Hukum dan Tata Cara Shalat Ketika Terjadi Gempa

Bertahan Shalat Saat Gempa

Di medsos ada perdebatan, boleh tidaknya membatalkan sholat wajib ketika ada gempa.

Mohon penjelasannya ustadz. Jawaban lengkapnya, mohon bisa ditampilkan di konsultasisyariah.com…Agar faedahnya bisa lebih meluas.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat kaidah umum yang disampaikan para ulama fiqh. Kaidah itu menyatakan,

دَرْءُ المَفَاسِد أَولَى مِن جَلبِ المَصَالِح

Menghindari mafsadah (potensi bahaya) lebih didahulukan dari pada mengambil maslahat (kebaikan).

Dalam banyak literatur yang membahas qawaid fiqh, kaidah ini sering disebutkan.

Diantara dalil yang mendukung kaidah ini adalah firman Allah,

ولا تَسُبُوا الَّذِينَ يَدْعُونَ من دوُنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Janganlah kamu memaki tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. al-An’am: 108)

Syaikh Dr. Muhammad Shidqi al-Burnu menjelaskan kandungan makna ayat ini,

ففي سب آلهة الكفار مصلحة وهي تحقير دينهم وإهانتهم لشركهم بالله سبحانه، ولكن لما تضمن ذلك مفسدة وهي مقابلتهم السب بسب الله عز وجل نهى الله سبحانه وتعالى عن سبهم درءاً لهذه المفسدة.

Memaki tuhan orang kafir ada maslahatnya, yaitu merendahkan agama mereka dan tindakan kesyirikan mereka kepada Allah – Ta’ala –. Namun ketika perbuatan ini menyebabkan potensi bahaya, yaitu mereka membalas makian, dengan menghina Allah, maka Allah melarang memaki tuhan mereka, sebagai bentuk untuk menghindari potensi bahaya. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh, hlm. 265).

Karena pertimbangan inilah, pelaksaan kewajiban yang sifatnya muwassa’ (waktunya longgar), harus ditunda untuk melakukan kewajiban yang waktunya terbatas.

Shalat wajib termasuk wajib muwassa’ (waktunya longgar). Shalat isya rentang waktunya sejak hilangnya awan merah di ufuk barat, hingga tengah malam. Sehingga, kalaupun seseorang tidak bisa menyelesaikan di awal malam, dia bisa tunda di waktu setelahnya.

Sementara menyelamatkan nyawa juga kewajiban. Karena secara sengaja berdiam di tempat yang berbahaya, hukumnya haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Imam Ahmad 2863, Ibnu Mâjah 2341 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Ketika terjadi gempa, sementara posisi kita sedang shalat, di sana terjadi pertentangan antara maslahat dengan mafsadah.

Mempertahankan shalat, itu maslahat, sehingga jamaah bisa segera menyelesaikan kewajibannya. Namun di sana ada potensi bahaya, karena jika bangunan itu roboh, bisa mengancam nyawa jamaah.

Mana yang harus didahulukan?

Kaidah di atas memberikan jawaban, menghindari potensi bahaya lebih didahulukan, dari pada mempertahankan maslahat. Apalagi shalat termasuk kewajiban yang waktunya longgar.

Pertimbangan lainnya adalah Maqasid as-Syari’ah (tujuan besar adanya syariah), diantaranya menjaga keselamatan jiwa. Sehingga bertahan shalat, sementara orang itu  sudah tahu bahwa gempa ini berpotensi menghilangkan nyawa, maka tindakannya bertentangan dengan Maqasid as-Syariah.

Wajib Menyelamatkan Nyawa dengan Membatalkan Shalat

Karena itulah, para ulama menegaskan wajib mendahulukan penyelamatan nyawa, dari para shalat wajib. Kita simak keterangan mereka,

[1] Keterangan Hasan bin Ammar al-Mishri – ulama Hanafiyah –

فيما يوجب قطع الصلاة وما يجيزه وغير ذلك…  يجب قطع الصلاة باستغاثة ملهوف بالمصلي

Penjelasan tentang apa saja yang mewajibkan orang untuk membatalkan shalat dan apa yang membolehkannya… wajib membatalkan shalat ketika ada orang dalam kondisi darurat meminta pertolongan kepada orang yang shalat… (Nurul Idhah wa Najat al-Arwah, hlm. 75)

[2] Keterangan al-Izz bin Abdus Salam – ulama Syafi’iyah – wafat 660 H.

Dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam, beliau menjelaskan,

تَقْدِيمُ إنْقَاذِ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ، لِأَنَّ إنْقَاذَ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عِنْدَ اللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ، وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْمَصْلَحَتَيْنِ مُمْكِنٌ بِأَنْ يُنْقِذَ الْغَرِيقَ ثُمَّ يَقْضِي الصَّلَاةَ…

Harus mendahulukan upaya penyelamatan orang yang tenggelam, dari pada pelaksanaan shalat. karena menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam, lebih afdhal di sisi Allah dibandingkan melaksanaan shalat. Disamping menggabungkan kedua maslahat ini sangat mungkin, yaitu orang yang tenggelam diselamatkan dulu, kemudian shalatnya diqadha. (Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1/66).

Beliau berbicara tentang penyelamatan nyawa orang lain. dia didahulukan dibandingkan pelaksanaan shalat wajib. Tentu saja, menyelamatkan diri sendiri harus didahulukan dibandingkan shalat.

[3] Keterangan al-Buhuti – ulama hambali – (wafat 1051 H),

ويجب إنقاذ غريق ونحوه كحريق فيقطع الصلاة لذلك فرضاً كانت أو نفلاً، وظاهره ولو ضاق وقتها لأنه يمكن تداركها بالقضاء بخلاف الغريق ونحوه، فإن أبى قطعها لإنقاذ الغريق ونحوه أثم وصحت صلاته

Wajib menyelamatkan orang tenggelam atau korban kebakaran, sehingga harus membatalkan shalat, baik shalat wajib maupun sunah. Dan yang kami pahami, aturan ini berlaku meskipun waktunya pendek. Karena shalat tetap bisa dilakukan dengan cara qadha, berbeda dengan menolong orang tenggelam atau semacamnya. Jika dia tidak mau membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban lainnya, maka dia berdosa meskpiun shalatnya sah. (Kasyaf al-Qi’na, 1/380).

Mereka mewajibkan membatalkan shalat untuk menyelamatkan nyawa satu orang yang sedang terancam. Sementara sikap imam yang mempertahankan diri, bisa membahayakan nyawanya dan nyawa sekian banyak makmum. Bukankah lebih layak untuk segera dibatalkan??

Karena itulah, bagi mereka yang sedang shalat jamaah, kemudian terjadi gempa, sikap yang tepat bukan bertahan shalat namun segera dibatalkan. Karena ini potensi bahaya yang seharusnya dihindari. Terlebih, shalat bisa ditunda setelah situasi memungkinkan.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!

KonsultasiSyariah.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/32140-shalat-saat-gempa.html

Aksi Terorisme Sangat Bertentangan dengan Jalan Dakwah Rasulullah

Beberapa hari lalu Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri berhasil menangkap 11 terduga teroris yang tergabung dalam jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Merauke, Papua. Mereka diduga hendak melakukan aksi terorisme berupa bom bunuh diri di beberapa gereja di Indonesia Timur, seperti di Merauke, Jagebob, Kurik, Semangga, dan Tanah Miring.

Padahal Islam sendiri secara tegas mengharamkan aksi terorisme, baik berupa penembakan, bom bunuh diri, maupun kekerasan lainnya. Aksi terorisme secara nyata bertentangan dengan maqasid asy-syariah (tujuan syariat Islam) karena menimbulkan kemudaratan (seperti kekacauan, kerusakan, ketakutan, kesedihan, dan lainnya) dan mencegah terwujudnya kemaslahatan (seperti keamanan, kedamaian, dan lainnya).

Selain itu, kekerasan (terorisme) atas nama agama sangat bertentangan dengan dakwah awal Rasulullah saw. yang mengubah kebiasaan buruk orang-orang jahiliah. Dalam hal ini, orang-orang jahiliah suka menyembah berhala, bercerai berai, berperang, dan tidak punya kasih sayang kepada sesama (‘Umar ‘Abd al-Jabbar, Khulashah Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid al-MursalinJuz I: 18).

Adapun Rasulullah saw. mengajak mereka menyembah Allah, meninggalkan peperangan, mewujudkan persatuan, dan saling menyayangi satu sama lain (hlm. 19). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para teroris adalah orang-orang jahiliah modern. Sebab, meskipun para teroris tidak menyembah berhala, tetapi mereka “menyembah” ideologi mereka yang keras, sempit, tertutup, dan buruk. Sehingga mereka suka bercerai berai, berperang, dan tidak punya kasih sayang kepada sesama.

Wahai Para Teroris, Mari Meneladani Rasulullah saw. secara Kaffah

Habib Jindan bin Novel dalam ceramahnya di Proppo, Pamekasan, Madura (2020) mengajak umat Islam agar meneladani Rasulullah saw. dalam segala aspek, seperti dakwah, jihad, amar makruf nahi mungkar, dan lainnya. Artinya, seorang Muslim yang ingin berdakwah, berjihad, atau amar makruf nahi mungkar harus meniru dakwah, jihad, atau amar makruf nahi mungkar Rasulullah saw., bukan berdasarkan dorongan nafsunya sendiri.

Makanya, umat Islam wajib membaca sejarah hidup Rasulullah saw. agar mengetahui akhlaknya, baik mengenai dakwah, jihad, amar makruf nahi mungkar, maupun lainnya. Menurut beberapa literatur (seperti Ihya’ Ulum ad-Din karya Imam al-GazaliWasa’il al-Wushul ila Syama’il ar-Rasul saw. karya Syekh Yusuf bin Isma‘il an-Nabhani, Mawlid ad-Diba‘i karya Imam ad-Diba‘i), Rasulullah saw. adalah orang yang paling agung akhlaknya, penyayang, lemah lembut, pemurah, dan pengampun; tidak pernah mencaci maki; tidak pernah menaruh kebencian dan niat buruk kepada Muslim manapun; dan tidak pernah memukul siapapun kecuali dalam peperangan di jalan Allah.

Ketika berada di Mekah, misalnya, Rasulullah saw. berdakwah dengan ramah dan lemah lembut selama sepuluh tahun. Meskipun orang-orang kafir Quraisy menentang, mengganggu, dan bahkan menyakitinya, tetapi beliau tetap menghadapi mereka dengan kesabaran, kelembutan, kemurahan hati, dan pengampunan (Khulashah Nur al-Yaqin, hlm. 43 & 26). Padahal, menurut Habib Jindan bin Novel, Rasulullah saw. adalah orang yang paling tahu makna “asyidda’u ‘ala al-kuffar (bersikap keras terhadap orang-orang kafir)” dan paling paham makna “jihad”. Oleh karena itu, alangkah indahnya jika semua umat Islam meneladani dakwah Rasulullah saw. tersebut.

Wahai Para Teroris, Jika Kalian Betul Mencintai Allah, Maka Ikutilah Rasulullah saw.

Allah berfirman: “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah Mencintaimu dan Mengampuni dosa-dosamu (Ali ‘Imran (3): 31).” Ayat ini secara jelas dan tegas memerintahkan umat Islam agar mengikuti Rasulullah saw. dalam menuju Allah. Menurut Imam al-Bushiri dalam kasidah al-Burdah, setiap orang yang mengikuti dan berpegang teguh kepada Rasulullah saw., maka dia mengikatkan diri kepada tali yang tidak akan terputus selama-lamanya (da‘a ilallahi fa al-mustamsikuna bihi # mustamsikuna bi hablin gairi munfashimi).

Di sisi lain, Allah menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa Rasulullah saw. adalah suri teladan yang agung (al-Ahzab (33): 21). Oleh karena itu, setiap orang yang mengharapkan rida Allah dan kebahagiaan hidup di akhirat harus mengikuti Rasulullah saw. Mengikuti Rasulullah saw. sama saja dengan mengikuti al-Qur’an. Sebab, akhlak Rasulullah saw. adalah al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadis (Syekh Yusuf bin Isma‘il an-Nabhani, Wasa’il al-Wushul ila Syama’il ar-Rasul saw., 2002: 196). Makanya, tidak heran jika Allah memuji akhlak Rasulullah saw. sebagai budi pekerti yang luhur (al-Qalam (68): 4). Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…

BINCANG SYARIAH

Panjangkan Salat dan Pendekkan Khutbah Jumat

Salah satu sunnah yang perlu diperhatikan para khatib jumat adalah memperpendek khutbah dan memperpanjang salat. Tentunya memperpendek khutbah yang sesuai dengan kaidah syariat, bukan terlalu pendek. Demikian juga, memperpanjang salat dengan tetap memperhatikan keadaan jamaah, jangan sampai terlalu panjang dan membuat jamaah merasa berat.

Perhatikan hadis berikut yang menganjurkan hal ini,

عَنْ وَاصِلِ بْنِ حَيَّانَ قَالَ: قَالَ أَبُو وَائِلٍ: خَطَبَنَا عَمَّارٌ فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُـولَ الله يَقُولُ إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَـرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا.

Dari Washil bin Hayyan, dia berkata, Abu Wa’il berkata, ‘Ammar pernah memberi khutbah kepada kami dengan singkat dan padat isinya. Dan ketika turun, kami katakan kepadanya, ‘Wahai Abu Yaqzhan, sesungguhnya Engkau telah menyampaikan dan menyingkat khutbah, kalau saja Engkau memanjangkannya.’” Maka dia menjawab, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya panjangnya salat seseorang dan pendek khutbahnya itu menjadi ciri pemahaman yang baik dalam agama. Oleh karena itu, perpanjanglah salat dan perpendeklah khutbah. Dan sesungguhnya di antara bagian dari penjelasan itu mengandung daya tarik.’.” [HR. Muslim]

Dalam riwayat lainnya,

خَطَبَنَا عَمَّارُ بْنِ يَاسِرٍ فَتَجَوَّزَ فِي خُطْبَتِهِ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ: لَقَدْ قُلْتَ قَوْلاً شِفَاءً فَلَوْ أَنَّكَ أَطَلْتَ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ نَهَى أَنْ نُطِيلَ الْخُطْبَةَ

“‘Ammar bin Yasir pernah memberi khutbah kepada kami, lalu dia menyampaikannya secara singkat, maka ada seseorang dari kaum Quraisy yang berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Engkau telah menyampaikan ungkapan yang singkat lagi padat, kalau saja Engkau memanjangkannya.’ Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami untuk memanjangkan khutbah’.” [HR. Ahmad]

Khutbah Yang “To The Point

Agar khutbah ringkas dan mengena, perlu disampaikan secara “to the point”. Artinya, tidak terlalu melebar ke mana-mana dengan pembahasan yang loncat kesana-kesini. Khutbah seperti ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan menyebabkan jamaah yang mendengar menjadi bosan bahkan mengantarkan ke rasa kantuk. Hendaknya khutbah disusun dengan cara menyampaikan poin-poin ringkas atau membatasi pembahasan yang dirasa penting saja.

Khutbah yang ringkas adalah sunnah. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,

وأما قصر الخطبة : فسنَّة مسنونة ، كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمر بذلك

Adapun memperpendek khutbah, hukumnya sunnah. Dan Nabi shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan hal tersebut.” [Al-Istizkar, 2: 363]

Ibnu Hazm rahimahullah melarang memperpanjang khutbah terlalu panjang. Beliau rahimahullah berkata,

ولا تجوز إطالة الخطبة

Tidak boleh memperpanjang khutbah.” [Al-Muhalla, 5: 60]

Salat yang Panjang, tetapi Tidak Membuat Jamaah Lari

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam membaca surat yang cukup panjang dalam salat Jumat. Hendaknya kita meneladani beliau dalam membaca surat-surat ketika salat Jumat.

Yang paling sering kita dengar adalah membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah, sebagaimana dalam hadits berikut ini,

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Abu Hurairah berkata, ”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca keduanya (surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah) pada hari Jumat” [HR. Muslim].

Beliau juga pernah membaca surat Al-Jumu’ah kemudian Al-Ghasiyah sebagaimana dalam hadits berikut ini,

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ سَعِيدٍ الْمَازِنِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ

أَنَّ الضَّحَّاكَ بْنَ قَيْسٍ سَأَلَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ مَاذَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى إِثْرِ سُورَةِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ كَانَ يَقْرَأُ بِهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ

“Telah menceritakan kepada kami Al-Qa’nabi dari Malik dari Dhamrah bin Sa’id Al-Mazini dari ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Dhahhak bin Qais bertanya kepada Nu’man bin Basyir, “Surat apakah yang biasa dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Jumat setelah surat Al Jumu’ah?” Dia menjawab, “Beliau biasa membaca dengan; “Hal ataaka hadiitsul Ghasyiyah.” [HR. Abu Dawud]

Beliau juga pernah membaca surat Al-Jumu’ah kemudian Al-Munafiqun sebagaimana dalam hadits berikut ini,

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ أَبِي رَافِعٍ قَالَ

صَلَّى بِنَا أَبُو هُرَيْرَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ وَفِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالَ فَأَدْرَكْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ حِينَ انْصَرَفَ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّكَ قَرَأْتَ بِسُورَتَيْنِ كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْرَأُ بِهِمَا بِالْكُوفَةِ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Telah menceritakan kepada kami Al-Qa’nabi, telah menceritakan kepada kami Sulaiman yaitu Ibnu Bilal, dari Ja’far, dari ayahnya, dari Ibnu Abu Rafi’, dia berkata, ‘Abu Hurairah salat mangimami kami pada hari (salat) Jum’at, lalu dia membaca surat Al-Jumuah pada raka’at pertama dan “idza jā’akal munāfiqūn” pada raka’at terakhir. Selesai salat, aku menjumpai Abu Hurairah dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Anda membaca surat sebagaimana yang dibaca oleh Ali bin Abu Thalib di Kufah.’ Abu Hurairah berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca kedua surat tersebut pada salat Jum’at’.” [HR. Abu Dawud]

Beliau juga pernah membaca surat yang cukup panjang, yaitu surat Qaaf. Diriwayatkan dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin an-Nu’man radhiyallahu anhuma, beliau berkata,

مَا أَخَذْتُ (ق. وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) إِلاَّ عَنْ لِسَانِ رَسُـولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهَا كُلَّ يَوْمِ جُمُعَةٍ عَلَى الْمِنْبَرِ إِذَا خَطَبَ النَّاسَ.

Aku mempelajari surat Qāf wal Qur’ānil Majīd hanya dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu beliau bacakan pada hari Jumat di atas mimbar ketika berkhutbah di hadapan manusia.” [HR. Muslim]

Terkait dengan panjangnya salat, perlu kita perhatikan bahwa hendaknya bacaan salat tidak sampai membuat jamaah lari dan merasa tidak nyaman. Hendaknya kadar panjang salat dimusyawarahkan dengan ustaz dan pengurus masjid dalam kaidah syariat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَّـﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻟِﻠﻨَّـﺎﺱِ ﻓَﻠْﻴُﺨَﻔِّﻒْ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻓِﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟﻀَّﻌِﻴْﻒَ ﻭَﺍﻟﺴَّﻘِﻴْﻢَ ﻭَﺍﻟْﻜَﺒِﻴْﺮَ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺻَﻠَّﻰ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻓَﻠْﻴُﻄَﻮِّﻝْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ

Jika salah seorang di antara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya. Karena di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan orang tua. Akan tetapi, jika dia salat sendirian, maka dia boleh memperpanjang sesuka hatinya. [HR. Bukhari dan Muslim]

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan,

ﻓﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺩﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﻨﻴﺔ ﺇﻃﺎﻟﺘﻬﺎ، ﻓﻠﻪ ﺗﺨﻔﻴﻔﻬﺎ ﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ‏

Ini adalah dalil bahwa siapa yang ingin salat dengan niat memanjangkan, boleh baginya meringankan karena suatu maslahat.” [Fathul Bari li Ibni Rajab, 4: 222]

Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah juga menjelaskan jika ada alasan (illat), yaitu berat (masyaqqah) bagi makmum, maka boleh diringankan. Beliau rahimahullah berkata,

ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺬﻛﻮﺭ ﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﺸﻘﺔ ﺍﻟﻼﺣﻘﺔ ﻟﻠﻤﺄﻣﻮﻣﻴﻦ ﺇﺫﺍ ﻃﻮﻝ

Pada hadis ini disebutkan alasannya (illat), yaitu rasa berat (masyaqqah) yang akan didapatkan oleh makmum jika dipanjangkan.” [Ihkamul Ihkam, 3: 258]

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel: www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66505-panjangkan-shalat-dan-pendekkan-khutbah-jumat.html

Jangan Lupakan Doa dan Tawakal dalam Mendidik Anak

Lingkungan adalah salah satu faktor paling menentukan untuk anak menjadi saleh atau tholeh (buruk). Oleh karenanya, banyak diantara orang tua sekarang yang lebih memilih menyekolahkan buah hati tercinta di pesantren-pesantren, sekolah-sekolah berbasis keislaman, atau home schooling di rumah dengan biaya yang tentu tidak murah. Karena ingin mencari lingkungan tempat belajar yang baik dan kondusif. Hal tersebut semoga menjadi pahala yang besar bagi orang tua tersebut karena telah memikirkan dengan susah payah dan bekerja keras untuk kebaikan putra putri mereka.

Namun nyatanya, terkadang realitas tidak sesuai harapan orang tua. Walaupun anak belajar di pondok pesantren, sekolah-sekolah keislaman, mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an), sang anak ternyata tetap jauh dari kata “saleh”. Tentunya dengan sebab-sebab dan faktor-faktor lain yang mungkin disadari ataupun tak disadari oleh orang tuanya. Baik faktor teman, lingkungan, pergaulan, bacaan, tontonan, dan faktor-faktor lainnya.

Di sisi yang berbeda kita lihat ada sebagian orang tua yang kurang agamis, mereka menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah negeri atau sekolah umum, namun atas taufik dan hidayah dari Allah Ta’ala, sang anak menjadi anak yang baik dan saleh. Karena sebab-sebab lain yang mungkin disadari ataupun tidak disadari oleh orang tuanya. Baik itu karena faktor teman, lingkungan, pergaulan, bacaan, tontonan, dan faktor-faktor lainnya.

Ibrah yang bisa diambil adalah, Allah Ta’ala zat yang Maha Perkasa berkuasa mengatur segala makhluk-Nya dan akal manusia begitu lemah sehingga tidak akan mampu bersandar pada dirinya sendiri. Mungkin sebagian orang tua yang sudah “hijrah” berpikir keras dan berjuang untuk menyekolahkan anaknya di pesantren, sekolah Islam, dll. Tapi lupa untuk menyerahkan urusan pendidikan anak kepada Rabbul ‘alamin, Rabb yang mengatur jagat raya. Lupa berdoa kepada Allah agar Allah memberikan anaknya taufik dan hidayah-Nya. Padahal doa merupakan salah satu sebab yang paling utama untuk si anak bisa menjadi hamba Allah yang taat.

Nabi Ibrahim Alaihissalam berdoa untuk kesalehan keturunannya, sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur’an,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh” (QS. Ash Shafat: 100).

Allah Ta’ala juga berfirman,

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku” (QS. Ibrahim: 40).

Nabi Ibrahim Alaihissalam merupakan bapak para Nabi dan merupakan salah satu dari Ulul ‘Azmi, tentu tidak ada yang meragukan kemampuan beliau dalam mendidik anak-anaknya, namun tetap berdoa kepada Allah, menyerahkan urusan ini kepada Allah, agar Allah menganugerahkannya keturunan yang saleh.

Tentu tulisan ini tidak mengandung pesan meremehkan usaha sebagian orang tua yang telah berjuang dan bersusah payah untuk menyekolahkan anaknya di pesantren, sekolah Islam, dan lembaga pendidikan lainnya. Namun tulisan ini sekedar pengingat bagi kita semua agar tidak lupa untuk selalu berdoa dan menyandarkan hati dalam urusan ini kepada Allah Azza wa Jalla.

Dan juga bagi sebagian orang tua yang tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya di pesantren dan sekolah Islam agar tidak berkecil hati, tidak berputus asa. Karena tentu banyak sebab-sebab lainnya yang dapat diusahakan orang tua dalam mendidik anak. Dengan terus berdoa meminta hidayah kepada Allah dan tawakal kepada-Nya.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Muhammad Bimo P.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66513-jangan-lupakan-doa-dan-tawakal-dalam-mendidik-anak.html

Mengapa Harus Ada Kiamat?

Mengapa harus ada kiamat? Mengapa kiamat harus terjadi? Untuk apa kiamat? Apa urgensi kiamat buat manusia ? Pertanyaan itu mungkin sudah lama dalam benak Anda. Pertanyaan itu mungkin sudah lama Anda tanyakan, namun Anda belum mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Tatkala manusia hidup, pelbagai ragam perbuatan ia lakukan. Ada yang dengan hati murni, berbuat kebajikan untuk manusia. Hari-harinya diisi dengan pelbagai kebaikan dan amal saleh. Ia rajin menolong dan membantu orang yang kesusahan.

Namun di sisi lain, ada manusia yang melakukan amal biadab. Penuh denga sikap kejelekan. Saban hari ini melakukan keburukan. Menggunjing tetangga. Menyebarkan fitnah. Dan juga memproduksi hoaks yang meresahkan masyarakat.

Lebih dari itu tak sedikit manusia yang merugikan bagi manusia lain. Ada yang mencuri harta miliki tetangga. Dengan tega maling perhiasan, uang dan alat elektronik orang lain ketika ke luar rumah.

Di sisi lain, ada juga yang tega membunuh manusia tanpa dosa. Membunuh untuk tujuan tertentu. Ada yang menghabisi nyawa seseorang untuk mengambil harta miliknya. Si anu tega membantai, si B hanya untuk mengurangi saingannya dalam bergadang dan bisnis.

Ada juga Si Ahmad yang dibantai oleh teman lamanya. Pasalnya, si Ahmad tega merebut calon istrinya dulu. Atau si Sari , dengan tega membunuh suaminya agar bisa kawin lagi dengan lelaki lain. Ini semua sifat dan kelakuan buruk manusia.

Sayangnya, tak semua dosa ini bisa selesai di dunia. Pengadilan dunia banyak yang menerapkan manipulasi. Si pelaku utama lolos, sebab ia punya uang dan orang dalam. Tak semua orang mendapat keadilan hukum di dunia.

Tak berlebihan kemudian manusia mengimpikan suatu hari yang penuh keadilan. Profesor Quraish Shihab dalam buku, Islam yang Saya Anut; Dasar- dasar Islammengatakan di sinilah rasa keadilan menuntut kepercayaan tentang adanya “hari” di mana setiap manusia mendapatkan balasan dan ganjaran atas perbuatan masing-masing.

Lebih lanjut, Allah itu Maha Adil, Dia membangkitkan manusia setelah kematian agar mendapatkan ganjaran; surga bagi manusia yang taat dan berbuat kebaikan dan menjatuhkan sanksi atas orang yang berbuat keburukan—jika Allah tak mengampuni dosanya.

Lantas Anda akan bertanya, kenapa tak di dunia saja balasan itu diwujudkan? Kenapa harus menunggu mati si terdakwa? Bukankah balasan kebajikan dan keburukan akan disegerakan?

Satu hal yang pasti, Allah maha kuasa. Ia mampu mewujudkan segala sesuatu. Ia pemilik alam raya dan isinya. Namun penting digarisbawahi,  manusia diciptakan ke dunia ini  bukan tanpa tujuan. Ada maksud dan rahasia di balik terciptanyan manusia dan alam semesta.

Di samping itu, seperti kata, Quraish Shihab agama menuntut keimanan. Salah satu di antaranya adalah keimanan tentang balasan ganjaran bagi manusia kelak di hari kiamat. Terlebih Allah menjanjikan balasan bertingkat bagai manusia yang berbuat kebajikan.

Itulah sekilas kenapa kiamat harus ada. Dan hari pembalasan itu penting. Sejatinya kiamat adalah keadilan untuk manusia. Keadilan yang kelak akan didapatkan dalam hari pembalasan.

BINCANG SYARIAH

Riwayat Tentang Janji Allah Ketika Ka’bah Sepi dari Orang Beribadah Haji

Indonesia batalkan keberangkatan haji 2020, disebabkan penyebaran virus COVID-19 di berbagai belahan dunia belum bisa dikatakan aman. Selain itu, sampai Kementerian Agama mengumumankan peniadaan ibadah haji di tahun ini, Pemerintah Arab Saudi tidak memberikan informasi apakah mereka menerima kedatangan calon haji pada tahun ini.

Tentu itu berdampak Mekkah akan sepi dari jamaah haji bahkan hampir tidak ada atau sedikit orang yang berthawaf di Ka’bah. Meskipun pihak Arab Saudi mengabarkan akan membolehkan ibadah haji tahun ini, namun jumlah jama’ah akan tetap dikurangi secara drastis.

Menanggapi fenomena ini, beredar hadis terkait bahwa Allah akan mengutus para malaikat untuk bertawaf (mengililingi Ka’bah) jika Mekkah sepi akan jama’ah haji.

Hadis tersebut dapat ditemukan diantaranya dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali,

  قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عز وجل قد وعد هذا البيت أن يحجه كل سنة ستمائة ألف فإن نقصوا أكملهم الله عز وجل من الملائكة (3) وإن الْكَعْبَةَ تُحْشَرُ كَالْعَرُوسِ الْمَزْفُوفَةِ وَكُلُّ مَنْ حَجَّهَا يتعلق بأستارها يسعون حولها حتى تدخل الجنة فيدخلون معها

Rasulullah bersabda sesungguhnya Allah azza wazalla telah berjanji pada ka’bah, setiap tahunnya akan dikelilingi orang yang beribadah haji minimal 600.000 orang. Jika kurang dari jumlah itu maka akan ditambahi dengan makluk ghaib berupa malaikat. Sesungguhnya ka’bah itu mempertemukan seperti sepasang mempelai yanh diarak. Dan setiap yang berhaji ke ka’bah maka akan terikat dengan tirai-tirainya, mereka mengelilinginya hingga ka’bah masuk surge, dan mereka pun masuk surge bersamanya.

Pada hadis tersebut Allah berjanji bahwa Mekkah akan selalu ramai dikunjungi jamaah haji, jika sampai tidak ramai atau jamaah haji yang datang di Mekkah hanya sedikit bahkan tidak mencapai 600 ribu jama’ah, maka Allah akan mengutus para malaikatNya untuk mengililingi ka’bah.

Lantas bagaimana kualitas hadis di atas?

Menurut penelitian al-‘Iraqi dalam takhrij hadis-hadis dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddinhadis tersebut tidak memiliki sumber. Al-Syaukani menyebutkannya dalam kitab Al-Fawaid Majmu’ah fii al-Ahadith al-Maudhu’ah. sli Al-Qari dalam kitabnya al-‘Asrar al-Marfu’ah fii al-akhbar al-Maudhu’ah menyatakan bahwa hadits ini tidak memiliki dasar.

Al-Hafiz Al-Sakhawi berpendapat bahwa Abu al-Walid al-Azraq menyebutkan hadis tersebut dalam Akhbar Makkah tanpa ada dukungan. al-Zamakhshari memasukannya dalam kitab Al-Imran, dan Al-Aqid menerjemahkannya dari Al-Hassan bahwa hadis tersebut lemah, tidak valid dan tidak memiliki dasar, dan Ibn Rashid berpendapat bahwa hadis tersebut merupakan hadis munkar. Kemudian at-Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan.

Hadis tersebut memang tidak ditemukan di Kutub as-Sittah. Akan tetapi ditemukan di kitab-kitab lain semisal, Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, I‘laam al-Syaajad bi Ahkam Masajid karya Az-zarkasyi as-Syafi’i, kitab Robi’ al-Abror wa Nushush akhyar karya imam az-Zamakhsyari, kitab al-Musthathraf karya Syihabuddin Abu al-Fath Muhammad al- Absyihi al-Muhalla.

Dengan ini umat Islam diharapkan lebih hati-hati dalam menyebarkan hadis. Selain itu bagi para jamaah haji yang ditunda keberangkatannya diharapkan tenang dan tidak sedih menanggapi seruan kabar sepinya ibadah haji di Mekkah. Hal tersebut bukan berarti merupakan tanda-tanda kiamat, karena sesungguhnya yang mengetahui kiamat akan datang hanyalah Allah SWT. Bahkan Nabi SAW pun tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, umat Islam harus selalu bersikap positif kepada Allah SWT dan tetap tidak mengurangi rasa ikhlas untuk tetap khusu’ beribadah kepada Allah. Bisa jadi dibalik fenomena ini akan ada hikmah dibalik semuanya. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Hati-Hati Iklan “Badal Haji” yang Menipu

Hendaknya kaum muslimin berhati-hati dan tidak tergiur dengan iklan “badal haji” (menggantikan haji) yang menipu dan tidak bisa dipastikan keabsahan badal haji tersebut. Iklan badal haji ini umumnya bukan badan resmi yang berada di Saudi, mereka meminta sejumlah uang dari orang yang ingin “dibadal-hajikan” untuk biaya haji dan membayar hadyu (sembelihan), padahal faktanya mereka menipu dan melanggar beberapa kaidah “badal haji”.

“Badal haji” adalah menggantikan seseorang untuk berangkat haji karena tidak mampu lagi secara fisik maupun sudah meninggal. apabila ingin melakukan “badal haji”, perlu memperhatikan kaidah “badal haji”. Berikut berapa kaidah “badal haji” yang dilanggar oleh mereka:

1. “Badal Haji” hanya boleh dilakukan apabila orang tersebut tidak mampu secara fisik permanen saja atau sudah meninggal sedangkan syarat lainnya dia telah mampu semisal harta yang cukup. Jadi, apabila belum mampu secara harta, maak tidak boleh “dibadal-hajikan”. Faktanya iklan “badal haji” yang menipu ini tidak peduli dengan hal ini, mereka meminta sejumlah uang yang tidak terlalu banyak untuk dibayar kepada mereka, yaitu hanya untuk membayar hadyu (sembelihan) dan transportasi sekedarnya karena mereka sudah di Mekkah.

An-Nawawi berkata,

والجمهور على أن النيابة في الحج جائزة عن الميت والعاجز الميئوس من برئه

“Jumhur ulama berpendapat bahwa badal haji hanya boleh untuk orang yang sudah meninggal atau orang yang lemah fisik (cacat/sakit) yang sudah tidak bisa sembuh lagi.” [Syarh An-Nawawi Ala Muslim 8/27]

2. Yang melakukan ibadah badal haji (penggantinya) harus sudah berhaji terlebih dahulu untuk dirinya sendiri. Faktanya “iklan badal haji” yang menipu tersebut, belum tentu anggotanya sudah berhaji semuanya. Meskipun mereka tinggal Saudi, tetapi tidak semua orang yang tinggal di Saudi mendapatkan jatah haji dan sudah berhaji.

Sebagaimana dalam satu hadits dijelaskan ada seseorang yang berhaji untuk orang lain, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya apakah dia sudah berhaji untuk dirinya atau belum. Orang tersebut menjawab belum, maka beliau memerintahkan agar berhaji untuk dirinya sendiri dahulu. Ibnu Abbas berkata,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berkata,

لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَة

Ya Allah aku memenuhi panggilanmu untuk menghajikan Syubrumah”,

maka Nabi bertanya kepadanya“Siapakah Syubrumah?”,

lelaki itu berkata, “Kerabatku”,

Nabi berkata, “Engkau sudah pernah haji?”,

lelaki itu berkata, “Belum”,

Nabi berkata,

فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ

“Jadikanlah haji ini untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syburumah !” [HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah]

Dalam Fatwa Al-Lajnah AD-Daimah dijelaskan,

لا يجوز للإنسان أن يحج عن غيره قبل حجه عن نفسه

“Tidak bolehseseorang menghajikan orang lain sebelum ia sendiri melakukan haji untuk dirinya.” [Fatwa Al-Lajnah 11/50]

3. “Badal haji” untuk satu orang saja, satu orang menggantikan satu orang. Faktanya “iklan badal haji” yang menipu ini melakukan badal haji untuk banyak orang sedangkan yang melakukan ibadah haji hanya satu orang saja. Foto satu orang melakukan haji dikirim ke beberapa orang yang mereka minta uangnya untuk “dibadal-hajikan”

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah dijelaskan,

ولا يجوز للشخص أن يحج مرة واحدة ويجعلها لشخصين ، فالحج لا يجزئ إلا عن واحد

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan haji hanya sekali tetapi menggantikan untuk dua orang. Haji tidak sah kecuali untuk seseorang saja.” [Fatwa Al-Lajnah 11/58]

Demikian pemaparan singkat ini, semoga tidak ada lagi kaum muslimin yang tertipu oleh iklan badal haji yang tidak bertanggung jawab.

@ Lombok, Pulau seribu masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/50516-hati-hati-iklan-badal-haji-yang-menipu.html

Hukum Menjawab Salam ketika Sedang Sujud

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Bagaimana cara menjawab orang yang mengucapkan salam waktu kita sedang salat tepat pada saat melakukan sujud? Apabila tidak memungkinkan, apakah sebaiknya salam tersebut tidak perlu diucapkan?

Jawaban:

Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat dan salam atas utusan Allah rahmatan lil alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddinamma Ba’du.

Menjawab salam meskipun ketika sedang salat hukumnya tetap wajib. Karena menjawab perkataan adalah wajib secara kifayah selama belum ada keterangan (dalil) (yang membolehkan tidak menjawab salam ketika salat -pen.). Namun ketika ada uzur untuk menjawab salam dalam salat sebagaimana Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللهَ يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ، وَإِنَّ اللهَ جَلَّ وَعَزَّ قَدْ أَحْدَثَ مِنْ أَمْرِهِ أَنْ لاَ تَكَلَّمُوا فِي الصَّلاَةِ

“Allah menetapkan perintah-Nya sesuai kehendak-Nya, dan Allah Jalla wa ‘Azza telah menetapkan perintah-Nya yaitu janganlah kamu berbicara ketika sedang salat” [1].

Maka ucapan salam tersebut mesti dijawab baik dengan isyarat tangan, kepala, maupun dengan jemari. Allah Ta’ala telah menjadikan isyarat tersebut sebagai pengganti jawaban salam. Pendapat ini lebih mendekati kebenaran sesuai dengan dalil sebagaimana hadis ‘Abdullah Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhu yang berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قُبَاءَ يُصَلِّي فِيهِ، قَالَ: فَجَاءَتْهُ الأَنْصَارُ فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي، قَالَ: فَقُلْتُ لِبِلاَلٍ: «كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي؟» قَالَ: «يَقُولُ هَكَذَا»»، وَبَسَطَ كَفَّهُ، وَبَسَطَ جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ كَفَّهُ، وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ، وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلَى فَوْقٍ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju masjid Quba kemudian salat di dalamnya. Lalu datanglah sekelompok orang-orang Anshar seraya mengucapkan salam sementara Rasulullah sedang salat.” ‘Abdullah berkata, “Aku bertanya kepada Bilal, ‘Bagaimana Engkau melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab salam saat mereka mengucapkan salam sementara beliau sedang shalat?’ ‘Abdullah berkata, ‘Dia (Bilal) menjawab seperti ini, beliau lalu membuka telapak tangannya, Ja’far bin ‘Auf membuka telapak tangannya dan menjadikan perut telapak tangan di bawah, sedangkan punggung telapak tangan di atas’” [2].

Dari Shuhaib Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَرَرْتُ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَهُوَ يُصَلِّي- فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ إِشَارَةً، قَالَ: وَلاَ أَعْلَمُهُ إِلاَّ قَالَ: إِشَارَةً بِإِصْبَعِهِ

“Aku lewat dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang salat, lalu aku ucapkan salam kepada beliau. Beliau menjawab salam dengan berisyarat.” Perawi hadis berkata, “Yang aku tahu, Shuhaib yang dikatakan Shuhaib adalah: Nabi berisyarat dengan jarinya” [3].

Adapun dalam hadis Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu,

أَنَّهُ سَلّمَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَأَوْمَأَ لَهُ بِرَأْسِهِ

“Bahwa beliau (Ibnu Mas’ud) mengucapkan salam saat Rasulullah sedang salat. Kemudian Rasulullah memberi isyarat dengan kepalanya” [4].

Maka dari keumuman hadis-hadis di atas dapat disimpulkan bahwa dibolehkan menjawab salam ketika sedang melaksanakan salat bahkan pada saat sujud melalui isyarat. Apabila tidak mampu dengan tangan, maka bisa dengan jari. Jika tidak mampu, maka bisa diakhirkan setelah gerakan sujud. Menjawab salam dengan isyarat saat salat sama dengan menjawab salam di luar salat dengan perkataan.

Adapun hadis yang berbunyi,

مَنْ أَشَارَ فِي صَلاَتِهِ إِشَارَةً تُفْهَمُ عَنْهُ، فَلَيُعِدْ صَلاَتَهُ

“Barangsiapa yang memberikan isyarat yang bisa dipahami, maka dia harus mengulangi -salat- nya” [5].

ini merupakan hadis yang bathil. Sebab salah satu perawi hadis ini adalah Abu Ghathafaan dari Abu Hurairah, sementara Abu Ghathafaan adalah perawi yang majhul.

Wal ‘ilmu ‘indallāhAkhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman.

***

Catatan Kaki:[1] HR. Abu Daud dalam Kitab “as-Shalah”; Bab Raddu as-Salam fi as-Shalat (no. 924) dari hadis ‘Abdulah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu yang disahihkan oleh Syaikh Amad Syaakir dalam Tahqiq-nya untuk Musnad Ahmad (6: 91) dan al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ (no. 1892). Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (13: 499) berkata, “Asal riwayat ini ada dalam kita shahihain dari riwayat Iqlima dari Ibnu Mas’ud. Namun ia berkata bahwa di dalam salat ada “kesibukan”.[2] HR. Abu Dawud dalam kitabnya as-shalah; Bab Raddu as-Salamfi as-Shalah (no. 927) dari hadis Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma. Hadis tersebut disahihkan oleh an-Nawawi dalam kitab “al-Khulashah” (1: 508) dan al-Albani dalam as-Silsilah as-Shahihah (no. 185).[3] HR. Abu Dawud dalam kitab as-shalah; Bab Raddu as-Salamfi as-Shalah (no. 925) dan at-Tirmidzi dalam kitab as-Shalah; Bab Maa-Jaa-a fi al-Isyarah fi as-Shalah (no. 367), an-Nasaa’i dalam as-Sahwu; Bab Raddu as-Salam biil Isyarah fi as-Shalah (no. 1186) dari hadis Shuhaib Radhiallahu ‘anhu yang disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (no. 925).[4]  HR. Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (3222) dari Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud Radhilallahu ‘anhu.[5] HR. Abu Dawud dalam kitab as-shalah; Bab al-Isyarah fi as-Shalah (944), ad-Daaru Quthni dalam Sunan (no. 1867) dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu yang datang di Nashab ar-Raayah karya az-Zili’iy (2: 90). Ishaq bin Ibrahim bin Hani’ berkata bahwa Ahmad ditanya tentang hadis مَن أشار في صلاته إشارةً تفهم عنه فليعد الصلاة ; maka ia (Ahmad) berkata, “Sanadnya tidak kuat dan tidak dapat dijadikan landasan hukum.” Abu Dawud dalam Sunan-nya (1: 248) berkata, “Hadis ini wahm”. An-Nawawi juga mendha’ifkan hadis ini dalam al-Khulashah (1: 511) dan al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dha’ifah (no. 1104).

Sumber : http://ferkous.com/home/?q=fatwa-901

Penerjemah : Fauzan Hidayat, S. STP., MPA

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66511-hukum-menjawab-salam-ketika-sedang-sujud.html

Mabrur Sebelum Berhaji

Meskipun belum berangkat haji, tapi menyebabkan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya.

Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, ia tertidur di Masjidil Haram. Di dalam tidurnya, ia bermimpi melihat dua Malaikat turun dari langit, kemudian yang satu berkata kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang berhaji pada tahun ini?” “Enam ratus ribu.” jawab yang lain.

Lalu, ia bertanya lagi, “Berapa banyak yang diterima?” Jawabnya, “Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq. Dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan  berkat hajinya Muwaffaq.”

Ketika Abdullah bin Mubarak mendengar percakapan itu, maka terbangunlah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat menuju Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq. Ketika bertemu dengan Muwaffaq, Abdullah bin Mubarak menceritakan mimpinya dan bertanya, “Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?”

Jawab Muwaffaq, “Tadinya aku ingin berhaji namun tidak terlaksana karena keadaanku, tetapi mendadak aku mendapat uang 300 dirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu, lalu aku berniat haji pada tahun ini. Pada saat itu istriku sedang hamil, maka suatu hari dia mencium bau makanan dari rumah tetanggaku dan ingin mencicipi makanan itu. Aku pun pergi ke rumah tetanggaku dan menyampaikan tujuanku kepadanya.”

Tetanggaku kemudian menjelaskan, “Aku terpaksa membuka rahasiaku, sebenarnya anak-anakku sudah tiga hari tanpa makanan, karena itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba menemukan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong bagian tubuhnya dan aku bawa pulang untuk dimasak. Adapun makanan ini halal bagi kami dan haram untukmu.”

Ketika aku mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil uang 300 dirham dan kuserahkan kepada tetanggaku tadi seraya menyuruhnya membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya itu.

“Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku,” ujar Muwaffaq menutup kisahnya. Allahu Akbar. (Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyad karya Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari).

Kisah di atas memberikan pelajaran berharga kepada kita kaum Muslimin bahwa sesungguhnya haji adalah amalan yang utama. Berjihad juga amalan utama, namun menyantuni anak yatim, orang miskin, dan orang terlantar merupakan amalan yang lebih utama dan mulia.

Beribadah haji itu untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberikan makan kepada fakir miskin menjadi ibadah sosial yang manfaatnya itu lebih besar. Meskipun belum berangkat haji, tapi menyebabkan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya.

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92).

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih).

OLEH IMAM NUR SUHARNO

KHAZANAH REPUBLIKA

Lorraine, Mualaf Irlandia yang Perjuangkan Nasib Muslimah

Lorraine O’Connor jatuh cinta dengan seorang pria Muslim dari Libya ketika berusia 20 tahun. Dari pernikahan inilah, Lorraine peroleh hidayah dan memutuskan untuk menjadi Muslim pada usia 30 tahun. 

“Pada awal 80-an, banyak pria Timur Tengah datang untuk belajar dan saya bertemu dengannya saat itu. Saya sendiri berasal dari keluarga besar dan sama sekali tidak ada orang asing dalam keluarga. Butuh waktu lama bagi keluarga saya untuk menerimanya, tetapi pada akhirnya mereka menerimanya,” kata dia dilansir dari laman RSVP Live, Selasa (8/6).

Sebelum mereka menikah, pria itu mengatakan kepadanya bahwa anak-anak mereka harus beragama Islam. Saat itu O’Connor beragama Katolik dan sangat kuat dalam agamanya. Pada akhirnya, cinta mengalahkan segalanya dan mereka pun menikah. Ia mengakui, Islam baginya kala itu terkesan cukup negatif sebelum belajar lebih banyak tentangnya.

“Ada banyak hal di media, dunia Arab digambarkan sebagai tempat di mana ada pembunuhan, perang dan terorisme, hal-hal mengerikan terjadi. Anda akan mengasosiasikan Islam dengan tindakan orang-orang itu. Saya mendapat kesan bahwa laki-laki benar-benar mendominasi dan perempuan tidak memiliki suara,” jelasnya.

Namun, pikiran O’Connor tentang Islam tidak berhenti di situ. Dia ingin tahu lebih banyak soal Islam karena kesan Islam yang bermunculan tidak masuk akal menurutnya. “Pria yang saya cintai dan latar belakang keluarganya dan hubungan yang dia miliki dengan keluarganya, mereka tampak seperti orang-orang yang menyenangkan,” ujarnya.

O’Connor memutuskan untuk pergi ke Masjid di South Circular Road dan bergabung dengan kelompok belajar Alquran. Di sana dia bertemu banyak wanita luar biasa, termasuk beberapa Muslim Irlandia. “Ada banyak gadis Irlandia di sana, dan gegap gempitanya,” kata dia mengenang.

“Anak-anak dan tawa… Itu adalah lingkungan yang indah. Saya pikir saya tidak akan diterima dan tidak ingin berhubungan dengan saya. Tetapi mereka sangat baik. Suatu kali saya sakit dan mereka memasak untuk saya,” ucapnya.

O’Connor tidak hanya terpesona oleh kebaikan para wanita di Masjid, tetapi juga terkesan dengan apa yang dia pelajari tentang Islam. “Apa yang saya pikirkan adalah kebalikan dari apa yang saya ketahui. Saya tidak tahu mereka percaya pada Maria, mereka percaya Yesus lahir dari seorang perawan, semua hal ini saya percaya juga.”

Akhirnya pada tahun 2005, O’Connor memutuskan untuk masuk Islam. “Saya ingat suatu hari duduk dan ada Alquran di rumah dan saya membukanya. Saya memiliki hubungan yang indah dengan Yesus dan saya membaca sebuah bagian dalam Alquran dan saya mengerti saat itu, dan saya sadar saya tidak berada dalam agama yang benar.”

Dia mulai mengenakan jilbab, dan terkejut dengan tanggapan negatif yang dia terima dan merasa asing di negaranya sendiri. “Saya menjadi imigran di negara saya sendiri. Identitas saya diambil dari saya, padahal yang saya lakukan hanyalah mengubah keyakinan saya, saya masih orang yang sama,” katanya.

Orang-orang akan meneriaki saya di jalan, “Kembalilah ke tempat asalmu!” Meski awalnya khawatir tentang jilbab, dia mulai sepenuhnya menghargainya. “Saya selalu mengatakan, ‘Kamu tidak akan pernah menangkap saya dengan jilbab itu’,” ujarnya.

“Orang-orang melihat jilbab sebagai bentuk penindasan tetapi itu adalah bentuk pembebasan. Ini tentang pilihan pribadi. Saya akan memakainya jika saya mau dan tidak ada yang akan menghentikan saya. Mengenakan jilbab adalah tindakan yang indah antara seorang wanita dan penciptanya,” ungkapnya.

Kemudian O’Connor memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk mematahkan stereotip seputar Islam dan wanita Muslim. Dia ingin membantu wanita Muslim menemukan suara mereka. Ia pun mendirikan Muslim Sisters of Eire, yang melakukan banyak pekerjaan amal serta memberikan dukungan kepada wanita Muslim dan mendorong integrasi.

“Kami dapat berkontribusi sangat banyak kepada masyarakat Irlandia yang lebih luas. Kita seharusnya tidak tinggal di dalam komunitas atau kelompok etnis kita sendiri. Ini mematahkan stereotip dan kesalahpahaman bahwa perempuan tidak diizinkan keluar dan tidak diizinkan bekerja. Kami memiliki wanita Muslim yang luar biasa yang sangat berpendidikan,”katanya.

IHRAM