Mengambil Uang Suami yang Pelit

Dalam syariat Islam, memenuhi nafkah bagi isteri hukumnya wajib berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ ulama. Kewajiban ini dibebankan kepada suami, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur`an :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS: Al Baqarah: 233).

Bagaimana jika menghadapi suami pelit?

حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ

“Telah menceritakan kepadaku [Ali bin Hujr As Sa’di] telah menceritakan kepada kami [Ali bin Mushir] dari [Hisyam bin ‘Urwah] dari [ayahnya] dari [‘Aisyah] dia berkata, “Hindun binti ‘Utbah isteri Abu Sufyan menemui Rasulullah ﷺ seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang pelit, dia tidak pernah memberikan nafkah yang dapat mencukupi keperluanku dan kepeluan anak-anakku, kecuali bila aku ambil hartanya tanpa sepengetahuan darinya. Maka berdosakah jika aku melakukannya?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Kamu boleh mengambil sekedar untuk mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu.” (HR: Shahih Muslim hadis nomor 3233).

Semoga Allah menjauhkan kita dari sikap pelit dan dari suami yang pelit.*

HIDAYATULLAH

Ini Dua Cara Perempuan Menghindari Api Neraka

Diceritakan bahwa mayoritas penghuni neraka adalah perempuan. Apakah benar demikian? Atau hanya sekedar pengingat saja agar perempuan sekarang tidak meniru apa-apa yang menyebabkannya terjerumus dalam api nereka. Dalam hadis disebutkan sebagai berikut:

قَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أّهْلِ النَّارِ فَقُلنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللِّعَنَ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ

Rasulullah saw bersabda: ‘Wahai para perempuan sekalian bersedekahlah! Karena sesungguhnya aku diperlihatkan bahwa mayoritas penghuni neraka adalah kalian (kaum perempuan).’ Kemudian para perempuan itu bertanya: ‘Mengapa ya Rasulullah?’ Rasul pun menjawab: Kalian sering melaknat dan berbuat kufur kepada suami.”

Dari hadis tersebut sebenarnya Rasulullah ingin menunjukkan dua cara agar perempuan tidak terjerumus ke dalam api nereka. Yang pertama adalah menjaga lisan agar tidak mudah melaknat. Lisan adalah anugerah indah yang perlu dijaga.

Di saat perempuan bisa menjaga lisannya, maka selamatlah ia dari keburukan lisannya. Sebab itu berhati-hatilah dalam melontarkan setiap kata-kata. Tidak asal melaknat atau mencela kepada sesama.

Nabi Muhammad mencontohkan perilaku seorang Nabi yang penuh kasih sayang. Kita sebagai para pencari cintanya, seyogyanya bisa meniru apa yang telah beliau contohkan. Beliau bersabda:

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai rahmat

Kedua, tidak berbuat kufur kepada suami. Yang dimaksud kufur di sini adalah bukan perempuan yang keluar dari agama Islam. Melainkan mengingkari nikmat yang telah diberikan suami dan meninggalkan kebaikan yang telah dilakukannya. Dalam artian khusus, Rasulullah mengajarkan setiap perempuan untuk mensyukuri apa yang ia dapat dari sosok suami tercintanya, sedikit atau banyak sekalipun. Bukan mencercanya ketika ia memberikan apa yang tidak diinginkan.

Begitu pun dengan segala kebaikannya, harus dihargai dengan sebaik mungkin. Bukankah taat kepada suami adalah sebuah keniscayaan bagi perempan? Sebagaimana disabdakan Rasulullah:

لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Jika saya (diperbolehkan) memerintah seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka saya akan memerintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya.”

BINCANG SYARIAH

Apakah Hutang Istri Menjadi Tanggung Jawab Suami?

Perjalanan roda rumah tangga tentu tidak selamanya mulus. Salah satu masalah rumah tangga yang kerap kali dihadapi seorang istri adalah problem ekonomi. Seperti belanjanya kurang, dan tidak cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Salah satu cara untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan cara berhutang. Di saat berada dalam posisi ini, apakah hutang istri menjadi tanggung jawab suami?

Suami selaku kepala rumah tangga berkewajiban untuk memberikan nafkah satu mud beserta lauk pauknya. Untuk saat ini, satu mud bisa dikonversi menjadi 0.675 Kg atau 0.688 liter. Untuk konteks di Indonesia, bisa disederhanakan lagi menjadi tiga perempat liter beras. Suami juga berkewajiban untuk memberi pakaian sederhana kepada istri.

Apabila suami telah memenuhi semua kebutuhan ini, istri tidak boleh berhutang kecuali ada kerelaan dari suami. Namun, bila suami tidak memberikan nafkah karena miskin, istri boleh berhutang hanya sekedar batas kewajiban nafkah suami dan hutang itu menjadi tanggungan suami. Sebagaimana dalam keterangan kitab Al-Mausuah al-Fiqhiyyah (juz 41, halaman 43) berikut,

إِنْ أَنْفَقَتِ الزَّوْجَةُ عَلَى نَفْسِهَا مِنْ مَالِهَا أَوْ مِنْ مَالِ غَيْرِهَا بِدُونِ قَضَاءٍ مِنَ الْقَاضِي بِالنَّفَقَةِ أَوْ تَرَاضٍ مَعَ زَوْجِهَا عَلَى مِقْدَارِ النَّفَقَةِ : لا تَكُونُ النَّفَقَةُ دَيْنًا عَلَى الزَّوْجِ أَصْلا إلى أن قال وَإِنْ أَنْفَقَتْ عَلَى نَفْسِهَا بَعْدَ الْقَضَاءِ وَالإِذْنِ بِالاسْتِدَانَةِ ، أَوْ بَعْدَ التَّرَاضِي مَعَ زَوْجِهَا وَالإِذْنِ لَهَا بِالاسْتِدَانَةِ – وَاسْتَدَانَتِ الزَّوْجَةُ بِالْفِعْلِ – كَانَتِ النَّفَقَةُ دَيْنًا صَحِيحًا ثَابِتًا عَلَى الزَّوْجِ لا يَسْقُطُ إِلا بِالأَدَاءِ إِلَيْهَا فِعْلا أَوِ الإِبْرَاءِ مِنْهَا

Apabila Istri menafkahi dirinya sendiri menggunakan uangnya sendiri atau uang orang lain tanpa adanya keputusan hakim atau tanpa adanya kerelaan antara suami istri mengenai takaran nafkah maka tanggungan tersebut tidak menjadi tanggungan suami. Apabila Istri menafkahi dirinya sendiri setelah adanya keputusan dan izin dari hakim atau setelah adanya kerelaan dari suami maka tanggungan tersebut menjadi hutang bagi suami dan tidak bisa menjadi gugur kecuali adanya pelunasan tangggungan itu.

Namun demikian, apabila istri berhutang di luar kadar kewajiban jumlah nafkah yang harus diberikan suami maka bukan jadi tanggungan suami melainkan menjadi tanggungan istri itu sendiri. Sebagaimana dalam penjelasan kitab Hasyiyah al- Bajuri, (juz 2, halamana 194) berikut,

ﻭﻳﺼﻴﺮ ﻣﺎ ﺃﻧﻔﻘﺘﻪ ﺩﻳﻨﺎ ﻋﻠﻴﻪ إن كان بقدر الواجب بخلاف ما إذا كان ما أنفقته زائدا على قدر الواجب فلا يصير دينا عليه إلاّ قدر الواجب

Apa yang dibelanjakan istri menjadi hutang suami jika hutang itu sebanyak kewajibannya. Berbeda apabila apa yang dibelanjakan melebihi jumlah kewajibannya, maka yang menjadi hutang bagi suami hanya nominal sebesar kewajibannya saja.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa apabila istri berhutang sekedar batas kewajiban nafkah suami maka hutang itu juga menjadi tanggung jawab suami. Namun, apabila istri berhutang diluar kadar kewajiban jumlah nafaqah yang harus diberikan suami maka bukan jadi tanggungan suami melainkan menjadi tanggungan istri itu sendiri.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Alasan Mengapa Dianjurkan Hindari Debat Menurut Ghazali

Debat persoalan sepele atau pun besar sangat tidak dianjurkan

 Imam Abu Hamid Al Ghazali berpandangan bahwa berdebat pada perkara khilafiyah (perkara yang di dalamnya terdapat ragam pandangan) mengandung bahaya dan keburukan. 

Salah satunya ialah memunculkan sikap mencari-cari kelemahan lawan di antara kaum Muslim yang sedang berdebat. Padahal, Allah SWT berfirman: 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ   “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kalian mengintip dan memata-matai kelemahan orang lain…” (QS Al Hujurat ayat 12)

Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Al Ghazali juga mengutarakan, berdebat pada masalah khilafiyah cenderung menimbulkan sikap mengumpat atau ghibah di antara kaum Muslim. 

Allah SWT telah memperingatkan, bahwa sikap mengumpat bagaikan memakan bangkai saudara sendiri yang telah meninggal dunia.

“Kecenderungan seorang pendebat akan mencari-cari dan mengungkapkan kebodohan, kelemahan, kekurangan serta ketidaktahuan lawan bicaranya,” tuturnya. 

Selain itu, berdebat soal khilafiyah juga bisa memunculkan sikap mengklaim bahwa dirinyalah yang suci di antara kaum Muslim yang sedang berdebat. Allah SWT berfirman: 

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ “Janganlah kalian menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya hanya Allah yang paling mengetahui siapa orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS An Najm ayat 32).

Al Ghazali juga mengingatkan, perdebatan pada masalah khilafiyah dapat menimbulkan sikap nifaq atau munafik pada diri Muslim yang berdebat. Orang yang berdebat memang menunjukkan sikap yang bersahabat kepada lawan debatnya, tetapi itu hanya secara lahiriah. 

Sebab, jauh di dasar sanubari, dia memendam kebencian kepada lawan debatnya. Rasulullah SAW pun melarang perdebatan walaupun sekadar berbincang tetapi isinya tidak bermanfaat dan dapat mengarah pada perdebatan. Rasulullah SAW bersabda:

من ترك الكذب وهو باطل بني له في ربض الجنة، ومن ترك المراء وهو محق بني له في وسطها، ومن حسن خلقه بني له في أعلاها.

“Siapa yang meninggalkan perdebatan, sementara dia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Anas bin Malik).      

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Memusnahkan Mushaf Alquran yang Rusak Sesuai Syariat

Tak sedikit mushaf-mushaf Alquran yang berserakan akibat rusak, baik di tempat ibadah (masjid ataupun mushala) maupun perkantoran dan rumah. Apakah tak berdosa jika membakar mushaf yang rusak tersebut?

KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal keluaran Penerbit Pustaka Firdaus menjelaskan, mushaf Alquran yang rusak, sobek, kotor, dan sebagainya yang menjadikannya tidak terbaca, maupun mushaf yang terdapat kesalahan tulis (cetak), semuanya boleh dibakar.

Namun demikian abunya, kata KH Ali, harus dipendam secara terhormat di tanah. Abunya tidak diperkenankan dipendam di tempat kotor, tempat maksiat, atau tempat yang sering diinjak manusia maupun binatang. Hal ini demi menjaga kemuliaan Alquran.

Dalam kitab Shahih Bukhari dijelaskan bahwa setelah mengkodifikasikan Alquran, Sayyidina Usman bin Affan memerintahkan kaum Muslimin untuk membakar semua catatan Alquran mereka dan menjadikan mushaf Usmani sebagai satu-satunya pedoman dan acuan baku mushaf Alquran.

Dalam kasus ini tidak ada sahabat yang memprotes atau membantahnya, sehingga keputusan Sayyidina Usman tersebut menjadi ijma (konsesus) sahabat. Dan ijma sahabat merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam.

Ada juga keterangan Abdullah bin Mas’ud yang memprotes kebijakan Sayyidina Usman itu. Namun protesnya bukan pada kebijakan pembakaran mushaf, melainkan pada kebijakan menjadikan mushaf Usmani sebagai satu-satunya pedoman dan acuan baku mushaf.

IHRAM

Larangan Memaksa Orang Sakit untuk Makan?

Terdapat riwayat yang diklaim sebagai hadis Nabi Shallalalhu ‘alaihi wasallam yang isi kandungannya adalah tidak boleh memaksa orang yang sakit untuk makan dan minum. Riwayat tersebut adalah,

لاَ تُكْرِهُوا مَرْضَاكُمْ عَلَى الطَّعَامِ؛ فَإِنَّ الله يُطْعِمُهُمْ وَيَسْقِيهِمْ

“Jangan paksakan orang sakit untuk makan, karena Allah sedang memberinya makan dan minum” (HR Tirmidzi).

Perlu ketahui bahwa ada perbedaan pendapat ulama terkait kesahihan hadis ini. Ada ulama yang menyatakan hadis ini hasan dan ada ulama yang menyatakan hadis ini lemah bahkan bathil.

Di antara ulama yang meng-hasan-kan adalah Tirmidzi, Al-Albani dan lain-lain, dalam fatwa Asy-syabakah Islamiyah asuhan Syekh Abdullah Al-Faqih dijelaskan,

فالحديث المذكور رواه الترمذي وابن ماجه والحاكم والطبراني في الكبير والأوسط والبيهقي والبزار، والحديث حسنه الترمذي، وصححه الحاكم على شرط مسلم، ووافقه الذهبي، وحسنه في الزوائد  والألباني في السلسلة الصحيحة.

“Hadis yang disebutkan tersebut diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, At-Thabraniy dalam al-Kabir,  al-AusathAl-Baihaqi dan al-Bazzar. Hadts dihasanlan oleh at-Tirmizdi dan disahihkan oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Disetujui oleh adz-Dzahabi dan di-hasan-kan dalam az-Zawaid dan Al-Albani dalam as-Silsilah as-Shahihah” (Fatwa no. 58519).

Adapun ulama yang yang menyatakan dhaif sekali atau bathil di antaranya an-Nawawi, Abu Hatim ar-Razi, Syekh Muqbil, Syekh Musthafa Al-Adawi dan lain-lain.

Syekh Muqbil Rahimahullah menjelaskan,

فهذا حديث ضعيف جدًا أخرجه الترمذي وابن ماجه وغيرهما، ويذكر عن أربعة من الصحابة رضي الله عنهم وهم: (عقبه بن عامر، وعبدالله بن عمر، وعبدالرحمن بن عوف، وجابر بن عبدالله). وأسانيده كلها ضعيفة جدًا ولا يقوي بعضها بعضًا، ولذلك قال أبوحاتم الرازي: هذا حديث باطل، وأنكره أبو زرعة ، وضعفه والنووي وابن الجوزيوغيرهم.

“Hadis ini sangat dhaif diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain. Disebutkan dari empat sahabat Radhuallahu’anhu. Mereka adalah ‘Uqbah bin Aamir, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Auf dan Jabir bin Abdillah. Semua sanadnya dhaif sekali dan tidak menguatkan satu sama lain. Oleh karena itu Abu Hatim ar-Razi berkata, hadis ini batil dan diingkari oleh Abu Zur’ah. Dilemahkan oleh an-Nawawi, Ibnul Jauzi dan lain-lain” (sumber: http://almuqbil.com/web/?action=fatwa_inner&show_id=1948).

Syekh Musthafa al-Adawi juga menjelaskan bahwa hadis ini lemah dan tidak boleh disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (sumber: https://youtu.be/gIZQF9dx8jg).

Dari perbedaan pendapat ini, kami lebih tenang dengan pendapat ulama yang menyatakan hadis ini dhaif. Sebagaimana kaidah (dan terpenuhi syaratnya),

الجرح المفسر مقدم على التعديل

Jarh (kritik) secara rinci terhadap hadis didahulukan (dimenangkan) daripada ta’dil (menguatkan).”

Rincian jarh hadis ini bisa dibaca di sumber: https://www.tasfiatarbia.org/vb/showthread.php?t=7860.

Meskipun hadis ini kita anggap lemah, tetapi kandungan hadis ini dibenarkan oleh sebagian ulama. Hukum asalnya tidak boleh memaksa orang yang sakit untuk makan dan minum karena hal ini akan membuat tidak nyaman bahkan menyiksa mereka yang membuat tambah sakit. Dalam ilmu psikologi manusia, apapun yang dipaksakan tentu tidak nyaman. Oleh karena itu, kita dapatkan beberapa penjelasan ulama bahwa orang sakit hukum asalnya tidak boleh dipaksa untuk makan dan minum.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan,

وذلك أن المريض إذا عاف الطعام أو الشراب فذلك لاشتغال الطبيعة بمجاهدة المرض, أو لسقوط شهوته أو نقصانها لضعف الحرارة الغريزية أو خمودها, وكيفما كان فلا يجوز حينئذ إعطاء الغذاء في هذه الحالة

“Oleh karena itu apabila oramg sakit merasa mual/jenuh dengan makan dan minum akibat tubuh yang sedang melawan penyakit atau turunnya nafsu & berkurangnya makan atau panas alami. Kapan pun terjadi hal ini maka tidak boleh memberikan makanan dalam keadaan ini” (Zadul Ma’ad 4/83).

Adapun maksud kalimat “Allah memberinya makan dan minum“, ini bukan maksudnya memberika makan dan minum secara hakikat, akan tetapi Allah memberikan kesabaran dan kekuatan menghadapi rasa lapar dan haus.

Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri Rahimahullah menjelaskan,

أي يمدهم بما يقع موقع الطعام والشراب, ويرزقهم صبراً على ألم الجوع والعطش, فإن الحياة والقوة من الله حقيقة لا من الطعام ولا الشراب ولا من جهة الصحة.

“Maksudnya adalah Allah memberikan kekuatan yang bisa menggantikan makan dan minum.  Allah memberikan rezeki kepada mereka berupa kesabaran menghadapi perihnya lapar dan haus. Sesungguhnya kehidupan dan kekuatan dari Allah secara hakikat, bukan semata-mata dari makan, minum dan kesehatan” (Tuhfatul Ahwadzi 6/162).

Lafaz ini sebagaimana dengan hadis lainnya terkait puasa wishal yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (puasa ini khusus bagi beliau dan tidak untuk umatnya), beliau juga menggunakan lafaz yang sama yaitu diberi makan dan minum dalam makna yang bukan hakiki. Beliau bersabda,

لا تُوَاصِلُوا . قالوا : انك تواصل. قال : إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ ، إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي .

“Jangan menyambung (puasa wishal).” Mereka mengatakan, “Tapi engkau menyambung (puasa).” Beliau bersabda, “Aku tidak seperti kalian. Aku melalui malam dan Rabbku memberiku makan dan minum.” (HR. Bukhari & Muslim).

Perlu diketahui apabila keadaan orang sakit akan bahaya apabila tidak makan semisal kondisi menjadi drop, penurunan kesadaran, lambung akan rusak karena kosong dari makanan atau bahkan menyebabkan kematian, maka orang sakit tersebut bisa dipaksa makan & minum walaupun sedikit. Alhamdulillah di zaman ini sebagai pengganti makan dan minum tidak harus makan secara langsung. Bisa digantikan dengan cairan infus yang mengandung sari-sari makanan atau melalui selang nasogastrik dan lain-lain.

Syekh Muhammad Shalih al-Munajjid berdalil akan hal ini bahwa berobat dan makan itu tidak boleh dipaksa, tetapi apabila membahayakan memang harus dipaksa agar menghindari mudarat yang lebih besar. Beliau berkata,

, إنما كان بعد الخوف عليه من الهلاك أو تزايد المرض ، إذا لم يتناول العلاج ، أو التغذية ، وهذا لا حرج عليك فيه إن شاء الله

لكن إن خيف على المريض الهلاك إن لم يتناول الدواء فالذي يظهر – والعلم عند الله – أنه يجوز حينئذ إكراهه على ذلك

“Jika jauh dari kemungkinan pasien akan meninggal atau bertambah penyakitnya, apabila memilih tidak minum obat atau makan, maka tidak mengapa (hukumnya mubah), insyaallah, akan tetapi jika dikhawatirkan akan meninggal apabila tidak minum obat, maka pendapat terkuat adalah BOLEH MEMAKSA untuk hal tersebut (memberi obat dan makan)” (Fatwa Sual wal Jawab no. 192633).

Kesimpulan:

1. Hadits larangan memaksa orang sakit makan dan minum diperselisihkan ulama kesahihannya, kami lebih tenang dengan pendapat ulama yang men-dhaif-kannya

2. Kandungan hadis tersebut benar yaitu tidak boleh memaksa orang sakit makan dan minum karena sesuatu yang dipaksa tentu akan tidak nyaman dan bisa jadi membuat pasien lebih sakit.

3. Apabila tidak makan dan minum lalu dikhawatirkan pasien akan bertambah parah sakitnya atau meninggal, boleh dipaksa dan hal seperti ini banyak kita jumpai dalam berbagai kasus penyakit.

4. Alhamdulillah dengan teknologi kedokteran modern saat ini, pasien tidak perlu dipaksa makan yang membuat tidak nyaman. Bisa digantikan dengan pemberian cairan infus atau selang nasogastrik

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68419-larangan-memaksa-orang-sakit-untuk-makan.html

Kematian Mendadak Akibat Wabah dan Tanda Kiamat

Kematian mendadak dalam sejarah lekat dengan munculnya wabah

Dalam bahasa Arab kalimat kiamat (al-qiyamat) selain mempunyai arti hancurnya alam semesta, juga dapat diartikan dengan kematian (al-maut). Orang yang mati berarti sudah merasakan kiamat dan masuk ruang kehidupan dimensi akhirat (kiamat).

Namun yang dimaksud dengan kiamat dalam kontek kematian adalah kiamat dengan skala kecil (sughra). Sedangkan kiamat dengan skala besar (kubra) adalah hancurnya alam semesta yang ditandai dengan tiupan pertama sangkakala atau terompet malaikat Israfil.

Setiap jiwa yang hidup pasti akan merasakan kematian, baik mati yang disebabkan penyakit tertentu, kecelakaan, disebabkan bencana alam atauh bahkan mati mendadak.

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS Ali Imran 185) 

Datangnya hari kiamat adalah sebuah kepastian yang wajib di imani keberadaannya. Semua manusia termasuk para kekasih Allah SWT, seperti para Nabi dan orang-orang shalih tidak ada yang tahu kapan persisnya terjadi hari kiamat terjadi. Kepastian terjadinya hari kiamat hanya diketahui Allah, Dzat SWT Yang Mahatahu.

 يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia’.” (QS Al Ahzab 187). 

Dalam ayat yang lain, sejak Rasulullah SAW masih hidup sekitar 14 abad yang silam kemuculan kiamat sudah dianyatakan dekat.

 يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا “Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”. Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS Al Ahzab 63) 

Tanda-tanda munculnya hari kiamat dijelaskan dalam beberapa hadits antara lain: 

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ أَسِيدٍ الْغِفَارِيِّ قَالَ اطَّلَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ فَقَالَ مَا تَذَاكَرُونَ قَالُوا نَذْكُرُ السَّاعَةَ قَالَ إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأَجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلَاثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنْ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ

“Dari Hudzaifah bin Asid Al-Ghifari berkata bahwa Rasulullah SAW menghampiri kami saat kami tengah membicarakan sesuatu. Dia bertanya, ‘Apa yang kalian bicarakan?’ Kami menjawab, ‘Kami membicarakan kiamat.’ Dia bersabda, ‘Kiamat tidaklah terjadi sehingga kalian melihat sepuluh tanda-tanda sebelumnya.’ Rasulullah menyebut kabut, Dajjal, binatang (ad-dabbah), terbitnya matahari dari Barat, turunnya Isa bin Maryam AS, Yajuj dan Majuj, tiga gerhana; gerhana di timur, gerhana di barat dan gerhana di jazirah Arab dan yang terakhir adalah api muncul dari Yaman menggiring manusia menuju tempat perkumpulan mereka.” (HR  Muslim).   

Kabar duka sering terdengar belakangan ini. Kabar kematian tersebut beragam faktor penyebabnya. Salah satunya adalah kabar kematian karena wabah.

Dahulu ketika keadaan masih normal dan dunia bebas dari pandemi global seperti Virus Covid-19, faktor-faktor kematian yang didengar beraneka macam penyebabnya seperti kecelakaan, sakit kronis, tertimpa bencana, dan sebagainya. Namun yang terjadi sekarang, penyebab kematian mendadak karena wabah justru menjadi hal yang tak asing didengar.   

Kematian mendadak karena wabah sebenarnya tidak terjadi pada masa sekarang saja, melainkan sejak zaman dahulu wabah virus sudah berevolusi dan tidak sedikit diantaranya yang menyebabkan kematian massal pada umat manusia.  

Contohnya nyatanya adalah virus Flu Spanyol yang pernah mengguncang Indonesia dan merenggut nyawa jutaan orang sejak Maret 1918 sampai September 1919.

Dikutip dari Arsip Nasional RI (ANRI) virus ini berhasil melumpuhkan 20 persen dari total populasi penduduk dunia. Artinya dalam konteks ini, kematian karena wabah itu merupakan hal yang memang sudah terjadi sejak dahulu. 

Namun tak dapat dimungkiri bahwasannya tiap kejadian yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah SWT. Terkadang Allah SWT menghendaki terjadinya sesuatu agar kita dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi. Kematian mendadak sebenarnya bukanlah hal yang ganjil untuk terjadi, karena pada hakikatnya kematian itu adalah hal yang pasti terjadi. Semua yang bernyawa pasti akan mati, akan tetapi bila kematian yang terjadi bersifat massal maka hal tersebut perlu menjadi bahan refleksi dan mawas diri.

Jika ditinjau dari perspektif dalil, Rasulullah pernah menjelaskan bahwa kiamat sudah dekat apabila suatu kaum sudah terang-terangan melakukan perzinaan maka akan menjalar berbagai wabah dan penyakit yang tidak dikenal sebelumnya. Penjelasan ini dapat terkonfirmasi dari hadits riwayat Ibnu Majah:   

 يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ: لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ، حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا، إِلَّا فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW memberitakan kepada kita bahwa apabila umat manusia melakukan lima hal, maka mereka akan dihukum dengan lima hal. Dan kelima perbuatan itu adalah tanda-tanda semakin dekatnya hari kiamat. Pertama, apabila suatu kaum sudah terang-terangan melakukan perzinaan maka akan menjalar berbagai wabah dan penyakit yang tidak dikenal sebelumnya di kalangan mereka…(HR  Ibnu Majah). Dalam hadits lain disebutkan:  

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ أَنْ يُرَى الْهِلالُ قِبَلا ، فَيُقَالُ : لِلَيْلَتَيْنِ ، وَأَنْ تُتَّخَذَ الْمَسَاجِدَ طُرُقًا ، وَأَنْ يَظْهَرَ مَوْتُ الْفُجَاءَةِ

Dari Anas bin Mâlik, dia meriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW beliau SAW bersabda, “Di antara dekatnya hari kiamat, hilal akan terlihat nyata sehingga dikatakan ‘ini tanggal dua’, masjid-masjid akan dijadikan jalan-jalan, dan munculnya (banyaknya) kematian mendadak.” (HR Thabarani).  

Mati mendadak bagi orang yang beriman bisa jadi itu merupakan bentuk kasih sayang dari Allah SWT dan sebaliknya bisa disebut siksaan bagi orang yang tidak beriman. Rasulullah SAW bersabda: 

عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : مَوْتُ الْفُجَاءَةِ تَخْفِيفٌ عَلَى الْمُؤْمِنِ ، وَأَخْذَةُ أَسَفٍ عَلَى الْكَافِرِ

Dari ‘Aisyah, dia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh SAW bersabda, “Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir.” (HR  Abdurrazzaq). 

Rasulullah SAW juga berlindung diri dari segala sesuatu yang berisiko pada kematian.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي ، وَالْهَدْمِ ، وَالْغَرَقِ ، وَالْحَرِيقِ ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا

“‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari terjatuh dari tempat yang tinggi, dari tertimpa bangunan (termasuk terkena benturan keras dan tertimbun tanah longsor), dari tenggelam, dan dari terbakar. Aku juga berlindung kepada-Mu dari campur tangan setan ketika akan meninggal. Aku juga berlindung kepada-Mu dari meninggal dalam keadaan lari dari medan perang. Aku juga berlindung kepada-Mu dari meninggal karena tersengat hewan beracun.”  

Terlepas dari pertanyaan apakah kematian mendadak merupakan suatu pertanda akhir zaman, tapi sebagai seorang muslim memang sudah seharusnya kita melakukan kontemplasi dan refleksi diri.

Sudah siapkah kita dihadapkan dengan kematian yang datang secara tiba-tiba? Karena pada hakikatnya kematian memang datang tanpa diundang. Baik dengan adanya wabah atau pun tidak, kematian adalah suatu keniscayaan yang pasti akan terjadi pada tiap insan yang bernyawa. Wallahu’alam bisshawab.

Oleh : KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan Pengurus Lembaga Dakwah PBNU, dan Duta Pancasila BPIP RI

Sumber: mui.or.id

KHAZANAH REPUBLIKA

Amalan Surat at-Tahrim Sembuhkan Orang Sakit

Ayat-ayat suci dalam Alqur’an memiliki banyak keutamaan, salah satunya ayat yang terdapat dalam surat at-Tahrim. Dengan mengamalkan surat at-Tahrim, umat Islam bisa menyembuhkan orang sakit, orang yang terkena sihir, dan orang gila.

“Salah satu keutamaan mengamalkan surat at-Tahrim adalah untuk menyembuhkan orang sakit yang sakit secara alamiah, orang yang sakit karena kejahatan orang lain, orang yang terkena sihir, dan untuk menyembuhkan orang gila,” kata kata Muhammad Zaairul Haq dalam buku “Rahasia Keutamaan Surat Al-Qur’an” terbitan Rene Islam, 2021.

Dia pun menjelaskan tentang cara mengamalkan surat at-Tahrim. Menurut dia, umat Islam bisa membacanya berulang-ulang pada orang yang sakit itu. “Insyaallah dengan izin dan kuasa-Nya, segala penyakit tersebut akan sembuh,” jelas Zaairul Haq.

Menurut dia, amalan tersebut dijelaskan dalam kitab ad-Dur an-Nazhim fi Khawash al-Qur’an al-‘Azhim karya Imam Abu Muhammad Abdullah bin As’ad al-Yamani al-Yafi’i asy-Syafi’i.

Dalam bukunya tersebut, Zaairul Haq banyak mengungkapkan keutamaan membaca surat-surat dalam Alqur’an. Dengan mengetahui keutamaannya, masyarakat muslim diharapkan bisa lebih tertarik membaca Alqur’an dan bersemayam di hati masyarakat muslim nusantara.

Dalam menulis buku “Rahasia Keutamaan Surat Al-Qur’an”, Zaairul Haq mengacu pada penjelasan ulama-ulama besar yang telah mencurahkan upaya mereka untuk menjelaskan secara panjang lebar mengenai keutamaan Alqur’an.

Diantaranya, Zaairul Haq mengutip penjelasan dari Imam al-Yafi’i, Imam Ghazali, Ahmad al-Buni, Sayyid Muhammad Haqqi an-Nazily, dan lain sebagainya.

IHRAM

Nabi Ismail dan Lahirnya Kota Makkah

LAHIRNYA sebuah negara – atau kota – biasanya dikenang oleh warganya, seperti Indonesia dan Malaysia, misalnya, yang diperingati pada setiap bulan Agustus (masing-masing pada tanggal 17 dan 31). Dibandingkan negara modern yang umumnya lahir belakangan, banyak kota-kota di dalamnya yang memiliki usia jauh lebih tua, bahkan ada yang tidak diketahui kapan persisnya kota itu lahir. Di antaranya adalah kota Makkah.

Walaupun tahun kelahiran Makkah tidak disebutkan di dalam sejarah, kita mengetahui kisah kemunculan kota itu dari beberapa hadits. Tentu saja tempat itu tidak langsung terbentuk menjadi sebuah kota, tetapi bermula dari sebuah pemukiman yang sangat sederhana.

Karenanya, tulisan kali ini hendak mendiskusikan tentang formasi awal Makkah dan kaitannya dengan kemunculan peradaban, di samping juga tentang generasi Arab (Musta’ribah) yang dilahirkan oleh Nabi Ismail alaihis salam, sebagaimana yang disebutkan di dalam sejarah Islam dan juga di dalam Perjanjian Lama.

Mengikuti narasi hadits, Makkah mulai terbentuk menjadi sebuah pemukiman ketika Nabi Ibrahim alaihis salam membawa istrinya Hajar dan puteranya Ismail yang masih dalam usia menyusui ke lembah Bakkah/Makkah. Kisah tentang ini antara lain disebutkan dalam dua hadits yang panjang di dalam Sahih Bukhari, yang dapat diringkas seperti berikut:

Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail ke lembah Makkah yang ketika itu tidak berpenghuni dan tidak memiliki sumber air. Nabi Ibrahim alaihis salam kemudian berbalik pulang (ke Palestina), meninggalkan istri dan anaknya di lembah yang terasing di tengah gurun pasir itu.

Walaupun sangat berat, Hajar menerima hal itu sebagai sebuah ketetapan dari Tuhan-nya dan ia percaya Allah akan menjaga dirinya dan anaknya. Saat bekalnya habis, ia berlari bolak-balik tujuh kali di antara bukit Safa dan Marwa, berharap ada manusia di sekitar tempat itu, tetapi tidak jua dijumpainya. Kemudian ia melihat malaikat Jibril berdiri dan menggali dengan kaki atau sayapnya di tempat keluarnya sumur Zamzam, sehingga Hajar dan Ismail dapat minum dari mata air yang baru keluar itu.

Beberapa waktu kemudian, sekumpulan Bani Jurhum lewat di kawasan itu. Saat mengetahui adanya mata air di lembah itu, mereka pun meminta izin untuk menetap. Maka lahirlah Makkah sebagai sebuah pemukiman atau desa. Ismail tumbuh besar, belajar bahasa Arab, dan menikah dengan suku Jurhum.

Ayahnya Ibrahim, dalam beberapa kesempatan datang ke Makkah, dan pada suatu ketika mengajak Ismail untuk membangun Ka’bah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Ka’bah sebelum itu hanyalah berupa sebuah bukit kecil di lembah Makkah. Setelah Ka’bah selesai dibangun, keduanya pun berdoa kepada Allah (al-Bukhāri, 1997: IV/351-359; Hadits No. 3364 & 3365).

Sejak saat itu, dimulailah ibadah haji yang menarik orang-orang berdatangan setiap tahunnya ke Makkah. Hal ini menjadikan pemukiman itu terus berkembang pada masa-masa berikutnya.

Ada beberapa hal terkait kelahiran Makkah yang hendak didiskusikan di sini. Pertama, tentang munculnya sumur Zamzam. Hadits di atas menyebutkan bahwa ketika air mulai mengalir keluar dari tempat itu, Hajar membuat cekungan di sekitar air untuk membatasi alirannya (menjadikannya kolam kecil).

Nabi ﷺ mengomentari hal ini dengan sabdanya, “Kalau saja ia membiarkan Zamzam (mengalir tanpa dibatasi atau dibendung alirannya) … Zamzam akan menjadi air yang mengalir di permukaan bumi (law tarakat zamzam … lakānat zamzam ᶜaynan maᶜīnan/law tarakathu kāna al-mā’ ẓāhiran).”

Ibn Hajar al-Asqalani (2002: XVII/361-361) mengutip Ibn al-Jawzī yang berkomentar tentang hal ini, bahwa “Munculnya Zamzam merupakan nikmat dari Allah secara murni tanpa ada campur tangan manusia. Ketika dicampuri oleh perbuatan Hajar, maka berarti telah dimasuki oleh usaha manusia, sehingga air pun dicukupkan pada yang demikian.”

Sabda Nabi di atas membuat kita berfikir tentang apa yang sebenarnya Nabi ﷺ maksudkan. Apakah ini bermakna Zamzam sebenarnya berpotensi menjadi aliran sungai yang besar, tetapi tidak menjadi sungai dengan ketentuan Allah, lewat peranan Hajar yang tidak disengaja olehnya untuk itu?

Terlepas dari sabda Nabi di atas, kita tetap dapat mengandaikan bahwa mungkin saja Allah menjadikan dari mata air Zamzam sebuah sungai di Jazirah Arab. Jika ini yang terjadi, maka sejarah kawasan itu dapat menjadi sangat berbeda. Sungai itu akan menarik lebih banyak manusia yang dapat menjadikannya pusat peradaban kuno yang penting, sebagaimana Mespotamia dan Mesir Kuno.

Tapi takdir berbicara lain, dan Makkah menunggu waktu yang lebih panjang sebelum nantinya menjadi pusat kemunculan Islam. Tentu ada makna di balik realita ini, yang tidak dapat kami diskusikan dalam tulisan yang terbatas ini.

Poin berikutnya adalah tentang unsur-unsur peradaban. Kisah di atas secara tidak langsung menunjuk kepada elemen-elemen dasar yang berpotensi melahirkan sebuah peradaban – setidaknya suatu pemukiman urban yang merupakan basis bagi peradaban – yaitu adanya manusia, air dan agama.

Ini mengingatkan kita pada persamaan yang dibuat oleh Malik Bennabi, tetapi dengan rumusan yang sedikit berbeda. Menurut Bennabi, peradaban dibentuk oleh elemen manusia, tanah, dan waktu. Tetapi ketiga elemen ini baru dapat menjadi peradaban dengan adanya pemikiran keagamaan sebagai katalisator (Bennabi, 1998, 31; Bin Nabi, 1987, 50).

Dalam konteks kelahiran Makkah ini, persamaan itu disederhanakan menjadi manusia, air, dan agama. Elemen waktu tidak dimasukkan karena manusia dan sejarah memang selalu berada di dalam waktu. Air merupakan elemen yang lebih ditekankan daripada tanah, mengingat posisinya yang lebih sentral bagi peradaban.

Manusia dan masyarakatnya selalu menjadi penggerak utama peradaban. Hajar dan Ismail dalam hal ini menjadi manusia-manusia pertama yang memulai pemukiman di Makkah. Jumlah manusia yang sedikit tentunya tidak dapat membawa pada munculnya kota atau peradaban. Hal itu baru dapat terwujud dengan adanya sumber air yang berlimpah yang menarik lebih banyak manusia untuk menetap dan mengubahnya menjadi pemukiman besar yang permanen.

Air (mata air dan sungai) selalu menjadi pusat penting yang memungkinkan munculnya peradaban-peradaban lama. Dengan air yang berlimpah, pertanian menjadi mungkin untuk diupayakan, dan seterusnya masyarakat akan berkembang menuju susunan yang lebih kompleks.

Kemunculan mata air Zamzam di Makkah telah menarik kehadiran lebih banyak orang untuk menetap. Hanya saja, mata air yang ada di lembah itu tidak membawa pada wujudnya pertanian dan perkebunan. Diet penduduknya terutama adalah dengan daging dan air, di samping buah-buahan dan biji-bijian (gandum) yang datang dari luar tempat itu. Ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh doa Nabi Ibrahim di dalam al-Qurán, “… sesungguhnya aku menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman …” (QS 14: 37,) dan di dalam hadits Bukhari di atas, “Ya Allah! Berkahilah daging dan air mereka” (Allāhumma bārik lahum fī-l-laḥm wa-l-mā’).

Walaupun Makkah tidak menawarkan pertanian, ritual keagamaan yang berkembang di sekitar Ka’bah ikut memberikan implikasi bagi tumbuhnya perekonomian di sana. Ka’bah dalam hal ini mewakili elemen peradaban yang ketiga, yaitu agama.

Agama merupakan penggerak penting bagi muncul dan berkembangnya peradaban-peradaban kuno, yang peranannya tidak berhenti hanya pada aspek ritual dan sosial belaka, tetapi juga merambah ke aspek ekonomi dan politik kenegaraan.

Ka’bah di Makkah juga memberi stimulus bagi berkembangnya perdagangan yang berskala regional. Hal ini memungkinkan masyarakatnya tumbuh secara gradual menjadi masyarakat yang bersifat urban, yang lebih padat populasinya sekaligus memimpin kawasan di sekitarnya. Ka’bah juga mempersiapkan kota Makkah untuk nantinya menjadi tempat kemunculan agama Islam, sekaligus menjadi pusat spiritual peradaban Islam yang menyatukan banyak manusia dari berbagai suku bangsa di dunia, hingga ke masa sekarang ini.

Walaupun ada rentang waktu yang panjang di antara era Nabi Ismail dan Nabi Muhammad, keduanya menjadi mata rantai yang solid di dalam sejarah awal bangsa Arab. Orang-orang Arab sendiri mengenal detail-detail sejarah nenek moyang mereka yang terdahulu secara samar-samar, kadang dengan sokongan riwayat dari sepupu mereka: Bani Israil.

Nabi Ismail tentu saja bukan orang Arab yang pertama. Bani Jurhum yang hadir ke tempat Hajar dan Ismail di Makkah ketika itu adalah bagian dari orang-orang Arab yang asli. Buku-buku sejarah biasanya membagi masyarakat Arab kepada tiga bagian: Ba’idah, ‘Aribah, dan Musta’ribah. Yang pertama sudah pupus dari sejarah. Adapun Bani Jurhum dan beberapa kabilah Arab lainnya yang berasal dari Yaman termasuk dalam kategori yang kedua (‘Aribah). Sementara Nabi Ismail dan keturunannya merupakan orang orang yang terarabkan atau disebut juga Musta’ribah (al-Mubarakfury, 2004: 13).

Nabi Ismail memiliki dua belas orang putera, yaitu – mengikuti versi nama Arab/Perjanjian Lama – Nabit/Nebayot, Qaidar/Kedar, Adba’il/Adbeel, Mibsyam/Mibsam, Misyma’/Mishma, Duma/Duma, Misya/Masa, Hidad/Hadad, Yutma/Tema, Yathur/Yetur, Nafis/Nafish, dan Qaidaman/Kedma (al-Mubarakfury, 2004: 18; Kitab Kejadian 25: 13-15). Namun di antara kedua belas anak ini, menurut al-Tabari (1987: II/132), Nabit dan Qaidar-lah yang menjadi nenek moyang bagi orang-orang Arab keturunan Ismail.

Menurut al-Mubarakfury (2004: 18-19), anak cucu Nabit tersebar di utara Hijaz, sementara keturunan Qaidar menetap di Makkah hingga nantinya muncul Adnan yang merupakan kakek Nabi Muhammad yang kedua puluh satu.

Berangkat dari fakta-fakta di atas, tidak mengherankan jika Muslim yang mendalami kristologi berpandangan bahwa “nyanyian baru bagi Tuhan” yang disebut di dalam Alkitab Yesaya 42: 10-11 adalah berkenaan dengan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu Islam. Teks itu lebih lengkapnya berbunyi demikian:

“Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan dan pujilah Dia dari ujung bumi! Baiklah laut bergemuruh serta segala isinya dan pulau-pulau dengan segala penduduknya. Baiklah padang gurun menyaringkan suara dengan kota-kotanya dan dengan desa-desa yang didiami Kedar! Baiklah bersorak-sorai penduduk Bukit Batu, baiklah mereka berseru-seru dari puncak gunung-gunung!”

Di mana lagi ada tempat yang memberikan referensi bagi “nyanyian baru” yang melibatkan Kedar dan padang pasir dengan kota dan desanya selain daripada Makkah dan sekitarnya? Terlebih jika merujuk pada versi bahasa Inggris dari Alkitab, di mana perkataan “penduduk Bukit Batu” pada ayat di atas merupakan terjemahan dari “the people of Sela”. Dan di kota Madinah terdapat sebuah gunung dengan nama Sela (Silaᶜ).

Jika Kedar di atas mengacu pada orang-orang Quraisy yang berada di Makkah, maka Nabi Muhammad juga adalah keturunan Kedar (Qaidar) dan Quraisy. Begitu pula beliau ﷺ dan para pengikutnya di Makkah yang umumnya keturunan Quraisy kemudian berhijrah dan menetap di kota Madinah, yang padanya terdapat gunung bernama Sela.

Apakah memang ini yang dimaksud oleh Alkitab? Mungkin saja.

Orang-orang Yahudi dan Kristen tentu akan sulit untuk menerima penafsiran di atas. Ismail dan keturunannya (orang-orang Arab) bukan tokoh dan bangsa yang dinilai tinggi dalam tradisi kedua agama ini. Ismail dan bangsa Arab digambarkan secara kurang positif di dalam Alkitab. Kitab Kejadian 16: 12, misalnya, saat menubuatkan kelahiran Ismail (alaihis salam), menulis seperti berikut:

“Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.”

Teks di atas diambil dari Alkitab yang dikeluarkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (https://www.alkitab.or.id/alkitab/alkitab-digital) dan maknanya sejalan dengan versi Inggris New International Version (NIV), versi yang lebih baru dibandingkan King James Version (KJV).

Teks bahasa Inggris (NIV) dari ayat ini juga menyebut bahwa Ismail “will be a wild donkey of a man” dan tangannya “will be against everyone”. Dengan kata lain, teks Alkitab pada Lembaga Alkitab Indonesia kurang lebih merupakan terjemahan dari New International Version (NIV), setidaknya untuk ayat yang tengah dibahas ini.

Tidak akan terlalu mengherankan jika kalangan Yahudi dan Kristen yang membaca ayat di atas akan tersugesti untuk memiliki pandangan yang sangat negatif terhadap orang-orang Arab: bahwa mereka cenderung biadab (a wild donkey) dan suka bermusuhan dan saling berperang (against everyone … live in hostility toward all his brothers).

Namun, halnya menjadi menarik ketika teks di atas diperbandingkan dengan terjemahan Inggris dari teks Taurat Masoretik, yaitu teks kitab suci ortodoks (resmi) dalam agama Yahudi. Walaupun masih bersifat negatif, bunyinya sedikit berbeda:

And he will be a wild man, his hand [will be] against every man, and every man’s hand against him, and he shall dwell in the presence of all his brethren.”

Kata keledai (donkey) tidak muncul di situ. Perkataan “manusia liar” tidak mesti bermakna negatif, karena itu bisa berarti orang yang tinggal di kawasan gurun pasir di tengah orang-orang Arab Badui. Perkataan yang bermakna “tangannya akan melawan tiap-tiap orang” masih sama seperti teks sebelumnya. Namun, frase yang terakhir tidak bersifat negatif seperti pada versi sebelumnya (“he shall dwell”, dan bukan “he will live in hostility”).

Teks pada King James Version (KJV) semakna dengan teks Masoretic Torah dan berbeda dengan teks New International Version (NIV). Mengingat NIV merupakan versi yang lebih baru – dirumuskan oleh kalangan Evangelis dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1978 (https://www.thenivbible.com/about-the-niv/history-of-the-niv/) – maka menjadi satu tanda tanya tentang bagaimana, misalnya, perkataan “keledai liar” (a wild donkey) bisa muncul di dalam teks NIV, berbeda dengan beberapa versi lain Alkitab (Bible) yang lebih dulu beredar.

Perbandingan teks menjadi semakin menarik jika merujuk kepada terjemahan Inggris dari teks Taurat Yahudi non-ortodoks, yaitu teks Samaritan yang menjadi pegangan sekte Yahudi Samaritan. Bunyi ayat pada Kejadian (Genesis) 16: 12 ternyata sangat positif.

Ismail (alaihis salam) bukan lagi “a wild man” (seorang manusia liar), melainkan “fertile of man” (manusia yang subur). Tangannya tidak lagi menentang semua orang, tetapi “bersama” setiap orang (“His hand will be with everyone. And everyone’s hand will be with him”). Dan akhirnya, ia tidak hidup dalam permusuhan terhadap semua saudaranya, tetapi hidup di tengah semua saudaranya (“And he will live among all his brothers”) (Tsedaka, 2013: 34).

Perbandingan Teks Alkitab (huruf tebal dari penulis)
 Samaritan TorahMasoretic Torah (dan KJV)New International Version (NIV)
Genesis 16: 12(Kejadian 16: 12)He will be fertile of man. His hand will be with everyone. And everyone’s hand will be with him. And he will live among all his brothers.And he will be a wild man, his hand [will be] against every man, and every man’s hand against him, and he shall dwell in the presence of all his brethren.He will be a wild donkey of a man; his hand will be against everyone and everyone’s hand against him, and he will live in hostility toward all his brothers.
Terjemah Bahasa IndonesiaDia akan menjadi manusia subur. Tangannya akan bersama semua orang. Dan tangan semua orang akan bersamanya. Dan dia akan tinggal di antara semua saudaranya.Dan dia akan menjadi manusia liar, tangannya akan melawan setiap orang, dan tangan setiap orang melawan dia, dan dia akan tinggal di tengah semua saudaranya.Dia akan menjadi keledai liar manusia; tangannya akan melawan setiap orang dan tangan setiap orang melawan dia, dan dia akan hidup dalam permusuhan terhadap semua saudaranya.

Entah bagaimana teks-teks di atas dapat saling berbeda. Bukan hanya berbeda, tetapi secara signifikan bertentangan satu sama lain. Perbedaan teks ini akan memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi para pembacanya.

Seorang Nabi tentu lebih layak untuk menerima gambaran yang positif. Nabi Ismail alahis salam memang seorang yang subur, banyak keturunannya, sebagaimana diakui juga oleh Alkitab saat menubuatkan keturunan Hajar/Hagar (“Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya”; Kejadian 16: 10). Ayat ini terletak sebelum ayat yang telah didiskusikan sebelumnya, menjadikannya lebih sejalan dengan versi teks yang menggambarkan Ismail sebagai “fertile of man” ketimbang “a wild man”, apalagi “a wild donkey”.

Begitu pula ungkapan yang positif bahwa tangannya akan bersama setiap orang dan tangan setiap orang akan bersamanya. Hal ini tergambar di kemudian hari, ketika dari Makkah bermula suatu revolusi yang akan membawa agama Islam ke berbagai belahan dunia, merangkul berbagai suku bangsa dalam membangun satu peradaban yang baru, yang, meminjam istilah Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud (2018), dapat disebut sebagai a virtuous civilization.

Kebersamaan ini juga tampak saat menyaksikan beragam manusia berhimpun dan beribadah di sekeliling Ka’bah, bangunan suci yang pertama kali didirikan oleh Ismail bersama ayahnya Ibrahim. Seolah mereka semua berangkulan dan bergandengan tangan, sebagai sesama saudara yang sama-sama menghadapkan wajah kepada Sang Pencipta. Wallahu a’lam.* (Kuala Lumpur, 21 Muharram 1443/30 Agustus 2021)

Penulis adalah staf pengajar di bidang Sejarah dan Peradaban pada International Islamic University Malaysia (IIUM)

Daftar Pustaka

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002.  Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari, Vol. XVII. Jakarta: Pustaka Azzam.

Bennabi, Malik. 1998. On the Origins of Human Society. Translator: Mohamed Tahir El-Mesawi. London: The Open Press.

Bin Nabi, Mālik. 1987. Shurūṭ al-Nahḍah. Damaskus: Dār al-Fikr.

Al-Bukhāri. 1997. The Translation of the Meanings of Sahīh al-Bukhāri, Vol. IV. Riyadh: Darussalam.

Al-Tabari. 1987. The History of al-Ṭabarī, Vol. II: Prophets and Patriarchs. Trans. William M. Brinner. New York: State University of New York Press.

Tsedaka, Benyamin (Ed. & Trans.). 2013. The Israelite Samaritan Version of the Torah: First English Translation Compared with the Masoretic Version. Michigan: William B. Eerdmans Publishing.

Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2018. “The Timelessness of Prophet Muhammad and the Nature of the Virtuous Civilization,” Tafhim, 1-38.

Oleh: Alwi Alatas

HIDAYATULLAH

Mengenal Pokok-Pokok Aqidah Kaum Khawarij (Bag. 1)

Kelompok khawarij dikenal dengan ciri khas mereka, yaitu: (1) berlebih-lebihan dalam memvonis kafir sesama kaum muslimin; (2) keluar memberontak dari penguasa kaum muslimin yang sah; dan (3) menghalalkan tumpahnya darah kaum muslimin yang menyelisihi aqidah mereka.

Bibit-bibit kaum khawarij sudah muncul sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, mereka benar-benar muncul dan eksis ketika zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu [1]Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenal siapakah khawarij dan bagaimanakah aqidah mereka yang rusak, untuk kita jauhi sejauh-jauhnya.

Dalam tulisan ini, akan kami sebutkan pokok-pokok (ushul) ‘aqidah kaum khawarij dan kami mulai dengan menyebutkan julukan-julukan bagi kaum khawarij yang secara sekilas sudah menggambarkan bagaimanakah ushul ‘aqidah mereka.

Julukan bagi Kaum Khawarij

Kelompok khawarij disebut oleh para ulama dengan banyak sebutan, di antaranya adalah berikut ini.

Khawarij

Disebut khawarij karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan,

يَخْرُجُونَ عَلَى حِينِ فُرْقَةٍ مِنَ النَّاسِ

“Mereka keluar (khuruj) (muncul) ketika terjadi perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin.” (HR. Bukhari no. 3414, 5810, 6534 dan Muslim no. 1064)

Yaitu, ketika adanya perselisihan antara dua sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma, karena adanya provokator yang sengaja ingin menciptakan kerusuhan. Pada awalnya, kelompok khawarij memihak khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.

Disebut khawarij karena mereka juga keluar (khuruj) dari pemimpin (pemerintah atau penguasa) kaum muslimin yang sah dan keluar dari jamaah kaum muslimin bersama penguasanya (yaitu khalifah ‘Albi bin Abi Thalib). Mereka keluar (memberontak) dengan pedang didorong oleh aqidah mereka yang rusak dan batil.

Ini adalah ciri yang umum bagi siapa saja yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.

Al-Muhakkimah

Disebut al-muhakkimah karena mereka keluar dari kepemimpinan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan jamaah kaum muslimin di bawah kepemimpinan ‘Ali disebabkan karena masalah tahkim (usaha perdamaian). Ketika itu, mereka menuduh khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu menyerahkan urusan perdamaian kepada utusan (negoisator), bukan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka pun meneriakkan,

لاحكم الا لله

“Laa hukma illa lillaah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”

Mereka pun memvonis kafir sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, dua orang negoisator dari dua belah pihak (yaitu Abu Musa Al-‘Asyari radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari pihak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu) dan memvonis kafir siapa saja yang menyetujui keputusan ‘Ali bin Abi Thalib dan ridha dengannya.

Al-Muhakkimah adalah julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.

Al-Haruriyyah

Disebut Haruriyyah, karena ketika mereka keluar memberontak khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, mereka berkumpul di suatu tempat (daerah) bernama Haruraa’, yang berada di Irak. Al-Haruriyyah juga merupakan julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.

Ahlu Nahrawan

Khawarij generasi awal juga disebut dengan “ahlu nahrawan”, merujuk pada suatu tempat (Nahrawan) dimana khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu akhirnya memerangi mereka (yaitu kaum khawarij al-muhakkimah) dalam suatu pertempuran yang sangat besar.

Asy-Syuraah

Khawarij disebut juga dengan asy-syuraah, karena mereka menganggap dan menyangka bahwa tindakan mereka membunuh kaum muslimin mereka tukar (شَرَى) dengan keridhaan Allah Ta’ala. Mereka menyangka bahwa pembunuhan kaum muslimin tersebut bisa membeli atau mendatangkan ridha Allah Ta’ala. Sehingga julukan ini pun menjadi julukan yang disenangi oleh kaum khawarij.

Mereka menyangka bahwa tindakan mereka itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka, dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 111)

Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya berlepas diri dari tindakan keji yang mereka lakukan.

Al-Maariqah

Ini adalah penamaan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mensifati khawarij dengan sebutan “al-maariqah”, yaitu orang yang keluar (memberontak). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Mereka keluar dari agama (Islam) sebagaimana keluarnya anak panah dari sasaran anak panah tersebut.“ (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063)

Rasulullah gambarkan keluarnya mereka dari agama seperti anak panah yang mampu menembus tubuh hewan sasaran panah karena begitu kuatnya anak panah tersebut melesat.

Al-Mukaffirah

Disebut al-mukaffirah karena mereka hobi mengkafirkan (mukaffir) sesama kaum muslimin yang terjatuh dalam dosa besar (yang bukan termasuk dosa kekafiran kufur akbar). Mereka juga memvonis kafir kaum muslimin yang menyelisihi keyakinan dan manhaj mereka.

As-Sabaiyyah

Disebut as-sabaiyyah karena awal kemunculan mereka berasal dari fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan oleh ide ‘Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi. ‘Abdullah bin Saba’ memimpin orang-orang Kufah menuju Madinah dalam rangka membunuh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Akhirnya, khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu pun meninggal dunia di tangan kaum khawarij.

As-Sabaiyyah adalah nama (julukan) bagi generasi khawarij awal dan tokoh-tokoh pembesar mereka di kala itu.

An-Naashibah

Karena mereka memasang (naashaba) khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan keluarganya sebagai musuh yang harus diperangi, mereka terang-terangan membenci khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Ucapan (perkataan) khawarij tentang “vonis kafir bagi pelaku dosa besar” adalah ucapan mereka pertama kali yang memecah belah kaum muslimin. Ini adalah di antara pokok (ushul) ‘aqidah kaum khawarij.

Semua ini kembali lagi ke syiar ‘aqidah kaum khawarij, yang dengannya mereka keluar memberontak dari jamaah kaum muslimin di bawah penguasa yang sah (khalifah’Ali bin Abi Thalib), dengan meneriakkan,

لاحكم الا لله

“Laa hukma illa lillaah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”

Dengan teriakan dan semboyan itu, kaum muslimin menurut pandangan mereka adalah sama dengan orang-orang kafir.

Oleh karena itu, kaum khawarij pun mengangkat pemimpin (khalifah) bagi kelompok mereka sendiri. Karena mereka menganggap bahwa kelompok merekalah yang masih beriman, sedangkan selain mereka (khalifah ‘Ali dan kaum muslimin yang bersamanya) adalah orang-orang kafir.

Orang yang mereka angkat dan mereka baiat sebagai khalifah adalah ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi pada hari ke sepuluh bulan Syawwal tahun 37 hijriyah.

‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi adalah tokoh pembesar kaum khawarij, dia sesat dan menyesatkan.  ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi berasal dari kabilah (suku) Bani Rasib, sebuah suku yang terkenal. ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi memimpin pasukan khawarij ketika berperang melawan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu di perang Nahrawan. Dia pun berhasil dibunuh dalam peperangan tersebut oleh pasukan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.

[Bersambung]

***

Diselesaikan di pagi hari berkabut, Rotterdam NL, 26 Sya’ban 1439/ 13 Mei 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]Sejarah kemunculan kaum khawarij secara lebih detil akan kami sampaikan dalam tulisan tersendiri.

[2]Disarikan dari kitab Diraasaatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’id Raslan, penerbit Daarul Minhaj, cetakan pertama tahun 1436, hal. 147-149.

Sumber: https://muslim.or.id/39878-mengenal-pokok-pokok-aqidah-kaum-khawarij-bag-1.html