Doa-doa Ini Akan Membuat Kita Dikejar-kejar Rezeki

Doa-doa tertentu bisa membantu kita mewujudkan harapan, termasuk harapan memperoleh kelancaran dan keberkahan rezeki.

Semua orang ingin mendapat kemudahan dalam urusan rezeki. Nyatanya, harapan tinggal harapan. Jangankan mudah, bisa mendapatkannya saja alhamdulillah. Adakah cara agar kita tak hanya berhasil memperoleh rezeki tapi bahkan dikejar-kejar olehnya?

Ulama-ulama kita mengatakan bahwa ada doa-doa yang bisa kita baca agar Allah melancarkan rezeki kita. Lima di antara doa-doa itu, seperti bisa kita baca dalam buku Risalah Doa & Zikir Keluarga, mudah kita hafalkan.

Kita tidak diwajibkan berada di suatu tempat atau waktu khusus untuk membaca doa-doa ini. Kita hanya dianjurkan membacanya setelah mengerjakan shalat fardhu dan ketika hendak berangkat ke tempat kerja.

Berikut lima doa yang bisa kita amalkan agar rezeki yang kita harap-harapkan mudah terwujud.

Doa Agar Rezeki Lancar

اَللَّهُمَّ يَاغَنِيُّ يَامُغْنِيْ أَغْنِنِيْ غِنًى أَبَدًا وَيَاعَزِيْزُ يَامُعِزُّ أَعِزَّنِيْ بِإِعْزَازٍ عِزَّةَ قُدْرَتِكَ وَيَامُيَسِّرَاْلأُمُوْرِ يَسِّرْ لِيْ أُمُوْرَ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ يَاخَيْرَ مَنْ يُرْجَى يَا اللهُ

Alloohumma yaa ghoniyyu yaa mughnii aghninii ginan abadan wa yaa ‘aziizu yaa mu’izzu a’izzani bi-i’zaazin ‘izzatia qudrotika, wa yaa muyassirol umuuri yassir lii umuurod dun-yaa waddiini yaa khoiro man yurjaa yaa allooh.

“Ya Allah, Dzat Yang Mahakaya dan memberikan kekayaan, berilah kekayaan yang abadi kepadaku. Wahai Dzat Yang Mahamulia dan yang memberikan kemuliaan, berilah kemuliaan kepadaku dengan kemuliaan kekuasaan-Mu. Wahai Dzat yang mempermudah semua urusan, berilah kemudahan kepadaku di dalam semua urusan dunia dan agama, wahai Dzat yang paling diharapkan, ya Allah.”

Doa Agar Rezeki Bertambah

اَللَّهُمَّ زِدْنَا وَلاَ تَنْقُصْنَا وَأَكْرِمْنَا وَلاَ تُوْهِنَا وَأَعْطِنَا وَلاَ تَحْرِمْنَا وَاٰثِرْنَا وَلاَ تُؤْثِرْ عَلَيْنَا وَأَرْضِنَا وَارْضَ عَنَّا

Alloohumma zidnaa wa laa tanqushnaa wa akrimnaa wa laa tuuhinaa wa a’athinaa wa laa tahrimnaa wa aatsirnaa wa laa tu’tsir ‘alainaa wa ardhinaa wardhoo ‘annaa.

“Ya Allah, tambahkanlah rezeki kepada kami, jangan Engkau kurangi. Muliakanlah kami dan jangan Engkau hinakan kami. Berilah kami dan jangan Engkau halangi kami. Pilihlah kami dan jangan Engkau tinggalkan kami, dan janganlah Engkau cegah kami.”

Doa Agar Diberi Rezeki Halal

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْئَلُكَ أَنْ تَرْزُقَنِيْ رِزْقًا حَلاَلاً وَاسِعًا طَيِّبًا مِنْ غَيْرِ تَعَبٍ وَلاَ مَشَقَّةٍ وَلاَ ضَيْرٍ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ

Alloohumma innii as-aluka an tarzuqonii rizqon halaalan waasi’an thoyyiban min ghoiri ta’abin wa laa masyaqqotin wa laa dhoirin innaka ‘alaa kulli syai-in qodiir.

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar melimpahkan rezeki kepadaku berupa rezeki yang halal, luas dan tanpa susah payah, tanpa memberatkan, tanpa membahayakan dan tanpa rasa lelah dalam memperolehnya. Sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu.”

Doa Agar Diberi Rezeki yang Berkah

اَللّٰهًمَّ اَصْلِحْ لِيْ دِيْنِيْ وَوَسِّعْ لِيْ فِيْ دَارِيْ وَبَارِكْ لِيْ فِيْ رِزْقِيْ

Alloohumma ashlihli lii diinii wa wassi’lii daarii wa baarik lii fii rizqii.

“Ya Allah perbaikilah agamaku (yang menjadi pokok urusanku) lapangkanlah tempat tinggalku, dan berikanlah keberkahan pada rezekiku.”

Doa Agar Mendapat Rezeki yang Tak Disangka-sangka

رَبَّنَا اَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُوْنُ لَنَا عِيْدًا ِلاَوَّلِنَا وَاٰخِرِنَا وَاٰيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ

Robbanaa anzil ‘alainaa maa-idatan minas samaa-i takuunu lanaa ‘iidan li awwalinaa wa aakhirinaa wa aayatan minka warzuqnaa wa anta khoirur rooziqiin.

“Ya Tuhan kami, turunkahlah kepada kami suatu hidangan dari langit (yang haru turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau, berilah kami rezeki, dan Engkau pemberi rezeki yang paling utama.”

***

Jika kita terus mengamalkan doa-doa ini, insya Allah rezeki kita akan dipermudah oleh Allah. Bahkan, Allah mungkin juga akan memberikan rezeki melalui jalan yang tak kita duga-duga.

Jika setelah mengamalkan lima doa di atas rezeki kita masih terasa sulit, mungkin adab berdoa kita yang masih masih perlu diperbaiki. Untuk memahami bagaimana adab-adab berdoa, kita bisa kembali membuka buku Risalah Doa & Zikir Keluarga.

Adab-adab berdoa tersebut di antaranya:

1. Niat yang ikhlas
Berdoa dengan kerelaan hati mengharap ridha Allah Ta’ala. Menyerahkan segalanya hanya kepada-Nya.

2. Tidak sering melakukan dosa
Tidak melanggar apa yang dilarang oleh Allah, seperti mengkorupsi dana masyarakat atau ikut menyebarkan berita bohong (hoax).

3. Disertai keyakinan yang kuat
Harus memiliki keyakinan bahwa doa kita akan dikabulkan oleh Allah, karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan setiap doa hamba-Nya.

4. Makanan yang dikonsumsi halal
Kita harus memperhatikan makanan yang kita konsumsi setiap hari. Makanan yang tidak halal tanpa kita sadari ikut mempengaruhi kebersihan hati kita. Hati yang kotor tentu akan sulit untuk ikhlas.

5. Berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah
Hendaknya kita berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, di antaranya setelah selesai shalat, waktu antara adzan dan iqomah, dan waktu-waktu yang lainnya.

QULTUM MEDIA

Menyiapkan Bekal Perjalanan

Bila kita hendak pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari ke pasar terdekat, seperti apakah persiapan yang kita buat? Perlukah membawa baju ganti satu koper penuh? Atau mengucapkan salam perpisahan serta mohon doa keselamatan dari segenap kerabat dan kawan? Apakah kita memerlukan peta dan kompas agar tidak tersesat?  

KITA tahu semua itu tidak diperlukan. Bahkan, memikirkan persiapan sedetail itu adalah gagasan paranoid dan kurang waras. Sebab, jarak yang kita tempuh dekat, waktu yang kita habiskan di sana sekejap, dan keperluan kita pun sangat sederhana.

Bisa jadi, kita hanya berpakaian asal-asalan dan membawa uang sekedarnya. Naik kendaraan apa saja juga tidak masalah, bahkan jalan kaki pun oke. Bukankah demikian?

Sekarang, mari beralih kepada perjalanan kita yang sesungguhnya, yakni perjalanan hidup sebagai hamba Allah. Kita tahu, Allah menciptakan manusia untuk dua kehidupan: dunia dan akhirat.

Kita juga tahu, bahwa akhirat itu lebih baik dan kekal, sebagaimana diceritakan oleh banyak ayat Al-Qur’an. Sebaliknya, dunia ini tidak abadi dan pasti ditinggalkan. Bila kita mau berpikir secara adil dan obyektif, manakah yang seharusnya dipersiapkan lebih terperinci?

Sepanjang-panjangnya usia manusia di dunia ini, suatu saat nanti pasti berujung pada kematian. Di zaman para Nabi terdahulu, walaupun manusia diberi umur sampai ratusan tahun, ternyata sekarang tidak tersisa seorang pun diantara mereka.

Terlebih-lebih lagi dewasa ini, ketika menemukan orang yang hidup diatas 100 tahun sudah menjadi kejadian langka. Dunia adalah perjalanan yang sangat singkat dan cepat berlalu.

Sepertinya, belum hilang dari ingatan masa-masa dimana kita bermain sebagai bocah kecil, berlarian mengejar layang-layang putus atau bermain petak umpet. Namun, sekarang kita bahkan telah menjadi orangtua yang mengasuh anak-anak pula.

Sepertinya, belum lama berselang kita menimang anak-anak itu dan mengganti popoknya. Sekarang, tiba-tiba saja mereka telah memberi kita cucu yang lucu-lucu. Sedemikian cepatnya semua ini bergerak, sehingga tanpa terasa uban dan kerutan sudah menyebar rata.

Bila selalu demikian kenyataan hidup di dunia, mengapa kita justru jauh lebih sibuk menyiapkan bekalnya dibanding perjalanan menuju akhirat yang abadi? Bertahun-tahun kita habiskan usia, energi, sumberdaya, kreatifitas, produktifitas, untuk menyongsong kesejahteraan duniawi.

Sejak kecil kita sangat fokus menyiapkan karir-karir duniawi. Bahkan, anak-anak kita pun telah belajar melafalkan aneka rupa cita-cita duniawi sejak mereka belajar bicara.

Banyak orang bersedia “menyumbang” ratusan juta agar bisa masuk fakultas tertentu atau untuk menjadi pegawai negeri, demi menyongsong kesejahteraan duniawinya.

Tetapi, bagaimana dengan akhirat? Sesibuk apa kita mempersiapkan bekalnya? Sebanyak apa yang telah kita “belanjakan” untuknya? Sejak kapan kita telah merencanakannya? Misalnya, berapakah ayat Al-Qur’an yang sudah kita pelajari, sebagai petunjuk jalan keselamatan, pengobat hati yang gelisah, dan peneguh jiwa menghadapi guncangan hidup?

Seberapa waktu yang kita alokasikan untuk mendengar hadits-hadits Rasulullah, agar hidup ini lurus dan terarah dengan benar? Apakah shalat dan puasa kita terpelihara dengan baik? Bagaimana dengan nikmat-nikmat Allah lainnya: harta, kekuatan fisik, waktu, kesehatan, dsb; kemana kita habiskan?

Sungguh, Allah dan Rasul-Nya banyak menegur kita dengan sangat keras atas kelalaian-kelalaian ini.

Dengarkanlah apa yang difirmankan-Nya dalam Surat an-Najm: 29-31, “Maka berpalinglah engkau (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah batas terjauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. Hanya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).”

Demikian juga firman-Nya dalam surah al-A’la: 14-17

قَدۡ اَفۡلَحَ مَنۡ تَزَكّٰىۙ

وَذَكَرَ اسۡمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰى‌

بَلۡ تُؤۡثِرُوۡنَ الۡحَيٰوةَ الدُّنۡيَا

وَالۡاٰخِرَةُ خَيۡرٌ وَّ اَبۡقٰىؕ‏

“Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia mengingat nama Tuhannya, lalu dia mengerjakan shalat. Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan duniawi. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

Rasulullah pun bersabda;

إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ جِيفَةٍ بِاللَّيْلِ حِمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ الْآخِرَةِ

“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras-kasar-angkuh tabiatnya, gemar mengumpulkan harta namun pelit, suka berteriak-teriak di pasar-pasar, seperti bangkai di malam hari dan seperti keledai di siang hari, sangat mengerti urusan dunia tetapi tidak tahu-menahu urusan akhirat.” (Riwayat Ibnu Hibban dan al-Baihaqi. Sanad-nya shahih ‘ala syarthi muslim).

Beliau bahkan tidak khawatir jika kita menjadi fakir. Beliau justru cemas jika dunia ini dihamparkan seluas-luasnya bagi kita. Beliau bersabda:

“فَأَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ، فَوَاللَّهِ لاَ الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا، وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم

“Bergembiralah, dan harapkanlah apa saja yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kemelaratan yang aku khawatirkan atas kalian. Namun, aku khawatir jika dunia ini dihamparkan seluas-luasnya untuk kalian, sebagaimana dulu pernah dihamparkan kepada umat-umat sebelum kalian. Lalu, kalian berlomba-lomba memperebutkannya sebagaimana mereka dulu memperebutkannya, sehingga dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia dulu membinasakan mereka.” (Riwayat Ibnu Majah. Hadits shahih).

Kekhawatiran beliau terbukti di zaman ini. Mengapa ada korupsi, suap-menyuap, dan penyelewengan anggaran?

Mengapa para penipu dan maling tega memakan harta orang lain secara batil? Mengapa ada kelicikan dalam pembagian warisan dan pengelolaan harta anak yatim? Dari mana benih money politics dan black campaign dalam Pemilu dan Pilkada?

Ayat-ayat dan hadits diatas telah menunjukkannya: “kerakusan pada dunia dan kecintaan yang berlebihan terhadapnya”. Inilah yang disebut ghurur (ketertipuan).

Karena ghurur-lah manusia salah memilih. Maka, sebaiknya kita lebih berhati-hati dan bijak dalam menentukan prioritas.

Yahya bin Mu’adz ar-Razi (w. 258 H) berkata, “Seandainya dunia adalah bijih emas yang fana sedangkan akhirat adalah keramik yang kekal, maka sudah sepantasnya bagi orang yang berakal untuk lebih memilih keramik yang kekal dibanding bijih emas yang fana. Bagaimana jika kenyataannya dunia adalah keramik yang fana sedangkan akhirat adalah bijih emas yang kekal?” (Dikutip dari: Adabul ‘Ulama’ wal Muta’allimin).

Maka, sangat wajar jika Rasulullah ﷺ pernah mengajari ‘Ali bin Abi Thalib sebuah doa;

“قُلِ اللهُمَّ اهْدِنِي وَسَدِّدْنِي، وَاذْكُرْ، بِالْهُدَى هِدَايَتَكَ الطَّرِيقَ، وَالسَّدَادِ، سَدَادَ السَّهْمِ”

“Ya Allah karuniakan kepadaku hidayah dan tepatkanlah aku (memilih) pada kebenaran,” beliau berkata, “permisalan petunjuk adalah yang menunjukimu jalan dan permisalan tepat pada kebenaran seperti tepatnya anak panah mengenai sasaran.” (HR. Muslim).

Semoga kita pun diberi-Nya hidayah dan ketepatan, dalam menyiapkan bekal perjalanan ini. Amin. Wallahu a’lam. *

Oleh: Alimin Mukhtar, Pengasuh PP Arrahmah-Malang

HIDAYATULLAH

Metafor Taman Surga

Allah telah memberikan metafor taman-taman surga yang Dia tempatkan di dunia ini.

Keindahan dan kenikmatan surga hanya akan Allah tampakkan dan kita dapat melihatnya secara indrawi, kelak di alam keabadian. Meskipun kita tak mampu melihatnya secara indrawi, Allah telah memberikan metafor taman-taman surga yang Dia tempatkan di dunia ini.

Setidaknya terdapat tiga metafor taman surga di dunia ini. Pertama, melayat orang yang berbaring sakit. Perbuatan yang satu ini karena kesibukan dan kemalasan, kita sering tak melakukannya. Kita tak menyempatkan diri menengok saudara atau tetangga yang tengah berbaring sakit.

Padahal, pahala menengok orang sakit selain akan mendapatkan ampunan Allah, juga orang-orang yang melakukannya seolah-olah sedang berjalan-jalan di sebagian taman surga.

“Apabila seseorang menjenguk seorang Muslim yang sedang sakit, ia seakan-akan sedang berjalan-jalan di taman surga sambil memetik buah-buahnya. Apabila sudah duduk di tempat orang yang dilayatnya, Allah menurunkan rahmat yang banyak kepada orang tersebut. Apabila ia menjenguk saudaranya tersebut pada pagi hari, 70 ribu malaikat mendoakannya agar mendapat rahmat hingga datangnya sore hari. Apabila ia menjenguk saudaranya tersebut pada sore hari, 70 ribu malaikat mendoakannya agar diberi rahmat hingga pagi hari tiba.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad).

Kedua, majelis zikir dan majelis taklim. Kedua majelis ini merupakan metafor taman surga di dunia. Siapa pun yang mendatanginya, ia seolah-olah sedang duduk-duduk di sebagian taman surga dan ia akan memperoleh rahmat Allah. Selain itu, perilaku baiknya akan Allah umumkan kepada seluruh  makhluk-Nya.

“Jika kamu melewati taman-taman surga, singgahlah dengan penuh keriangan.” Para sahabat bertanya, ‘Apakah taman-taman surga itu?’ Ia menjawab, Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) zikir’ (HR Tirmidzi). Majelis taklim termasuk dalam halaqah zikir. Barang siapa menghadiri majelis-majelis taklim, ia laksana tengah duduk di taman-taman surga.

Ketiga, raudhah. Taman surga yang satu ini berlokasi di Masjid Nabawi Madinah, tepatnya terletak antara rumah Nabi Muhammad SAW dan mimbar Nabi SAW.  “Antara rumahku dan mimbarku terdapat taman di antara taman-taman surga.” (HR Bukhari Muslim).

Menurut Syekh Qadhi Iyad, terdapat dua kemungkinan makna dalam hadis tersebut, yakni raudhah menyebabkan orang-orang yang beribadah dan berzikir di dalamnya akan masuk surga. Kemungkinan makna lainnya, secara fisik raudhah akan Allah pindahkan ke surga.

Dari ketiga metafor taman-taman surga tersebut, dapat ditarik benang merah, keseimbangan antara hablumminallah (ibadah yang bersifat individual) dan hablumminannas (ibadah yang bersifat hubungan kemanusiaan atau sosial kemasyarakatan) dapat mengantarkan seseorang menjadi penghuni surga.

OLEH ADE SUDARYAT

KHAZANAH REPIBLIKA

Membaca Surat Al-Kahfi dan Cahaya dari Dua Jumat

Sebagian kita mungkin telah mengetahui anjuran untuk membaca surat Al-Kahfi. Dan mengetahui bahwa keutamaannya adalah mendapatkan cahaya dari dua Jumat. Namun, apa yang dimaksud dengan “mendapatkan cahaya dari dua Jumat”? Kita simak penjelasan singkat berikut ini.

Anjuran Membaca Al-Kahfi di Malam dan Hari Jumat

Terdapat beberapa hadis sahih mengenai keutamaan membaca surat Al-Kahfi di hari Jumat maupun di malam Jumat. Di antaranya dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat, ia akan diterangi dengan cahaya di antara ia dengan Ka’bah.” (HR. Ad-Darimi dalam Sunannya no.3450, disahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.736.)

Hadis ini mauquf dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Sehingga, ini adalah perkataan dari beliau, bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, terdapat dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu secara marfu‘. Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

“Sesungguhnya barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at, ia akan diterangi dengan cahaya di antara dua Jumat.” (HR. Al-Hakim no.3392, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra no.5996. Ibnu Hajar dalam Takhrijul Adzkar mengatakan, “Hadis hasan.”)

Namun, Adz-Dzahabi mengatakan, “Riwayat yang mauquf lebih sahih.” (Al-Muhadzab, 3/1181). Sehingga, riwayat yang marfu‘ menjadi tercacati karena ternyata riwayat yang mauquf lebih sahih. Syekh Jamaluddin Al-Qasimi menjelaskan,

فقد كثر إعلال الموصول بالإرسال، والمرفوع بالوقف إذا قوي الإرسال أو الوقف بكون راويهما أضبط أو أكثر عددًا على الاتصال أو الرفع وقد يعلون الحديث

Banyak terjadi ta’lil (pencacatan) terhadap hadis maushul karena terdapat jalan lain yang mursal. Juga terhadap hadis mar’fu karena terdapat jalan lain yang mauquf. Jika jalan yang mursal atau mauquf itu, perawinya lebih kuat dari sisi dhabt-nya atau lebih banyak jalan-jalannya, dibanding dengan yang muttashil atau marfu, maka hadisnya menjadi tercatati.” (Qawa’id At-Tahdits, 131).

Namun, andaikan hadis-hadis di atas mauquf dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dapat dikatakan fi hukmil marfu’ (dihukumi marfu‘ dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam). Karena, ini bukan perkara yang ada celah untuk ijtihad bagi sahabat Nabi. Apalagi terdapat riwayat dari Ibnu Umar yang marfu‘ dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dalam hal ini.

Oleh karena itu, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan,

أعلَّ بعضُ العلماء المرفوع بأنَّ الحديث رُوي موقوفًا، ونحن نقول: إذا كان الرافع ثِقةً، فهذه العلَّة غير قادحة، وعلى فرض أنه من قول أبي سعيد، فمِثل هذا لا يُقال بالرأي، فيكون له حُكم الرفع

Sebagian ulama menyatakan kecacatan riwayat yang marfu’ karena terdapat riwayat yang mauquf. Namun, kita katakan, ‘Jika riwayat yang marfu’ itu perawinya tsiqah, maka ini adalah cacat yang tidak menurunkan kualitas hadis. Dan andaikan hadis ini sekedar perkataan dari Abu Sa’id Al-Khudri, pernyataan yang semisal ini tidak mungkin berasal dari opini pribadi beliau. Sehingga, hadis ini memiliki hukum marfu’.” (Syarhul Mumthi’, 5/91).

Membaca surat Al-Kahfi dianjurkan oleh jumhur ulama. Di antaranya adalah ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Demikian juga, dikuatkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dan Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm (1/208) mengatakan,

بلَغَنَا أَنَّ من قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ وُقِيَ فِتْنَةُ الدَّجَّالِ، وَأُحِبُّ كَثْرَةَ الصَّلَاةِ على النبي (صلى اللَّهُ عليه وسلم) في كل حَالٍ وأنا في يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا، وَأُحِبُّ قِرَاءَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَهَا لِمَا جاء فيها

Telah sampai dalil kepadaku bahwa orang yang membaca surat Al-Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Dan aku menyukai (seseorang itu) memperbanyak selawat kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam di setiap waktu. Dan pada hari Jumat serta malam Jumat, lebih ditekankan lagi anjurannya. Dan aku juga menyukai (menganjurkan) seseorang untuk membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat dan pada hari Jumat karena terdapat dalil mengenai hal ini.”

Makna Cahaya di antara Dua Jumat

Adapun makna dari “diterangi dengan cahaya di antara dua Jumat”, demikian juga “cahaya antara dia dan Ka’bah” dijelaskan oleh para ulama dalam beberapa tafsiran:

Pertama, maknanya adalah diampuni dosa-dosanya di antara dua Jumat. Sebagaimana riwayat lain dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

من قرأ سورة الكهف في يوم الجمعة سطع له نور من تحت قدمه إلى عنان السماء يضيء له يوم القيامة، وغفر له ما بين الجمعتين

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at, ia akan diterangi cahaya dari bawah kakinya hingga ke langit pada hari Kiamat, dan diampuni dosanya di antara dua Jumat.” (HR. Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih [1/200], Al-Mundziri berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Marduwaih dalam Tafsirnya dengan sanad yang laa ba’sa bihi.”)

Kedua, cahaya tersebut berupa hidayah yang menghindarkan dari maksiat di antara dua Jumat. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

معناه أنها تمنع من المعاصي وتنهى عن الفحشاء والمنكر وتهدي إلى الصواب كما أن النور يستضاء به

Maknanya adalah ia tertahan untuk melakukan maksiat, terhalangi untuk perbuatan fahisyah serta mungkar, dan diberi hidayah kepada kebenaran, sebagaimana cahaya yang menerangi.” (Syarah Shahih Muslim, 3/455).

Ketiga, cahaya di antara dua Jumat atau cahaya antara seseorang dan Ka’bah adalah cahaya hissi (cahaya betulan) yang akan didapatkan di hari Kiamat. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

وقيل معناه أنه يكون أجرها نورا لصاحبها يوم القيامة

Sebagian ulama mengatakan, maknanya adalah ia mendapatkan ganjaran kebaikan berupa cahaya di hari Kiamat.” (Syarah Shahih Muslim, 3/455).

Yaitu cahaya yang sangat panjang dan terang yang menerangi seseorang di kegelapan hari Kiamat. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَىٰ نُورُهُم بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِم

“Pada hari engkau akan melihat orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, betapa cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka.” (QS. Al Hadid: 12).

Keempat, maknanya adalah pahala membaca Al-Kahfi terus mengalir selama dua Jumat. Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan,

معني اضاء الله له من النور مابين الجمعتين اي: انه لايزال عليه اثرها وثوابها في جميع الاسبوع

Makna ‘diterangi cahaya dari dua Jumat’ adalah pengaruh serta pahala dari membaca Al-Kahfi terus ada selama dua Jumat.” (Tuhfatudz Dzakirin, 1/401).

Demikian penjelasan para ulama tentang masalah ini. Semoga semakin menambah semangat kita untuk memperbanyak amalan saleh, di antaranya membaca surat Al-Kahfi di malam Jumat atau di hari Jumat.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/68746-membaca-surat-al-kahfi-dan-cahaya-dari-dua-jumat.html

Menghayati Hakikat dan Tujuan Ibadah Haji.

Perjalanan ibadah haji bukanlah untuk rekreasi, dan bisnis akan tetapi perjalanan ini untuk mendapatkan hikmah dan tujuan mulia. H. Eko Misbahudin, Lc mengatakan, di antara tujuan dan hikmah penting dalam perjalanan ibadah di antaranya adalah menegakkan tauhid. Jika rangkaian manasik haji diamati secara seksama, maka akan ditemukan bahwa menauhidkan (mengesakan) Allah adalah tujuan utama.

“Dalam talbiyah kita menauhidkan Allah. Ketika menaiki bukit Shafa dan Marwah kita juga melantunkan kalimat tauhid, begitu pula saat wukuf di padang Arafah.

Bahkan menauhidkan Allah dalam ibadah dan doa adalah amalan paling utama selama haji,” tulis H Eko dalam bukunya “Agar Kita Mendapatkan Haji Mabrur”. Maka, dari itu kata dia, hendaklah seorang yang berhaji menghayati makna ini dalam setiap manasiknya.

Dalam surah Al-An-An’am ayat 162-163, Allah SWT berfirman yang artinya:  “Katakanlah sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). 

Perjalanan ibadah haji untuk mendidik hamba agar patuh dan tunduk kepada Allah Azza wajalla.  Dalam rangkaian manasik haji, ada beberapa rahasia dan hikmah yang sulit kita cerna.  

“Sebab tujuan utama dari ibadah ini adalah tunduk dan patuh kepada syariat Allah,” katanya. 

Sebagai contoh; melempar jumrah dan mencium Hajar Aswad. Karenanya, ketika hendak mencium Hajar Aswad, Khalifah Umar bin Khattab berkata:  

“Aku tahu bahwa engkau hanya sebongkah batu, yang tidak mendatangkan manfaat maupun menolak bahaya, jika bukan karena aku telah melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”(HR. Bukhari). 

Umar radhiyallahu ‘anhu sangat memahami bahwa tujuan utama mencium Hajar Aswad adalah tunduk kepada syariat Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Untuk dapat menghayati ibadah haji, jamaah harus memperbanyak zikir/mengingat Allah. Jamaah haji diperintahkan berzikir pada setiap sesi manasik, juga setelah selesai menunaikan ibadah haji.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya: 

“Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berzikirlah [dengan menyebut] Allah sebagaimana yang ditunjukkanNya kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 198). 

Ibadah haji juga untuk mencapai derajat takwa. Perintah bertakwa banyak kita temukan di sela-sela penjelasan tentang manasik haji, seperti firman Allah yang artinya:

“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaNya.” (QS. Al-Baqarah: 196). 

Jamaah hai yang serius berangkat haji dapat memperdalam cinta kepada Rasulullah SAW. Semua rangkaian ibadah haji telah dicontohkan secara langsung oleh Rasulullah SAW. Maka, bukti cinta kita kepada beliau adalah dengan menunaikan ibadah mulia ini sesuai tuntunannya.  

Dan dengan mengikuti Rasulullah SAW, Allah akan mencintai kita. Allah berfirman yang artinya: 

“Katakanlah jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).  

IHRAM

Al-Quran dan Musik Itu Bagaikan Minyak dan Air

Al-Quran dan musik itu bagaikan air dan minyak yang tidak akan pernah bisa bersatu. Sangat sulit Al-Quran dan musik berada di hati seorang hamba yang bertakwa dan berusaha dekat dengan Al-Quran. Terlebih ingin menghafalkan Al-Quran, mendalami, dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah menjelaskan bahwa Al-Quran dan musik tidak akan bersatu. Beliau Rahimahullah berkata,

حُبُّ الْكِتَابِ وَحُبُّ أَلْحَانِ الْغِنَاءِ … فِي قَلْبِ عَبْدٍ لَيْسَ يَجْتَمِعَانِ

“Cinta Al-Quran dan cinta melodi nyanyian … tidak akan berkumpul di hati seorang hamba” (Nuniyyah Ibnul Qayyim hal. 368).

Di lain kesempatan, beliau menjelaskan bahwa hal itu tidak akan bersatu karena saling bertentangan. Ibarat kutub utara dan selatan. Ibarat kanan dan kiri. Beliau Rahimahullah berkata,

إِنَّ الْقُرْآنَ وَ الْغِنَاءَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي الْقَلْبِ أَبَدًا، لِمَا بَيْنَهُمَا مِن التَّضَادِّ

“Sesungguhnya Al-Quran dan nyayian itu tidak akan bersatu di hati selamanya, karena keduanya itu bertentangan” (Ighatsatul Lahfan, 1: 248).

Oleh karena itu, kita perhatikan mereka yang mulai hijrah dan mulai kembali kepada agama dan Al-Quran, mereka berusaha meninggalkan musik. Tentunya mereka sangat ingin dekat dengan Al-Quran dan mengamalkannya. Terlebih Al-Quran adalah petunjuk hidup dan jalan keselamatan dunia akhirat yang mengantarkan kepada kebahagiaan abadi.

Allah Ta’ala berfirman,

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185).

Terkadang proses meninggalkan musik ini berat. Akan tetapi dengan kekuatan ilmu dan iman serta pertolongan dari Allah, banyak yang bisa meninggalkan musik karena ingin dekat dengan Al-Quran dan Allah gantikan dengan yang lebih baik.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا للهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

“Sesungguhnya tidaklah Engkau meninggalkan sesuatu karena Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali Allah akan menggantikannya bagimu dengan yang lebih baik bagimu” (HR Ahmad, sahih).

Jika seseorang ingin meninggalkan sesuatu, tentu harus ada penggantinya yang bahkan jauh lebih baik. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menjelaskan kaidah psikologi,

إِنَّ النُّفُوسَ لَا تَتْرُكُ شَيْئًا إِلَّا بِشَيْءٍ

“Sesungguhnya jiwa tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali jika ada penggantinya.”

Terlebih musik dan nyanyian hukumnya adalah haram sebagaimana banyak penjelasan para ulama.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan “lahwal hadits” untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan” (QS Luqman: 6).

Ibnu Katsir Rahimahullah menukil (mengutip) banyak sekali pendapat ulama yang menyatakan bahwa maksud “lahwal hadits” pada ayat tersebut adalah musik dan nyanyian. Beliau Rahimahullah menukilkan perkataan sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu,

الْغِنَاءِ، وَاللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلَاثَ مَرَّات

“Maksud dari lahwal hadits” adalah nyanyian. Aku bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Ibnu Mas’ud mengulangi sampai tiga kali.”

Hasan Al-Bashri Rahimahullah juga berkata,

فِي الْغِنَاءِ وَالْمَزَامِيرِ

“Maksud lahwal hadits adalah nyanyian dan seruling” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Hadis yang menjelaskan tentang hal ini juga cukup banyak. Sebagaimana hadis yang menjelaskan bahwa akan dihalalkam musik suatu saat nanti. Artinya, hal ini menunjukkan bahwa musik itu hukumnya haram.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعازِفَ

“Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan menghalalkan (sebelumnya hukum asalnya haram, pent.) zina, kain sutra (bagi lelaki), khamar, dan alat-alat musik” (HR. Bukhari).

Demikian juga semakna dengan hadis berikut,

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « فِى هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ ». فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَتَى ذَاكَ قَالَ « إِذَا ظَهَرَتِ الْقَيْنَاتُ وَالْمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الْخُمُورُ ».

“Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Di dalam umat ini akan ada longsor, perubahan bentuk rupa, dan hujan batu (dari langit).” Lalu seorang laki-laki dari kaum muslimin bertanya, “Wahai Rasulullah, kapankah hal tersebut?” Beliau menjawab, “Jika telah nampak al-qayyinat (penyanyi-penyanyi wanita) dan alat-alat musik dan khamr telah di minum (dengan bebas).” (HR. Tirmidzi, lihat As Silsilah Ash Shahihah no. 2203)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menutup telinga ketika mendengarkan musik seruling yang menunjukkan beliau tidak suka mendengarkan musik.

Nafi’ Maula Ibnu Umar berkata,

سمعَ ابنُ عُمرَ مِزمارًا فوضعَ أصبُعَيْهِ في أذُنَيْهِ، وَنَأَى عَن الطَّريقِ وقالَ لي: يا نافعُ هل تسمَعُ شَيئًا ؟ قلتُ: لا، فرَفعَ أصبُعَيْهِ مِن أذُنَيْهِ وقالَ: كُنتُ معَ النَّبيِّ – صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ – وسمعَ مثلَ هذا وصنعَ مِثلَ هذا

“Ibnu ‘Umar mendengar suara seruling, lalu ia meletakkan dua telunjuknya di telinganya dan menjauh dari jalan. Ia berkata kepadaku, ‘Hai Nafi, apakah kamu masih mendengarnya?’ Aku berkata, ‘Tidak.’ Maka ia melepas jarinya dari telinganya dan berkata, ‘Dahulu aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau mendengar sama dengan yang aku dengar dan beliau melakukan seperti apa yang aku lakukan” (HR Abu Dawud).

Demikian, semoga bermanfaat.

@Lombok, pulau seribu Masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/69077-al-quran-dan-musik-itu-bagaikan-minyak-dan-air.html

Sunnah Menghadapkan Wajah ke Arah Khatib Shalat Jumat

Ketika salat Jumat, kita perhatikan beberapa jamaah salat Jumat tidak berusaha menghadapkan wajahnya ke arah khatib Jumat. Ada yang nenunduk ke bawah, ada yang melihat ke berbagai arah, bahkan ada yang bermain gadget sampai dengan tertidur.

Perlu diketahui bahwa salah satu sunah ketika mendengarkan khutbah Jumat adalah menghadapkan wajah ke arah khatib Jumat dan tidak mengapa mengubah arah duduk agar memudahkan dan nyaman mengarahkan wajah ke arah khatib. Sebagian ulama menjelaskan bahwa menghadapkan wajah ke arah khatib Jumat termasuk sunah yang banyak ditinggalkan. Berikut sedikit pembahasannya.

Terdapat beberapa hadis dan atsar sahabat serta penjelasan ulama terkait hal ini.

Sebagian sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا صعد المنبر ، أقبلنا بوجوهنا إليه.

“Dahulu ketika Nabi Shallallahu’alaihi wasallam naik mimbar, kami menghadapkan wajah kami ke arah beliau” (HR. At Tirmidzi no. 509, Lihat Penjelasannya di Al-Silsilah Ash-Shahihah no. 2080).

Syaikh Al-Albani Rahimahullah menjelaskan bahwa sunnah ini banyak ditinggalkan terutama di zaman ini, beliau berkata,

‎استقبال الخطيب من السنة المتروكة

“Menghadapkan  arah khatib merupakan sunnah yang ditinggalkan” (Al-Silsilah Ash-Shahihah: 5/110).

Syaikh Abdurrahman al-Mubarakfuri menjelaskan hadis di atas, beliau menukil perkataan Ibnul Malik,

قال ابن الملك : أي توجهناه ، فالسنة أن يتوجه القوم الخطيب

“Yaitu, kami para sahabat mengarahkan wajah kami. Termasuk sunnah para jamaah menghadapkan wajah ke arah khatib” (Tuhfatul al-Ahwadzi, 3/23)

Di riwayat mengenai Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhu,

أنه كان يفرغ من سبحته يوم الجمعة قبل خروج الإمام ، فإذا خرج لم يقعد الإمام حتى يستقبله

“Bahwasanya Ibnu Umar fokus bertasbih pada hari Jumat sampai Imam keluar, apabila imam sudab keluar dan duduk, ia menghadap ke arah imam” (HR. Bukhari dalam Kitab Jumuah, 1/221)

Lalu Imam Bukhari membuat judul bab,

باب يستقبل الإمام القوم ، واستقبال الناس الإمام إذا خطب، واستقبل ابن عمر وأنس رضي الله عنهم الإمام

“Bab imam menghadap ke arah jamaah, dan jamaah menghadap imam ketika sedang berkhutbah, Ibnu Umar serta Anas Radhiallahu’anhu menghadapkan wajah ke arah imam.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa dengan menghadap ke arah imam akan membuat lebih fokus mendengarkan khutbah dan ini adalah bentuk adab yang baik, beliau menjelaskan,

ومن حكمة استقبالهم للإمام التهيؤ لسماع كلامه ، وسلوك الأدب معه في استماع كلامه ، فإذا استقبله بوجهه وأقبل عليه بجسده وبقلبه وحضور ذهنه ؛ كان أدعى لتفهيم موعظته موعظته

“Di antara hikmah menghadapkan wajah ke arah imam adalah fokus bersiap-siap mendengarkan ucapab imam dan menunjukkan adab mendengar ucapan. Apabila ia menghadapkan wajah ke arah imam maka jasad dan hatinya akan fokus juga dan menghadirkan benak. Hal ini lebih membuat fokus untuk memahami nasehat.” (Fathul Bari, 2/402)

Semoga kita selalu bisa menerapkan sunnah ini. Aamiin

@ Lombok, Pulau Seribu Masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68744-sunnah-menghadapkan-wajah-ke-arah-khatib-shalat-jumat.html

Mengobati Kegalauan (Bag. 7)

Baca pembahasan sebelumnya  Mengobati Kegalauan (Bag. 6)

Menyadari bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan dan setelah kesempitan akan ada kabar gembira

Hendaknya seorang muslim senantiasa berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Dia akan memberikan kabar gembira dan jalan keluar bagi setiap permasalahan yang dihadapi oleh seorang hamba. Semakin bertambah besar kesusahan yang dihadapinya, semakin dekat pula kabar gembira dan jalan keluar untuknya. Allah Ta’ala berfirman,

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ

اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy Syarh: 5-6)

Pada ayat tersebut, disebutkan satu kesusahan (العسر) dan dua kemudahan (يسرا). Kata “kesusahan” (عسر) yang bergandeng dengan  ال pada ayat pertama adalah “kesusahan” yang sama pada ayat kedua. Namun, “kemudahan” pada ayat pertama berbeda dengan “kemudahan” pada ayat kedua.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أنَّ النَّصرَ معَ الصَّبرِ، و أنَّ الفرجَ معَ الكربِ، و أنَّ معَ العسرِ يسرًا

“Sesungguhnya pertolongan itu bersama dengan kesabaran. Dan sesungguhnya jalan keluar itu bersama dengan kesukaran. Dan sesungguhnya bersama kesulitan itu, ada kemudahan.” (HR. Ahmad 1: 293 disahihkan Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jami’)

Terapi dengan makanan

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أنَّهَا كَانَتْ تَأْمُرُ بالتَّلْبِينِ لِلْمَرِيضِ ولِلْمَحْزُونِ علَى الهَالِكِ، وكَانَتْ تَقُولُ: إنِّي سَمِعْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يقولُ: إنَّ التَّلْبِينَةَ تُجِمُّ فُؤَادَ المَرِيضِ، وتَذْهَبُ ببَعْضِ الحُزْنِ.

“Sesungguhnya beliau (‘Aisyah) memerintahkan agar membuat talbinah untuk orang sakit dan orang yang ditimpa kesedihan karena ada keluarga yang meninggal. Kemudian ia berkata, ‘Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Talbinah dapat menyegarkan hati orang yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian rasa sedih.” (HR. Bukhari no. 5689)

Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari rahimahullah, dari ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أنَّها كانَتْ إذا ماتَ المَيِّتُ مِن أهْلِها، فاجْتَمع لِذلكَ النِّساءُ، ثُمَّ تَفَرّقْنَ إلَّا أهْلَها وخاصَّتَها، أمَرَتْ ببُرْمَةٍ مِن تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ، فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عليها، ثُمَّ قالَتْ: كُلْنَ مِنْها؛ فإنِّي سَمِعْتُ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقولُ: التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ ببَعْضِ الحُزْنِ.

“Bahwasanya apabila salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia, maka berkumpullah para wanita. Kemudian mereka berpisah, kecuali keluarganya dan orang-orang dekatnya. Setelah itu, beliau (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) menyuruh diambilkan seperiuk talbinah. Lalu beliau memasak dan membuat tsarid. Kemudian dia menuangkan bubur talbinah tersebut di atasnya. Setelah itu, ia berkata, ‘Makanlah bubur ini! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian rasa sedih.’” (HR. Bukhari no. 5417)

Talbinah adalah sejenis bubur dari tepung halus atau dedak yang diberi madu. Disebut talbinah karena mirip laban (susu). Talbinah dimasak dari gandum kasar yang sudah digiling.

مُجِمَّةٌ maksudnya adalah menenangkan dan membuat bersemangat serta menghilangkan kegalauan.

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata,

 كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، إذا قيلَ له: إنَّ فُلانًا وَجِعٌ لا يَطعَمُ الطعامَ، قال: عليكم بالتَّلْبينةِ، فحَسُّوه إيَّاها، فوالذي نَفْسي بيَدِه، إنَّها لتَغسِلُ بطنَ أحَدِكم، كما يَغسِلُ أحَدُكم وجْهَه بالماءِ منَ الوَسَخِ.

“Apabila dikatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya si Fulan sakit dan tidak mau makan.’ Beliau berkata, ‘Hendaklah kalian berikan talbinah, hingga ia akan merasakannya. Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya talbinah tersebut bisa mencuci perut kalian sebagaimana kalian mencuci wajah kalian dari kotoran dengan air.” (HR. Ahmad 6: 152)

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata,

 كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ إذا أخذ أهلَه الوعكُ ، أمر بالحِساءِ فصُنِعَ ، ثم أمره فحَسَوْا منه ، وكان يقولُ : إنَّهُ لَيَرْتُقُ (وفِي رواية أحمد وابن ماجة:ليرتو) فؤادَ الحزينِ ، ويسْرُو عن فؤادِ السقيمِ ، كما تسْرُو إحداكنَّ الوسخَ بالماءِ عن وجهها

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati istrinya demam, beliau memerintahkan untuk dibuatkan bubur. Kemudian memerintahkan untuk menuangnya. Beliau berkata, ‘Sesungguhnya itu memperbaiki (dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Majah berbunyi menguatkan) hati yang sedih, menghilangkan (kesedihan) dari hati orang yang sakit, sebagaimana salah seorang kalian menghilangkan kotoran dari wajahnya dengan air.’” (Abu ‘Isa mengatakan hadis ini hasan sahih, As-Sunan no. 2039)

Perkara ini (makan talbinah) bagi sebagian orang adalah sesuatu yang aneh. Namun, ini memang perkara yang benar dari jalan wahyu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala-lah yang menciptakan berbagai jenis makanan dan Dia-lah yang paling mengerti kekhususan setiap makanan itu, termasuk dengan makanan yang telah disebutkan dalam hadis di atas. Wallahu a’lam. (Silakan merujuk kitab Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim rahimahullahu, 5: 120).

Ibnul Qayyim Rahimahullah membuat ringkasan tentang perkara yang dengannya Allah Ta’ala hilangkan kegalauan:

  1. Tauhid rububiyah.
  2. Tauhid uluhiyyah.
  3. Tauhid asma’ wa shifat.
  4. Mensucikan Allah Ta’ala dari sifat menzalimi hamba-Nya atau menghukum hamba tanpa sebab/alasan dari hamba untuk mendapatkan hukuman.
  5. Mengakui bahwa dia sendirilah yang zalim.
  6. Tawasul kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang paling Dia cintai. Yakni, dengan nama dan sifat-Nya. Dan di antara nama yang memuat kandungan nama dan sifat yang lain adalah Al-Hayyu Al-Qayyum.
  7. Meminta tolong hanya kepada Allah Ta’ala.
  8. Pengakuan hamba bahwa dia berharap kepada Allah Ta’ala.
  9. Bertawakkal dengan sebenarnya. Mengakui bahwa ubun-ubunnya di tangan Allah Ta’ala. Dia bolak balikkan sesuai kehendak-Nya. Berlaku padanya hukum dan ketentuan-Nya. Dan dia yakin keputusan Allah Ta’ala atasnya adalah keputusan yang adil.
  10. Membawa hati ke taman Al-Quran. Dikuatkan hatinya dengan Al-Quran. Berupaya mengobati berbagai penyakit hatinya dengan Al-Quran.
  11. Istighfar.
  12. Bertaubat kepada Allah Ta’ala.
  13. Jihad.
  14. Salat.
  15. Berlepas diri dari daya dan kekuatannya sendiri serta memasrahkannya kepada Allah Ta’ala.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menyelamatkan kita dari kegalauan, kesedihan, dan kecemasan. Sesungguhnya Dia-lah Zat Yang Maha Mendengar, Maha Mengabulkan Doa, Maha Hidup, dan Maha Berdiri Sendiri.

[Selesai]

***

Disarikan dari kitab ’Ilaajul Humuum, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajid  hafidzahullahu Ta’ala

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/69079-mengobati-kegalauan-bag-7.html

Beda Alam Dunia, Barzah, dan Akhirat Serta Kesamaannya

Manusia akan melewati tiga alam yaitu dunia, barzah, dan akhirat

 Umat Islam wajib meyakini bahwa dunia bukanlah satu-satunya alam yang menjadi tempat tinggal bagi manusia. Sebab masih terdapat alam-alam lain yang akan disinggahi pula oleh manusia.

KH Ali Mustafa Yakub dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal menjelaskan, terdapat tiga alam yang saling berkaitan dengan posisi manusia dengan ruhnya. Ketiga alam itu adalah alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Seperti apakah perbedaan dan keterkaitan antara ketiga dimensi alam tersebut?

Menurut Kiai Ali, ketiga jenis alam ini memiliki aturannya tersendiri yang bahkan berseberangan. Pertama, alam dunia. Alam dunia adalah refleksi dari jasad sedangkan ruh sebagai bagiannya. 

Namun sebaliknya, di alam kedua, alam barzah, adalah refleksi dari ruh sedangkan jasad sebagai bagiannya.

Barzah secara bahasa berarti pembatas antara dua hal, dan hal ini maksudnya pembatas antara alam dunia dengan alam akhirat. Dengan demikian ketika seseorang meninggal, maka dia tidak akan kembali ke alam dunia.

Dan ketika ruh akan dibangkitkan dari alam barzah(alam kubur) ke alam akhirat, ruh itu dikembalikan ke jasad yang baru yang diciptakan untuk alam akhirat.

Sedangkan ketiga, alam akhirat atau darul qarar adalah alam setelah kebangkitan manusia dari kuburnya untuk mendapatkan balasan. Di mana jasad dan ruh digabungkan kembali. Di alam inilah keabadian menyertai, yakni surga dan neraka. 

Sementara keterkaitan antara ketiga dimensi alam tersebut adalah sebagai alam yang akan disinggahi setiap umat manusia. Baik Muslim atau pun non-Muslim.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengingat Akhirat, Cara Wali Mengobati Penyakitnya

Seorang wali mengobati penyakitnya dengan mengingat akhirat.

Abu Yakub Yusuf bin al-hamdani as-Suusy rah, menceritakan pada suatu ketika ia sengaja berkelana dari Basrah menuju Makkah. Perjalanan panjangnya itu dia lakukan bersama rombongan calon haji yang miskin.

Di antara jamaah haji itu terdapat seorang pemuda yang sangat sholeh dan Abu Yaqub menilainya bahwa dia telah memiliki sifat-sifat seorang wali Allah. Karena dia selalu sibuk dengan dzikir kepada Allah dan kesalehan lainnya.

“Dengan kesalahannya aku merasa senang selalu bersamanya,” kata Abu Yaqub sepet dikisahkan Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny dalam bukunya 198  Kisah Haji Wali-wali Allah”,

Setibanya di Madinah, pemuda itu jatuh sakit. Beberapa hari Abu Yaqub tidak melihatnya di masjid, sehingga dia sangat mengkawatirkan kesehatannya. Akhirnya dia putuskan untuk menjenguknya.

“Pemuda itu terbaring lemah dengan mata terpejam,” katanya.

Setelah mengetahui keadaannya, Abu Yaqub dan rombongan pun mengambil tindakan untuk membawanya kepada seorang tabib setempat untuk diobati. Namun, ketika pemuda itu mengetahui keputusannya, dia membuka matanya lalu tersenyum dan berkata.

“Saudara-saudaraku yang mulia, betapa buruk suatu persetujuan yang diikuti dengan ketidak setujuan serta pertentangan. Tidakkah itu berarti menentang kehendak Allah dan keinginannya? Bukankah dia telah memilihkan untuk kita suatu jalan, tetapi mengapa kita berada di jalan lain dan memilih jalan yang lain?”

Mendengar kata-katanya itu Abu Yaqub merasa malu. Lalu dia memandangi rombongan dan berkata.

“Jika dapat dicarikan obat untuk mengobati penyakit cinta kepada Allah, carilah obatnya untuk menyembuhkan orang yang cinta kepada Allah.”

“Ketahuilah bahwa penyakit-penyakit ini sebenarnya adalah cara untuk memperoleh kesucian jasad. Dan ampunan dosa dengan penyakit itu menyebabkan kita mengingat akhirat.”

Kemudian dia membaca syair.

“Obat ku hanyalah kepada Allah.
Hanya Dia lah yang tahu penyakitmu.
Karena menuruti hawa nafsuku
Aku menzalimi rohku dengan tidak adil.
Apabila aku minum obat hanyalah akan bertambah penyakitku.”

Syekh Yusuf al-Hamdani adalah seorang wali Allah dan meninggal dunia di khurasan, Iran pada 12 Rabi’ulawwal 535 H. Di dekat makam yang dibangun sebuah masjid besar di pondok pesantren.

KHAZANAH REPUBLIKA