tanpa henti. Nabi bersabda, “Apabila anak Adam meninggal, putuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat untuk orang lain, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Sedekah jariyah adalah pemberian kepada orang lain yang terus-menerus dimanfaatkan dan dirasakan secara nyata oleh orang lain. Misalnya, sedekah untuk membangun masjid, sekolah, panti-panti anak yatim, dan seterusnya. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu, baik teoretis maupun praktis, yang wujudnya berguna bagi manusia lain sampai kapan pun. Kemudian, anak saleh yang selalu men doakan orang tuanya. Karena kesalehan sang anak, orang tua tidak henti-hentinya dikirimi doa sehingga di alam kubur terusmenerus mendapat kebaikan dari Allah.

Kedua, menunjukkan orang lain pada kebaikan atau memberikan keteladanan yang baik. Nabi bersabda, “Barang siapa menunjukkan seseorang kepada kebaikan, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR Muslim). Dalam hadis lain, Nabi mengatakan, “Ba rang siapa yang melakukan satu sunah (ke biasaan) yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukan kebiasaan tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikit pun.” (HR Muslim)

Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim menjelaskan, hadis itu menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amal kebaikan dan menjadi pembuka pintu amal kebaikan bagi yang lainnya. Siapa saja yang melakukan amal yang baik, ia akan men dapatkan pahala semisal dengan pa-ha la-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan kebaikan terse but, karena mencontohnya, semasa hidup-nya atau setelah matinya sampai hari kiamat.

Oleh karena itu, jangan pernah meremehkan satu pun kebaikan yang dilakukan karena jika kebaikan itu dilihat kemudian ditiru oleh orang lain, ia akan mendapat kan pahalanya dan pahala dari orang yang me niru itu tanpa sedikit pun mengurangi pa hala si peniru tadi. Sebaliknya, jangan pula menyepelekan keburukan sekecil apa pun.

Karena, jika keburukan itu ditiru oleh orang lain, ia akan ikut mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang meniru keburukannya. Kita bisa mengembangkan nilai pahala kita dengan melakukan kebaikan dan kemudian orang lain meniru melakukan kebaikan yang sama dengan yang kita lakukan. Wallahu a’lam.

IHRAM

Faedah Penting Menata Niat

Salah satu syarat mutlak diterimanya amal seorang hamba adalah benarnya niat, yaitu ikhlas hanya untuk Allah. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan tertolak. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketatan hanya kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.“  (QS. Al Bayyinah: 5)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

 إنَّ اللهَ لا يقبلُ من العملِ إلَّا ما كان خالصًا وابتُغي به وجهُه

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, kecuali yang ikhlas mengharap wajah-Nya.“ (HR An-Nasa’i, shahih)

Niat yang benar, yaitu ikhlas kepada Allah, juga akan membuahkan banyak faedah lain yang luar biasa. Dengan menata niat yang ada di hati, seseorang bisa berpeluang mendapat banyak kebaikan dan pahala dari setiap aktifitasnya. Dengan niat yang benar, seseorang bisa mendapat pahala meskipun belum mampu mengamalkan suatu amal. Dengan niat yang benar pula, aktifitas yang mubah dan adat kebiasaan bisa menjadi bernilai ibadah. Inilah pentingnya menata niat agar seorang hamba berkesempatan mendapatkan banyak kebaikan. Oleh karena itu, hendaknya kita pintar dan jeli serta perhatian terhadap perkara hati yang satu ini.

Mendapat Pahala, Meskipun Belum Mampu Mengamalkan

Dengan niat yang ikhlas, seorang hamba bisa mendapatkan pahala suatu amal meskipun dia belum mampu mengamalkannya. Bahkan seseorang bisa mendapat predikat syuhada dan mujahid meskipun dia meninggal di atas kasurnya. Allah Ta’ala menjelaskan tentang sifat orang yang tidak mampu untuk berjihad bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam firman-Nya,

وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّواْ وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَناً أَلاَّ يَجِدُواْ مَا يُنفِقُونَ

Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.’ Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.“ (QS. At Taubah: 92)

Demikian pula, disebutkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَقْوَامَاً خلْفَنَا بالمدِينةِ مَا سَلَكْنَا شِعْباً وَلاَ وَادِياً إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا، حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ

Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di kota Madinah. Mereka tiada menempuh suatu lereng ataupun lembah seperti kita, namun mereka itu bersama-sama dengan kita. Mereka terhalang (untuk berangkat berperang), karena suatu uzur.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِلاَّ شَركُوكُمْ في الأَجْر

kecuali mereka mendapat pahala sebagaimana kalian.“ (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

Siapa yang meminta kepada Allah mati syahid dengan jujur dalam hatinya, maka Allah akan sampaikan dia pada kedudukan orang-orang yang mati syahid meskipun dia meninggal di atas ranjangnya.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menerangkan bahwa seorang yang fakir bisa memperoleh pahala layaknya orang kaya yang sedekah meskipun dia tidak mampu untuk melakukannya. Hal itu akan didapatkan jika niatnya benar. Dari Abu Kabsyah Al-Anmaary radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ كَمَثَلِ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ …وَسَلَّمَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ

Permisalan umat ini bagaikan empat orang. Seseorang yang diberikan oleh Allah berupa harta dan ilmu, kemudian dia membelanjakan hartanya sesuai dengan ilmunya, dia menginfakkannya kepada yang berhak. Ada pula seseorang yang diberi oleh Allah berupa ilmu namun tidak diberikan harta. Dia berkata, ‘Seandainya saya memiliki seperti yang dimiliki orang ini (orang yang pertama), niscaya saya akan berbuat seperti yang ia perbuat.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Maka dalam urusan pahala, mereka berdua sama …’ “ (HR. Ibnu Majah, shahih)

Baca Juga: Hukum Talak dengan Sekedar Niat

Namun, ada perkara penting yang harus diketahui. Bahwasanya seseorang terkadang dia tidak mampu mengamalkan sesuatu, namun dia berangan-angan akan megamalkannya dan dia menyangka bahwa dirinya akan mendapat pahala dengan angan-angannya tesebut. Dia beranggapan bahwa itu merupakan niat yang benar. Maka ketahuilah, yang demikian ini hakikatnya merupakan angan-angan dirinya sendiri  yang dusta dan merupakan bisikan setan. Kita dapati ada orang duduk di rumahnya, tidur di atas pembaringannya, dia tidak pergi ke masjid dan hanya mengatakan, “Aku senang untuk pergi ke masjid.“  Namun, dia menyangka dengan ucapannya tersebut akan mendapatkan pahala salat jemaah di masjid. Yang seperti ini bukanlah yang dimaksud dalam pembahasan ini dan tidak termasuk seperti orang yang disebutkan dalam hadis di atas. Benarnya niat harus disertai dengan kejujuran dan ketulusan dalam hati, bukan hanya sekadar angan-angan saja.

Perkara Mubah dan Adat Kebiasaan Bisa Menjadi Bernilai Ibadah

Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya tidaklah Engkau menafkahkan sesuatu dengan niat ikhlas untuk mencari wajah Allah, melainkan Engkau akan diberi pahala karenanya, sampai-sampai apa yang Engkau berikan ke mulut isterimu (juga akan diberi pahala oleh Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini merupakan perkara agung yang merupakan pintu terbukanya banyak kebaikan. Apabila seorang muslim mampu melakukannya, dia akan medapat kebaikan yang besar dan pahala yang banyak. Seandainya kita maksudkan dalam aktifitas kebiasaan yang kita lakukan dan perkara mubah yang kita lakukan semuanya kita kerjakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka niscaya akan mendapat kebaikan yang besar dan pahala yang melimpah.

Zabiid Al-Yaamy rahimahullah berkata, “Sesunggunhnya aku suka menghadirkan niat dalam setiap kondisi apa pun, temasuk ketika makan dan minum.

Kita ambil contoh perbuatan yang sering kita lakukan. Mudah-mudahan kita bisa mendapat faedah pahala darinya dalam aktifitas kehidupan sehari-hari.

Banyak orang suka memakai parfum. Seandainya dia maksudkan memakai parfum sebelum pergi ke masjid untuk memuliakan rumah Allah serta agar tidak mengganggu orang yang ada di masjid dengan bau yang tidak sedap, maka dia akan mendapat pahala kebaikan.

Setiap kita pasti butuh makan dan minum. Barangsiapa yang mempunyai niat ketika sedang makan dan minum untuk menguatkan fisik dalam melakukan beribadah, maka dia akan mendapat pahala.

Mayoritas manusia butuh menikah. Apabila dia niatkan ketika menikah untuk menjaga harga dirinya dan istrinya, serta ingin mendapatkan keturunan yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala, maka niscaya akan ditetapkan pahala untuknya.

Para mahasiswa hendaknya juga senantiasa memperbagus niat ketika belajar, agar ilmunya bisa memberikan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.

Dokter hendaknya meniatkan ketika bekerja untuk membantu mengobati kaum muslimin yang sakit.

Begitu pula dengan para pekerja dan yang lainnya. Setiap orang hendaknya meniatkan untuk memberi manfaat bagi Islam dan kaum muslimin sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Dan ini berlaku untuk seluruh aktifitas. Setiap orang pasti melakukan aktifitas kerja, memberi nafkah untuk keluarganya, tidur, dan berbagai aktifitas lainnya. Maka, jangan remehkan untuk berusaha mencari pahala dari setiap perkara mubah tersebut dan menghadirkan niat ikhlas di dalamnya. Itu semua akan menjadi sebab keberuntungan dan keselamatan di hari akhirat nanti.

Hal ini bisa kita terapkan dalam setiap aktifitas apapun yang kita lakukan. Inilah di antara faedah pentingnya menata niat yang akan menghasilkan buah manis berupa kebaikan dan pahala di sisi Allah Ta’ala.  Semoga bermafaat.

***

Penulis: Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/72504-faidah-penting-menata-niat.html

Hidup di Negeri non-Muslim, Muslimah Ini Justru Lebih Dalami Islam

Di negeri non-Muslim seorang muslimah mendalami Islam.

Seorang Muslimah asal Fairfax, Virginia, Amerika Serikat, Sara Khan (23 tahun), banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari Islam lebih dalam. Hal itu ia lakukan di tengah aktivitasnya sehari-hari di negeri non-Muslim.

Dilansir di The Emory Wheel, Jumat (18/2), tumbuh dewasa, Sara mengingat dengan jelas bahwa ia jarang melihat wajah ataupun orang dengan ras yang mirip dengannya. Ketika Natal datang setiap tahun, pemandangan yang dilihatnya hanyalah pohon-pohon indah yang dihiasi ornamen unik dari jendela tetangga rumahnya.

“Hadiah besar berjajar di lantai mereka, dan lampu warna-warni bersinar dari dalam ruang tamu mereka,” kata Sara.

Adapun rumah Sara dan keluarganya selalu menjadi satu-satunya di blok tanpa satu ons dekorasi selama musim liburan. Saat lingkungan itu merayakannya, orang tua dan keluarga Sara justru duduk tanpa berpikir sepanjang hari. Kadang-kadang ketika dirinya masih muda dulu, keluarganya justru memainkan CD nasyid untuk mengisi waktu.

Homogenitas menjadi ciri masa kecil Sara yang hidup di negeri Paman Sam itu. Di antara lautan siswa kulit putih dan Kristen, hanya ada segelintir siswa lain yang terlihat seperti dirinya di kelas.

“Saya membuat teman Muslim pertama saya ketika saya berusia enam tahun. Dia adalah salah satu dari empat Muslim lain di sekolah itu, dan satu-satunya yang hampir seumuran dengan saya. Saat itu, tidak satu pun dari kami yang benar-benar tahu apa artinya menjadi Muslim, tetapi mengetahui bahwa kami berbagi sesuatu sudah cukup bagi saya. Dua tahun kemudian, saya pindah ke sekolah lain, dan saya tidak berteman lagi dengan Muslim sampai saya berusia 14 tahun,” ujar dia.

Orang tua Sara menginginkannya untuk berasimilasi lebih dari apa pun. Sebagai imigran, prioritas mereka adalah memastikan bahwa dirinya tidak mengalami pengucilan seperti yang mereka alami ketika mereka pertama kali tiba di Amerika. Ketika datang untuk mendaftarkan dirinya di sekolah akhir pekan, mereka memutuskan bahwa bermain olahraga atau belajar alat musik adalah kegiatan yang positif yang dapat ia gunakan.

Karena hidup di lingkungan non-Muslim dengan tradisi dan budaya yang berjauhan dengan Islam, Sara tak sama sekali merasa memiliki konsep tentang apa arti dirinya menjadi seorang Muslimah. Meskipun ia mengetahui dari keluarganya bahwa memakan daging babi diharamkan, menyembelih harus sesuai syariat Islam, namun ia tak sama sekali mengerti dan tahu caranya untuk shalat dan membaca Alquran.

“Saya juga tidak tahu banyak tentang sejarah Islam atau berbagai tradisi, dan saya berhasil lolos menjadi seorang Muslim yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang Islam,” ujar Sara.

Namun demikian Sara menjabarkan bahwa keluarga besarnya merupakan orang yang cukup religius. Setelah bertahun-tahun menghabiskan waktu bersama nenek, bibi, paman atau sepupu, Sara mulai penasaran tentang Islam dan ingin belajar lebih banyak tentang agama yang dianutnya.

Suatu ketika saat berada di meja makan, Sara mendengar potongan percakapan mengenai cerita tentang kekuatan doa. “Saya menyaksikan nenek saya membaca Alquran setiap pagi tanpa henti, memberikan struktur pada harinya dan membuatnya merasa percaya diri meskipun menderita penyakit kronis. Keyakinan pada kekuatan yang lebih tinggi memberinya kepastian bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan itu membuatku terpesona,” kenangnya.

Ketika Sara berusia 11 tahun, dia ingat menemukan sebuah buklet kecil di masjid tentang bagaimana melakukan shalat, shalat lima waktu yang diwajibkan bagi seorang Muslim. Dengan bantuan anggota keluarganya dan informasi dari internet, akhirnya dia memulai perjalanan untuk belajar lebih banyak tentang Islam. Butuh waktu lama untuk memperbaikinya.

Sara belajar selama bertahun-tahun memiliki bagian-bagian kecil dari doa yang salah karena dirinya belajar secara otodidak. Namun dia mulai memperbaiki bacaan shalat dan bacaan Alqurannya. Ketika dirinya masuk ke kelas 9, sekolah yang ia tempati lebih beragam, dan ia bukan satu-satunya Muslim di ruangan itu lagi.

Terlepas dari semua pertumbuhan yang ia alami itu, Sara belum membuka diri kepada siapa pun di luar keluarga dan dua atau tiga teman dekat tentang pergi ke sekolah Islam di kemudian hari. Dirinya masih menemukan jalannya dalam Islam, belajar siapa yang harus dipercaya dan kualitas apa yang ia cita-citakan sebagai seorang Muslimah muda, tetapi juga kualitas apa yang saya kagumi dari Muslim lain di sekitarnya.

“Ini adalah perjalanan yang sulit belajar untuk mengisi kesenjangan dalam pengetahuan saya dan menjadi lebih dekat dengan keyakinan saya dibesarkan secara longgar. Terlepas dari itu, Islam telah membantu saya mencapai tujuan yang tampaknya mustahil, matang luar biasa selama beberapa tahun terakhir dan belajar untuk menjadi lebih baik dan bersyukur atas apa yang telah saya berikan dalam hidup,” ujar dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Permainan yang Dilarang Bagi Anak-anak

Dunia anak-anak identik dengan bermain. Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

فاقدروا قدر الجارية الحديثة السن الريصة على اللهو

Hargailah keinginan gadis kecil yang menyukai permainan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibunda ‘Aisyah, dia telah mengungkapkan kalimat yang singkat tetapi syarat dengan makna. Sesungguhnya anak-anak memiliki kesenangan sendiri, daya pikir, nalar dan perhatian sendiri. Anak-anak berbeda dengan orang dewasa, semua hal ini harus diperhitungkan sehingga mereka tidak selalu ditempatkan dalam kondisi yang serius dalam setiap kesempatan. Mereka tidak boleh dilarang bermain, bergurau dan bersenang-senang karena sudah menjadi hak dan bagian mereka dan sesungguhnya Allah telah menjadikan ukuran bagi segala sesuatu.

Akan tetapi yang seimbang adalah anak kecil tidak dibiarkan bermain selamanya pada setiap kesempatan, juga tidak diajak serius di setiap waktu. Ketika bermuamalah dengan anak kecil, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi mereka hak untuk bermain dan bercanda dengan porsi yang sesuai.

Anak-anak diperbolehkan bermain dengan sesuatu yang mubah, yang tidak mengandung dosa dan keharaman bagi mereka. Dianjurkan agar permainan itu bermanfaat bagi perkembangan badan, akal dan pikiran mereka.

Di antara permainan yang dilarang bagi anak-anak yaitu;

1. Bermain dengan senjata yang ia tidak bisa mempergunakannya atau dengan senjata yang dikhawatirkan dapat mencelakai orang lain

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يشير أحدكم على أخيه بالسلاح ، فإنه لا يدري لعل الشيطان ينزع في يده فيقع في حفرة من النار

Janganlah salah seorang di antara kalian menodongkan sebuah senjata kepada saudaranya, karena dia tidak tahu barangkali syaitan mencabut dari tangannya hingga dia mencelakai saudaranya, akibatnya dia tersungkur ke dalam lubang Neraka”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abi Musa, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا مر أحدكم في مسجدنا أو في سوقنا ومعه نبل فليمسك على نصالها أو قال: فليقبض بكفه أن يصيب أحدا من المسلمين منها بشيء

“’Jika salah seorang dari kalian melewati masjid atau pasar kami dengan membawa panah, maka peganglah mata panah tersebut’ atau beliau berkata, ‘Genggamlah dengan kedua tangannya agar tidak mengenai salah seorang dari kaum muslimin sedikitpun’”.

2. Bermain dengan alat-alat yang dapat mengagetkan anak-anak

Abu Dawud (no. 5004) meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila, dia berkata,

حدثنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم أنهم كانوا يسيرون مع النبي صلى الله عليه وسلم فنام رجل منهم فانطلق بعضهم إلى حبل معه، فأخذه ففزع فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا يحل لمسلم أن يروع مسلما

Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kepada kami bahwa mereka melakukan perjalanan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu salah seorang di antara mereka tidur dan yang lainnya mendatanginya dan menarik tali yang ada padanya sehingga dia merasa kaget, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak halal seorang muslim mengagetkan muslim yang lainnya’”.

3. Bermain dengan dadu, domino atau sejenisnya

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من لعب بالنردشير فكأنما صبغ يده في لحم خنزير ودمه

Siapa saja yang bermain dadu, maka seakan-akan dia telah mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi”. (HR. Muslim).

4. Permainan yang menjadi sarana perjudian dan lotre

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 90 dan 91,

يأيها الذين ءامنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلوةصلى فهل أنتم منتهون

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dengan minuman keras dan judi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu)”.

5. Tidak boleh menggantungkan lonceng di leher anak

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الجرس مزامير الشيطان

Sesungguhnya lonceng adalah serulingnya syaitan”. (HR. Muslim).

Beliau juga bersabda di dalam hadits yang lain, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

لا تصحب الملائكة رفقة فيها كلب ولا جرس

Para malaikat tidak akan menemani sebuah perkumpulan yang di dalamnya ada anjing dan lonceng”. (HR. Muslim).

6. Permainan yang dapat menyakiti wajah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya memukul wajah,

إذا قاتل أحدكم أخاه فليجتنب الوجه

Jika salah seorang di antara kalian berkelahi dengan saudaranya, maka jauhilah (dari memukul) wajah”. (HR. Muslim).

7. Bermain dengan alat musik

Al Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

Akan datang pada umatku kelak suatu kaum yang menghalalkan perzinaan, sutera, khamr dan alat musik”.

8. Memahat dan menggambar makhluk hidup yang bernyawa

Hal ini agar anak-anak tidak tumbuh di atasnya dan tidak menggandrunginya karena hadits yang melarang perbuatan ini sangat banyak, di antaranya yaitu hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

إنَّ أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ

Orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar” (HR. Bukhari no. 5950, Muslim no.2109).

Namun yang terlarang adalah menggambar dan memahat gambar makhluk bernyawa. Adapun memainkan gambar atau mainan makhluk bernyawa yang sudah ada, para ulama memberikan kelonggaran untuk hal ini bagi anak-anak. Mereka berdalil dengan hadits dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ، وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ، فَهَبَّتْ رِيحٌ، فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَتْ: بَنَاتِي. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهَا جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسَطَهُنَّ؟ قَالَتْ: فَرَسٌ. قَالَ: وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ؟ قَالَتْ: جَنَاحَانِ. فَقَالَ: فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ؟ قَالَتْ: أَمَا سَمِعْت أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى رَأَيْت نَوَاجِذَهُ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam baru tiba dari perang Tabuk atau Khaibar. Ketika itu kamar ‘Aisyah ditutup dengan sebuah tirai. Ketika ada angin yang bertiup, tirai itu tersingkap hingga maina-mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya: “Wahai ‘Aisyah, ini apa?”. ‘Aisyah menjawab, “Ini anak-anakku”. Lalu beliau juga melihat di antara mainan tersebut ada yang berbentuk kuda yang mempunyai dua sayap yang ditempelkan dari tambalan kain. Nabi lalu bertanya: “Lalu apa ini yang aku lihat di tengah-tengah?”. ‘Aisyah menjawab, “Ini kuda”. Nabi bertanya lagi: “Lalu apa yang ada di atas kuda tersebut?”. ‘Aisyah menjawab, “Ini dua sayapnya”. Nabi bertanya lagi: “Apakah kuda punya dua sayap?”. ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?”. ‘Aisyah lalu berkata, “Nabi lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya gerahamnya” (HR. Abu Daud no. 4932, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Takhrij Al Misykah [3/304], dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dalam hadits ini, Aisyah yang ketika itu masih anak-anak memiliki mainan yang berbentuk manusia dan hewan, namun Nabi Shallallahu’alaihi wasallam tidak melarangnya. Menunjukkan adanya kelonggaran untuk anak-anak dalam masalah gambar makhluk bernyawa. Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (12/112) disebutkan, “Mayoritas ulama dalam pelarangan gambar makhluk bernyawa mengecualikan gambar dan patung untuk mainan anak-anak wanita. Ini merupakan pendapat madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dan dinukil dari Al Qadhi ‘Iyadh bahwa pendapat yang membolehkan adalah pendapat jumhur ulama”.

Sebagai orangtua, kita perlu menjaga fitrah bermain pada anak dengan mengarahkannya pada permainan yang mubah dan menjaga serta menjauhkan mereka dari permainan yang Allah larang dan haramkan.

Wallahu a’lam.

Penulis: Penulis Atma Beauty Muslimawati

***

Referensi: Anakku! Sudah Tepatkah Pendidikannya? (Terjemah), Syaikh Musthafa Al-‘Adawi, cetakan Pustaka Ibnu Katsir, Bogor

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14240-permainan-yang-dilarang-bagi-anak-anak.html

Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq Berjalan Kaki untuk Ibadah Haji Sampai Usia Senja

Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq selalu berjalan kaki untuk ibadah haji. Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny mengatakan, Qasim bin Muhammad bin Abu hidup sampai usia 72 tahun.

“Dia bertambah kuat pada harituanya. Dia masih mampu berjalan kaki menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dan dalam perjalanan itulah dia wafat,” tulis Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny dalam bukunya 198 Kisah Haji Wali-Wali Allah.

Ketika dia merasa ajalnya telah dekat, dia berpesan kepada putranya, “Apabila aku mati, kafanilah aku dengan pakaian yang biasa kupakai untuk sholat. Gamisku, kainku, dan serbanku. Seperti itulah kafan kakekmu, Abu Bakar ash-Shidiq. Kemudian ratakanlah makamku dengan tanah dan segera kembalilah kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata: Ayahku dahulu begini dan begitu. Karena aku bukanlah apa-apa.” katanya.

Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny mengatakan, ayah handanya adalah Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq ra ibunya adalah putri Yazdajir, Raja Persia yang terakhir.

“Sedangkan bibinya adalah Aisyah ra., Ummul Mukminin,” katanya.

Di atas kepalanya telah bertengger mahkota ketakwaan dan keilmuan. Namanya Qasim bin Muhammad rah, salah seorang dari tujuh fukaha Madinah pada zamannya, paling tajam kecerdasan otaknya, dan paling bagus sifat waraknya.

Dia bertutur mengenai masa kecilnya: Setelah terbunuhnya ayah di Mesir, pamanku Abdurrahman datang untuk membawaku dan adik perempuanku ke Madinah. Setibanya di kota ini, bibiku Ummul Mukminin mengutus seseorang mengambil kami berdua untuk dibawa ke rumahnya dan dipelihara di bawah pengawasannya.

Ternyata belum pernah kujumpai seorang ibu dan ayah yang lebih baik dan lebih besar kasih sayangnya daripada beliau. Beliau menyuapi kami dengan tangannya, sedang beliau tidak makan bersama kami.

Bila tersisa makanan dari kami barulah beliau memakannya. Beliau mengasihi kami seperti seorang ibu yang masih menyusui bayinya. Beliau yang memandikan kami, menyisir rambut kami, memberi pakaian-pakaian yang putih bersih. 

Beliau senantiasa mendorong kami untuk berbuat baik dan melatih kami untuk itu dengan teladannya. Beliau melarang kami melakukan perbuatan jahat dan menyuruh kami meninggalkannya jauh-jauh. Beliau pula yang mengajar kami membaca kitabulah dan meriwayatkan hadits-hadits yang bisa kami pahami. 

Pada hari raya, bertambahlah kasih sayanv dan hadiah-hadiahnya untuk kami. Di setiap senja pada hari Arafah, beliau memotong rambutku, memandikanku dan adik perempuanku. Pagi harinya, kami diberi baju baru, kemudian aku disuruh ke masjid untuk sholat Id. 

Setelah selesai, aku dikumpulkan bersama adikku, kemudian kami makan daging korban. Pada suatu hari, beliau memakaikan baju berwarna putih untuk kami. Kemudian aku didudukkan di pangkuannya yang satu, sedangkan adikku di pangkuannya yang lain. 

Paman Abdurrahman datang atas undangannya. Lalu bibi Aisyah ra. mulai berbicara, memulai dengan pujian kepada Allah. Sungguh aku belum pernah mendengar sebelum dan sesudahnya seorang pun baik laki-laki maupun perempuan yang lebih fasih lisannya dan lebih bagus tutur katanya daripada beliau.

Beliau berkata kepada paman,“Wahai, saudaraku, aku melihat sepertinya engkau menjauh dariku sejak aku mengambil dan merawat kedua anak ini. Demi Allah, aku melakukannya bukan karena aku lancang kepadamu, bukan karena aku berburuk sangka kepadanya dan bukan pula lantaran aku tidak percaya bahwa engkau dapat menuhi hak keduanya. 

Hanya saja engkau memiliki istri lebih dari satu, sedangkan kedua anak kecil ini belum bisa mengurus dirinya sendiri Maka aku khawatir bila keduanya dalam keadaan yang tidak disukai dan tidak sedap dalam pandangan istri-istrimu. Sehingga aku merasa lebih berhak untuk memenuhi hak keduanya ketika itu. Namun, sekarang keduanya sudah beranjak remaja dan telah mampu mengurus dirinya sendiri, maka bawalah mereka dan aku serahkan tanggung jawabnya kepadamu.”

Begitulah, akhirnya pamanku memboyong kami ke rumahnya. Hanya saja, hari cucu Abu Bakar ash-Shiddiq ini masih terpaut dengan rumah bibinya, Aisyah ra. Rindu terhadap lantai rumah yang bercampur dengan kesejukan nubuat.  Dia berkembang dan kenyang dalam kasih sayang pemilik rumah itu..

IHRAM

Telaah Peran Pendidikan dalam Islam

Sebagai makhluk Allah Swt yang dianugerahi kecerdasan berpikir (dibuktikan bahwa setiap manusia memiliki otak yang berfungsi untuk berpikir), kita dituntut untuk senantiasa belajar tanpa henti demi mewujudkan keluhuran pekerti dan pengetahuan. Nah berikut penjelasan terkait peran pendidikan dalam Islam.

Manusia, sebagaimana masyhur dijelaskan ahli logika, dijelaskan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir (hayawanun nathiq), hal pembeda antara kita dengan hewan adalah kemampuan kita untuk menalar saat mengerjakan sesuatu. Belajar, melakoni proses pendidikan, merupakan salah satu bukti bahwa kita merupakan makhluk yang bernalar. 

Mengarungi proses pendidikan adalah hal yang asyik untuk dilakukan, selain tentunya ia merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Melatih kecakapan diri dengan belajar merupakan upaya kita membentuk karakter yang baik yang tertanam dalam diri, yang jelas itu merupakan indikator keberhasilan kita menjadi umat islam yang mulia, hal ini tidak lain karena Rasulullah Saw diutus ke muka bumi tidak lain adalah untuk mengajak manusia agar memiliki akhlak yang sempurna.

Rasulullah Saw bersabda,

عن أبى هريرةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قال: قال رسولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “إنَّمابُعِثتُ لأُتَمِّمَ مَكارِمَ الأخلاقِ”

Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu berkata : Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya aku di diutus ke muka bumi ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia” (Hadits riwayat al-Baihaqi dan al-Bazzar)

Dalam konteks ini, seorang guru bangsa Indonesia, Ki Hajar Dewantara (pendiri Taman Siswa dan pencipta slogan Tut Wuri Handayani), mengatakan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.

Setali tiga uang, dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disebutkan bahwa; “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan yang membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. (Inanna, Peran Pendidikan Dalam Membangun Karakter Bangsa yang Bermoral, Jurnal ekonomi dan Pendidikan, 2018, hal 29-30).

Islam Mengapresiasi Proses Pendidikan

Sebagai umat Islam kita diberikan banyak sekali anugerah, yang dalam hal ini adalah adanya apresiasi yang tinggi dari Allah Swt terkait mulianya derajat orang yang berpendidikan. Hal ini dibuktikan melalui melimpahnya ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi Saw yang berbicara seputar keutamaan menimba ilmu pengetahuan.

Hal ini bahkan diperkaya dengan melimpahnya upaya ulama dalam membuat bab tentang pentingnya belajar dalam karya-karya mereka, bahkan melimpahnya literasi yang dikarang oleh mereka sendiri merupakan perwujudan semangat mereka dalam mengamalkan nilai-nilai Islam tentang luhurnya upaya menimba pengetahuan!

Mengenai hal ini Allah Swt berfirman, 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١ 

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah : 11)

Imam al-Qutrhubi (w. 671 H) seorang mufassir kenamaan kelahiran Cordoba Spanyol menjelaskan dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an mengenai ayat di atas bahwa seorang mukmin dimuliakan pertama karena imannya dan kedua karena pengetahuan yang dimilikinya.

Menurutnya, orang berilmu (yang tak letih terjun dalam melakoni proses pendidikan) akan mendapatkan pahala saat di surga serta kemuliaan saat di dunia. Seorang beriman statusnya lebih baik dibanding orang yang tidak beriman sebagaimana orang berilmu lebih mulia dibanding yang tidak berilmu. 

Orang yang beriman dan berpengetahuan akan diangkat beberapa derajat dengan syarat ia mampu mengamalkan apa yang telah diperintahkan untuknya (diketahuinya dari proses pembelajaran). Itu merupakan peran pendidikan dalam Islam.

Dari sana maka tak heran jika kemudian Rasulullah Saw menegaskan dengan ungkapan bahwa menuntut ilmu hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim.

عَنْ أَنَسٍ, قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

Dari Anas bin Malik radiyallahu anhu berkata : Rasulullah Saw bersabda : “Menuntut ilmu hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim. (Hadis riwayat Ibnu Majah, al-Baihaqi dan al-Thabrani)

Menuntut ilmu atau belajar hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimat. Redaksi hadis yang hanya mencakup kata muslim saja tidak menafikan kewajiban belajar bagi muslimat, ulama menjelaskan bahwa jika suatu hal diwajibkan bagi seorang muslim maka itu juga berarti diwajibkan bagi muslimat, kecuali ada dalil yang mengkhususkan keduanya.

Dari sana maka disimpulkan bahwa setiap muslim, baik itu laki-laki atau perempuan, diwajibkan bagi mereka untuk memperkaya diri dengan menimba pengetahuan sebagai bekal hidupnya.

Selain itu, menempuh laku pembelajaran juga mampu mengantarkan pelakunya mendapatkan surga Allah Swt dan beroleh kebaikan-kebaikan yang sangat banyak. Secara khusus, Rasulullah Saw memotivasi umat Islam agar senantiasa meningkatkan semangat pembelajaran dalam hidup, hal ini diwujudkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ berikut ini 

عَنْ أَبي الدَّرْداءِ قَال: سمِعْتُ رَسُول اللَّهِ ﷺ يقولُ: منْ سَلَكَ طَريقًا يَبْتَغِي فِيهِ علْمًا سهَّل اللَّه لَه طَريقًا إِلَى الجنةِ, وَإنَّ الملائِكَةَ لَتَضَعُ أجْنِحَتَهَا لِطالب الْعِلْمِ رِضًا بِما يَصْنَعُ, وَإنَّ الْعالِم لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ منْ في السَّمَواتِ ومنْ فِي الأرْضِ حتَّى الحِيتانُ في الماءِ, وفَضْلُ الْعَالِم عَلَى الْعابِدِ كَفَضْلِ الْقَمر عَلى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ, وإنَّ الْعُلَماءَ وَرَثَةُ الأنْبِياءِ وإنَّ الأنْبِياءَ لَمْ يُورِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وإنَّما ورَّثُوا الْعِلْمَ, فَمنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحظٍّ وَافِرٍ. رواهُ أَبُو داود والترمذيُّ.

Dari Abu Darda : “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa melalui satu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Para Malaikat akan membentangkan sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu. Penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada di dalam air mendoakan ampunan kepada penuntut ilmu. 

Sesungguhnya, keutamaan seorang alim dibanding dengan seorang ahli ibadah adalah ibarat bulan purnama atas semua bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar mahupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bahagian yang sangat besar.”

Demikian penjelasan terkait telaah peran pendidikan dalam Islam. Wallahu A’lam Bisshowab.

BINCANG SYARIAH

Bacaan Saat Melihat Iringan Jenazah

Di tengah-tengah menjalani aktivitas sehari-hari terkadang  iringan jenazah tiba-tiba melintas di hadapan kita. Mau tidak mau mata kita pasti melihat iringan jenazah tersebut walau sedetik.

Nah, saat itu selain mendoakan dan memuji jenazah kita juga dianjurkan untuk membaca bacaan tertentu. Berikut ini bacaan-bacaan yang dianjurkan saat melihat atau berpapasan dengan iringan jenazah;

Pertama, bisa membaca tasbih berikut;

سُبْحَانَ الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Subhȃnal hayyil ladzȋ laa yamūt

Maha suci dzat yang maha hidup yang tidak akan mati.

Kedua, bisa juga membaca ini;

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ

Subhȃnal malikil quddūs

Maha suci dzat yang  maha menguasi dan yang maha suci dari segala kekurangan.

Ketiga, ini juga bisa dibaca ketika melihat iringan jenazah;

اللَّهُ أَكْبَرُ صَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ زِدْنَا إيمَانًا وَتَسْلِيمًا

Allahu akbar shadaqallȃhu wa rasūluhu allȃhumma zidnȃ ȋmȃnan wa taslȋman

Allah maha besar. Maha benar Alllah Swt dan Utusan-Nya. Ini (mati) adalah apa yang telah dijanjikan Allah dan Utusan-Nya kepada kami. Ya Allah tambahkanlah iman dan kepasrahan diri kami.

Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatu al-Muhtaj fii Syarhi al-Minhaj wa Hasyiyah al-Syarwani wa al-Ubbadi Juz 3 halaman 131 ;

قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ قَالَ الْبَنْدَنِيجِيُّ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ مَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ أَنْ يَدْعُوَ لَهَا وَيُثْنِيَ عَلَيْهَا إذَا كَانَتْ أَهْلًا لِذَلِكَ وَأَنْ يَقُولَ: سُبْحَانَ الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ أَوْ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ وَرُوِيَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ رَأَى جِنَازَةً فَقَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ صَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ زِدْنَا إيمَانًا وَتَسْلِيمًا كُتِبَ لَهُ عِشْرُونَ حَسَنَةً»

“Dalam kitab al-Majmu’ Imam Nawawi mengutip perkataan Imam al-Bandaji yang berpendapat bahwa; disunnahkan bagi orang yang melihat atau berpapasan dengan iringan jenazah mendoakan dan memuji jenazah tersebut dan membaca bacaan (sebagaimana yang telah disebutkan di atas).

Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a bahwasanya Rasulullah Saw bersabda;

Barangsiapa membaca “Allahu akbar shadaqallȃhu wa rasūluhu allȃhumma zidnȃ ȋmȃnan wa taslȋman” maka dia akan memperoleh dua puluh kebaikan

Demikianlah penjelasan terkait bacaan saat melihat atau berpapasan dengan iringan jenazah. Kita boleh memilih untuk membaca satu dari ketiga bacaan tersebut atau membaca ketiga-tiganya. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

BINCANG SYARIAH

Obyektifitas Ibnu Taimiyah terhadap Kitab Ihya Ulum ad-Din

Hal yang telah jamak diketahui adalah kitab Ihya Ulum ad-Din karya Syaikh Abu Hamid al-Ghazali memuat sejumlah perkara yang dikritisi ulama. Mereka mengkritik al-Ghazali karena mempelajari ilmu filsafat dan tasawuf, sehingga hal tersebut berpengaruh pada karya beliau.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah sendiri telah menguraikan pendapatnya terhadap kitab Ihya Ulum ad-Din secara terperinci. Alih-alih memvonis kitab Ihya Ulum ad-Din, penilaian Ibnu Taimiyah yang akan dikutip dalam artikel ini bertujuan untuk menguraikan metodologi beliau dalam mengkritisi sebuah kitab.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menuturkan,

و”الإحياء” فيه فوائد كثيرة؛ لكن فيه مواد مذمومة فإنه فيه مواد فاسدة من كلام الفلاسفة تتعلق بالتوحيد والنبوة والمعاد فإذا ذكر معارف الصوفية كان بمنزلة من أخذ عدوا للمسلمين ألبسه ثياب المسلمين. وقد أنكر أئمة الدين على ” أبي حامد ” هذا في كتبه. وقالوا: مرضه ” الشفاء ” يعني شفاء ابن سينا في الفلسفة. وفيه أحاديث وآثار ضعيفة؛ بل موضوعة كثيرة. وفيه أشياء من أغاليط الصوفية وترهاتهم. وفيه مع ذلك من كلام المشايخ الصوفية العارفين المستقيمين في أعمال القلوب الموافق للكتاب والسنة، ومن غير ذلك من العبادات والأدب ما هو موافق للكتاب والسنة ما هو أكثر مما يرد منه فلهذا اختلف فيه اجتهاد الناس وتنازعوا فيه».

“Kitab Ihya Ulum ad-Din sangat bermanfaat, namun berisi sejumlah hal yang patut dikritisi karena memuat perkataan para filsuf yang mengemukakan pendapat mereka dalam masalah tauhid, kenabian, dan hari akhir. Apabila menguraikan perihal makrifat kaum sufi, seolah-olah uraian Abu Hamid al-Ghazali layaknya “mengambil musuh kaum muslimin lalu memakaikannya dengan baju kaum muslimin” (baca: bertentangan dengan ajaran Islam). Para imam telah mengingkari beliau dalam kitab mereka. Mereka menyatakan bahwa kondisi Abu Hamid yang demikian itu karena terpengaruh oleh kitab filsafat asy-Syifa karya Ibnu Sina. Di dalam kitab Ulum ad-Din juga terdapat hadits dan atsar yang lemah, bahkan banyak yang palsu. Demikian pula kitab itu berisi kekeliruan dan keanehan kaum sufi. Bersamaan hal itu, kitab beliau juga memuat perkataan para syaikh sufi yang arif dan lurus perihal aktivitas hati yang selaras dengan al-Quran dan al-Hadits. Demikian pula, kitab tersebut memuat keterangan perihal ibadah dan adab yang selaras dengan al-Quran dan al-Hadits; dimana kandungan positif kitab tersebut lebih banyak daripada kandungan yang negatif. Berdasarkan hal tersebut, penilaian ulama pun berbeda-beda terhadap kitab Ihya Ulum ad-Din ini, sehingga mereka saling berselisih pendapat.” [Majmu’ al-Fatawa 10/551]

Kesimpulan yang bisa diperoleh dari perkataan Ibnu Taimiyah di atas adalah sebagai berikut:

  • Ibnu Taimiyah menguraikan kekeliruan yang bertentangan dengan akidah yang shahihah dalam kitab tersebut. Hal ini sangat penting karena itu beliau menyampaikannya di awal penilaian
  • Ibnu Taimiyah menjelaskan sebab permasalahan yang mempengaruhi al-Ghazali, yaitu karena beliau terpengaruh oleh kitab-kitab filsafat seperti kitab asy-Syifa karya Ibnu Sina dan makrifat kaum sufi.
  • Ibnu Taimiyah mengisyaratkan permasalahan besar dalam keilmuan al-Ghazali, yaitu beliau menyamarkan kebenaran dengan kebatilan tanpa sadar. Oleh karena itu, dalam perkataannya di atas Ibnu Taimiyah menyatakan “seolah-olah uraian Abu Hamid al-Ghazali layaknya mengambil musuh kaum muslimin lalu memakaikannya dengan baju kaum muslimin”.
  • Kemudian Ibnu Taimiyah menyebutkan sejumlah keistimewaan kitab Ulum ad-Din, seperti uraian yang bagus perihal aktivitas hati, ibadah, dan adab yang selaras dengan al-Quran dan al-Hadits.
  • Kemudian Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kandungan positif yang dapat diterima dari kitab Ihya Ulum ad-Din lebih mendominasi daripada kandungan negatifnya.
  • Lalu Ibnu Taimiyah menutup perkataan beliau dengan menyatakan adanya perbedaan pendapat ulama dalam menilai kitab tersebut. Hal itu diakibatkan keberadaan kandungan positif dan kandungan negatif dalam kitab Ihya Ulum ad-Din.
  • Penilaian yang adil, tulus, dan obyektif, sangat nampak dari perkataan Ibnu Taimiyah di atas.

Uraian ini bukan bermaksud memvonis kitab Ihya Ulum ad-Din, namun bertujuan untuk mengetahui metodologi yang tepat dalam memberikan penilaian terhadap suatu kitab. Perbuatan Ibnu Taimiyah tersebut menjelaskan kepada kita bagaimana mengkritisi suatu kitab. Metodologi tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Sepatutnya memulai penilaian dengan memperingatkan penyimpangan akidah jika memang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian menguraikan berbagai kekeliruan yang terdapat dalam kitab sesuai topik jika memang layak untuk disampaikan.
  2. Kemudian menyampaikan sebab yang melatarbelakangi penyimpangan dan kekeliruan itu sehingga dapat dijauhi.
  3. Kemudian menyebutkan keistimewaan kitab tersebut, jika ada.
  4. Kemudian menjelaskan isi yang mendominasi kitab tersebut, apakah kandungan yang positif atau kandungan yang negatif.

Perlu diketahui bahwa artikel ini bukanlah bermaksud memotivasi atau mendemotivasi pembaca untuk mengonsumsi kitab Ihya Ulum ad-Din. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, artikel ini hanya berupaya memaparkan metodologi Ibnu Taimiyah dalam menilai suatu kitab. Terkait membaca kitab Ihya Ulum ad-Din, sejumlah alim ulama menyampaikan bahwa muatan yang terdapat dalam karya Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Rajab sudah mencukupi untuk dikonsumsi para pembaca ketimbang kitab Ihya Ulum ad-Din.

Wallahu ta’ala a’lam.

Sumber: https://t.me/alkhalil_1/2283

Sumber: https://muslim.or.id/72426-obyektifitas-ibnu-taimiyah-terhadap-kitab-ihya-ulum-ad-din.html

Ini Doa Bilal bin Rabah Sebelum Tidur

Sebelum tidur, seorang muslim dianjurkan untuk berdoa terlebih dahulu. Doa tersebut untuk keselamatannya saat tidur. Ditambah lagi, doa tersebur agar dilindungi dari keburukan. Nah berikut ini doa Bilal bin Rabah sebelum tidur. 

Terdapat di dalam kitab-kitab hadis, sudah banyak disebutkan mengenai doa-doa yang dianjurkan untuk dibaca sebelum tidur maupun sesudah bangun tidur. Umumnya, doa-doa ini merupakan doa-doa yang diucapkan dan diajarkan langsung oleh baginda Nabi Rasulullah, Muhammad shallahu alaihi wa sallam

Selain itu, terdapat beberapa doa yang dibaca secara khusus oleh para sahabat Rasulullah Saw. Di antara sebagian sahabat Rasulullah Saw yang memiliki doa sendiri sebelum tidur adalah sahabat Bilal bin Rabah. Sebelum beliau tidur, beliau membaca doa berikut; 

اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ حَسَنَاتِيْ وَتَجَاوَزْ عَنْ سَيِّئَاتِيْ وَاعْذَرْنِيْ بِعِلاَّتِيْ

Allohumma taqobbal hasanaatii wa tajawaz ‘an sayyi-aatii wa’dzarnii bi’illaatii.

Ya Allah, terimalah kebaikan-kebaikanku, ampunilah keburukan-keburukanku, dan maafkanlah kekurang-kekuranganku. 

Ini sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Imam Al-Thabrani dalam kitabnya, Al-Mu’jam Al-Kabir berikut;

عن هند امرأة بلال ، قالت : كان بلال إذا أخذ مضجعه قال: اللهم تجاوز عن سيئاتي واعذرني بعلاتي

Dari Hindun, istri sahabat Bilal, dia berkata; Ketika Bilal mulai berbaring di tempat tidurnya, dia mengucapkan doa; Allahumma tajaawaz ‘an sayyi-aatii wa’dzarnii bi’illaatii (Ya Allah, ampunilah keburukan-keburukanku dan maafkanlah kekurangan-kekuranganku).

Dalam kitab Tarikh Dimasyq, Ibnu Manzhur menyebutkan riwayat yang menjelaskan aktivitas dan doa yang dibaca oleh Bilal bin Rabbah menjelang tidur. Doa tersebut sebagai berikut;

قالت امرأة بلال: كان بلال إذا أخذ مضجعه قال: اللهم، تقبل حسناتي، وتجاوز عن سيئاتي، واعذرني بعلاتي

Istri sahabat Bilal berkata; Jika Bilal mulai berbaring di tempat tidurnya, dia mengucapkan; Allohumma taqobbal hasanaatii wa tajawaz ‘an sayyi-aatii wa’dzarnii bi’illaatii (Ya Allah, terimalah kebaikan-kebaikanku, ampunilah keburukan-keburukanku, dan maafkanlah kekurang-kekuranganku). 

Demikian penjelasan terkait doa Bilal bin Rabah sebelum tidur. Semoga doa tersebut bisa kita amalkan dan istiqomah dibaca sebelum tidur. Pun semoga kasih dan sayang Allah senantiasa mengalir pada kita semua.

BINCANG SYARIAH

Ini Amalan Shalawat dari Rasulullah Setelah Shalat Maghrib dan Subuh

Para ulama menganjurkan kita selepas shalawat Maghrib dan Subuh untuk membaca shalawat. Di antara shalawat setelah shalat magrib dan subuh yang bisa dibaca adalah shalwat yang dianjurkan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah.  

Menurut ulama, membaca shalawat kepada Nabi Saw secara umum dibagi dua, shalawat mutlak dan muqayyad. Shalawat mutlak ialah anjuran membaca shalawat dalam setiap kesempatan tanpa dibatasi waktu tertentu atau amal perbuatan tertentu. Shalawat jenis ini sangat dianjurkan untuk dibaca sebanyak mungkin, semakin banyak dibaca semakin banyak keutamaan yang akan didapatkan.

Sedangkan shalawat muqayyad ialah anjuran membaca shalawat dalam kesempatan tertentu, waktu tertentu atau saat melakukan amal perbuatan tertentu. Shalawat jenis ini sifatnya beragam, ada yang wajib. Misalnya membaca shalawat pada saat tasyahud akhir. Ada pula yang sunnah, misalnya membaca shalawat sesaat setelah mendengarkan adzan.

Di antara shalawat muqayyad adalah membaca shalawat setelah melaksanakan shalat Maghrib dan Subuh. Terdapat bacaan shalawat khusus setelah shalat Maghrib dan Subuh yang diajarkan Rasulullah Saw. Bacaan dimaksud adalah sebagai berikut;

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ

Innallaaha wa malaa-ikatahuu yusholluuna ‘alan nabii. Yaa ayyuhal ladziina aamanuu sholluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa. Allohumma sholli ‘alaihi.

Bacaan shalawat ini dianjurkan untuk dibaca sebanyak 100 kali. Ini sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Jala-ul Afham berikut;

من صلى علي مائة صلاة حين يصلي الصبح قبل أن يتكلم قضى الله له مائة حاجة عجل له منها ثلاثين حاجة وأخّر له سبعين ومن المغرب مثل ذلك قالوا وكيف الصلاة عليك يارسول الله؟ قال: ان الله وملائكته يصلون على النبي ياايها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما اللهم صل عليه حتى تعد مائة مرة 

Barangsiapa yang bershalawat padaku 100 kali ketika (setelah) melaksanakan shalat Subuh sebelum berbicara, maka Allah akan tunaikan 100 hajat, 30 diantaranya disegerakan, dan 70 sisanya diakhirkan. Dan melakukan demikian setelah shalat Maghrib. Para sahabat bertanya; Bagaimana bershalawat kepadamu wahai Rasulullah?

Beliau berkata; Innallaaha wa malaa-ikatahuu yusholluuna ‘alan nabii. Yaa ayyuhal ladziina aamanuu sholluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa. Allohumma sholli ‘alaihi, hingga hitungan 100 kali. 

Demikian bacaan amalan shalawat setelah shalat Maghrib dan Subuh. Semoga memberikan manfaat.

BINCANG SYARIAH