Mengobati Kegalauan (Bag. 1)

Dunia bukanlah taman surga. Bukan pula istana dengan berbagai keindahan dan kenyamanan jiwa. Sedih dengan sesuatu yang telah terjadi, cemas dengan hal yang sedang terjadi, dan galau dengan sesuatu yang akan terjadi adalah menu harian manusia. Setiap hati berbeda tingkat kesedihan, kecemasan, dan kegalauannya. Sebab yang menjadikan hati tidak tenang pun berbeda-beda. Ada yang galau dengan masa depannya, kecilnya IPK, sidang skripsi tak kunjung tiba, mau nikah tak ada dana, ditinggal nikah orang yang disuka, tiap hari kesana-kemari melamar kerja, dan seterusnya. Ada yang cemas disebabkan karena menunggu hadirnya momongan begitu lama, hutang di mana-mana, pasangan tak setia, anak yang durhaka, juga belum punya uang makan di esok lusa. Ada yang sedih karena maksiat yang dilakukannya, merasa susahnya belajar ilmu agama, atau karena dakwah tak diterima. Banyak pula tetesan air mata karena bencana alam begitu banyaknya dan wabah yang melanda dunia.

Berikut adalah sedikit paparan dari jenis terapi kesedihan, kecemasan, dan kegalauan yang ada dalam syariat:

Keimanan dan amal salih

Allah Ta’ala beerfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّه حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Barangsiapa beramal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)

Orang yang beriman dengan keimanan yang benar akan membuahkan amal salih yang memperbaiki kondisi hati dan akhlaknya. Amalan salih tersebut juga akan memperbaiki keadaan dunia dan akhiratnya. Dia akan merespon kebahagiaan yang didapatkannya dengan rasa syukur dan menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat. Apabila seseorang melakukan hal tersebut, maka ia akan merasakan keindahan, menikmati kelanggengan, keberkahan, dan balasan dari syukurnya tersebut.

Seorang mukmin sejati juga akan merespon berbagai hal yang tidak menyenangkan, kesedihan, kecemasan, dan kegalauan dengan cara melawannya jika hal itu bisa dilawan, atau meminimalisir jika bisa diminimalisir, atau bersabar dengan sabar yang indah jika memang hal  tersebut tidak bisa dilawan maupun diminimalisir. Dengan seperti itu, dia akan mendapatkan banyak manfaat, seperti kuatnya jiwa, besarnya kesabaran, dan balasan pahala dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat, dia bersyukur dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah, dia sabar dan itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)

Melihat apa yang didapatkan seorang muslim saat musibah menimpa; terhapusnya dosa, bersihnya hati dan diangkat derajat

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ.

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa keletihan, rasa sakit, kegalauankesedihan, gangguan, atau kecemasan sampai pun duri yang melukainya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5641)

Dalam riwayat Muslim,

ما يُصِيبُ المُؤْمِنَ مِن وصَبٍ، ولا نَصَبٍ، ولا سَقَمٍ، ولا حَزَنٍ حتَّى الهَمِّ يُهَمُّهُ، إلَّا كُفِّرَ به مِن سَيِّئاتِهِ

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), keletihan, rasa sakit, kesedihan, dan kegalauan yang menerpanya, melainkan dosa-dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim no. 2573)

Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya menyadari bahwa kegalauan dan musibah yang menimpanya tidak pergi dengan sia-sia. Musibah tersebut meninggalkan manfaat besar bagi mukmin berupa ampunan terhadap dosa-dosanya. Seorang muslim hendaknya juga menyadari bahwa jikalau bukan disebabkan musibah yang menimpanya, maka dia akan menjadi orang yang bangkrut di hari kiamat nanti, sebagaimana disebutkan oleh sebagian salaf. Karena hal inilah, seharusnya seorang mukmin gembira dengan masalah yang dijumpainya sebagaimana dia gembira saat mendapatkan nikmat.

Apabila seorang hamba menyadari bahwa musibah yang menimpanya akan menghapus dosa, maka dia akan gembira dan merasa senang, apalagi balasan tersebut disegerakan setelah seorang hamba melakukan suatu perbuatan dosa, sebagaimana kisah salah seorang sahabat.

 أنَّ رجلًا لقيَ امرأةً كانت بغيًّا في الجاهلية، فجعل يلاعِبُها حتى بسَطَ يدَه إليها، فقالت: مه! فإنَّ الله عز وجل قد ذهب با لشرك وقال عفان مرة ذهب بالجاهلية وجاءنا بالإسلامِ، فولى الرجل فأصاب وجهه الحائِطُ فشجه ثم اتى النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فأَخبَرَه  فقال: أنت عبدٌ أراد اللهُ بك خيرًا. إذا أراد الله عز وجل بعبد خيرا عجل له عقوبة ذنبه وإذا أراد بعبد شرا أمسك عليه بذنبه حتى يوفى به يوم القيامة كأنه عيرِ.

Ada seorang lelaki menjumpai wanita mantan pelacur di masa jahiliyah, ia menggodanya hingga menjulurkan tangan kepadanya (mengajak berzina). Perempuan itu berkata, Tahan! Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah menghilangkan kesyirikan (dalam riwayat lain dari Affan: telah menghilangkan jahiliyah dan menghadirkan Islam untuk kita), maka ia berbalik dan saat berbalik wajahnya menabrak tembok sampai luka di kepalanya. Lelaki tersebut mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengkisahkan ceritanya.

Rasulullah bersabda, ‘Engkau adalah hamba yang diinginkan kebaikan oleh Allah untukmu. Apabila Allah ‘azza wa jalla menginginkan kebaikan bagi hamba, maka Dia akan mensegerakan hukuman atas dosa yang telah dilakukannya. Dan apabila Allah menginginkan kejelekan bagi hamba, maka Dia akan tahan azab atas dosanya tersebut hingga nantinya dibalas di hari kiamat, seakan-akan (dosanya tersebut) kafilah (karena banyaknya)’.” (HR. Ahmad dalam Musnad 4: 87 dan Hakim dalam Mustadrak 1: 349, di dalam sanadnya terdapat Al-Hasan, dari ‘Abdullah bin Mughaffal dan Al-Hasan adalah seorang mudallis yang di sini menggunakan riwayat ‘an’an, akan tetapi Shalih bin Ahmad bin Hambal mengatakan, “Ayahku mengatakan, ‘beliau mendengar Al-Hasan dari Anas bin Malik dan dari Ibnu Mughaffal -yakni ‘Abdullah bin Mughaffal-‘.” demikian di dalam kitab Marasil milik Ibnu Abi Hatim).

إن الله إذا أراد بعبد خيرا عجل له العقوبة في الدنيا، وإذا أراد بعبد شرا أمسك عنه حتى يوفى  يوم القيامة بذنبه

“Sesungguhnya apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba, maka Dia akan menyegerakan hukuman (atas dosa yang telah dilakukannya) di dunia. Dan apabila Allah menginginkan kejelekan bagi hamba, maka Dia akan tahan (azab atas dosanya) tersebut hingga nantinya dibalas di hari kiamat dengan sebab dosanya.” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya no. 2396 )

Mengenal hakikat dunia

Hendaknya seorang mukmin menyadari bahwa dunia ini fana, kesenangannya sedikit, kelezatannya terkotori, dan tidak jernih bagi siapa pun. Saat dunia membuatmu tertawa sebentar, dia akan membuatmu menangis lebih lama. Saat dia memberimu sesuatu yang sedikit, dia akan menahan sesuatu yang banyak untukmu. Seorang mukmin akan ‘terpenjara’ di dunia ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,

الدُّنْيا سِجْنُ المُؤْمِنِ، وجَنَّةُ الكافِرِ.

Dunia itu penjara bagi orang beriman, dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2956)

Maksud ‘penjara’ bagi orang beriman adalah adanya batasan-batasan bagi orang beriman, sedangkan orang kafir tidak memiliki batasan. Makna lainnya yaitu sebahagia apapun seorang mukmin di dunia, kebahagiaan itu ibarat penjara baginya. Hal ini karena di akhirat nanti, dia akan mendapatkan kebahagiaan yang jauh lebih besar. Sebaliknya, sesengsara apapun orang kafir di dunia, kesengsaraan itu ibarat surga baginya. Hal ini karena di akhirat nanti dia akan mendapatkan kesengsaraan yang jauh lebih besar.

Dunia berisi keletihan, gangguan, dan kesengsaraan. Oleh karenanya, seorang mukmin akan beristirahat saat ia pergi meninggalkan dunia sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abi Qatadah bin Rib’iy Al-Anshari,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرَّ عَلَيْهِ بِجَنَازَةٍ فَقَالَ مُسْتَرِيحٌ وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ َقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا الْمُسْتَرِيحُ وَمَا الْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ قَالَ الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dilewati pengiringan jenazah. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‘Ada orang yang mendapatkan kenyamanan (istirahat) dan ada pula yang orang lain menjadi nyaman (istirahat) karena ketiadaannya.’

Para shahabat bertanya,

‘Wahai Rasululullah, siapa itu orang yang mendapatkan kenyamanan (istirahat) dan orang yang orang lain menjadi aman (istirahat) karena ketiadaannya?’

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

‘Seorang hamba yang mukmin adalah orang yang beristirahat dari keletihan dunia dan kesulitannya. Sedangkan seorang hamba yang fajir/gemar bermaksiat, maka hamba Allah yang lain, negeri dan pepohonan serta hewan yang beristirahat dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6512)

Kematian orang beriman merupakan peristirahatan dari kecemasan, kegalauan, dan rasa sakitnya di dunia, sebagaimana disebutkan dalam hadis,

إذا حُضِرَ المؤمنُ أتتهُ ملائِكَةُ الرَّحمةِ بحريرةٍ بيضاءَ ، فيقولونَ : اخرُجي راضيةً مرضيًّا عنكِ إلى رَوحِ اللَّهِ، ورَيحانٍ ، وربٍّ غيرِ غضبانَ فتخرجُ كأطيَبِ ريحِ المسكٍ حتَّى إنَّهُ ليُناولُهُ بعضُهُم بعضًا حتَّى يأتون بِهِ بابَ السَّماءِ فيقولونَ : ما أطيَبَ هذِهِ الرِّيحَ الَّتي جاءتْكم منَ الأرضِ فيأتونَ بِهِ أرواحَ المؤمنينَ فلَهُم أشَدُّ فرحًا بِهِ مِن أحدِكُم بِغائبِهِ يقدمُ علَيهِ فيَسألونَهُ ماذا فَعلَ فلانٌ ماذا فعلَ فلانٌ ، فيقولونَ : دَعوهُ فإنَّهُ كانَ في غَمِّ الدُّنيا

“Jika dihadirkan orang yang beriman, datanglah malaikat rahmah kepadanya dengan membawa sutra putih, lantas mengatakan, ‘Keluarlah dalam keadaan senang dan disenangi kepada karunia Allah dan bau wanginya surga, dan menuju Rabb yang tidak akan marah.’

Keluarlah nyawa orang yang beriman sebagaimana parfum kasturi yang paling wangi. Sampai sebagiannya menerima dari sebagian yang lain, sampai mereka datang dengan membawanya ke pintu langit.

Kemudian mereka (malaikat penghuni pintu langit) mengatakan, ‘Betapa harumnya bau ini, yang kalian bawa dari bumi.’

Mereka lantas menjumpai nyawanya orang-orang yang beriman. Sungguh mereka sangat gembira karenanya dibandingkan dengan gembiranya kalian dengan kepulangan saudaranya yang safar. Lantas mereka akan menanyainya, ‘Apa yang telah dilakukan si fulan, apa yang telah dilakukan si fulan?’

Mereka menjawab, ‘Tinggalkanlah dia, sesungguhnya dulu dia dalam keadaan kegalauan dunia …’.”

(Shahih An-Nasa’i no. 1832)

Seorang mukmin yang mengetahui hakikat dunia akan mendapatkan pengaruh sangat besar pada hatinya dalam menyikapi berbagai masalah hidup. Dia menyadari bahwa musibah, rasa sakit, penderitaan, dan kesusahan merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan dunia. Dia juga menyadari bahwa dengan musibah tersebut, Allah Ta’ala akan mengampuni dosa dan mengangkat derajatnya.

[Bersambung]

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67268-mengobati-kegalauan-bag-1.html

Panduan Bacaan Doa di Rumah Setelah Shalat Idul Adha dan Shalat Idul Fitri

Dalam kitab Bustanul Fuqara’ wa Nuzhatul Qurra’,  Imam Shaleh bin Abdullah bin Haidar Al-Syafi’i menyebutkan salah satu riwayat bahwa Umar bin Abdul Aziz membaca doa berikut setelah melaksanakan shalat ‘Id. Doa dimaksud adalah sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ اْلحَقُّ  إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ فَإِنْ كُنْتَ مِنَ المُحْسِنِيْنَ فَارْحَمْنِيْ ، وَإِنْ لَمْ أَكُنْ مِنَ اْلمُحْسِنِيْنَ فَقَدْ قُلْتَ وَكَانَ بِاْلمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْماً  فَارْحَمْنِيْ وَإنْ لَمْ أَكُنْ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ فَأَنْتَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ اْلمَغْفِرَةِ فَاغْفِرْ لِيْ، وَإنْ لَمْ أَكُنْ مُسْتَحِقًّا لِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فَأَنَا صَاحِبُ مُصِيْبَة ٍوَقَدْ قُلْتَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌوَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ اَللَّهُمَّ فَارْحَمْنِيْ

Allohumma innaka qulta wa qawlukal haqqu; Inna rohmatallaahi qoriibum minal muhsiniin. Fa inkuntu minal muhsiniina farhamnii, wa illam akum minal muhsiniina faqod qulta; Wa kaana bil mu’miniina rohiimaa, farhamnii. Wa illam akun minal mu’miniina fa anta ahlut taqwaa wa ahlul maghfiroh, faghfirlii. Wa illam akun mustahiiqon lisyai-in min dzaalika fa ana shoohibu mushiibatin wa qod qulta; Alladziina idzaa ashoobathum mushiibatun qooluu innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ulaa-ika ‘alihim sholawaatun min robbihim wa rohmah, wa ulaa-ika humul muhtaduun, allohumma farhamnii.

Artinya:

Ya Allah, sungguh Engkau telah berfirman dan firman-Mu benar; Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. Jika aku termasuk orang yang berbuat baik, maka rahmatilah aku. Jika aku bukan termasuk orang yang berbuat baik, maka Engkau telah berfirman; Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. Jika aku tidak termasuk orang yang beriman, maka Engkau adalah Dzat Yang Maha Pengampun, karena itu ampunilah aku.

Jika aku tidak berhak mendapatkan semua itu, berarti aku termasuk orang yang terkena musibah, dan Engkau telah berfirman; Orang-orang yang terkena musibah dan mereka berkata ‘Kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.’ Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahamt dari Tuhannya, dan mereka itulah yang mendapatkan petunjuk. Maka rahmatilah aku.

Doa ini dapat kita baca saat kita melaksanakan shalat Idul Adha di rumah sesuai imbauan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama.

BINCANG SYARIAH

Membantah Argumen Ustadz Alfian Tanjung Terkait Anti Vaksinasi

 Kita tidak bervaksin, karena vaksinansi secara sejarahnya selalu hanya dialamatkan kepada orang-orang lemah yang multi player efek.  Untuk vaksin Covid-19, masih sangat kontroversial, masih sangat polemik. ,” Itulah ungkapan yang dikatakan oleh Ustadz Alfian Tanjung, dalam kanal Youtube dengan nama yang sama dengan beliau. Ia mengambil judul bahasan “Dilema Vaksinasi”.

Tema Dilema Vaksinasi sengaja dibahas oleh Ustadz Alfian Tanjung (Selanjutnya akan ditulis dengan UAT)  sebagai kritik terhadap pemerintah yang mendatangkan vaksin Sinovac dari China. Pasalnya, UAT dalam pelbagai forum dan kesempatan selalu menunjukkan sikap anti terhadap RRC. Terlebih pada paham komunis yang dianut negera ini.

Persoalan kedua, UAT dalam akaun Youtube tersebut sempat menyetir bahaya vaksinasi. Ia menduga gerakan vaksinansi sebagai bagian dari depopulasi umat manusia. Hal itu menurut UAT tergambar dalam sidang Persirakatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1992. Dalam sidang ini ujungnya membahas depopulasi umat manusia. Dalam sidang, katanya, orang Yahudi mengklaim bahwa yang berhak hidup di muka bumi ini hanya 500 juta jiwa.

Berdasarkan asumsi tadi, menurut UAT sudah saatnya umat Islam bergerak  untuk menyelamatkan generasi Indonesia.  Tentu dengan cara; tidak ikut dalam vaksinasi. Pasalnya vaksinasi secara sejarahnya selalu hanya dialamatkan pada orang lemah. Dan sebagai upaya depopulasi umat manusia. Vaksin Sinovac pun buatan China. Lebih lanjut, vaksin  memiliki efek yang belum tentu dapat menyembuhkan.

Yang sangat menggelitik dari pendapat UAT adalah cara untuk menyelamatkan generasi Indonesia di era Pandemi. Solusinya dengan tidak ikut vaksin. Untuk mendukung argumennya, UAT pun mengutip firman Tuhan, Q.S an-Nisa ayat 9. Dalam ayat ini menurutnya menyelamatkan generasi penerus Islam sesuai dengan perintah Allah.

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya; Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Gerakan Anti Vaksin

Tak bisa dipungkiri, isu vaksin sebagai cara depopulasi umat manusia sudah ada sejak dahulu. Gerakan anti vaksin pun sudah eksis di dunia sejak dahulu—jauh hari sebelum Covid-19 muncul—, bukan isu baru. Perjalanan gerakan ini cukup panjang dan lama. Yang menarik, para sound maker gerakan ini selalu membumbui dengan teori konspirasi. Seolah dunia dikendalikan oleh elit global, dan bla bla bla.

Menurut Windu Yusuf dalam artikel Bagaimana Gerakan Anti Vaksin Mendunia? Dengan mengutip karya ilmiah Robert M. Wolfe Anti-vaccinationists Past and Presen, mencatat bahwa London, Inggris pernah menjadi pusat anti vaksin dunia. Pada 1867, Anti-Vaccionation League pun resmi berdiri.

Dalam catatan Robert Wolfe, dari Inggris gerakan vaksin pun meluas ke Swedia. Pelbagai aksi demontrasi digelar dalam rangka menolak vaksinasi yang dicanangkan pemerintah. Gerakan ini berdalih, vaksin adalah sebuah bukti nyata pemerintah gagal memberikan jaminan kesehatan yang baik bagi warga negara.

Pun di Amerika, dalam artikel Windu Yusuf tertulis William Tebb melancong ke New York, Amerika Serikat. Aktivis anti vaksin dari London itu sengaja berkunjung ke negeri Paman Sam untuk menyebarkan gagasan menolak pelbagai vaksin. Dekade 1880-an, terbentuklah gerakan anti vaksin di Amerika Serikat. Gerakan anti vaksin ini berhasil menancapkan hegemoninya, dan sukses membatalkan UU wajib vaksin di beberapa negara bagian; Indiana, Illinois, dan California

Membedah Tafsir Q.S an-Nisa; ayat 9

UAT dalam kanal Youtube bernama Ustadz Alfian Tanjung, menyebutkan bahwa upaya menyelamatkan generasi Islam, yaitu dengan tidak vaksin. Ia mengutip Q.S an Nisa ayat 9 sebagaimana diterangkan di atas.

Lantas bagaimana tafsir Q.S  an Nisa  ayat 9 di atas?

Bila kita merujuk pada kitab Tafsir Ibnu Katsir karya mad ad-Din Abu al-Fida Ismail Ibn Amar Ibn Katsir Ibn Zara’ al-Bushra al-Dimasiqy, menyebutkan bahwa ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang sedang sakit dan menunggu ajalnya. Lelaki tersebut meninggalkan wasiat yang memberatkan terhadap ahli warisnya.

Mendengar wasiat lelaki tersebut, Allah menurunkan ayat ini, agar orang yang mendengar wasiat lelaki tersebut segera bertakwa pada Allah dan yang hadir untuk membimbing si sakit dan meluruskan terhadap jalan yang benar, berupa meninggalkan wasiat yang tak memberatkan bagi ahli warisnya.

قال علي بن أبي طلحة ، عن ابن عباس : هذا في الرجل يحضره الموت ، فيسمعه الرجل يوصي بوصية تضر بورثته ، فأمر الله تعالى الذي يسمعه أن يتقي الله ، ويوفقه ويسدده للصواب ، ولينظر لورثته كما كان يحب أن يصنع بورثته إذا خشي عليهم الضيعة

Artinya; berkata Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ini menceritakan seorang lelaki yang datang menjenguk orang meninggal, maka lelaki itu mendengar seorang laki-laki (yang ia jenguk) berwasiat dengan suatu wasiat yang memberatkan bagi ahli warisnya.  Maka Allah menyuruh kepada orang yang mendengar wasiat tersebut, hendaknya ia bertakwa kepada Allah , membimbing si sakit, memandang kepada ahli warisnya , sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu , bila dikhawatirkan mereka terlunta-lunta.

Lebih lanjut, ayat ini menegaskan terkait wasiat harta waris orang yang hendak meninggal. Al-Qur’an menyuruh si pewasiat hendaknya memikirkan ahli warisnya kelak tidak lemah secara finansial. Bila orang yang punya harta ingin menyedekahkan hartanya, harus juga memikirkan ahli warisnya.

Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dalam hadis ini diceritakan bahwa Rasulullah masuk ke rumah sahabat Nabi, Saad bin Abi Waqash. Ketika itu, Saad bertanya kepada Nabi, ia ingin menyedekahkan hartanya 2/3. Maka Nabi melarangnya. Takut meninggalkan mudharat bagi anak dan keturunannya.

وثبت في الصحيحين : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما دخل على سعد بن أبي وقاص يعوده قال : يا رسول الله ، إني ذو مال ولا يرثني إلا ابنة ، أفأتصدق بثلثي مالي ؟ قال : ” لا ” . قال : فالشطر ؟ قال : ” لا ” . قال : فالثلث ؟ قال : ” الثلث ، والثلث كثير ” . ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” إنك إن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس

Artinya;  Wahai Rasulullah aku mempunyai harta, sedangkan tak ada yang mewarisinya kecuali seorang anak perempuan ku, maka bolehkah aku menyedekahkan 2/3 dari hartaku? Rasulullah menjawab, “tidak boleh,”, kemudian Saad bertanya lagi, “Bagaimana kalau setengahnya?,”. Nabi mengatakan, “ Jangan,”. Saad bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya saja?,” Rasulullah menjawab,”sepertiganya sudah cukup banyak,”.

Kemudian nabi melanjutkan sabdanya, “sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli waris mu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik, daripadakamu membiarkan merekadala keadaan miskin dan meminta-minta pada orang lain.

Penafsiran serupa diungkapkan oleh Husein bin Mas’ud al Baghawi dalam kitab Maa’lim al Tanzil atau populer dengan Tafsir Baghawi. Imam Baghawi mengatakan bahwa Q.S an Nisa ayat 9, menerangkan larangan wasiat menyedekahkan harta secara berlebihan, sehingga memberatkan ahli warisnya kelak. Al  Baghawi berkata;

وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا ) أولادا ، خافوا عليهم ، الفقر , الخ.. فنهاهم الله تعالى عن ذلك ، وأمرهم أن يأمروه أن ينظر لولده ولا يزيد في وصيته على الثلث ، ولا يجحف بورثته

Artinya: ( hedaklah takut orang yang meninggalkan dibelakang mereka, keturunan yang lemah), artinya anak kecil, mereka takut menjadi orang yang fakir… Maka Allah melarang dengan demikian, dan Allah menyuruh mereka, untuk memandang anak-anakanya dan tidak menambah wasiatnya lebihdari sepertiga, dan jangan merugikan bagi ahli warisnya.

Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah menafsirkan bahwa Q.S an Nisa ayat 9, menjelaskan terkait larangan melakukan perbuatan zalim terhadap anak-anak yatim. Hendaklah mereka merasa takut terhadap keturunannya yang lemah akan menerima perlakuan zalim sebagaimana yang dirasakan oleh anak-anak yatim.

Lebih lanjut, manusia diperintahkan Allah dalam mendidik dan bergaul dengan baik dan sopan santun. Berbicara kepada anak yatim dengan ucapan yang mengarah kepada kebenaran tanpa berlaku zalim kepada siapa pun. Itulah panduan dari Al-Qur’an untuk memuliakan anak yatim.

Tak dapat diragukan lagi, ayat ini memang memiliki beragam penafsiran. Tetapi yang palin kuat adalah larangan wasiat yang memberatkan bagi anak keturunan dalam soal harta warisan. Lebih lanjut, kehidupan tak berhenti pada kita generasi hari ini, namun akan terus berlanjut, untuk generasi berikutnya.

Nah terkait, adakah ayat ini mendukung upaya anti vaksinasi ala UAT seperti tercantum dlalam kanal Youtube itu? Tentu saja tak ada korelasi. Ayat ini sudah jelas mengingatkan generasi hari ini, untuk tak melupakan generasi mendatang. Artinya, untuk terus menyebarkan kehidupan. Justru ayat ini menekankan pentingnya merawat generasi ke mendatang.

Saat ini, terkait dengan penyebaran Covid-19, upaya terbaik dari pemerintah adalah vaksinasi. Menghadapi Covid-19, vaksin adalah cara terbaik hingga saat ini.  Kita boleh tak sepakat dengan pemerintah. Boleh saja memosikan diri sebagai oposisi pemerintah. Hal itu lumrah dalam demokrasi.

Tetapi penting diungkapkan—terutama publik figur, agamawan, tokoh masyarakat, politisi dan manusia yang memiliki pengaruh—, edukasi publik itu penting. Jangan justru membuat narasi negatif, yang bisa membuat dampak buruk terhadap masyarakat luas.

Bagaimana Syariat Islam dalam Persoalan Vaksinasi

Menurut Imam Al Ghazali, ada lima hal tujuan syariah. Dalam kitab Al-Mustashfa, Imam Ghazali berkata sebagai berikut:

ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة، ودفعها مصلحة

Artinya; Tujuan syariat yang berlaku atas makhluk ini ada 5, yaitu menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya. Segala kebijakanyang berorientasi pada penjaminan terhadap kelima dasar pokok ini disebut juga sebagai maslahah. Sebaliknya, kebijakan yang meninggalkan kelima asas dasar ini, maka termasuk mafsadah. Oleh karena itu, menolaknya, adalah tindakan yang maslahah.

Tak bisa dipungkiri, vaksinasi Covid-19 sejatinya merupakan ikhtiar untuk mengakhiri pandemi. Vaksin Covid-19 digalakkan untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Dan juga sebagai bentuk kebijakan pemerintah agar terhindar dari risiko terinfeksi virus corona. Pendek kata; Vaksin adalah usaha mujarab (hingga saat  ini) untuk menekan laju Covid-19.

Ulama dunia juga telah menganjurkan masyarakat Islam untuk ikut andil dalam vaksinasi. Sebut saja Dar Ifta Mesir, Lajnah Daimah, Saudi Arabia, Lembaga Fatwa Uni Emirat Arab, dan juga pelbagai negara muslim lain. Vaksinasi adalah upaya untuk menyembuhkan bumi yang sedang tidak baik-baik saja.

Sementara itu, tertuang dalam kitab Nihayatul Muhtaj, karya seorang ulama besar, Syamsuddin Muhammad bin Abul Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin al Ramli al Manufi al Mishri al Anshori, menyebutkan bila seseorang tertimpa penyakit, maka ia dianjurkan syariat untuk berobat. Perintah untuk berobat adalah sunat hukumnya.

ويسن للمريض التداوي لحديث إن الله لم يضع داء إلا وضع له دواء غير الهرم. وروى ابن حبان والحاكم عن ابن مسعود ما أنزل الله داء إلا وأنزل له دواء ، جهله من جهله وعلمه من علمه

Artinya; Sunat hukumnya orang yang sakit untuk berobat. Pendapat ini berdasarkan hadis Nabi; ‘Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Allah pun telah menurunkan obat bagi penyakit tersebut, kecuali penyakit pikun.

Sekali lagi, UAT menurut saya keliru dengan statment terkait mengutip an Nisa ayat 9 sebagai usaha melegitimasi tidak vaksin. Ayat ini justru mendukung upaya menyelamakan dan menciptakan generasi terbaik ke depan. Generasi yang tidak lemah, secara ekonomi, sosial, dan politik. Dan dalam konsisi Covid-19, vaksin adalah upaya terbaik untuk memutus penyebarannya.

BINCANG SYARIAH

Pesan Rasulullah SAW, Jangan Mudah Minta-Minta Meski Butuh

Rasulullah SAW mengajarkan umatnya tak gampang meminta-minta

Sementara meminta-minta, ada banyak hadits yang melarang perbuatan ini. Dilansir dari laman Islamweb pada Kamis (8/7), Rasulullah ﷺ telah banyak menyebutkan larangan meminta. Sebaliknya, beliau memerintahkan umatnya untuk bekerja. Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah ﷺ bersabda:

أن يحتطب أحدكم حزمة على ظهره، خير له من أن يسأل أحدا فيعطيه أو يمنعه “Sungguh, seorang yang bekerja memikul seikat kayu bakar di punggungnya, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, apakah orang itu memberinya atau tidak memberinya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sementara, Auf bin Malik Al Asyjai, dia berkata, “Kami pernah berada dekat Rasulullah SAW selama sembilan atau delapan atau tujuh hari. Saat kami hendak berpisah, beliau bersabda, “Apakah kalian tidak berbaiat kepada Rasulullah?” Ketika itu kami baru saja berbaiat kepada beliau, maka kami pun menjawab, “Sesungguhnya kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah.” 

Kemudian beliau bertanya lagi: “Apakah kalian tidak berbaiat kepada Rasulullah?” kami menjawab, “Sungguh, kami telah berbaiat kepada Anda wahai Rasulullah.”

Beliau mengulangi pertanyaannya, “Apakah kalian tidak berbai’at kepada Rasulullah?” Maka kami pun mengulurkan tangan sambil berujar, “Sesungguhnya kami telah berbaiat kepada Tuan, lalu atas apa lagi kami berbaiat kepada Tuan wahai Rasulullah?” 

Pada saat seseorang masih memiliki tenaga untuk berusaha, maka Islam menganjurkannya untuk dapat bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Beliau menjawab, “Bahwa kalian akan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun juga, akan menegakkan shalat lima waktu, akan berlaku patuh kemudian beliau melirihkan perkataannya, “Dan tidak akan meminta sesuatupun kepada orang banyak.” 

Auf berkata, “Aku pernah melihat sebagian dari mereka itu suatu saat cambuknya jatuh, tetapi dia tidak meminta tolong sedikit pun kepada orang lain untuk mengambilkannya.” (HR Muslim).

Bahkan orang yang tidak gampang meminta-minta diberikan jaminan surga kepadanya.

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ وَكَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَكْفُلُ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا فَكَانَ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا

Dari Tsauban mantan budak Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam, dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapakah yang menjamin untukku untuk tidak meminta-minta sesuatupun kepada orang lain, dan aku menjaminnya masuk Surga? Tsauban berkata; saya! Dan Tsauban tidak pernah meminta sesuatupun kepada orang lain (HR Abu Daud).

Kemudian juga Rasulullah ﷺ  memerintahkan Abu Dzar untuk melakukan tujuh hal yaitu sebagai berikut:

أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ، وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي، وَلَا أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي، وَأَمَرَنِي أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ، وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَسْأَلَ أَحَدًا شَيْئًا، وَأَمَرَنِي أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا، وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَخَافَ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ، وَأَمَرَنِي أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ

“Tujuh itu ialah, mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, memperhatikan orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat siapa yang ada di atasku, menyambung tali silaturahim (yang masih ada hubungan saudara) meski saudara tersebut bersikap kasar, tidak meminta-minta pada seorang pun, mengatakan yang benar meski pahit, tidak takut terhadap celaan saat berdakwah di jalan Allah, memperbanyak ucapan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’ karena kalimat ini termasuk simpanan di bawah ‘Arsy.” (HR Ahmad).

Sumber: islamweb 

KHAZANAH REPUBLIKA

Benarkah Memotong Kuku dan Rambut Pada Bulan Dzulhijjah Bagi Pengurban adalah Haram?

PERMASALAHAN hukum memotong kuku dan rambut setelah masuk bulan Dzulhijjah bagi yang berniat untuk berkurban telah dibahas para ulama. Menurut para ulama empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Masalah ini saya tulis agar wawasan kita menjadi luas dalam masalah ini sehingga lapang dada menyikapi perbedaan dengan saling menghargai dan menghormati yang berbeda, tanpa memaksakan pendapat.

Dalil yang dijadikan landasan dalam masalah ini adalah hadits Ummu Salamah dan Aisyah Radhiyallahu ‘Anhuma.

Pertama: Hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha riwayat Imam Ahmad dan Muslim berupa larangan.

Berikut redaksinya;

حديث أم سلمة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
(( إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي , فليمسك عن شعره وأظفاره ))
[رواه أحمد ومسلم ] ,
وفي لفظ : (( فلا يمس من شعره ولا بشره شيئاً حتى يضحي )).

Hadits Ummu Salamah –Radhialahu ‘Anha, bahwa Rasulullah –ﷺ bersabda: “Apabila telah masuk bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Dalam lafadh (redaksi) lain: “Maka janganlah ia menyentuh (mengambil) sedikitpun dari rambut dan kulitnya sehingga ia menyembelih hewan kurbannya.”

Larangan ini hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri-istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban.

روى مسلم من طريق سعيد بن المسيب عن أم سلمة تقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( من كان له ذِبح يذبحه فإذا أهل هلال ذي الحجة فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره حتى يضحي )

فقوله ” من كان له ذِبح يذبحه ” أي أنه عينه ومن المعلوم أن الأضحية إذا تعينت لا يستطيع العبد أن يرجع عن نية الاضحية.

Imam Muslim Rahimahullah melalui jalan Said bin Al-Musayyab, dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata, Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda: Barangsiapa telah memiliki hewan untuk disembelih (sebagai kurbannya) maka jika telah memasuki bulan Dzulhijjah janganlah ia menyentuh (mengambil) sedikitpun dari rambut dan kukunya sehingga ia menyembelih hewan kurbannya.”

Kedua: Hadits Aisyah Radhiyallahu ‘Anha riwayat yang disepakati Bukhari dan Muslim tidak ada larangan.

Berikut redaksinya;

وعن عائشة – رضي الله عنها – قالت : “فتلت قلائد بدن النبي – صلى الله عليه وسلم – بيدي ، ثم قلدها ، وأشعرها ، وأهداها ، فما حرم عليه شيء كان أحل له”.
(متفق عليه)

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu berkata; “Aku memintal kalung-kalung unta Nabi ﷺ dengan tanganku sendiri, kemudian Beliau mengalungkannya, memberinya tanda dan mengirimkannya (menjadikannya sebagai hadyu untuk disembelih). Maka, tidak ada sesuatupun yang tadinya halal menjadi haram bagi beliau.”.

Kesimpulannya menurut para ulama ada tiga pendapat;

1- Haram. Ini pendapat Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah.

2- Makruh, tidak haram. Ini pendapat Imam Syafi’i Rahimahullah dan Imam Malik Rahimahullah dalam salah satu pendapatnya.

3- Mubah. Ini pendapat Imam Abu Hanifah Rahimahullah dan Imam Malik Rahimahullah dalam salah satu pendapatnya.

Pendapat yang menyatakan makruh, bukan haram, adalah pendapat yang paling adil, pertengahan dan paling mudah. Juga di dalamnya terkumpul semua dalil dalam masalah ini serta memperhatikan keadaan manusia, situasi dan kebutuhan mereka yang berbeda-beda.

Kapan karangan memotong kuku dan rambut pada bulan Dzulhijjah bagi yang hendak berkurban? Menurut Qatadah, Said bin Musayyab dan sebagian ulama Madzhab Syafi’i larangan memotong kuku dan rambut berlaku setelah membeli hewan kurban dan menentukannya pada 10 hari pertama Dzulhijjah.

Dalilnya adalah hadits riwayat Imam Muslim Rahimahullah melalui jalan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha, Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda:

( من كان له ذبح يذبحه فإذا أهل هلال ذي الحجة فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره حتى يضحي )

“Barangsiapa telah memiliki hewan untuk disembelih (sebagai kurbannya) maka jika telah memasuki bulan Dzulhijjah janganlah ia menyentuh (mengambil) sedikitpun dari rambut dan kukunya sehingga ia menyembelih hewan kurbannya.”

Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat untuk kita semua terutama dalam membiasakan diri memahami perbedaan pendapat para ulama sehingga wawasan menjadi luas dan menyikapi perbedaan dengan penuh hormat dan menghargai tanpa merendahkan yang berbeda dalam permasalahan furu’iyyah atau cabang-cabang agama seperti ini, karena semuanya mempunyai dalil, hujjah dan argumentasi menurut sudut pandang masing-masing, aamiin ya Robb.*/Abdullah Saleh Hadrami, Malang

HIDAYATULLAH

Ingin Bayar Hutang Tapi Tidak Ketemu Orangnya

Pertanyaan:

Dulu saya pernah meminjam uang kepada seseorang, dan sekarang saya mau mengembalikan uangnya kepada orang tersebut. Saya sudah mencari-cari orang yang menghutangi, namun sampai saat ini saya belum menemuinya dan saya tidak tahu lagi kemana saya harus mencarinya. Bagaimana saya bisa membayar hutang tersebut? Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan Anda.

Jawaban:

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi, amma ba’du:

Segala puji bagi Allah Ta’ala, dan shalawat beserta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah beserta keluargnya, dan pada sahabatnya. Amma ba’du.

Barangsiapa yang meminjam uang kepada seseorang, maka wajib baginya untuk melunasinya. Apabila orang yang meminjam tidak mengetahui keberadaan orang yang menghutangi, maka hendaknya dia bertanya perihal kabar orang yang menghutangi kepada orang-orang yang mengetahuinya, seperti kepada keluarga, teman-temannya, dan orang yang lainnya.

Apabila mereka mengabarkan kepada Engkau bahwa orang yang menghutangi telah meninggal, maka bayarkan atau kembalikan uangnya kepada ahli warisnya.

Apabila kondisinya Anda sudah kehabisan cara untuk menemukan orang yang menghutangi, dan tidak mampu memberikan uang kepada orang yang menghutangi, baik orang yang menghutangi dalam kondisi hidup maupun kepada ahli warisnya jika kondisinya sudah tiada (meninggal dunia), maka hendaknya Anda menyedekahkan harta orang yang menghutangi kepada urusan kebaikan kaum muslimin, dengan niatan agar orang yang menghutangi mendapatkan pahala karena hartanya telah disedekahkan.

Namun, apabila setelah Engkau menyedekahkan hartanya, tiba-tiba Engkau menemukan orang yang menghutangi tersebut, maka kabarkan kepadanya bahwa hartanya sudah Engkau sedekahkan. Apabila dia mengizinkan hartanya disedekahkan, maka tidak perlu mengganti. Namun jika dia tidak mengizinkannya, maka Engaku tetap wajib menggantinya dan baginya juga pahala sedekah.

Di dalam Fatawa Al-Kubra milik Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah –rahimaullah– termaktub sebuah kasus yang mirip sebagai berikut:

Pertanyaan:

Dulu ada rombongan jama’ah haji yang sedang bersafar, kemudian di tengah-tengah jalan mereka dihadang oleh sekelompok pencuri. Maka para rombongan jamaah haji ini pun pergi melarikan diri dan meninggalkan harta benda mereka. Apakah halal bagiku untuk mengambil harta curian tersebut atau tidak? Sedangkan sang pemilik harta sudah pergi jauh.

Beliau menjawab:

Segala puji bagi Allah Ta’ala. Jika memungkinkan maka tetap wajib untuk mengembalikan harta tersebut kepada rombongan jama’ah haji, karena hal tersebut hukumnya seperti luqathah yaitu barang temuan, yang harus diumumkan selama 1 tahun tentang barang temuan tersebut agar pemiliknya dapat mengambilnya kembali. Apabila pemilik harta datang untuk mengambil hartanya, maka kembalikanlah kepadanya. Jika tidak, maka boleh mempergunakan harta tersebut dengan syarat ada niat untuk menggantinya, ketika sudah bertemu dengan pemilik harta tersebut. Jika sudah putus harapan dalam mencari keberadaan pemilik harta tersebut, maka barulah dia mensedekahkan hartanya. Yaitu dia sedekahkan untuk urusan kemaslahatan kaum muslimin. Demikianlah untuk semua kasus harta yang tidak diketahui siapa pemiliknya, baik harta tersebut berasal dari hasil rampasan, titipan, harta manusia yang diambil oleh pencuri, dan harta yang ditinggalkan, maka semuanya disedekahkan dan diberikan untuk perkara kebaikan kaum muslimin.

Sumber :

https://www.islamweb.net/ar/fatwa/50703

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Sumber: https://muslim.or.id/67266-ingin-bayar-hutang-tapi-tidak-ketemu-orangnya.html

Empat Macam Manusia, yang Manakah Kita?

PARA ulama berkata, manusia itu terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Orang yang tenggelam dalam kenikmatan dunia dan tak pernah mengingat maut, karena maut dapat menyebabkan orang meninggalkan kesenangan dan kelezatan. Kalaupun mengingat maut, ia hanya mengingatnya dengan terpaksa.

2. Orang yang kembali kepada Allah Ta’ala hanya dalam tahap permulaan. Ia takut kepada Allah ketika mengingat mati, dan ia juga tetap dalam tobat. Ia takut mati bukan karena meninggalkan dunia dan kelezatannya, tetapi karena belum sempurna tobatnya. Ia tidak ingin mati terlebih dahulu agar dapat memperbaiki amalannya.

Maka, orang semacam ini kebenciannya terhadap mati dapat dimaafkan. Ia tidak termasuk di dalam golongan manusia sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Barangsiapa benci berjumpa dengan Allah, maka Allah benci berjumpa dengannya.”

Sebenarnya, orang ini tidak benci berjumpa dengan Allah, tetapi ia takut terhadap hal yang harus dihadapi sesudahnya. Orang ini seperti gadis yang bersiap-siap untuk menjumpai kekasihnya, agar kekasihnya itu senang kepadanya. Orang ini hanya sibuk dengan apa yang mesti dipersiapkan, bukan sibuk dengan yang lain. Kalau tidak, maka keadannya sama dengan orang yang pertama, yakni tenggelam dalam kesenangan dunia.

3. Seorang arif yang telah sempurna tobatnya. Orang ini menyukai mati, bahkan menginginkan kematian, karena bagi seorang kekasih tidak ada waktu yang lebih indah selain berjumpa dengan orang yang dikasihinya. Dan kematian baginya merupakan saat perjumpaan yang dirindukannya. Orang yang sedang dimabuk rindu tentu tidak akan pernah melupakan waktu kencannya.

Mereka itu ingin segera mati, karena disitu akan terbukti mana yang setia dan mana yang durhaka, serta apa yang akan didapatkannya. Dalam suatu riwayat disebutkan, ketika maut datang hendak menjemput Hudzaifah, ia berkata, “Kekasih datang pada saat kemiskinan, tidak akan beruntung orang yang menyesal. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dari fitnah.”

4. Orang yang berada pada tingkatan yang tertinggi. Orang ini dalam keadaan rela, yakni segala seuatu yang dimilikinya dipersembahkan untuk Allah saja. Ia tidak mempunyai keinginan untuk mati ataupun hidup. Inilah puncak kerinduan, maqam rida dan pasrah.

Setiap saat orang ini selalu mengingat mati. Bahkan, bagi orang yang sibuk dalam keduniaan hendaknya mengingat mati, karena dengan mengingat mati akan menyebabkan seseorang mampu meninggalkan kelezatan dunia dan menjauhinya. [40 Hari Menuju Kematian]

INILAH MOZAIK

Akhir Tragis Orang-Orang Zalim yang Diabadikan Alquran

Setiap kezaliman pasti akan berakhir dengan kehancuran. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ “Wala tahsabannallaha ghaafilan ‘an maa ya’maluzh zhalimuun (Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat orang-orang zalim).” (QS Ibrahim 42). 

Silakan orang-orang zalim itu melakukan segala cara untuk membentengi kezalimannya, Allah pastikan itu akan musnah.

Sebab, semua kezaliman tidak hanya melanggar syariatullah, tetapi juga sunnatullah. Apa pun kekuatan itu, jika melanggar ketentuan-Nya pasti akan hancur. 

Masih kurang apa kekuatan firaun pada masa itu? Ternyata berakhir dengan cara yang sangat mengenaskan. Allah menenggelamkannya di Laut Merah. Kaum Aad dan Tsamud juga dihancurkan dengan hukuman yang pedih. 

Kaum Tsamud dihancurkan dengan thaagiah (suara yang sangat keras), sedangkan kaum Aad dihancurkan dengan badai angin yang sangat dingin dan kencang selama tujuh malam delapan hari 

فَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا بِالطَّاغِيَةِ وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَىٰ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ فَهَلْ تَرَىٰ لَهُمْ مِنْ بَاقِيَةٍ

“Adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa. Adapun kaum  Aad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.

Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka kamu tidak melihat seorangpun yang tinggal di antara mereka. (QS Al Haqqah 5-8). Itu pelajaran supaya tidak ada lagi setelah itu orang-orang yang berbuat zalim. 

Dalam surat Al Fajr: 6-14, setelah menyebutkan kaum-kaum terdahulu yang diazab, Allah SWT menggambarkan urutan mengapa azab itu menimpa mereka. 

Pertama, karena melakukan penyimpangan thagha. Dari penyimpangan ini muncullah yang kedua, banyaknya kerusakan, seperti zina, korupsi, pembunuhan, dan sebagainya. Lalu terjadilah yang ketiga, yaitu turunnya azab Allah SWT: فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ “Fashabba alaihim rabbuka sautha azaab”. 

Di sini Allah SAW memastikan bahwa sekecil apa pun perbuatan zalim itu tetap dalam pantauan-Nya: 

إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ “Inna rabbaka labil mirshaad”. Artinya, orang-orang beriman yang berada dalam kebenaran optimislah selalu akan datangnya sebuah kemenangan, teruslah bersabar dalam ketaatan, lakukan ikhtiar semaksimal kemampuan. 

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ  “Wal aaqibatu lilmuttaqiin” (kemenangan kelak pasti akan berpihak kepada siapa yang benar) (QS Al Araf 128). 

Ayat ini sejatinya bagian dari nasihat Nabi Musa kepada kaumnya agar tetap bersama Allah dan bersabar pada saat dikejar-kejar firaun dan setelah itu mereka menyaksikan langsung bagaimana Allah memenangkan mereka dan menenggelamkan firaun dengan sehina-hinanya. 

*Penggalan naskah hikmah karya Amir Faishol Fath, terbit di Harian Republika

KHAZANAH REPUBLIKA

Uzur Syar’i yang Menganjurkan Shalat di Rumah Saja

Dimasa pandemi covid 19 ini, Pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pengetatan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada tanggal 3 sampai 20 Juli 2021. Pada zona PPKM tersebut, pemerintah menghimbau masyarakat untuk melakukan segala aktifitas dirumah termasuk juga dalam hal ibadah. Pada dasarnya, ibadah lebih utama dilaksanakan di masjid atau mushalla secara berjamah, tetapi karena adanya uzur tertentu ibadah lebih dianjurkan di rumah. Lantas, apa saja uzur-uzur syari yang menganjurkan shalat di rumah?

Imam syafii mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan jamaah baik itu di masjid atau di mushola terkecuali karena adanya uzur. Hal ini sebagaimana keterangan beliau dalam kitab Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 107, berikut :

Artinya :“Adapun shalat berjamaah, aku tidaklah memberikan keringanan untuk meninggalkannya kecuali jika ada uzur.”

Anggaplah kita memilih pendapat sebagian ulama yang mengatakan sunnah muakkad sebagai pendapat paling ringan dalam hukum shalat berjamaah di masjid atau di mushalla. Dalam hal ini, bukan berarti kita bisa shalat di rumah begitu saja dengan mudah tanpa ada uzur. Berikut kami jelaskan uzur-uzur syari yang membolehkan untuk shalat di rumah :

Pertama, hujan lebat. Hujan bisa menjadi uzur atau alasan untuk tidak melaksanakan shalat di masjid bila memberatkan seseorang untuk keluar rumah. Sehingga, tidak termasuk uzur bila hanya gerimis-gerimis kecil, atau hujan lebat tapi ada kemudahan akses untuk sampai ke masjid. Hal ini sebagaimana dalam keterangan Syekh Khathib al-Syarbini dalam kitab Mugni al-Muhtaj, juz 1, hal. 473,

ويشترط حصول مشقة بالخروج مع المطر كما صرح به الرافعي في الكلام على المرض فلا يعذر بالخفيف ولا بالشديد إذا كان يمشي في كن

Artinya :“Dan disyaratkan adanya kesulitan keluar rumah saat hujan seperti yang ditegaskan Imam al-Rafi’i dalam pembahasan sakit, maka tidak bisa dijadikan alasan hujan yang ringan dan lebat bila ia bisa berteduh di bawah atap”

Kedua, tanah berlumpur. Kondisi tanah berlumpur dapat dijadikan uzur kerika mengakibatkan kotornya pakaian dan kaki. Sebagaimana keterangan Syekh Kamaluddin ad-Damiri, dalam kitab Al-Najm al-Wahhaj, juz 2, hal. 339,

)وكذا وحل شديد على الصحيح) فهو عذر وحده ليلا ونهارا، لحديث ابن عباس المتقدم، ولأنه أشق من المطر. والثاني: لا؛ لإمكان الاحتراز عنه بالنعال ونحوها. والمراد بـ (الوحل الشديد): الذي لا يؤمن معه التلويث وإن لم يكن متفاحشا.

Artinya : “Demikian pula tanah belumpur menurut pendapat yang shahih, termasuk uzur di malam dan siang hari. Hal ini karena hadis riwayat Ibnu Abbas yang terdahulu, dan karena tanah berlumpur lebih menyulitkan dari hujan. Menurut pendapat kedua, bukan uzur, karena bisa dihindari dengan memakai sandal dan semisalnya. Maksud dari tanah berlumpur adalah kondisi becek yang dapat mengotori meski tidak sampai pada taraf yang sangat parah”.

Ketiga, angin kencang atau kondisi sangat dingin. Pada kondisi ini seseorang boleh melaksanakan ibadah dirumah saja apabila sampai pada taraf  memberatkan yang dapat menghilangkan kekhusyukan atau kesempurnan khusyuk di dalam shalat. Sebagaimana keterangan Syekh al-Qalyubi, dalam kitab Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Kanz al-Raghibin, juz 1, hal. 260,

   قوله: (ولا رخصة في تركها إلا بعذر) وهو ما يذهب الخشوع أو كماله، والتعليل بغيره للزومه له.

Artinya : “Tidak ada keringanan dalam meninggalkan jamaah (dan Jumat) kecuali karena uzur, yaitu perkara yang menghilangkan khusyuk atau kesempurnaannya. Boleh juga membuat alasan dengan penjelasan selain pengertian ini, karena keduanya saling terkait”

Keempat, sakit atau adanya wabah. Kedua kondisi ini dapat menjadi uzur yang memperbolehkan meninggalkan Jumat dan jamaah bagi seseorang yang sedang sakit atau khawatir tertular penyakit untuk diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana keterangan Syekh al-Mardawi, dalam kitab Al-Inshaf, juz 4, hal. 464,

ويعذر في ترك الجمعة والجماعة، المريض. بلا نزاع، ويعذر أيضا في تركهما لخوف حدوث المرض

Artinya : “Orang sakit dimaafkan (boleh) meninggalkan shalat Jumat dan jamaah—tak ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Dan dimaafkan pula dalam meninggalkan Jumat dan jamaah karena khawatir terkena sakit”

Imam An-Nawawi menyebutkan  empat kategori uzur yang telah disebutkan di atas secara singkat dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz 5, halaman 8,

ومن الاعذار المطر والوحل والخوف والبرد ونحوها

Artinya: “Termasuk dalam kondisi uzur adalah ketika hujan, tanah berlumpur, situasi mencekam (pandemi covid 19), cuaca dingin, dan uzur lainnya”

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH