Tak Bisa Itikaf di Masjid, Bisakah Raih Lailatul Qadar?

Malam lailatul qadar diyakini ada di 10 hari terakhir Ramadhan.

Salah satu amalan yang dianjurkan dilakukan pada hari-hari terakhir atau 10 hari terakhir Ramadhan adalah melakukan i’tikaf di masjid. Sementara itu, malam lailatu qadar sendiri diyakini datang pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Sehingga, dianjurkan untuk beri’tikaf di masjid agar bisa meraih malam lailatul qadr tersebut.

Namun, di tengah pandemi virus corona saat ini, umat Muslim tidak bisa melaksanakan i’tikaf di masjid. Terutama, mereka yang tinggal di zona merah Covid-19. Masjid-masjid sendiri sebagian besar ditutup guna mencegah penyebaran Covid-19 lebih meluas.

Lalu, bagaimana sebenarnya aturan i’tikaf itu menurut berbagai mazhab? Bagaimana meraih malam Lailatul Qadr, jika i’tikaf tidak bisa dilakukan di masjid?

Dalam sebuah video ceramah yang diunggah di laman Rumah Fiqih Indonesia pada Senin (4/5), Ustaz Firman Arifani menjelaskan tentang meraih lailatul qadr saat dilarang i’tikaf di masjid. Ustaz Firman mengatakan, seluruh ulama sepakat bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid. Artinya, tidak sah i’tikaf jika dilakukan selain di masjid.

Namun, dalam hal ini para ulama hanya berbeda tentang jenis masjid yang diperbolehkan untuk beri’tikaf. Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat, bahwa masjid yang diperbolehkan beri’tikaf atau sah ialah masjid jami’ yang dipakai untuk sholat Jumat.

Sedangkan mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat, masjid yang bisa dipakai untuk i’tikaf adalah segala jenis masjid, baik itu masjid jami atau masjid kecil, seperti surau, langgar, mushola.

Sementara itu, mazhab Hanafi mengatakan bahwa wanita boleh i’tikaf di rumah. Mereka mendasarkan dalil karena tempat shalat yang afdhol (utama) bagi wanita adalah di rumah. Sementara juumhur ulama, dari Syafi’i, Maliki dan Hambali, mengatakan sekalipun wanita maka tempat yang sah untuk i’tikaf adalah di masjid, bukan di rumah atau mushola rumah. Dalil yang dipakai merujuk pada, jika memang diperbolehkan bagi wanita i’tikaf di dalam rumah, tentu para istri Nabi SAW melakukannya, tetapi ternyata tidak.

“Selanjutnya, tidak sah bagi laki-laki untuk menggelar i’tikaf di dalam rumahnya atau mushola rumahnya, tetapi harus di masjid,” kata Ustaz Firman, dalam video ceramahnya tersebut.

Namun demikian, sudah bisa dipastikan bahwa di tengah kondisi pandemi seperti ini, tidak mungkin untuk menggelar i’tikaf di masjid. Terutama, Muslim yang tinggal di zona merah. Sebab, kegiatan i’tikaf memungkinkan aktivitas publik dan perkumpulan jamaah, yang saat wabah ini harus dihindari.

Lalu, bagaimana cara meraih lailatul qadar tanpa beri’ktikaf di masjid?

Ustaz Firman mengatakan, malam lailatul qadr bisa diraih dengan berbagai macam cara dan tidak harus dengan i’tikaf. Ia memaparkan amalan-amalan yang bisa membuat Muslim meraih keutamaan dari malam lailatul qadr, di antaranya dengan sholat malam, dzikir, tafakkur, membaca Alquran, berkumpul bersama keluarga di rumah saja, tahajud bersama keluarga dan amal shalih lainnya.

“Itu bisa menjadikan kita di antara orang-orang yang mendapatkan malam lailatul qadr, dan ini adalah malam yang istimewa di bulan Ramadhan,” lanjutnya.

Ustaz Firman kemudian menyebutkan amalan yang sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah untuk bisa meraih malam lailatul qadr. Amalan tersebut seperti disebutkan dalam kitab Ma’arif.

“Dalam kitab itu berbunyi, “Barang siapa yang shalat Isya di sepanjang akhir Ramadhan (10 hari terakhir) dengan berjamaah, maka dipastikan ia bisa mendapat malam lailatul qadr. Ini salah satu amalan paling mudah untuk mendapat lailatul qadr, tidak perlu beri’tikaf,” kata Ustaz Firman.

Dengan demikian, Ustaz mengatakan bahwa malam lailatul qadar dapat diraih sekalipun berdiam saja di rumah atau di mushola rumah. Walaupun tidak mendapat pahala i’tikaf, menurutnya, namun Insya Allah esensinya bisa didapatkan.

Ustaz Firman lantas mengingatkan umat agar tidak memaksakan diri untuk menjalankan i’tikaf di masjid di tengah situasi wabah seperti ini. Hal demikian sebagaimana ditekankan dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 195, yang berbunyi, “Dan janganlah kamu menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

“Jangan memaksakan diri melakukan sesuatu yang sunnah (i’tikaf), yang justru malah menghilangkan sesuatu yang wajib, yaitu menjaga keselamatan,” tambahnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Umat Islam Disarankan Itikaf di Rumah

Saran itu dalam konteks dan kondisi dimana pandemi Covid-19 belum berakhir.

10 hari terakhir bulan suci Ramadhan merupakan waktu yang ditunggu-tunggu Muslim seluruh dunia untuk menjalankan iktikaf. Ibadah yang dimaksudkan untuk bermuhasabah diri ini banyak disebut sebaiknya dilakukan di masjid.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), KH Mahbub Maafi Ramdhan, menyebut berdasarkan pandangan ulama yang kuat, pelaksanaan iktikaf memang sebaiknya di masjid.

“Di rumah itu biasanya ada ruang sendiri untuk melaksanakan shalat, itu disebut masjidul bait. Imam Abu Hanifah membolehkan wanita beriktikaf di masjid rumah ini,” kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (2/5).

Meski sebagian ulama dari mazhab syafi’i menyatakan boleh melakukan iktikaf di masjidul bait, Kiai Mahbub Maafi menyebut hal ini masih dianggap sebagai pandangan yang lemah atau marjuh.

Kiai Mahbub Maafi lantas menyampaikan pandangannya atas hal ini. Di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini, pandangan yang dianggap marjuh tersebut bisa menjadi alternatif. Pandangan tersebut bisa dilakukan mengingat saat ini beberapa masjid menutup pintunya atau mengizinkan namun dengan jumlah yang sangat terbatas.

“Dalam konteks dan kondisi dimana pandemi Covid-19 belum berakhir, maka menurut saya pandangan yang menyebut boleh iktikaf di masjid dalam rumah ini bisa digunakan,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyebut satu pandangan yang dikatakan rajih bisa saja kuat di satu masa, namun berubah menjadi marjuh di masa yang lain. Karena situasi saat ini tidak normal, maka diperlukan pandangan lain yang menyatakan boleh melakukan iktikaf di rumah.

Kiai Mahbub Maafi lantas menyebut pelaksanaan iktikaf di rumah ini sama seperti pelaksanaan di masjid. Hal yang membedakan hanya pelaksanaan ibadah tersebut.

Terkait jamaah yang masih ingin melaksanakan iktikaf di masjid, ia cenderung tidak menganjurkan dan memilih pandangan untuk melakukan iktikaf di masjid rumah saja.

“Orang bisa saja berargumen telah memakai masker dan mencuci tangan, namun soal menjaga jarak ini berat dilakukan jika sudah bertemu dengan sesama jamaah,” kata dia.

Di beberapa daerah yang telah dikategorikan hijau atau aman, menurutnya memiliki kesempatan lebih untuk menjalankan ibadah sesuai dengan saat normal. Namun, hal ini harus tetap diamati dan dibatasi secara ketat. Sebuah masjid maksimal diisi setengah atau bahkan satu pertiga, sebagai upaya untuk menjaga jarak ini.

“Saya sendiri mengusulkan agar masjid ini ditutup saja sepenuhnya. Dikhawatirkan jika dibuka untuk iktikaf, jamaah akan membludak dan pengurus masjid kesulitan mengurus dan mengaturnya,” lanjutnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Sedang Berselisih? Baca Doa Nabi Syuaib Ini

Doa Nabi Syuaib tentang perselisihan diabadikan dalam Alquran.

Allah SWT mengabadikan doa Nabi Syuaib dalam surat Al-Araf ayat 88. Nabi Syuaib memanjatkan doa ini karena umatnya mendustakannya bahkan akan mengusir Syuaib.

Ancaman pengusiran terhadap Syuaib ini dibadikan Allah SWT dalam ayat 88 yang artinya:

“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syu’aib berkata. ‘Wahai Syuaib! Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kami kecuali engkau kembali kepada agama kami. Syuaib berkata apakah kamu akan mengusir kami kendatipun kami tidak suka?”

Atas itulah Syuaib beroda dan doan ini diabadikan Allah ayat 89.

رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ

“Rabbanaftah bainana wabaina qaumina bilhaqqi wa-anta khairul fatihin”

Tarjamah Tafsiriyah adalah. “Wahai Tuhan kami, bukakanlah kebenaran antara kami dan kaum kami. Engkau adalah sebaik-baik pembuka kebenaran.”

“Saudaraku, perseteruan pengikut Nabi Syuaib dengan kaum kafir telah membuat gonjang-ganjing keadaan,” kata Ustaz Rafiq Jauhary saat menyampaikan tausiyah Ramadhan tentang doa-doa di dalam Alqur, Sabtu (1/5).

Oleh karena itu kata Ustadz Rafiq yang juga aktif sebagai Pembimbing Ibadah Haji dan Umrah ini,  Nabi Syuaib pun berdoa kepada Allah untuk membukakan jalan keluar atas permasalahan tersebut.

Membuka kebenaran (futuh) yang dimaksud disini meliputi dua perkara, membuka hidayah (ilmu). Hal tersebut agar dapat mengenali perkara yang haq dan bathil, dan juga membuka taufiq agar mampu menapaki jalan kebenaran.

Allah mengirim Nabi Syuaib kepada penduduk Madyan. Nabi Syu’aib diperintahkan Allah SWT mengajak kaumnya menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang merupakan Tuhan yang patut disembah.

Nabi Syuaib seperti dikisahkan dalam ayat 85 Al-Araf diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengajak umatnya untuk menyempurnakan takaran dan timbangan dan jangan merugikan orang sedikitpun.

“Jangan berbuat kerusakan di bumi setelah diciptakan dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman.” (Al-Araf ayat 85).

KHAZANAH REPUBLIKA

Curahan Petunjuk dan Ilmu

Nabi bercerita tentang wahyu ilahi dan hati

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan ajaran yang diembankan Allah kepadaku yang berupa petunjuk dan ilmu sebagaimana halnya air hujan yang deras menyirami bumi. Ada di antaranya tanah yang bagus dan bisa menyerap air sehingga dapat menumbuhkan tanam-tanaman dan rumput-rumputan yang banyak. Namun, ada pula tanah yang kering dan bisa menampung air yang dengan perantara itu Allah berkenan melimpahkan kemanfaatan kepada banyak manusia; mereka minum darinya, memberikan minum kepada ternaknya, dan mengairi lahan pertanian. Kemudian ada juga air yang jatuh pada tanah jenis lainnya. Hanya saja itu adalah tanah yang tandus dan tidak bisa menumbuhkan tanaman; tidak bisa menampung air dan tidak juga menumbuhkan tanam-tanaman. Maka itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan dapat mengambil manfaat darinya berupa ilmu yang Allah ta’ala berikan kepadaku; sehingga dia mengetahuinya dan juga mengajarkan ilmu itu kepada selainnya, dan perumpamaan orang yang sama sekali tidak mau ambil peduli dengan ajaran yang kubawa dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang disampaikan melalui perantara diriku.” (HR. Bukhari [79] dalam Kitab al-‘Ilm yang dicetak bersama Fath al-Bari, 1/213, dan Muslim [2282/5912] dalam Kitab al-Fadha’il yang dicetak bersama Syarh Muslim [7/288] ini lafaz milik Bukhari).

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan tentang ajaran agama yang beliau bawa seperti air hujan yang menyirami seluruh bumi, yang datang kepada manusia ketika mereka benar-benar sangat memerlukannya, maka demikian pula keadaan umat manusia sebelum diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana air hujan dapat menghidupkan negeri (tanah) yang mati maka demikian pula ilmu-ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.” (Fath al-Bari, 1/215).

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadis ini terdapat pelajaran yang menunjukkan bahwa tidak ada yang menerima wahyu yang diturunkan Allah yang berupa petunjuk dan agama selain orang yang hatinya bersih dari kesyirikan dan keragu-raguan. Maka hati yang bisa menerima ilmu dan petunjuk itu seperti layaknya tanah yang selalu mengharapkan siraman air, sehingga ia bisa memanfaatkan air itu, hidup, dan kemudian menumbuhkan tanam-tanaman…” (Syarh Ibnu Baththal [ 1/161] as-Syamilah).

Sungguh benar yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika hati manusia diliputi dengan ketulusan, ikhlas dan keyakinan yang benar kepada Rabbnya niscaya ajaran Nabi akan mudah diterima dan dilaksanakannya. Sebaliknya, apabila hati itu dipenuhi dengan riya’, kesyirikan, dan kerancuan pemahaman atau bid’ah maka jauhlah ia dari jalan yang lurus. Apabila dia berbicara maka berdasarkan hawa nafsunya. Dan apabila dia bertindak pun mengikuti hawa nafsunya. Hawa nafsu telah menjadi panglima yang mengendalikan akal dan pikirannya. Sungguh malang apabila ternyata kita termasuk orang yang demikian itu… Nas’aullahas salamah!

Ibnu al-Qayyim mengatakan, “Tidaklah kamu jumpai seorang pembuat bid’ah dalam agama kecuali di dalam hatinya terdapat rasa sempit ketika menyimak ayat-ayat yang menyelisihi kebid’ahannya, sebagaimana kamu tidak akan menemukan seorang yang zalim lagi fajir (gemar berbuat dosa) melainkan di dalam hatinya akan muncul kesempitan tatkala menjumpai ayat-ayat yang menghalanginya untuk melampiaskan keinginannya (yang terlarang itu). Renungkanlah makna ini lalu pilihlah apa yang anda senangi bagi diri anda sendiri.” (al-Fawa’id, hal. 80).

Nikmat terbesar untuk kaum beriman, hujan deras yang menyemai benih kebahagiaan

Sesungguhnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karunia terbesar bagi kaum beriman. Hati mereka akan hidup dan merasakan lezatnya iman tatkala mereka mau menerima syari’at dan petunjuk Nabi ini dengan penuh lapang dada dan tangan terbuka.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari jenis mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, yang menyucikan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah) padahal sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali Imran : 164).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman penuhilah panggilan Allah dan rasul-Nya jika sedang menyeru kalian untuk sesuatu yang menghidupkan [jiwa] kalian…” (QS. al-Anfal : 24).

Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kehidupan yang sejati dan baik adalah kehidupan pada diri orang-orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul dengan lahir dan batinnya… Oleh sebab itu, orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 86).

Syekh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa memenuhi seruan Allah dan Rasul itu merupakan konsekuensi dari keimanan. Makna dari memenuhi seruan Allah dan Rasul ialah tunduk kepada perintah-Nya dan bersegera melaksanakannya, mengajak orang lain untuk melakukannya, menjauhi larangan-larangan-Nya, menahan diri darinya dan melarang orang lain supaya tidak terjerumus ke dalam larangan-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 318).

Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan hati dan ruh adalah dengan menegakkan ubudiyah (penghambaan) kepada Allah ta’ala, senantiasa menjalankan ketaatan kepada-Nya, dan ketaatan kepada Rasul-Nya secara terus menerus.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 318).

Apabila ‘kemarau’ melanda hati manusia

Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kemarau yang melanda hati adalah kelalaian. Kelalaian itulah hakikat kekeringan dan kemarau yang menimpanya. Selama seorang hamba tetap mengingat Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya niscaya hujan rahmat akan turun kepadanya sebagaimana layaknya air hujan yang terus menerus turun. Namun, apabila ia lalai maka ia akan mengalami masa kering yang berbanding lurus dengan sedikit banyaknya kelalaian yang terjadi padanya. Dan apabila ternyata kelalaian telah berhasil menjajah dan menguasai dirinya maka jadilah ‘buminya’ itu hancur dan binasa…” (Asrar as-Shalah, hal. 4).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh celakalah orang-orang yang hatinya keras karena tidak pernah mengingat Allah, mereka itulah orang-orang yang berada di dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. az-Zumar : 22).

Ketika menafsirkan ayat di atas, Syekh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Bahwa orang-orang semacam itu tidak melembut hatinya untuk menerima [ajaran] Kitab-Nya, tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya, serta tidak merasa tenang dengan berzikir kepada-Nya. Bahkan hatinya selalu berpaling dari Rabbnya dan condong kepada selain-Nya. Maka mereka itulah orang-orang yang layak untuk mendapatkan kebinasaan yang amat sangat dan keburukan yang sangat besar.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 722).

Menjaga Iman

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan (nama) Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka dan hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal : 2).

Syekh as-Sa’di rahimahullah mengatakan ketika menerangkan kandungan ayat ini, “Ayat ini juga menunjukkan bahwa sudah semestinya setiap hamba menjaga kondisi imannya dan berusaha untuk menumbuh-kembangkan iman itu di dalam dirinya. Dan cara paling utama untuk bisa mewujudkan hal itu adalah dengan merenungkan Kitabullah ta’ala dan memperhatikan kandungan makna-maknanya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 315).

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menerangkan: Kebutuhan setiap hamba untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (baca: kebutuhan terhadap tauhid) adalah kebutuhan yang tidak bisa diserupakan dengan sesuatu apapun. Walaupun hal itu bisa saja diserupakan dari sebagian sisi dengan kebutuhan badan terhadap makanan, minuman, dan nafas (udara). Akan tetapi, sebenarnya antara kedua hal ini terdapat perbedaan yang sangat banyak. Karena sesungguhnya jati diri seorang hamba tersimpan di dalam hati dan ruhnya. Sementara tidak akan baik hal itu tanpa pertolongan dari [Allah] sesembahannya yang sejati; yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali Dia. Hatinya tidak akan pernah merasa tenang kecuali dengan zikir kepada-Nya. Tidak merasakan tentram kecuali dengan mengenal dan mencintai-Nya.

Seorang hamba akan terus senantiasa berjuang, karena kelak dia akan berjumpa dengan-Nya. Perjumpaan dengan-Nya adalah sesuatu yang sudah pasti. Tidak akan baik dirinya kecuali dengan mengesakan Allah dalam hal kecintaan, ibadah, rasa takut, dan harapan.

Seandainya seorang hamba bisa merasakan kelezatan dan kesenangan dengan bergantung kepada selain-Nya maka hal itu tidak akan terjadi secara terus-menerus. Akan tetapi, kesenangan itu akan berpindah dari suatu perkara kepada perkara yang lain, dari seorang individu kepada individu yang lain. Sehingga dia hanya akan bisa merasakan kenikmatan dengan satu individu dalam satu keadaan dan dengan individu lain dalam keadaan yang lainnya. Dan kebanyakan perkara yang memberikan kesenangan untuknya justru merupakan sebab utama berlabuhnya kepedihan (kesusahan) dan bahaya yang akan menimpanya.

Adapun kepada ilah/sesembahannya yang benar (yaitu Allah), maka dirinya pasti senantiasa membutuhkan-Nya; dalam setiap waktu dan keadaan. Dimana pun dia berada, maka iman kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, pengagungan, dan zikir kepada-Nya adalah konsumsi bagi hati, sumber kekuatan, jalan kebaikan dan penentu kesehatan jiwanya… (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/96-97])

Semoga yang sedikit ini bermanfaat…

Baca Juga:

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65625-curahan-petunjuk-dan-ilmu.html

Antara Puasa dan Menjaga Lisan

Dalam kajian sebelumnya telah kita bahas bahwa tujuan puasa adalah meraih ketakwaan. Berpuasa bukan hanya menahan lapar dan haus, namun yang jauh lebih penting adalah menjaga jiwa dari sifat-sifat tercela. Menjaga mata dari memandang yang haram, menjaga telinga dari mendengar yang haram, khususnya menjaga lisan dari ucapan yang menyakiti.

Islam tidak pernah memberi celah untuk ejekan dan cacian. Walau kepada musuh sekalipun.

Di bulan Ramadhan khususnya, hendaknya lisan kita ikut untuk berpuasa. Sebagaimana digambarkan dalam kisah Maryam as,

فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS.Maryam:26)

Seakan kisah ini ingin menggambarkan bahwa salah satu yang amat penting untuk dijaga diwaktu puasa adalah lisan.

Rasulullah saw pernah berpesan,

Kalau sampai engkau diganggu dan dicaci, ucapkanlah “Aku sedang berpuasa.”

Ejekan muncul karena merasa lebih baik dan lebih suci. Bukankah Al-Qur’an sering berpesan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (QS.Al-Hujurat:11)

Apabila ada kesalahan yang dilakukan orang lain, bersyukur lah didalam hati bahwa kita tidak terjerumus dalam kesalahan yang sama. Islam tidak pernah mengizinkan untuk mencaci orang yang salah. Jika mampu, tegur lah ia dengan cara yang paling lembut.

Apabila ada kekurangan dalam fisik orang lain, janganlah merendahkannya. Karena mencaci orang yang berkekurangan sama dengan mencaci penciptanya.

Pantaskah seorang makhluk menghina penciptanya?

KHAZANAH ALQURAN

BAyar Zakat MAll yuk… klik di sini!

Shalat Ghaib untuk Prajurit TNI AL KRI Nanggala 402 yang Gugur

Bismillahirrahmanirrahim…

Nabi shalallahu alaihi wa sallam mengabarkan salahsatu sebab seorang mendapatkan pahala syahid adalah meninggal karena tenggelam,

مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ

“Siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid (HR. Muslim 1915).

Di dalam Islam, orang yang mati syahid jenazahnya tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak disalatkan. Sebagaimana yang Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam lakukan kepada para sahabat yang gugur dalam pedang Uhud.

Lantas bagaimana hukum menyolati jenazah rekan-rekan seiman yang gugur dalam insiden KRI Nanggala 402, yang meninggal karena tenggelam di perairan utara Bali?

Macam-macam mati syahid

Pembaca yang kami muliakan.

Ada tiga macam mati syahid, yaitu:

Pertama, syahid dunia & akhirat

Yaitu orang yang meninggal di medan perang dan niatnya ikhlas karena Allah.

Maka jenazahnya, tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak disholatkan. Dia dimakamkan bersama luka dan pakaian yang dia kenakan saat berperang. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu’alaihi wasallam kepada pada syuhada perang Uhud.

Kedua, syahid di dunia, namun tidak syahid di akhirat

Yakni mereka yang gugur di medan jihad, namun bukan karena Allah. Seperti karena riya’, ujub, atau kepentingan duniawi semata. Orang seperti ini di dunia berlaku padanya hukum syahid, yaitu tidak sholatkan, tidak dikafani dan tidak dimandikan.

Namun di akhirat tidak mendapatkan pahala syahid.

Ketiga, syahid di akhirat, namun tidak syahid di dunia

Yaitu orang-orang meninggal karena sebab yang disebutkan pada hadis di atas. Diantaranya adalah meninggal karena tenggelam.

Mengingat status syahid mereka hanya di akhirat, maka di dunia tetap berlaku padanya hukum orang meninggal bukan syahid. Sehingga jenazahnya diperlakukan sebagaimana umumnya jenazah kaum muslimin; dimandikan, dikafani dan disholatkan.

Kesimpulan ini sebagaimana disampaikan oleh Al-Hafidz Al-Aini rahimahullah dalam kitab Syarah Shahih Bukhori; Umdatul Qari karya beliau,

فَلهَذَا يغسلون وَيعْمل بهم مَا يعْمل بِسَائِر أموات الْمُسلمين

“Mereka syahid secara hukum, oleh karenanya mereka tetap dimandikan, dan diperlakukan sebagaimana umumnya jenazah kaum muslimin” (Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 14/180).

Kriteria jenazah yang disyariatkan disholatkan ghaib

Shalat ghaib disyariatkan untuk jenazah yang tidak ada seorang muslim pun yang mensholatinya. Karena hukum sholat jenazah adalah fardhu kifayah. Harus ada yang mensholati walau hanya satu orang, untuk menggugurkan kewajiban. Jika tidak seorangpun menyolati, seluruh kaum muslimin bisa berdosa.

Imam Al-Khottobi rahimahullah mengatakan,

لا يُصَلَّى عَلَى الْغَائِبِ إلا إذَا وَقَعَ مَوْتُهُ بِأَرْضٍ لَيْسَ فِيهَا مَنْ يُصَلِّي عَلَيْهِ , وَاسْتَحْسَنَهُ الرُّويَانِيُّ من الشافعية , وَتَرْجَمَ بِذَلِكَ أَبُو دَاوُد فِي “السُّنَنِ” فَقَالَ : بَابُ الصَّلاةِ عَلَى الْمُسْلِمِ يَلِيهِ أَهْلُ الشِّرْكِ فِي بَلَدٍ آخَرَ

“Sholat ghaib tidak dilaksanakan kecuali untuk orang yang meninggal di tempat yang tak seorangpun mensholatinya. Pendapat ini dipandang bagus oleh Ar-Ruyani dari Mazhab Syafi’i. Imam Abu Dawud menjadikan kesimpulan ini sebagai judul salah bab dalam kitab sunannya, “Bab Sholat untuk Seorang Muslim yang Hidup Di Tengah-Tengah Kaum Musyrik Di Negeri Lain.”

Para kru KRI Nanggala gugur di dalam laut. Sehingga tak ada seorangpun dapat mensholati jenazah mereka di lokasi mereka gugur. Dalam kondisi ini, kriteria boleh melaksanakan shalat ghaib untuk rekan-rekan seiman kru KRI Nanggala 402 terpenuhi.

Semoga Allah menerima saudara-saudara seiman kita yang gugur dalam insiden tenggelamnya KRI Nanggala 402, mengampuni dosa mereka dan menerima mereka sebagai syuhada.

Wallahua’lam bis showab.

***

Penulis: Ahmad Anshori Lc

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65653-shalat-ghaib-untuk-prajurit-tni-al-kri-nanggala-402-yang-gugur.html

Agar Sukses Di Bulan Puasa

Segala sesuatu pasti ada tujuannya. Tak terkecuali dengan perintah ataupun larangan yang telah ditentukan oleh Allah swt. Pasti dibalik semua ketentuan itu ada tujuan yang ingin diraih.

Kita meyakini bahwa dibalik perintah ada kebaikan yang Allah ingin agar kita meraihnya dan dibalik larangan ada bahaya yang ingin dijauhkan oleh Allah swt dari diri hamba-Nya.

Kita telah memasuki bulan yang sangat spesial dari bulan-bulan lainnya. Dibulan ini Allah mewajibkan sebuah amalan yang luar biasa yaitu puasa dan tentunya ada tujuan besar dibalik kewajiban tersebut.

Allah swt berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al-Baqarah:183)

Inilah tujuan inti dari berpuasa. Yakni untuk mengantarkan seseorang menuju ketakwaan.

Maka dari itu kita harus memiliki persiapan agar bisa sampai pada tujuan ini. Karena apabila tujuan ini tidak diraih maka kita akan menjadi orang yang gagal dalam sebuah misi besar dibalik kewajiban puasa.

Mengapa tujuan intinya adalah takwa?

Bulan Ramadhan amat erat kaitannya dengan Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an juga memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan orang yang bertakwa.

Bila kita analogikan semacam ini :

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah dibulan Ramadhan. Dan tujuan dari puasa dibulan Ramadhan adalah menjadi pribadi yang bertakwa. Seakan Allah ingin menjelaskan bahwa :

Apabila engkau ingin meraih tujuan puasa dibulan Ramadhan (yaitu ketakwaan) maka jadikan pola hidupmu sesuai dengan kitab petunjuk yang diturunkan dibulan suci ini (yaitu Al-Qur’an).

Karena itulah hidayah Al-Qur’an hanya bisa diserap oleh manusia yang memiliki ketakwaan dalam hatinya. Bukankah Allah swt berfirman,

ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS.Al-Baqarah:2)

Dalam ayat lain disebutkan :

هَٰذَا بَيَانٞ لِّلنَّاسِ وَهُدٗى وَمَوۡعِظَةٞ لِّلۡمُتَّقِينَ

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Ali ‘Imran:138)

Oleh karena itu dalam Surat Ar-Rahman Allah swt berfirman,

ٱلرَّحۡمَٰنُ – عَلَّمَ ٱلۡقُرۡءَانَ – خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ – عَلَّمَهُ ٱلۡبَيَانَ

“(Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.” (QS.Ar-Rahman:1-4)

Simaklah dalam ayat ini bahwa Allah mendahulukan kalimat “Mengajarkan Al-Qur’an” sebelum “Menciptakan Manusia”. Seakan Allah ingin menjelaskan bahwa manusia tidak akan menjadi manusia yang sebenarnya jika tidak berpegang dengan Al-Qur’an.

Maka berpuasa lah dan raih lah tujuan dibalik puasa tersebut yaitu ketakwaan dalam hati serta pola hidup.

Jadikan pola hidupmu adalah pola hidup Al-Qur’an. Bukan hanya dibulan Ramadhan, karena bukti dari keberhasilanmu dibulan ini adalah bertahannya ketakwaanmu dibulan bulan selanjutnya.

Semoga kita menjadi orang yang sukses meraih tujuan dibulan suci ini.

KHAZANAH ALQURAN

Bayar Zakat Mal yuk. klik di sini!

Doa Spesial Rasulullah SAW dalam Ayat Terakhir Al Baqarah

Surat Al Baqarah ayat 268 merupakan doa spesial Rasulullah SAW

Surat Al Baqarah ayat 268 mengabadikan doa orang beriman dengan adab yang baik. 

Doa ini ma’tsur ini baik dipanjatkan seorang hamba agar diampuni, dimaafkan, dan tetap diberikan kasih sayang oleh Allah SWT. Kalimat lengkap versi Arab dari ayat terakhir surat Al Baqarah itu adalah. 

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ Rabbana wala tuhammilna ma la thaqata lana bih, wa’fu’anna waghfirlana warhamna, anta maulana fanshurna ‘alal qaumil kafirin. 

Dan artinya berdasarkan tarjamah tafsiriyah adalah “Yahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan perintah dan larangan kepada kami yang kami tidak sanggup memikulnya. Maafkanlah kami atas kelemahan kami. Ampunilah kami atas dosa-dosa kami. Sayangilah kami, Engkaulah Tuhan kami. Karena itu tolonglah kami mengalahkan orang  orang kafir.”  

Ketua Pengurus Yayasan Dakwah, Pendidikan, dan Sosial Al-Ittihaad Magelang, Ustadz Rafiq Jauhary Lc, mengatakan petikan doa di atas adalah bagian terakhir dari surat Al Baqarah.  

“Anda juga perlu tahu bahwa tiga ayat terakhir dari surat al-Baqarah adalah satu dari tiga perkara yang didapatkan Rasulullah secara istimewa dalam peristiwa Isra Miraj,” katanya saat menyampaikan muzakarah daring tentang doa-doa di dalam Alquran. 

Ustadz Rafiq yang merupakan lulusan Darul Hadits Al-Ghamidy, Awaly, Makkah Al-Mukarromah ini mengatakan bahwa Ma’had Haram Al-Makki, Makkah Al-Mukarramah Al-Baghawi dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa Muadz bin Jabal (salah satu sahabat Nabi) setiap kali usai menyelesaikan bacaan surat al-Baqarah beliau menutupnya dengan kata “amiin.” “Karena akhir dari surat Al Baqarah berisi doa-doa yang ma’tsur,” katanya.

Ustadz Rafiq yang juga pemilik Travel Taqwa Tours menyampaikan bahwa Allah adalah Dzat yang suka dengan kemudahan, Allah tidak akan berbuat zalim dengan membebankan perintah dalam syariat atau larangan yang memberatkan hamba-Nya.

Namun sebagai seorang mukmin yang beradab, kita diajarkan untuk tetap berdoa atas sesuatu yang pasti Allah berikan yaitu kemudahan dan keringanan. 

Selain itu, kata Rafiq yang juga aktif sebagai pembimbing ibadah haji, dalam doa ini kita juga memohon kepada Allah agar diampuni, dimaafkan dan tetap diberikan kasih sayang. Meskipun kita belum mampu menjalankan syariat-Nya yang telah dimudahkan. 

“Allah adalah penguasa, maka kita memohon kepada-Nya untuk mengalahkan orang-orang kafir yang telah menyelisihi syariat-Nya,” katanya.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Masih Punya Utang Puasa Terus Meninggal, Bagaimana Cara Bayarnya?

Memenuhi kewajiban membayar utang adalah sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT. Sehingga orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban membayar utang puasa Ramadhan itu sama artinya dengan mempunyai tunggakan utang kepada Allah SWT. Lantas, bagaimana jika dia meninggal dunia tapi masih punya utang puasa? Simak penjelasannya berikut ini!

Seseorang yang meninggal dunia tapi masih punya utang puasa karena adanya udzur semisal sakit, maka baginya tidak berdosa. Dan bagi ahli waris yang ditinggalkan tidak wajib untuk qadha puasa tersebut.

Akan tetapi, apabila penangguhan qadha puasa itu disengaja tanpa ada udzur, maka kerabat yang ditinggalkan berkewajiban untuk mengganti puasa bagi si mayit. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat perihal tata cara pembayaran atau qadha puasa orang yang telah meninggal dunia.

Syekh Abu Ishaq As-Syairazi, dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz VI, halaman 337 mengatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras. Hal ini sebagaimana dalam keterangan beliau berikut,

ولو كان عليه قضاء شئ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذر اتصل بالموت لم يجب عليه شئ لانه فرض لم يتمكن من فعله إلي الموت فسقط حكمه كالحج وإن زال العذر وتمكن فلم يصمه حتى مات أطعم عنه لكل مسكين مد من طعام عن كل يوم

Artinya, “Seandainya seseorang memiliki utang puasa dan ia belum sempat membayarnya sampai wafat, maka jika ia menundanya karena uzur yang berlangsung terus menerus hingga wafat, maka ia tidak berkewajiban untuk mengganti puasanya karena dia tidak mampu mengerjakannya hingga wafat sehingga status kewajibannya gugur seperti ibadah haji. Tetapi jika uzurnya hilang dan ia memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya, lalu ia tidak berpuasa, maka utang puasanya dibayar dengan satu mud makanan pokok untuk setiap harinya.”

Menurut pendapat ulama lainnya, utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan pelaksanaan puasa oleh wali atau ahli waris. Utang puasa itu dibayar dengan pelaksanaan puasa oleh keluarganya yang masih hidup.  Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Aisyah RA, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

 “Siapa saja yang wafat dan ia memiliki utang puasa, maka ahli warisnya diwajibkan berpuasa untuk menggantikan kewajiban puasanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Imam An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang dipilih oleh mazhab Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu pembayaran fidyah sebanyak satu mud makanan pokok untuk mengganti utang puasa orang yang telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana pendapat beliau dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz VI, halaman 337,

 والمنصوص في الام هو الاول وهو الصحيح والدليل عليه ماروى ابن عمر أن النبي صلي الله عليه وسلم قال ” من مات وعليه صيام فليطعم عنه مكان كل يوم مسكين ” ولانه عبادة لا تدخلها النيابة في حال الحياة فلا تدخلها النيابة بعد الموت كالصلاة

Artinya, “Pendapat manshus dalam kitab Al-Umm adalah pendapat pertama. Ini pendapat yang sahih. Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai utang puasa, hendaklah memberi makan orang miskin pada setiap hari utang puasanya.’ Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah shalat,”

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ulama berbeda pendapat perihal tata cara pembayaran atau qadla utang puasa orang yang telah meninggal dunia. Pada prinsipnya, kedua pendapat ini didukung oleh dalil yang kuat. Namun, tata cara yang dipilih oleh imam Nawawi adalah pendapat yang pertama yaitu pembayaran fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras kepada orang miskin untuk mengganti satu hari utang puasa orang yang telah meninggal dunia. Pembayaran fidyah ini dapat bertambah sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Allah Memperkenalkan Iblis, Sosok Kafir Pertama

Kesombongan Iblis menyebabkan dirinya tergolong dalam golongan kafir.

Ramadhan telah tiba, kembali kami tampilkan uraian singkat tentang Al Qur’an sebagai tadarus singkat selama bulan Ramadhan. Tadarus ini, meneruskan tulisan sejenis yang diupload Ramadhan tahun lalu. Moga Bermanfaat.

Pada tulisan kali ini, masih ditampilkan Qs Al Baqarah ayat 34:

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

Wa iż qulnā lil-malā`ikatisjudụ li`ādama fa sajadū illā iblīs, abā wastakbara wa kāna minal-kāfirīn

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (Qs Al Baqarah 34).

Kalau pada tulisan lalu tentang ayat ini, kita fokus pada sujud atau perintah sujud. Maka pada tulisan kali ini, kita fokus pada kata kafir yang disandang oleh Iblis.

Sebelum membahas tentang kekafiran Iblis, kita lihat dulu ayat-ayat terdahulu yang terkait dengan kafir. Pertama, Qs Al Baqarah ayat 6. Di ayat ini, diberi peringatan atau tidak tetap tidak akan beriman:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Innallażīna kafarụ sawā`un ‘alaihim a anżartahum am lam tunżir-hum lā yu`minụn

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (Al Baqarah 6)

Kedua,  Qs Al Baqarah ayat 7. Di ayat ini menyebutkan Allah telah mengunci hati, pendengaran, dan penglihatan mereka telah tertutup. Ketiga, dalam ayat 7 ini juga dinyatakan bahwa orang kafir mendapat adzab yang pedih.

خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Khatamallāhu ‘alā qulụbihim wa ‘alā sam’ihim, wa ‘alā abṣārihim gisyāwatuw wa lahum ‘ażābun ‘aẓīm

Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (Al Baqarah 7)

Keempat, Qs Al Baqarah ayat 24. Tempatnya di neraka. Ini terkait dengan mendapatkan adzab yang berat.

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ

Fa il lam taf’alụ wa lan taf’alụ fattaqun-nārallatī waqụduhan-nāsu wal-ḥijāratu u’iddat lil-kāfirīn

Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Qs Al Baqarah 24)

Kelima, Qs Al Baqarah 26. Orang kafir mempertanyakan perumpamaan yang ada dalam Al Qur’an.

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَسْتَحْيٖٓ اَنْ يَّضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوْضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۚ وَاَمَّا الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَيَقُوْلُوْنَ مَاذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِهٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهٖ كَثِيْرًا وَّيَهْدِيْ بِهٖ كَثِيْرًا ۗ وَمَا يُضِلُّ بِهٖٓ اِلَّا الْفٰسِقِيْنَۙ

Innallāha lā yastaḥyī ay yaḍriba maṡalam mā ba’ụḍatan fa mā fauqahā, fa ammallażīna āmanụ fa ya’lamụna annahul-ḥaqqu mir rabbihim, wa ammallażīna kafarụ fa yaqụlụna māżā arādallāhu bihāżā maṡalā, yuḍillu bihī kaṡīraw wa yahdī bihī kaṡīrā, wa mā yuḍillu bihī illal-fāsiqīn

Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?” Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik. (Al Baqarah 26).

Mari kita lihat tentang kekafiran Iblis dalam Qs Al Baqarah ayat 34 ini, apakah berkesuaian dengan ayat-ayat tentang kafir di atas atau ada penambahan hal yang baru tentang kafir. Dalam ayat ini disebutkan ada dua kriteria yang menyebabkan iblis dimasukkan golongan kafir, pertama, menolak perintah Allah SwT untuk sujud kepada Adam as. Kedua, menyombongkan diri.

Yang pertama berkesesuaian dengan yang telah disebutkan pertama kali tentang kafir bahwa diberi peringatan atau tidak tetap tidak beriman. iblis tergolong tidak beriman kepada Allah karena tidak istiqamah dalam ketaatan kepada Allah. Sebab beriman pada Allah juga harus beristqamah, sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَبِيْ عَمْرٍو، وَقِيْلَ، أَبِيْ عَمْرَةَ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلامِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدَاً غَيْرَكَ؟ قَالَ: “قُلْ آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu ‘Amr—ada yang menyebut pula Abu ‘Amrah—Sufyan bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata: Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu perkataan dalam Islam yang aku tidak perlu bertanya tentangnya kepada seorang pun selainmu.” Beliau bersabda, “Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 38]

Kemudian tentang kesombongan Iblis ini merupakan hal yang baru tentang ayat yang terkait dengan kekafiran. Boleh jadi kesombongan ini merupakan penyebab ketidaktaatan Iblis kepada Allah SwT. Mengenai kesombongan ini juga berkesesuaian dengan hadits berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ : إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.

Dari Abdullah bin Mas’ûd, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang ada kesombongan seberat biji sawi di dalam hatinya.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya semua orang senang bajunya bagus, sandalnya bagus, (apakah itu kesombongan?”) Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allâh Maha Indah dan menyintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”.  [HR. Muslim, no. 2749]

Lalu apa yang bisa kita ambil dari pelajaran di atas?

Kesombongan Iblis menyebabkan dirinya tergolong dalam golongan kafir. Karenanya, jangan sampai kita juga terjebak dalam kesombongan sebesar apapun. Sebagaimana dalam hadits kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.  Waallahu a’lam bisshawab

Oleh: Lutfi Effendi

sumber : Suara Muhammadiyah