Kisah Ulama Yahya bin Ma’in: Tidak Kuat Beli Sandal, Harta Warisannya Didedikasikan Semua untuk Ilmu

Ini kisah Yahya bin Ma’in dan warisannya. Ilmu merupakan suatu hal yang penting yang harus dimiliki setiap manusia di muka bumi ini. Karena ilmu merupakan penunjang juga kualitas diri untuk mencari masa depan yang lebih cerah. Dengan ilmu kita bisa membedakan mana yang benar mana yang salah, mana kebaikan mana keburukan, mana keputusan yang baik untuk diambil mana yang tidak, juga dengan ilmu kita bisa melatih pemikiran dengan luas serta menjadikan kita pribadi yang lebih bertanggung jawab juga dewasa dalam mengambil keputusan dalam sebuah permasalahan baik hidup ataupun pekerjaan. Jika hidup tanpa memiliki atau mencari ilmu, kita bagaikan manusia yang hidup enggan namun matipun tak mau. Intinya kita hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Menuntut ilmu bukanlah perkara mudah dan sederhana. Butuh pengorbanan dan kesabaran tingkat tinggi untuk menguasainya. Selain itu, godaan dalam proses mencari ilmu juga cukup banyak, beraneka ragam, dan datang silih berganti; baik godaan dari luar maupun dalam diri sendiri. Kesuksesan seorang pelajar sangat ditentukan oleh sejauh mana dia mampu mengusir setiap godaan dan sejauh mana dia berkorban.

Salah satu kisah pengorbanan demi ilmu di masa dahulu adalah kisah Yahya bin Ma’in. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Fattah Abu Gudah dalam Shafahat min Shabril Ulama, Yahya bin ma’in adalah pemuka para imam dalam ilmu Jarh wa Ta’dil sekaligus guru Imam Bukhari, Imam Muslim dan para imam hadis lainnya. Beliau hidup pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur.

Suatu ketika ayah Yahya yaitu Ma’in diangkat menjadi sekretaris Abullah bin Malik. Beliau pun diberi kepercayaan untuk menangani pajak penduduk Rayy. Sebagai seorang sekretaris, tentu ayahnya Yahya mempunyai penghasilan yang banyak.

Namun pada suatu waktu, Ayahnya Yahya tersebut meninggal dunia dan meninggalkan banyak harta warisan berupa satu juta lima puluh ribu dirham. Yahya bin Ma’in yang mendapatkan warisan tersebut ternyata tidak menggunakannya untuk bersenang-senang dan membeli barang yang diinginkannya.

Beliau justru menggunakan seluruh harta tersebut untuk kepentingan kepentingan ilmu khususnya ilmu hadis, hingga tidak tersisa sedikitpun dari uang warisan tersebut. Bahkan untuk membeli sandal pun Yahya bin Ma’in tidak mampu, karena uangnya sudah digunakan semua untuk kepentingan ilmu.

Hingga akhirnya Yahya bin Ma’in meninggalkan banyak buku, mulai dari 114 qimathr (keranjang dari rotan untuk menjaga buku), empat gentong besar penuh dengan buku. Kemudian 20 hub (gentong besar lagi lebar) yang semuanya berisi buku.

Usaha dan pengorbanan memang tidak akan pernah menghianati hasil, termasuk dalam mencari dan menjaga ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik;

لا يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضربه الفقر ويؤثره على كل شئ

“Seseorang tidak akan mencapai ilmu ini sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga ia menjadi fakir dan berpengaruh kepada semuanya.”

Teruslah berjuang dan berkorban demi ilmu, karena apa yang kita korbankan hari ini adalah apa yang kita tanam hari ini. Sehingga di masa mendatang kita akan memetik hasil dari pengorbanan, perjuangan dan apa yang telah kita tanam hari ini.

Sebab mencintai ilmu lebih baik daripada mencintai harta benda yang ketika mati tidak bisa ikut dibawa. Sedangkan ilmu yang bermanfaat dan barokah bisa menyelamatkan manusia dari api neraka.

ISLAMIco

Heboh Pengusiran Jamaah Bermasker, Muhammadiyah Sayangkan Sikap Para Pelaku

Beberapa hari lalu masyarakat dihebohkan dengan peristiwa pengusiran jamaah bermasker Masjid Al Amanah Bekasi. Meski kasus ini telah berakhir damai, Muhammadiyah menyayangkan sikap kasar dan tak sesuai akhlak Islam oleh takmir dan dua orang pemuda di sampingnya.

TERKAIT

“Jadi kalau orang pakai masker masuk masjid justru bagus yang dianjurkan, di Makkah juga pakai masker, di Madinah juga pakai masker di pusat Islam. Kenapa ini kok diusir? Jadi aneh juga ya,” kata Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dadang Kahmad pada hari Senin (3/5) , menanggapi pengusiran jamaah bermasker yang viral, dikutip laman resmi Muhammadiyah.

Dadang juga merasa prihatin karena takmir yang mengaku ustaz itu tak memahami kaidah dasar agama (ushulud-din) di dalam maqashid syariah terkait masa darurat pandemi, yakni hifzu nafs (menjaga jiwa).

“Jadi terbalik, seharusnya orang yang tidak pakai masker yang dilarang. Saya kira jangan mengusir orang yang masuk ke masjid kecuali orang itu membahayakan keselamatan jiwa, keselamatan barang-barang masjid, orang gila,” imbuh Dadang. “Saya kira, semua orang setuju, para ulama baik MUI maupun semua, termasuk di Arab Saudi, di Turki di seluruh dunia sama bahwa kita perlu mempraktekkan protokol kesehatan dalam beribadah, pakai masker, jaga jarak, itu dalam keadaan darurat. Dalam keadaan darurat pun apapun bisa dilaksanakan, salat sambil berdiri, sambil berbaring itu bisa kalau darurat. Atau di rumah saja bisa, atau di masjid dengan protokol kesehatan,” tambahnya.

Karena itu, Dadang pun berpesan agar semangat dalam beragama juga diikuti dengan pengetahuan (ilmu). “Jangan sampai melarang orang (pakai masker), jadi terbalik. Protokol kesehatan itu ikhtiar,” pungkasnya. *

HIDAYATULLAH

Salah Kaprah Pelaku Terorisme Berkedok Jihad (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Salah Kaprah Pelaku Terorisme Berkedok Jihad (Bag. 1)

Salah kaprah: “semua orang kafir halal darahnya”

Ini keliru dalam memahami hadis,

كلُّ المسلمِ على المسلمِ حرامٌ مالُهُ وعِرْضُهُ ودَمُهُ

“Terhadap sesama Muslim, haram hartanya, kehormatannya, dan darahnya” (HR. Ibnu Majah no. 3192, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah. Asal hadis ini dalam Shahihain).

Para ulama ketika mensyarah hadis ini, mereka menjelaskan bahwa maknanya adalah terlarangnya menzalimi sesama Muslim dalam masalah harta, kehormatan, dan darah.

Bukankah mafhum mukhalafah hadis ini menunjukkan bahwa orang kafir halal darahnya? Benar, namun terdapat banyak nash yang menunjukkan terlarangnya membunuh orang kafir tanpa hak. Maka nash (dalil tegas) lebih kita dahulukan dari pada mafhum mukhalafah. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

“Janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan hak” (QS. Al An’am: 151).

As-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

وهي النفس المسلمة من ذكر وأنثى ، صغير وكبير ، بَر وفاجر ، والكافرة التي قد عصمت بالعهد والميثاق

“Maksudnya adalah dilarang membunuh jiwa seorang Muslim, baik laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa, orang salih maupun orang fajir, dan juga dilarang membunuh orang kafir yang dijaga jiwanya dengan adanya perjanjian dan kesepakatan” (Tafsir As-Sa’di, hal. 257).

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,

من قتل مُعاهَدًا لم يَرَحْ رائحةَ الجنَّةِ ، وإنَّ ريحَها توجدُ من مسيرةِ أربعين عامًا

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (yang ada perjanjian hidup rukun dengan kaum Muslimin), dia tidak akan mencium wangi surga. Padahal wanginya tercium dari jarak 40 tahun” (HR. Bukhari no. 3166).

Orang-orang kafir juga menjadi halal darahnya untuk ditumpahkan ketika ada hak untuk menumpahkan darahnya. Di antaranya ketika:

* perang melawan orang kafir di medan perang

* melakukan pembunuhan, maka ia di-qishash

* melakukan zina, maka ia dirajam

* melakukan jinayah (kriminal yang melukai orang), maka ia di-qishash

dan semisalnya.

Terlebih jika “orang kafir” di sini adalah kaum Muslimin yang dianggap kafir. Ini masuk dalam penyimpangan bermudahan dalam mengkafirkan sesama Muslim.

Bayangkan jika setiap orang bisa dengan mudah mengkafirkan orang lain (sesama Muslim), lalu dianggap halal darahnya, lalu boleh dibunuh, maka yang terjadi adalah kekacauan. Bisa jadi antar tetangga akan saling bunuh-membunuh dengan dalil ia sudah kafir!!

Salah kaprah dalam memahami dalil-dalil keutamaan jihad

Dalil-dalil keutamaan jihad dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat banyak sekali. Allah Ta’ala berfirman,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41).

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,

… رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ

“… Landasan dari segala perkara adalah Islam (tauhid), tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad fii sabiilillaah” (HR. At Tirmidzi no. 2616, Ibnu Majah no. 3973, disahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Riyadhis Shalihin, no. 1522).

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –تَبَارَكَ وَتَعَالَى-، فَإِنَّ الْـجِهَادَ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ ، يُذْهِبُ اللهُ بِهِ مِنَ الْهَمِّ وَالْغَمِّ.

“Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga. Allah akan menghilangkan kesedihan dan kesusahan dengan sebab jihad” (HR. Ahmad no. 22680, dihasankan Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Namun yang dimaksud dalam dalil-dalil tersebut adalah jihad syar’i. Bukan sembarangan jihad. Jihad yang syar’i lah yang pelakunya akan mendapatkan surga dan ampunan yang besar.

Betapa banyak hadis Nabi yang menyebutkan orang yang berjihad namun berakhir di neraka. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ,

“Sesungguhnya orang pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati karena istisyhad (mencari syahid) di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan yang dia dapatkan di dunia, lalu dia pun mengakuinya. Kemudian ditanya kepadanya, ‘Apa yang Engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang untuk-Mu Ya Allah, sampai-sampai aku mencari syahid’. Allah berkata kepadanya, ‘Engkau dusta! Engkau berjihad supaya dikatakan seorang yang pemberani. Dan itu telah dikatakan orang-orang’. Kemudian diperintahkan para Malaikat untuk menyeret orang itu atas wajahnya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka … “ (HR. Muslim no. 1905).

Dan hadis-hadis lainnya, yang menunjukkan tidak semua orang yang mengaku berjihad akan mendapatkan keutamaan jihad. Namun yang dimaksud adalah jihad yang syar’i yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, dia berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,

أرأيت رجلا خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فقتل أيدخل الجنة؟ فقال أبو موسى: نعم. فقال له حذيفة: لا. إن خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فأصاب أمر الله فقتل دخل الجنة

“Apakah menurutmu orang yang keluar dengan pedangnya untuk berperang dengan mengharap rida Allah lalu terbunuh dia akan masuk surga? Abu Musa menjawab, ‘Ya’. Hudzaifah lalu berkata kepadanya, ‘Tidak demikian. Jika dia keluar lalu berperang dengan pedangnya dengan mengharap rida Allah dan menaati aturan Allah lalu terbunuh, barulah dia masuk surga‘” (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya, sanadnya sahih).

Salah kaprah: “kalau saya berjihad maka saya bisa memberi syafa’at kepada keluarga saya”

Benar bahwa orang yang syahid dalam jihad dia akan bisa memberi syafa’at kepada keluarganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

للشهيدِ عندَ اللهِ ستُّ خصالٍ : يُغفرُ لهُ في أولِ دفعةٍ، ويَرى مقعدَهُ منَ الجنةِ، ويُجارُ منْ عذابِ القبرِ، ويأمنُ منَ الفزعِ الأكبرِ، ويُوضعُ على رأسِهِ تاجُ الوقارِ، الياقوتةُ منها خيرٌ منَ الدنيا وما فيها، ويُزوَّجُ اثنتينِ وسبعينَ زوجةً من الحورِ العينِ، ويُشفَّعُ في سبعينَ منْ أقاربِهِ

“Bagi orang yang mati syahid di sisi Allah ada enam keutamaan: (1) dia diampuni tatkala pertama kali darahnya muncrat; (2) dia melihat tempat duduknya di surga; (3) dia diselamatkan dari siksa kubur; (4) dia diamankan tatkala hari kebangkitan; (4) kepalanya diberi mahkota kewibawaan, satu berlian yang menempel di mahkota itu lebih baik dari pada dunia seisinya; (5) dia dinikahkan dengan 72 gadis dengan matanya yang gemulai; (6) dia diberi hak untuk memberi syafa’at kepada 70 orang dari kerabatnya” (HR. At Tirmidzi, no. 1663. Disahihkan Al-Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Namun yang dimaksud jihad di sini adalah jihad yang syar’i, bukan jihad yang serampangan sebagaimana sudah dijelaskan.

Dan seseorang tidak bisa seenak hati mengklaim akan dapat syafa’at dan mengklaim akan bisa memberi syafa’at. Karena syafa’at itu memiliki dua syarat, yaitu:

Pertama, orang yang memberi syafa’at, dia diizinkan oleh Allah.

Kedua, orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridai oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Siapa yang bisa memberi syafa’at di sisi Allah? Kecuali atas izin Allah” (QS. Al Baqarah: 255).

Allah Ta’ala juga berfirman,

يَوْمَئِذٍ لا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً

“Hari ini tidak akan manfaat syafa’at kecuali bagi orang yang diizinkan oleh Ar-Rahman dan bagi orang yang diridai perkataannya” (QS. Thaha: 109).

Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Abdil Wahab dalam matan Al-Qawa’idul Arba’,

وَالشَّفَاعَةُ الْمُثْبَتَةُ: هِيَ الَّتِي تُطْلَبُ مِنَ اللهِ، وَالشَّافِعُ مُكَرَّمٌ بِالشَّفَاعَةِ، وَالْمَشْفُوعُ لَهُ مَنْ رَضِيَ اللهُ قَوْلَهُ وَعَمَلَهُ بَعْدَ الإِذْنِ

“Syafa’at yang benar adalah syafa’at yang diminta kepada Allah dan (syaratnya) orang yang memberi syafa’at ia dimuliakan oleh Allah untuk memberi syafa’at, dan orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridai perkataannya dan perbuatannya oleh Allah, jika memang Allah mengizinkan”.

Maka tidak semua orang yang mengaku berjihad itu bisa memberi syafa’at, kecuali jihadnya syar’i. Dan tidak semua keluarga mujahid mendapat syafa’at, kecuali mereka diridhai oleh Allah perkataannya dan perbuatannya.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65657-salah-kaprah-pelaku-terorisme-berkedok-jihad-bag-2.html

Orang-Orang yang Masuk Surga Tanpa Hisab

Dalam hadits yang masyhur disebutkan bahwa ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Apakah mereka hanya berjumlah 70.000 orang saja? Simak pembahasan ringkas berikut ini.

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, disebutkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

هَذِهِ أُمَّتُكَ وَ مَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ

“… ini adalah umatmu. Dan bersama mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab …” (HR. Bukhari no. 6541, Muslim no. 220).

Namun jumlah 70.000 orang dalam hadits ini bukanlah pembatasan. Karena disebutkan dalam hadits lain, dari Tsauban radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيدْخُلَنَّ الجنةَ من أُمتِي سَبعونَ ألفًا ، لا حِسابَ عليهم و لا عذابَ ، مع كلِّ ألْفٍ سَبعونَ ألفًا

“Akan masuk surga 70.000 orang dari umatku tanpa hisab dan tanpa adzab. Dan setiap seribu orang dari mereka membawa 70.000 orang lagi” (HR. Ahmad [5/280-281], dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5366).

Dalam riwayat lain dalam Musnad Ahmad,

إنَّ ربِّي زادَني مع كُلِّ أَلْفٍ سَبعينَ أَلْفًا

“Sesungguhnya Rabb-ku menambahkan untuk setiap 70.000 ditambah 70.000 lagi …” (HR. Ahmad no. 23505, didhaifkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan lebih banyak lagi. Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وعدَني ربِّي أن يُدْخِلَ الجنَّةَ مِن أمَّتي سبعينَ ألفًا لا حسابَ علَيهِم ولا عذابَ ، معَ كلِّ ألفٍ سبعونَ ألفًا ، وثلاثُ حثَياتٍ مِن حَثَياتِه

“Rabb-ku menjanjikan kepadaku untuk memasukkan umatku ke surga sebanyak 70.000 orang tanpa hisab dan tanpa adzab. Dan setiap seribu orang dari mereka membawa 70.000 orang lagi. Dan ditambah lagi dengan tiga tangkupan tangan Nabi” (HR. At-Tirmidzi no. 2437, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

Dari riwayat Abu Umamah ini para ulama menyimpulkan bahwa jumlah orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab itu banyak sekali dan tidak diketahui berapa jumlah pastinya. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah menjelaskan,

فالذين يدخلون الجنة بغير حساب ولا عذاب لا يحصيهم إلا الله

“Maka orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab itu tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah” (Mauqi’ Ibnu Baz, binbaz.org.sa/fatwas/40688).

Dan hadits-hadits di atas, dibawakan oleh para ulama dalam bab syafa’at. Maka maksud dari “setiap seribu orang dari mereka membawa 70.000 orang lagi” maksudnya adalah syafa’at yang diberikan kepada sesama Mukmin.

‘Ala kulli hal, hendaknya kita senantiasa memohon hidayah dan taufik kepada Allah Ta’ala agar bisa termasuk dalam golongan umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65659-orang-orang-yang-masuk-surga-tanpa-hisab.html

Amalan Penting di 10 Hari Terakhir Ramadan

“Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW sangat bersungguh-sungguh (beribadah) pada sepuluh hari terakhir (bulan ramadhan), melebihi kesungguhan beribadah di selain (malam) tersebut. (HR. Muslim) 

Penjelasan Hadis

Hadis ini menunjukkan keutamaan semangat beribadah di 10 hari terakhir Ramadan. Hadis ini menceritakan sosok baginda Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang paling giat dalam meraih ridha` Allah SWT dengan bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu-waktu penuh keutamaan dengan meningkatkan kualitas ketaatan, beribadah, bertaqarrub, beri’tikaf, dan mengajak anggota keluarga untuk beribadah. Kesungguhan beliau beribadah di 10 hari terakhir Ramadan melebihi kesungguhan beribadah di waktu selainnya. 

Kalimat “bersungguh-sungguh (beribadah) pada sepuluh hari terakhir” menunjukkan anjuran untuk tidak kendor dalam beribadah di akhir Ramadan sebagaimana fakta di masyarakat. Hadis ini menunjukkan keistiqamahan beliau dalam giat beribadah sepanjang Ramadan. Semua hari di bulan Ramadan sangat istimewa dan semua muslim disarankan untuk melakukan ibadah dengan baik. Namun, 10 hari terakhir Ramadan sangat istimewa. Ada banyak keutamaan di sepertiga bulan terakhir itu hingga Rasulullah pun mengencangkan ibadahnya. 

Setidaknya, kesungguhan beliau ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: 

Pertama, sepuluh hari terakhir merupakan penutup bulan Ramadan yang penuh berkah. Dan setiap amalan manusia dinilai dari amalan penutupnya. 

Kedua, 10 malam terakhir adalah malam-malam yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW. 

Ketiga, kerinduan akan keindahan lailatul qadar atau malam kemuliaan yang keutamaan beribadahnya melebihi beribadah sepanjang 1000 bulan. 

Keempat, beliau memberikan contoh kepada umatnya agar tidak terlena dalam kesibukan mempersiapkan kebutuhan hari raya sehingga melupakan keutamaan beribadah di 10 hari terakhir. 

Kalimat “melebihi kesungguhan beribadah di selain (malam) tersebut” sebagai anjuran dan keteladanan Rasulullah SAW dalam memotivasi umatnya untuk menambah giat beribadah di 10 hari terkahir Ramadan dengan mencontohkan beberapa amalan utama, antara lain: 

1. Memperpanjang Shalat Malam 

Pada 10 malam terakhir, Rasulullah SAW tidak tidur, lambung beliau dan para sahabat amat jauh dari tempat tidur. Beliau menghidupkan malam-malam tersebut untuk beribadah, shalat, zikir, dan lain-lain hingga waktu fajar. Kebiasaan beribadah di 10 malam terakhir ditularkan kepada seluruh anggota keluarga beliau untuk sama-sama menikmati kesyahduan beribadah sepanjang malam. Sebagaimana penuturan Aisyah RA, 

“Rasulullah SAW biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau kencangkan ikat pinggang (bersungguh-sungguh dalam ibadah), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 

2. Memperbanyak Sedekah 

Meningkatkan sedekah menjadi salah satu amalan utama di 10 hari terakhir sebagai ungkapan syukur atas nikmat dipertemukan Ramadan, serta sebagai penyempurna ibadah puasa dan ibadah-ibadah individu lainnya. Karena tidaklah sempurna keimanan dan kualitas ibadah seseorang kecuali jika adanya keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Sebagaimana firman Allah SWT, 

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Qs. As-Sajdah: 16). 

Bersedekah di 10 hari terakhir tidak hanya diterjemahkan dengan sedekah wajib berupa zakat fitrah dan zakal mal, tetapi juga dianjurkan memperbanyak sedekah sunnah dalam rangka berbagi kebahagiaan dan memberikan bekal makanan di hari raya Idul Fitri bagi dhuafa. Bersedekah dapat berbentuk harta, pangan, pakaian, paket sedekah untuk yatim dan dhuafa, dan lain sebagainya. 

3. I’tikaf 

I’tikaf berarti berdiam di masjid dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Tidaklah seseorang keluar dari masjid, kecuali untuk memenuhi hajatnya sebagai manusia. I’tikaf memiliki kekhususan tempat dan aktivitas yaitu masjid dengan aktivitas ibadah mendekatkan diri kepada Allah dengan berdzikir, berdo’a, membaca Al-Quran, shalat sunnah, bershalawat, bertaubat, beristigfar, dan lainnya. I’tikaf dianjurkan setiap waktu, tetapi lebih ditekankan memasuki sepuluh malam terakhir Ramadhan sebagaimana penuturan Abdullah bin Umar RA, 

Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan ramadan. (HR. Muttafaq ‘alaih) 

Di masa pandemi Covid19 ini, kemungkinan sebagian umat Islam tidak dapat beri’tikaf di masjid, akan tetapi seluruh aktivitas i’tikaf dapat dilakukan di rumah. Jika ingin tetap melakukan i’tikaf secara individu di masjid, maka hendaklah dilakukan dengan memenui protokol kesehatan seperti berbadan sehat, membawa sajadah sendiri, memakai masker, berwudhu kembali di masjid, dan tidak bersalaman. 

4. Tilawah Al Qur’an 

Meningkatkan membaca Al-Qur’an menjadi salah satu ibadah utama di 10 hari terakhir Ramadan. Tidak sedikit umat Islam yang larut dalam tilawah Al-Qur’an sepanjang malam baik di masjid maupun di rumah. Tilawah Al-Qur’an adalah ibadah ringan dan memiliki keutamaan yang besar.Tradisi mengejar khataman Al-Qur’an di akhir Ramadhan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi pribadi muslim, khususnya mereka yang setiap hari bergulat dengan aktivitas pekerjaan, sehingga khataman Al-Qur’an sebanya satu kali menjadi target realistis. Apapun bentuk motivasinya, tilawah Al-Qur’an harus lebih digiatkan di 10 hari terakhir Ramadan. 

Itulah beberapa amalan penting di 10 hari terakhir bulan Ramadan. Marilah kita manfaatkan, karena detik-detik 10 malam terakhir amatlah mahal, janganlah dimurahkan dengan kelalaian. Mari kita giatkan beribadah baik di masjid maupun di rumah, dan sisipkanlah doa dalam munajatmu untuk bangsa Indonesia agar pandemi Covid-19 segera berakhir. Aamiin 

Sekian, semoga bermanfaat. 

HSubhan Nur, Lc, M.Ag 

(Kepala Seksi Pengembangan Metode dan Materi Dakwah Dit. Penerangan Agama Islam)

KEMENAG RI

Ceramah Ramadhan 2021: Ramadhan Bulan Taubat

Selain dikenal sebagai syahrul shiyamsyahrush shabrsyahrul Qur’an dan syahrul jihad, Ramadhan juga dikenal sebagai syahrut taubah. Ramadhan bulan taubat. Sebab Ramadhan memang momentum yang tepat untuk bertaubat.

Sebaik-baik taubat adalah taubat yang segera, tanpa menunggu dan menunda-nunda. Maka terkumpullah dua keutamaan jika kita bertaubat saat ini: keutamaan karena Ramadhannya dan keutamaan karena menyegerakan taubat.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ

Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu … (QS. Ali Imran: 133)

Allah Gembira saat hamba-Nya bertaubat

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru kita dengan ayat di atas untuk menyegerakan taubat. Juga dalam ayat lainnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha. (QS. At-Tahrim: 8)

Allah menyeru hamba-Nya untuk bersegera bertaubat karena Dia menghendaki hamba-Nya mendapatkan ampunan dan surga.

وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ

Dan Allah menyeru kalian kepada surga dan ampunan dengan izin-Nya. (QS. Al-Baqarah: 221)

Allah sangat sayang kepada hamba-Nya. Dibukakan pintu taubat. Diserunya kita menuju ampunan dan surga-Nya. Allah sangat gembira saat hamba-Nya bertaubat. Kegembiraan Allah bahkan lebih besar daripada seorang musafir yang menemukan kembali untanya setelah hilang di gurun sahara berikut segala perbekalan yang ada padanya.

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِى ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِى وَأَنَا رَبُّكَ.  أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Sungguh Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya daripada seseorang yang menunggang untanya di tengah gurun sahara yang sangat tandus. Lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya. Ia putus harapan untuk mendapatkannya kembali. Kemudian dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut. Ketika dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mendapati untanya telah berdiri di hadapannya. Lalu segera ia menarik tali kekang unta itu sambil berucap dalam keadaan sangat gembira: Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu.” Dia salah mengucapkan karena sangat gembira. (HR. Muslim)

Apapun dosa kita, bertaubatlah

Ada dua titik ekstrem bagi orang yang berdosa. Ekstrem pertama adalah mereka yang merasa dosanya terlalu besar hingga putus asa dari ampunan Allah. Maka, ia pun tidak kunjung bertaubat karena kekhawatiran taubatnya tidak diterima.

Ekstrem kedua adalah mereka yang merasa dosa-dosanya mudah terhapus. Merasa dosa-dosanya hanya dosa kecil. Sehingga membuatnya berlarut-larut dalam dosa demi dosa. Kalaupun bertaubat, ia hanya melakukan taubat sambal. Sekarang berhenti, besok kembali mengulangi. Tak pernah sungguh-sungguh melakukan taubat nasuha.

Untuk ekstrem pertama, lihatlah bagaimana seorang yang telah membunuh 99 nyawa. Saat ia bertanya kepada seorang ahli ibadah apakah ada kesempatan bertaubat, ternyata dijawab tidak bisa. Lalu ia pun dibunuh sebagai orang ke-100 yang mati di tangannya.

Niatnya bertaubat tidak berhenti. Ketika bertemu seorang alim, ia pun mengajukan pertanyaan serupa. Oleh sang alim ini dijawab kalau dosanya bisa diampuni. Dan sebagai upaya taubat nasuha, ia dianjurkan hijrah ke suatu daerah yang kondusif bagi taubatnya.

Di tengah perjalanan, ia meninggal. Hingga berdebatlah malaikat rahmat dan malaikat azab, orang ini menjadi urusan siapa. Lalu datanglah malaikat lain yang diutus Allah untuk menyelesaikan perselisihan itu. “Ukurlah jarak kedua tempat tersebut. Mana yang jaraknya lebih dekat, apakah tempat maksiat atau tempat hijrahnya, maka ia yang berhak atas orang ini.”

Ketika diukur jaraknya, ternyata ia lebih dekat ke tujuan hijrah. Hingga ruhnya pun menjadi urusan malaikat rahmat. Dalam riwayat lain disebutkan, Allah memendekkan jarak laki-laki itu dengan tujuan hijrah.

Contoh lain dialami oleh seorang wanita dari Juhanah. Ia mengaku telah berzina dan kini ia hamil. Wanita itu bertaubat dan meminta ditegakkan hudud (rajam) atasnya. Rasulullah menyuruh wanita itu kembali untuk menjaga kandungannya sampai bayinya lahir. Setelah berselang beberapa lama dan bayinya telah lahir, wanita itu datang lagi meminta dirajam. Akhirnya ia dirajam. Rasulullah menshalatkan jenazahnya.

“Ya Rasulullah, engkau menshalatinya padahal ia telah berbuat zina?” tanya Umar bin Khatab meminta penjelasan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

Sungguh dia telah bertaubat. Seandainya taubatnya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, taubat itu pasti mencukupinya. Apakah kamu menjumpai seseorang yang lebih utama daripada seorang yang mengorbankan dirinya untuk Allah Ta’ala? (HR. Muslim)

Karenanya, apapun dosa kita, kita segera bertaubat. Kita perbanyak membaca istighfar.

Pembagian dosa

Imam Al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan sifat-sifat pembangkit dosa yang kemudian diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin. Menurut beliau, sifat pembangkit dosa dibagi menjadi empat:

1.   Sifat rububiyah (ketuhanan). Dari sini muncul takabur, membanggakan diri, mencintai pujian dan sanjungan, mencari popularitas, dan lain sebagainya. Ini termasuk dosa-dosa yang merusak, sekalipun banyak orang yang melalaikannya dan menganggap bukan dosa

2.   Sifat syaithaniyah (kesetanan). Dari sini muncul kedengkian, kesewenang-wenangan, menipu, berdusta, makar, kemunafikan, menyuruh pada kerusakan, dan lain-lain.

3.   Sifat-sifat bahamiyah (kebinatangan). Dari sini muncul kejahatan, memenuhi nafsu perut dan syahwat kemaluan, zina, homoseks, mencuri, dan lain-lain.

4.   Sifat sabu’iyah (kebuasan). Dari sini muncul amarah, dengki, menyerang orang lain, membunuh, merampas harta, dan lain-lain.

Di antara empat sifat itu, penjenjangannya bermula dari bahamiyahBahamiyah yang dominan lalu diikuti oleh sabu’iyah, kemudian syaithaniyah dan rububiyah.

Dari keempat jenis itu, menurut sasarannya, dosa dibagi menjadi dua, yakni dosa yang berkaitan dengan hak Allah dan dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Dosa yang berkaitan dengan hak Allah ada yang diampuni dan ada yang tidak diampuni. Yang tidak diampuni adalah dosa syirik, sementara dosa yang lain akan diampuni oleh Allah, jika Dia Menghendaki.

Sedangkan dosa kepada sesama manusia akan diampuni oleh Allah jika hak itu telah dihalalkan atau ditegakkan qishash atasnya di akhirat nanti.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الظلم ثلاثة فظلم لا يتركه الله وظلم يغفر وظلم لا يغفر فأما الظلم الذي لا يغفر فالشرك لا يغفره الله وأما الظلم الذي يغفر فظلم العبد فيما بينه وبين ربه وأما الظلم الذي لا يترك فظلم العباد فيقتص الله بعضهم من بعض

Kezaliman itu ada tiga: kezaliman yang Allah tidak meninggalkannya, kezaliman yang mendapat ampunan, dan kezaliman yang tidak mendapat ampunan. Kezaliman yang tidak mendapat ampunan adalah syirik, maka Allah takkan mengampuninya. Kezaliman yang mendapat ampunan adalah kezaliman antara hamba kepada Rabb-nya. Sedangkan kezaliman yang tidak akan ditinggalkan/dibiarkan Allah adalah kezaliman antar manusia, maka Allah akan memberi qashash sebagian atas sebagian lainnya. (HR. Thayalisi; hasan)

Yang paling umum, biasanya dosa dibagi menjadi dua: dosa besar dan dosa kecil. Jika kita telusuri hadits, dosa besar yang biasa disebutkan adalah syirik, sihir, riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita mukminah yang baik sebagai pezina. Tujuh jenis dosa besar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sedangkan dalam riwayat Imam Bukhari yang lain disebutkan durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar, sedangkan dalam riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan pula perkataan atau kesaksian palsu.

Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin menyebutkan pendapat Abu Thalib Al-Makki yang merinci dosa besar menjadi 17 jenis. Empat jenis di hati: syirik, fasiq, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari tipudaya-Nya. Empat jenis di lisan: kesaksian palsu, menuduh wanita mukminah, sumpah palsu, dan sihir. Tiga di perut: minum khamr, memakan harta yatim, dan riba. Dua di kemaluan: zina dan homoseks. Satu di kaki: lari dari medan perang. Dan satu di seluruh badan: durhaka pada orang tua.

Imam Adz Dzahabi menulis kitab Al Kabair. Dosa-dosa besar. Dalam kitab itu dijelaskan ada 70 dosa besar.

Jangan remehkan dosa kecil

Seringkali kita terjebak pada sikap meremehkan dosa kecil. Saat kita ghibah, bercanda yang sudah masuk kategori rafats (porno), bahkan bergaul dengan lawan jenis yang tidak islami, kita beralasan “itu kan dosa kecil, tidak apa-apa”.

Padahal orang yang meremehkan dosa ia tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa. Siapakah yang ia maksiati? Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Besar dan Maha Keras adzab-Nya. Juga, tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.

لَا صَغِيْرَةٍ مَعَ الْإِصْرَارِ

Tidak ada dosa kecil selagi terus dikerjakan. (HR. Dailami)

Ibarat sebuah bintik noda, dosa kecil pun akan mengotori hati. Semakin banyak dosa semakin banyak pula noda di hati.

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِى قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ

Sesungguhnya, apabila seorang mukmin berbuat dosa, maka muncul bintik hitam dalam kalbunya. Kemudian jika ia bertaubat, meninggalkan dosa dan memohon ampun, maka hatinya bersih. Dan jika dosa-dosanya bertambah, bintik hitam itupun bertambah. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad; hasan)

Mari taubat sebelum terlambat

Marilah kita sambut seruan Allah untuk bertaubat sebelum terlambat. Kini Allah menganugerahkan momentum yang luar biasa kepada kita untuk menjalani taubatan nasuha.

Ramadhan yang sangat kondusif dengan amal shalih dan minim pengaruh negatif dibandingkan bulan lainnya, adalah kesempatan berharga yang belum tentu datang lagi kepada kita. Bukankah kita tidak pernah bisa menjamin bahwa kita akan tetap hidup sampai Ramadhan berikutnya jika kita menunda taubat saat ini? Lihatlah betapa banyak orang yang Ramadhan lalu masih ada, kini sudah tiada. Bahkan ketika terjadi pandemi Covid-19 seperti ini, betapa banyak orang yang kemudian meninggal setelah terjangkit virus corona.

Marilah kita sambut seruan Allah untuk bertaubat sebelum kita terlambat. Dan bukankah pintu taubat akan ditutup saat kita mengalami sakaratul maut?

إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi ia belum sekarat. (HR. Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Ibnu Hibban; hasan)

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang bermaksiat di siang hari bertaubat, dan Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berbuat maksiat di malam hari bertaubat. (Demikian itu tetap terjadi) sampai matahari terbit dari barat. (HR. Muslim)

Baca juga: Niat Sholat Taubat

Syarat taubat

Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin memaparkan syarat bertaubat secara singkat dalam tiga langkah. Pertama, berhenti dari dosa yang dilakukan. Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan. Dan ketiga, bertekad untuk tidak mengulangi dosa itu. Ini jika bertaubat terhadap dosa yang berkaitan dengan hak Allah.

Sedangkan jika dosa berkaitan dengan hak manusia, maka syarat taubat ditambah satu lagi, yaitu membebaskan diri dari hak manusia tersebut. Pembebasan ini tentu dengan penghalalan dari yang terzalimi atau mendapat keikhlasan darinya.

Maka orang yang minum khamr dalam kesendirian misalnya, untuk bertaubat cukup ia berhenti minum khamr, menyesalinya, dan tidak mengulanginya. Namun jika seseorang mencuri harta orang lain, selain tiga langkah tersebut ia harus mendapat maaf dari orang yang dicuri dengan mengembalikan hartanya atau mendapatkan kehalalan darinya.

Semoga Ramadhan yang juga dinamakan syahrut taubah ini kita manfaatkan bersama sebagai momentum taubatan nasuha. Dan karenanya Allah menganugerahkan ampunan dan surga-Nya kepada kita. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMADAKWAH

Belajar dari Kisah Nabi Ibrahim, Ayahnya, dan Kaumnya

AZAR adalah ayah Nabi Ibrahim AS, namanya beberapa kali disebutkan dalam kisah Nabi mulia itu. Ia berprofesi sebagai pembuat dan penjual patung berhala yang menjadi sesembahan masyarakat Haran, Babilonia. Berhala-berhala tersebut dibuat menyerupai simbol benda-benda langit. Kala itu, kaum Nabi Ibrahim AS memang gemar beribadah kepada bintang-bintang, matahari, dan bulan. Berbeda dengan kaum Nabi Nuh AS yang hidup pada masa sebelumnya yang gemar menyembah kuburan dan patung-patung orang-orang shalih pada zamannya.

Meski sang ayah pembuat patung, namun Ibrahim AS tak pernah sekali pun menyembah berhala-berhala itu, juga tak pernah menjual satu pun patung-patung itu. Sama seperti para Nabi lainnya, Ibrahim AS bersih dari praktik-praktik syirik. Semua tidak lain karena petunjuk Allah Ta’ala.

Suatu ketika, Ibrahim AS berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun menyembahnya?” (Al Anbiya [21]: 52).  Kaumnya menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” (Al Anbiya [21]: 53).

Ibrahim AS berkata lagi, “Sesungguhnya kalian dan nenek moyang kalian berada dalam kesesatan yang nyata.” (Al Anbiya [21]: 54). Dalam kesempatan lain, Ibrahim AS berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan.” (Maryam [19]: 42-45).

Mendapati pertanyaan yang bertubi-tubi seperti itu, Azar marah dan berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam.” (Maryam [19]:46).

Ibrahim AS tak kehilangan akal. Ia mengajak ayahnya dan kaumnya untuk berfikir dengan melihat benda-benda langit yang selama ini mereka ibadahi. Benda langit pertama yang ia saksikan ketika malam telah gelap adalah bintang. Ibrahim AS berkata, sebagimana difirmankan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat Al Anam [6] ayat 76, “Inilah Tuhanku.”

Bintang itu kemudian tenggelam dan tidak lagi terlihat. Ibrahim AS lantas berseru, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (Al Anam [6]: 76).

Lalu Ibrahim AS melihat bulan muncul di langit yang hitam. Dia berkata lagi, “Inilah Tuhanku.” Lama kelamaan bulan itu juga terbenam. Ibrahim AS kembali berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (Al Anam [6]:77).

Setelah itu terbitlah matahari. Kembali Ibrahim AS berkata, “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.”

Menjelang senja, matahari perlahan-lahan terbenam di ufuk barat. Melihat fenomena ini, Ibrahim AS menasehati kaumnya;

“Wahai kaumku. Sungguh aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (Al Anam [6]:78-79).

Ketika hari raya tiba, penduduk Haran, Babilonia, berbondong-bondong menuju tengah-tengah negeri untuk merayakannya. Ibrahim AS tak ikut. Ia malah pergi ke tempat patung-patung penyembahan.

Di sana, ia hancurkan semua patung-patung itu dengan kapak dan membiarkan yang paling besar. Ibrahim AS lalu meletakkan kapak tersebut di tangan patung yang paling besar itu.  Ketika orang-orang pulang dari perayaan, mereka terkejut melihat patung sesembahan mereka hancur berantakan. Mereka berkata, “Siapa yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh dia termasuk orang yang zalim.” (Al Anbiya [21]:59)

Sebagian dari mereka berkata, “Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini). Namanya Ibrahim.” (Al Anbiya [21]:60). Yang lain berkata, “(Kalau begitu) bawalah dia dan perlihatkan kepada orang banyak agar mereka menyaksikan.” (Al Anbiya [21]:61).

Maka Ibrahim AS didatangkan ketika semua orang sudah berkumpul di tempat pemujaan. Seorang dari mereka bertanya, “Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?” (Al Anbiya [21]:62)

Ibrahim AS menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara.” (Al Anbiya [21]:63)  Kaum Ibrahim AS kebingungan. Mereka tak bisa berhujah lagi. Malah sebaliknya, mereka mengakui kebodohan mereka sendiri dengan mengatakan, “Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.” (Al Anbiya [21]:65)

Ibrahim AS menimpali, “Mengapa kalian menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mafaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudharat kepada kalian? Celakalah kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah! Tidakkah kalian mengerti?” (Al Anbiya [21]:66-67)

Ungkapan ini kemudian dibalas oleh kaumnya dengan membuat  lubang besar dan mengumpulkan kayu bakar di atasnya. Mereka menyalakan api di atas kayu-kayu bakar itu. Lalu mereka mengikat Ibrahim AS dan melemparnya ke dalam kobaran api yang menyala-nyala. Namun, atas kuasa Allah Ta’ala, api itu menjadi dingin dan tidak bisa membakar tubuh Ibrahim AS.

Begitulah kisah Nabi Ibrahim AS yang tertulis jelas dalam al-Quran. Ia mengajak kaumnya dan ayahnya sendiri untuk berfikir bahwa benda-benda yang selama ini mereka sembah tidaklah pantas untuk di-Tuhan-kan. Tak mungkin Tuhan bisa hancur lebur seperti patung-patung itu. Tak mungkin juga Tuhan bisa muncul dan tenggelam seperti matahari, bulan, dan bintang.

Ibrahim AS telah menyampaikan dalil-dalil yang kuat tentang keesaan Allah Ta’ala. Kaumnya dan ayahnya sendiri jelas tak bisa membantah logika yang diperlihatkan Ibrahim AS.

Namun, semua logika yang amat masuk akal itu tak menjadikan hati kaumnya dan ayahnya berubah. Bahkan, mereka membalasnya dengan melemparkan tubuh Ibrahim AS kedalam kobaran api yang menyala-nyala.

Inilah pelajaran amat berharga dari kisah Nabi Ibrahim AS bagi para juru dakwah. Selama dakwah ditegakkan maka benturan akan terjadi antara pemilih jalan lurus dan penikmat jalan bengkok. Bahkan, antara ayah dan anak pun bisa saling berhadapan di jalan yang berbeda. Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH

Bolehkah Membayar Zakat Fitrah Online?

Saat ini banyak di antara kaum muslimin yang membayar zakat secara online, baik melalui transfer uang via internet dan mobile banking, ATM, atau aplikasi tertentu. Sehingga ketika membayar zakat, tidak ada pertemuan langsung antara orang yang berzakat dengan pihak penerima, baik itu mustahik atau amil zakat. Sebenarnya, bagaimana hukum membayar zakat fitrah secara online, apakah boleh?

Membayar zakat fitrah secara virtual, baik melalui mobile bangking, ATM, dan aplikasi lainnya, hukumnya boleh dan sah. Setidaknya, ada dua alasan mengapa membayar zakat fitrah secara online ini boleh dan sah dilakukan.

Pertama, yang dijadikan ukuran dalam pembayaran zakat adalah niat dari orang yang membayar zakat. Selama orang yang membayar zakat fitrah sudah berniat untuk membayar zakat fitrah, kemudian ia memberikan kepada mustahik atau amil zakat, meskipun ia tidak memberitahukan kepada mustahik atau amil zakat bahwa itu adalah zakat fitrah, maka hukumnya boleh dan sah.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj berikut;

يَجُوزُ دَفْعُهَا لِمَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا زَكَاةٌ؛ لِأَنَّ الْعِبْرَةَ بِنِيَّةِ الْمَالِكِ

Boleh menyerahkan zakat kepada orang yang tidak tahu bahwa itu sesungguhnya adalah zakat. Hal ini karena yang menjadi ukuran adalah niat dari pemilik zakat.

Kedua, dalam pembayaran zakat tidak disyaratkan adanya ijab dan qabul atau serah terima secara langsung antara muzakki dan mustahik atau amil zakat. Yang terpenting dalam zakat adalah menyerahkannya kepada mustahik atau amil zakat. Jika mustahik atau amil zakat sudah menerimanya sehingga terjadi perpindahan kepemilikan, maka hal itu  sudah cukup dan pembayaran zakat sudah dinilai sah.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Tharhu Al-Tatsrib fi Syarh Al-Taqrib berikut;

لَا يُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنْ الْهَدِيَّةِ وَالصَّدَقَةِ الْإِيجَابُ وَالْقَبُولُ بِاللَّفْظِ بَلْ يَكْفِي الْقَبْضُ وَتُمْلَكُ بِهِ

Tidak disyaratkan di dalam pemberian hadiah dan sedekah (zakat) adanya lafadz ijab dan qabul. Akan tetapi yang terpenting dan sudah mencukupi adalah serah terima dan sekaligus terjadinya perpindahan kepemilikan.

Melalui dua alasan di atas, maka dapat diketahui bahwa membayar zakat fitrah secara online hukumnya boleh. Selama muzakki sudah berniat untuk membayar zakat fitrah, lalu dia memberikannya kepada mustahik atau amil zakat, meskipun secara online, maka hal itu sudah dinilai cukup dan sah.

BINCANG SYARIAH

Tak Bisa Itikaf di Masjid, Bisakah Raih Lailatul Qadar?

Malam lailatul qadar diyakini ada di 10 hari terakhir Ramadhan.

Salah satu amalan yang dianjurkan dilakukan pada hari-hari terakhir atau 10 hari terakhir Ramadhan adalah melakukan i’tikaf di masjid. Sementara itu, malam lailatu qadar sendiri diyakini datang pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Sehingga, dianjurkan untuk beri’tikaf di masjid agar bisa meraih malam lailatul qadr tersebut.

Namun, di tengah pandemi virus corona saat ini, umat Muslim tidak bisa melaksanakan i’tikaf di masjid. Terutama, mereka yang tinggal di zona merah Covid-19. Masjid-masjid sendiri sebagian besar ditutup guna mencegah penyebaran Covid-19 lebih meluas.

Lalu, bagaimana sebenarnya aturan i’tikaf itu menurut berbagai mazhab? Bagaimana meraih malam Lailatul Qadr, jika i’tikaf tidak bisa dilakukan di masjid?

Dalam sebuah video ceramah yang diunggah di laman Rumah Fiqih Indonesia pada Senin (4/5), Ustaz Firman Arifani menjelaskan tentang meraih lailatul qadr saat dilarang i’tikaf di masjid. Ustaz Firman mengatakan, seluruh ulama sepakat bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid. Artinya, tidak sah i’tikaf jika dilakukan selain di masjid.

Namun, dalam hal ini para ulama hanya berbeda tentang jenis masjid yang diperbolehkan untuk beri’tikaf. Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat, bahwa masjid yang diperbolehkan beri’tikaf atau sah ialah masjid jami’ yang dipakai untuk sholat Jumat.

Sedangkan mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat, masjid yang bisa dipakai untuk i’tikaf adalah segala jenis masjid, baik itu masjid jami atau masjid kecil, seperti surau, langgar, mushola.

Sementara itu, mazhab Hanafi mengatakan bahwa wanita boleh i’tikaf di rumah. Mereka mendasarkan dalil karena tempat shalat yang afdhol (utama) bagi wanita adalah di rumah. Sementara juumhur ulama, dari Syafi’i, Maliki dan Hambali, mengatakan sekalipun wanita maka tempat yang sah untuk i’tikaf adalah di masjid, bukan di rumah atau mushola rumah. Dalil yang dipakai merujuk pada, jika memang diperbolehkan bagi wanita i’tikaf di dalam rumah, tentu para istri Nabi SAW melakukannya, tetapi ternyata tidak.

“Selanjutnya, tidak sah bagi laki-laki untuk menggelar i’tikaf di dalam rumahnya atau mushola rumahnya, tetapi harus di masjid,” kata Ustaz Firman, dalam video ceramahnya tersebut.

Namun demikian, sudah bisa dipastikan bahwa di tengah kondisi pandemi seperti ini, tidak mungkin untuk menggelar i’tikaf di masjid. Terutama, Muslim yang tinggal di zona merah. Sebab, kegiatan i’tikaf memungkinkan aktivitas publik dan perkumpulan jamaah, yang saat wabah ini harus dihindari.

Lalu, bagaimana cara meraih lailatul qadar tanpa beri’ktikaf di masjid?

Ustaz Firman mengatakan, malam lailatul qadr bisa diraih dengan berbagai macam cara dan tidak harus dengan i’tikaf. Ia memaparkan amalan-amalan yang bisa membuat Muslim meraih keutamaan dari malam lailatul qadr, di antaranya dengan sholat malam, dzikir, tafakkur, membaca Alquran, berkumpul bersama keluarga di rumah saja, tahajud bersama keluarga dan amal shalih lainnya.

“Itu bisa menjadikan kita di antara orang-orang yang mendapatkan malam lailatul qadr, dan ini adalah malam yang istimewa di bulan Ramadhan,” lanjutnya.

Ustaz Firman kemudian menyebutkan amalan yang sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah untuk bisa meraih malam lailatul qadr. Amalan tersebut seperti disebutkan dalam kitab Ma’arif.

“Dalam kitab itu berbunyi, “Barang siapa yang shalat Isya di sepanjang akhir Ramadhan (10 hari terakhir) dengan berjamaah, maka dipastikan ia bisa mendapat malam lailatul qadr. Ini salah satu amalan paling mudah untuk mendapat lailatul qadr, tidak perlu beri’tikaf,” kata Ustaz Firman.

Dengan demikian, Ustaz mengatakan bahwa malam lailatul qadar dapat diraih sekalipun berdiam saja di rumah atau di mushola rumah. Walaupun tidak mendapat pahala i’tikaf, menurutnya, namun Insya Allah esensinya bisa didapatkan.

Ustaz Firman lantas mengingatkan umat agar tidak memaksakan diri untuk menjalankan i’tikaf di masjid di tengah situasi wabah seperti ini. Hal demikian sebagaimana ditekankan dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 195, yang berbunyi, “Dan janganlah kamu menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

“Jangan memaksakan diri melakukan sesuatu yang sunnah (i’tikaf), yang justru malah menghilangkan sesuatu yang wajib, yaitu menjaga keselamatan,” tambahnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Umat Islam Disarankan Itikaf di Rumah

Saran itu dalam konteks dan kondisi dimana pandemi Covid-19 belum berakhir.

10 hari terakhir bulan suci Ramadhan merupakan waktu yang ditunggu-tunggu Muslim seluruh dunia untuk menjalankan iktikaf. Ibadah yang dimaksudkan untuk bermuhasabah diri ini banyak disebut sebaiknya dilakukan di masjid.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), KH Mahbub Maafi Ramdhan, menyebut berdasarkan pandangan ulama yang kuat, pelaksanaan iktikaf memang sebaiknya di masjid.

“Di rumah itu biasanya ada ruang sendiri untuk melaksanakan shalat, itu disebut masjidul bait. Imam Abu Hanifah membolehkan wanita beriktikaf di masjid rumah ini,” kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (2/5).

Meski sebagian ulama dari mazhab syafi’i menyatakan boleh melakukan iktikaf di masjidul bait, Kiai Mahbub Maafi menyebut hal ini masih dianggap sebagai pandangan yang lemah atau marjuh.

Kiai Mahbub Maafi lantas menyampaikan pandangannya atas hal ini. Di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini, pandangan yang dianggap marjuh tersebut bisa menjadi alternatif. Pandangan tersebut bisa dilakukan mengingat saat ini beberapa masjid menutup pintunya atau mengizinkan namun dengan jumlah yang sangat terbatas.

“Dalam konteks dan kondisi dimana pandemi Covid-19 belum berakhir, maka menurut saya pandangan yang menyebut boleh iktikaf di masjid dalam rumah ini bisa digunakan,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyebut satu pandangan yang dikatakan rajih bisa saja kuat di satu masa, namun berubah menjadi marjuh di masa yang lain. Karena situasi saat ini tidak normal, maka diperlukan pandangan lain yang menyatakan boleh melakukan iktikaf di rumah.

Kiai Mahbub Maafi lantas menyebut pelaksanaan iktikaf di rumah ini sama seperti pelaksanaan di masjid. Hal yang membedakan hanya pelaksanaan ibadah tersebut.

Terkait jamaah yang masih ingin melaksanakan iktikaf di masjid, ia cenderung tidak menganjurkan dan memilih pandangan untuk melakukan iktikaf di masjid rumah saja.

“Orang bisa saja berargumen telah memakai masker dan mencuci tangan, namun soal menjaga jarak ini berat dilakukan jika sudah bertemu dengan sesama jamaah,” kata dia.

Di beberapa daerah yang telah dikategorikan hijau atau aman, menurutnya memiliki kesempatan lebih untuk menjalankan ibadah sesuai dengan saat normal. Namun, hal ini harus tetap diamati dan dibatasi secara ketat. Sebuah masjid maksimal diisi setengah atau bahkan satu pertiga, sebagai upaya untuk menjaga jarak ini.

“Saya sendiri mengusulkan agar masjid ini ditutup saja sepenuhnya. Dikhawatirkan jika dibuka untuk iktikaf, jamaah akan membludak dan pengurus masjid kesulitan mengurus dan mengaturnya,” lanjutnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA