Hukum Sholat Sambil Melihat dan Membaca Mushaf Al-Quran Menurut 4 Mazhab

Di era globalisasi yang serba instan ini, pendidikan merupakan kebutuhan pokok untuk menciptakan generasi yang ilmiah amaliah dan amaliah ilmiah, sehingga bisa melakukan ibadah dengan sempurna. Ulama 4 mazhab berbeda pendapat mengenai sholat sambil melihat dan membaca mushaf Al-Qur’an. Dengan cara sudah hafal tanpa melihat mushaf itu tentu lebih baik. Berikut beberapa pendapat Ulama terkait hukum sholat sambil melihat dan membaca mushaf Al-Qur’an:

Sholat Sambil Melihat dan Membaca Mushaf Al-Quran Menurut Ulama 4 Mazhab

Hukum membaca bacaan sholat dengan cara melihat Mushaf, Ulama berbeda pendapat dari berbagai Mazhab empat, bahkan mayoritas memperbolehkannya, hanya saja ada sebagian pendapat dari kalangan Mdzhab Malikiyah yang mengatakan makruh sholat dengan cara tersebut, bahkan pendapat Imam Abu Hanifah mengatakan sholatnya batal.

Pertama, Ulama Kalangan Mazhab Syafi’iyah

Imam Nawawi menjelaskan, orang sholat itu boleh melihat Mushaf, baik hafal atau tidak. Imam Nawawi mengatakan:

لو قرأ القرآن من المصحف لم تبطل صلاته سواء كان يحفظه أم لا بل يجب عليه ذلك إذا لم يحفظ الفاتحة كما سبق ولو قلب أوراقه أحيانا في صلاته لم تبطل ولو نظر في مكتوب غير القرآن وردد ما فيه في نفسه لم تبطل صلاته وإن طال لكن يكره نص عليه الشافعي في الاملاء

“Jika membaca Al-Qur’an dengan melihat Mushaf, maka sholatnya tidak batal, baik hafal atau tidak. Bahkan menjadi wajib melihat Mushaf apabila tidak hafal surah Al-Fatihah sebagaimana penjelasan sebelumnya. Begitupun tidak batal apabila sampai membolak-balik Al-Qur’an di waktu-waktu tertentu. Juga tidak batal bagi orang sholat yang melihat catatan-catatan lain selain Al-Qur’an dan diulang-ulang isinya dalam hati meski lama, akan tetapi hukumnya makruh. Demikian penjelasan Imam as-Syafi’I dalam kitab al-Imla’.” (Lihat, Imam Nawawi, Majmu Syarh al-Muhaddzab, juz 4, hlm 95)

Kedua, Ulama kalangan Mazhab Hanabilah

Syaikh Muhammad Sulaiman dalam kitab at-Ta’liq ala al-Iddah Syarh al-Umdah mengatakan, bagi orang yang sedang sholat, baik sendiri maupun berjama’ah, itu boleh membaca surah Al-Qur’an dengan cara melihat Mushaf. Beliau mengatakan:

يجوز للمنفرد والمنفردة أن يقرأ من المصحف ويجوز للامام أن يقرأ من المصحف

“Boleh bagi orang sholat munfarid (sendiri), baik laki-laki maupun perempuan membaca Al-Qur’an dengan cara melihat mushaf. Juga boleh bagi imam membaca Al-Qur’an dengan melihat Mushaf”. (Lihat, at-Ta’liq ala al-Iddah Syarh al-Umdah, juz 14, hlm, 12)

Ketiga, Ulama kalangan Mazhab Malikiyah

Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Alais dalam kitab Manhul Jalil Syarah Mukhtasor al-Kholil menjelaskan bahwa Makruh hukumnya melihat bacaan Mushaf ketika sholat, baik sholat Fardlu maupun sholat Sunnah. Syaikh Alais mengatakan:

وكره (نظر بمصحف) أي قراءة فيه (في) صلاة (فرض) سواء كانت في أوله أو في أثنائه أو في أثناء نفل لكثرة اشتغاله به

“Makruh melihat bacaan dari Mushaf dalam sholat Fardhu, baik melihat di awal sholat maupun pertengahan sholat, atau juga di pertengahan sunnah, karena banyaknya pekerjaan dengan cara melihat Mushaf”. (Lihat, Manhul Jalil, juz 1, hlm 345)

Keempat, Ulama kalangan Mazhab Hanafiyah

Syaikh Utsman bin Ali dari kalangan Ulama Mazhab Hanafi mengutip beberapa pendapat dari kalngan Hanafi, bahwa melafalkan bacaan sholat dengan cara melihat Mushaf terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan batal, dan itu pendapat murni Imam Abu Hanifah, ada juga yang mengatakan makruh tidak sampai membatalkan sholat dan ini pendapat dari Syaikh Abu Yusuf dari kalngan Mazhab Hanafi. Syaikh Utsman menjelaskan:

(وَقِرَاءَتُهُ من مُصْحَفٍ) يَعْنِي تَفْسُدُ الصَّلَاةُ وَهَذَا عِنْدَ أبي حَنِيفَةَ وقال أبو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ تُكْرَهُ وَلَا تَفْسُدُ صَلَاتُهُ لِمَا رُوِيَ عن ذَكْوَانَ مولى عَائِشَةَ رضي اللَّهُ عنهما أَنَّهُ كان يَؤُمُّهَا في شَهْرِ رَمَضَانَ وكان يَقْرَأُ من الْمُصْحَفِ

“(Membaca bacaan sholat dengan melihat Mushaf) maksudnya, diantara batalnya sholat adalah membaca bacaan sholat dengan cara melihat mushaf, dan ini pendapat Imam Abu Hanifah. Syaikh Abu Yusuf dan Syaikh Muhammad berkata: dimakruhkan dan tidak sampai membatalkan sholat, karena ada sebuah riwayat dari Dzakwan budah sahaya siti Aisyah radiyallahu ‘anhuma bahwa siti Aisyah sholat berjama’ah dengannya sebagai makmum di bulan Romadhon, dan Dzakwan membaca bacaan sholat dengan cara melihat Mushaf”. (Lihat, Tabyin al-Haqa’iq, juz 1, hlm 158)

BINCANG SYARIAH

Jangan Salah, Perhatikan Waktu-Waktu Makruh untuk Sholat

Ada waktu-waktu makruh untuk mendirikan sholat.

Untuk sholat lima waktu, umat Muslim dianjurkan mengerjakannya di awal waktu. Adapun untuk sholat sunah, umat Islam dianjurkan untuk mengerjakannya sesuai dengan syariat yang berlaku dengan memperhatikan waktu-waktu yang makruh untuk mendirikan shalat.

Imam Syafii dalam Fikih Manhaji setidaknya merangkum tiga waktu sholat yang hukumnya makruh tahrimiy (lebih dekat pada haram). Pertama, ketika tepat tengah hari (kecuali hari Jumat). Kedua, setelah waktu subuh lewat hingga tinggi matahari kira-kira satu tombak. Ketiga, setelah waktu sholat Ashar utama hingga terbenamnya matahari.

Dalam sebuah hadits, Uqbah bin Amir berkata: “Ada tiga waktu kami dilarang oleh Rasulullah SAW untuk mengerjakan sholat dan menguburkan jenazah. (Yaitu) ketika matahari terbit hingga meninggi, ketika tepat tengah hari hingga matahari agak condong ke barat, dan ketika matahari mulai terbenam hingga sempurna terbenamnya,”.

Waktu bola matahari mulai terlihat (baazhighah) yaitu waktu tengah hari yang biasanya unta yang tadinya bersimpuh mulai beranjak dari tempatnya karena tanah sangat panas. Keadaan ini menjadi metafora dari saking teriknya matahari, ketika akan terbenam matahari akan menguning.

Makruhnya mengerjakan sholat dalam waktu-waktu tersebut adalah apabila dikerjakan tanpa sebab sebelumnya. Sedangkan makruhnya menguburkan jenazah apabila itu dikerjakan dengan sengaja pada waktu tersebut. Berbeda halnya apabila penguburan dilakukan tanpa kesengajaan.

KHAZNAH REPUBLIKA

Cara Ulama Sambut Lailatul Qadar

Ibnu Jarir menyampaikan bahwa para sahabat dan tabi’in mandi di setiap malam selama 10 malam terakhir dan memakai pakaian bagus serta wewangian. Sebagaimana Imam Malik malakukan hal yang sama pada malam 24 Ramadhan, meski di pagi harinya beliau memakai pakaian biasa.

Sedangkan Ayub As Sakhtiyani juga mengenakan dua baju baru beliau di malam 23 dan 24. Bahkan Tamim Ad Dari membeli pakaian seharga 1000 dirham yang belia pakai khusus di malam-malam yang diharapkan bertepatan dengan malam lailatul qadar.

Para ulama tersebut melakukan hal itu karena malam-malam tersebut adalah malam untuk bermunajat dan mereka merasa tidak pantas jika melakukan munajat kepada Allah dengan pakaian seadanya, sebagaimana disyariatkan juga memakai pakaian bagus saat melaksanan shalat. (lihat, Lathaif Al Ma’arif, hal. 346,347)

HIDAYATULLAH

Niat Ketika Hendak Bersedekah Kepada Orang Lain

Dalam Islam, ketika kita hendak bersedekah kepada orang lain, kita diperintah untuk tulus ikhlas karena Allah. Kita dilarang bersedekah karena menginginkan sesuatu dari orang yang kita sedekahi, misalnya karena ingin pujian dan lain sebagainya. Ini dimaksudkan agar sedekah kita diterima oleh Allah.

Oleh karena itu, ketika kita hendak bersedekah, maka kita niatkan sebagaimana niat yang disebutkan oleh Sayid Muhammad bin Alawi bin Umar Al-Idrus dalam kitab Al-Niyyat berikut;

نَوَيْتُ التَّقَرُّبَ اِلَى اللهِ تَعَالَى وَاتِّقَاءَ غَضَبِ الرَّبِّ جل جلاله وَاتِّقَاءَ نَارِ جَهَنَّمَ وّالتَّرَحُّمَ عَلَى الاخْوَانِ وَصِلَةَ الرَّحِمِ وَمُعَاوَنَةَ الضُّعَفَاءِ وَمُتَابَعَةَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَاِدْخَالَ السُّرُوْرِ عَلَى اْلاِخْوَانِ وَدَفْعِ البَلاَءِ عَنْهُ وَعَنْ سَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلاِنْفاَقَ مِمَّا رَزَقَهُ الله وَقَهْرَ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

Latin:

Nawaitut taqooruba ilallaahi ta’aala wattiqoo-a ghadhobar robbi jalla jalaaluhuu wattiqoo-a naari jahannama wattarahhuma ‘alaa ikhwaani wa shilatur rohimi wa mu’aawanatadh dhu’afaa-i wa mutaaba’atan nabiyyi shollallaahu ‘alaihi wa sallama wa idkholas suruuri ‘alal ikhwaani wa daf’il balaa-i ‘anhu wa ‘an saa-iril muslimiina wal infaaqo mimma rozaqohullaahu wa qohron nafsi wasy syaithooni.

Terjemahan

Aku berniat (bersedekah) untuk mendekatkan diri kepada Allah, menghindari murka Tuhan, menghindari api neraka jahannam, berbelas kasih kepada saudara dan menyambung silaturrahmi, membantu orang-orang yang lemah, mengikuti Nabi Saw, memasukkan kebahagiaan pada saudara, menolak turunnya dari mereka dan semua kaum muslimin, menafkahkan rizki yang diberikan oleh Allah, dan untuk mengalahkan nafsu dan setan.

Kemudian setelah bersedekah, lalu dilanjutkan dengan membaca doa berikut;

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Robbanaa taqobbal minnaa innaka antas samii’ul aliim.

Wahai Tuhan kami, terimalah dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Doa ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berikut;

يستحب لمن دفع زكاة او صدقة او نذرا او كفارة او نحو ذلك ان يقول رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Disunnahkan bagi orang memberikan zakat, sedekah, nazar, kafarah, atau lainnya, untuk membaca; ‘Robbanaa taqobbal minnaa innaka antas samii’ul aliim.

BINCANG SAYRIAH

Amalan Bulan Ramadhan

 RAMADHAN adalah bulan penuh berkah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) memudahkan para hamba-Nya untuk melakukan amalan-amalan saleh dengan balasan yang dilipatgandakan. Lantas amalan apa yang perlu dilakukan untuk mengisi bulan Ramadhan yang mulia ini? Berikut adalah sebagian amalan yang seyogyanya tidak terlewatkan bagi siapa saja yang ingin bermujahadah di dalamnya.

Membaca al-Qur`an

Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dijelaskan, malaikat Jibril memperdengarkan al-Qur`an kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) di setiap malam dalam bulan Ramadhan.

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang dimaksud membaca di Hadits tersebut adalah membaca dengan pemahaman. Karena itu, melakukannya pada malam hari lebih baik daripada di siang hari, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. (Fath Al Bari, vol:9, hal. 52).

Para ulama pun tidak melalaikan amalan yang satu ini, contohnya Imam As Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Kedua ulama besar ini sanggup menghatamkan al-Qur`an selama bulan Ramadhan dengan 60 kali khatam (Lathaif Al Ma’arif, hal. 400).

Memberi Makanan Berbuka

Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka baginya pahala sebesar pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi sedikit pun pahalanya.” (Riwayat Ahmad).

Umar bin Al Khaththab adalah salah satu suri teladan yang bisa dijadikan contoh dalam mengamalkan Hadits ini. Umar tidak berbuka puasa kecuali menyertakan orang-orang miskin untuk berbuka bersamanya. (Lathaif Al Ma’arif, hal. 392).

Menyedekahkan Harta

Disamping dianjurkan untuk memberi makan untuk berbuka, bersedekah secara umum juga merupakan kabaikan yang sepatutnya tidak dilewatkan. Rasulullah SAW bersabda, ”Sebaik-baik sedekah adalah sedekah di bulan Ramadhan.”  (Riwayat At Tirmidzi).

Tak heran jika Imam As Syafi’i pernah mengatakan, ”Aku menyukai jika seseorang bertambah sifat kedermawanannya di bulan Ramadhan, sesuai dengan yang  dicontohkan Rasulullah SAW.” (Lathaif Al Ma’arif, hal. 393).

Qiyam Al Lail

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan dengan didasari keimanan dan mencari ridha Allah, maka diampunkan untuknya dosa-dosa yang telah lalu.” (Riwayat Al Bukhari).

Berdoa

Rasulullah SAW bersabda, ”Tiga orang yang tidak tertolak doanya, (yakni) orang yang berpuasa hingga ia berbuka, pemimpin yang adil serta orang yang terzalimi.” (Riwayat At Tirmidzi).

Berdasarkan Hadits di atas, para ulama berpendapat disunahkan bagi siapa saja yang  berpuasa agar berdoa di saat ia sedang berpuasa.

I’tikaf

Disunnahkan juga agar umat Islam melakukan i’tikaf  selama bulan Ramadhan. Lebih-lebih di sepuluh hari terakhir bulan mulia ini, i’tikaf merupakan amalan sunnah muakkadah (yang ditekankan).

Aisyah mengatakan, ”Rasulullah SAW melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.” (Riwayat Muslim).*

HIDAYATULLAH

Taqwa: Infaq dan Istighfar di Waktu Sahur

Allah Ta’ala berfirman:

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu Sahur. (QS. Ali Imron [3]: 17)

Tafsir ayat

Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat tersebut – selain ayat ke-16 – menggambarkan sifat-sifat hamba Allah yang bertaqwa. Dua di antara karakteristik yang disebut ayat itu adalah munfiiqin (orang-orang yang berinfaq) dan mustaghfiriin bil ashaar (orang-orang yang memohon ampun di waktu Sahur, yakni penghujung malam sebelum fajar/Subuh). Menurutnya, tafsir kata al-munfiqiin adalah menafkahkan sebagian dari harta mereka di jalan-jalan ketaatan yang diperintahkan kepada mereka, silaturahmi, amal taqarrub, memberikan santunan, dan menolong orang-orang yang membutuhkannya. Sedangkan ketika menafsirkan mustaghfiriin bil ashaar beliau mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan keutamaan beristigfar di waktu Sahur.

Munasabah ayat

Ayat-ayat yang senada dengan ayat ke-17 dari suroh Alu Imron adalah ayat ke-18 dan 19 dari suroh Adz-Dzaariyaat.

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 18)

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 19)

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ke-19 di atas mengatakan, setelah Allah Ta’ala menyifati mereka sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan shalat malam (dan ditutup dengan memohon ampun di waktu Sahur), lalu menyebutkan sifat terpuji mereka lainnya, yaitu bahwa mereka selalu membayar zakat dan bersedekah serta bersilaturahmi.

Tadabbur ayat

Dari kedua kelompok ayat itu dapat diketahui bahwa:

Pertama, karakteristik orang bertaqwa meliputi dua aspek kesalehan: individual dan sosial. Bukan hanya satu aspek saja, individual saja, atau sosial saja. Kedua aspek ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang.

Salah satu karakteristik orang bertaqwa dalam aspek kesalehan individual adalah memohon ampun di waktu Sahur. Mereka memohon ampun di waktu Sahur setelah sebelumnya “mereka sedikit sekali tidur di malam hari” sebagaimana disebutkan dalam ayat ini:

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

Mereka (dulu ketika di dunia) sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 17).

Al-Hasan Al-Basri ketika menjelaskan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam mengatakan mereka melakukan shalat malam hari dengan keteguhan hati, karenanya mereka tidak tidur di malam hari kecuali hanya sedikit. Mereka mengerjakannya dengan penuh semangat hingga waktunya memanjang sampai waktu Sahur, sehingga bacaan istigfar mereka dilakukan di waktu Sahur.

Sedangkan karakteristik orang bertaqwa dalam aspek kesalehan sosial di antaranya adalah berinfaq dan bersedekah. Dalil lain dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa aspek kesalehan sosial merupakan salah satu sifat orang bertaqwa adalah ayat ke-17 dan 18  dari suroh Al-Lail.

Kedua, kedua aspek ini merupakan kunci masuk surga. Bukan salah satu aspek saja, indivual saja, atau sosial saja. Hubungan erat antara kesalehan indivual dan kesalehan sosial yang merupakan kunci masuk surga ini juga dapat diketahui dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berikut:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا، وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا“. فَقَالَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّلِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: “لِمَنْ أَلَانَ الْكَلَامَ، وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَبَاتَ لِلَّهِ قَائِمًا، وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari bagian dalamnya, dan bagian dalamnya dapat dilihat dari bagian luarnya. Abu Musa Al-Asy’ari Ra. bertanya, “Wahai Rasulullah, untuk siapakah kamar-kamar itu?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam menjawab: Untuk orang yang lembut dalam tutur katanya, dan gemar memberi makan (fakir miskin), serta melakukan salat malam harinya karena Allah di saat manusia lelap dalam tidurnya.” (HR. Imam Ahmad)

Dalam riwayat lain beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَأَفْشُوا السَّلَامَ، وصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Wahai manusia, berilah makan, hubungkanlah tali persaudaraan, sebarkanlah salam, dan shalatlah di malam hari pada saat manusia lelap dalam tidurnya, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.”

Sedangkan salah satu dalil dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa kesalehan sosial bisa menjauhkan diri dari neraka – yang berarti membuat diri masuk surga – adalah ayat ke-17 dan 18 dari Suroh Al-Lail.

Teladan salafush sholeh dalam beristighfar di waktu Sahur

Salafush sholeh begitu berusaha sungguh-sungguh memanfaatkan akhir malam hingga waktu Sahur. Berikut adalah sebagian kisah mereka.

Abdullah ibnu Umar sesuai salam dari shalat malam bertanya, “Hai Nafi’, apakah waktu Sahur telah masuk?” Apabila dijawab ya maka ia mulai berdo’a dan memohon ampun hingga waktu Subuh.

Ibnu Mas’ud Ra. ketika suatu malam berada di salah satu bagian dalam masjid terdengar mengucapkan do’a berikut: Ya Tuhanku, Engkau telah memerintahkan kepadaku, maka aku taati perintah-Mu; dan inilah waktu sahur, maka berikanlah ampunan bagiku

Anas ibnu Malik Ra. mengatakan bahwa kami (para sahabat) bila melakukan shalat malam diperintahkan untuk melakukan istighfar di waktu Sahur sebanyak tujuh puluh kali.

Teladan salafush sholeh dalam bersedekah dan berinfaq

Salafush sholeh tidak hanya berlomba-lomba dalam aspek kesalehan individual, namun juga dalam aspek kesalehan sosial. Begitu banyak kisah mereka dalam hal ini, salah satunya adalah “perlombaan” menginfaqkan harta untuk fi sabilillah antara Abu Bakar Ra. – yang menginfaqkan seluruh hartanya – dan Umar bin Khoththob Ra. – yang menginfaqkan separoh hartanya .

Berjihad, istiqomah dan dampaknya

Ramadhan adalah madrasah untuk melatih diri berjihad (berusaha sungguh-sungguh) untuk memanfaatkan akhir malam hingga waktu Sahur, dan berjihad untuk tetap istiqomah. Diharapkan ketika lulus dari madrasah ini para lulusannya memiliki kebiasaan Qiyamul lail untuk menghidupkan kehidupan malamnya dengan bermunajat kepada Robbnya. Jika demikian halnya insya Allah ketaqwaan  – yang meliputi kesalehan individual dan sosial – yang melekat para diri mereka akan terus mengalami peningkatan sepanjang tahun. Ini berarti mereka telah memiliki kunci masuk surga.  Wallahu a’lam bish-showab.*

Oleh: Abdullah al-Mustofa

Anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur

HIDAYATULLAH

Dengar Adzan Subuh Masih Makan, Apa Hukumnya?

SEBAGIAN kaum Muslim memahami bahwasannya ketika adzan Subuh berkumandang, sedangkan di saat yang sama, makanan atau minuman belum habis dimakan untuk santap sahur, maka melanjutkankannya untuk tetap makan tidak mengapa. Berpedoman kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallallahu ‘anhu.

Nah, bagaimana sebenarnya pemahaman para ulama terhadap hadits tersebut?

Hadits yang dimaksud di sini adalah hadits:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ » رواه أبو داود, أحمد, الدارقطني, الحاكم, البيهقي.

“Artinya: Dari  Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu ia berkata,”Rasulullah ﷺ bersabda,’Jika salah satu dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana ada di tangannya, maka hendaklah ia tidak meletakkannya, hingga ia menunaikan hajatnya dari bejana itu.’” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad, Ad Daraquthni, Al Hakim, Al Baihaqi).

Status Hadits

Para ulama telah menghukumi status hadits di atas. Di antara mereka adalah Imam Al Hakim, di mana ia berkata menganai hadits Abu Hurairah tersebut,”Ini adalah hadits shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan keduanya (Imam Al Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengeluarkannya. (Al Mustadrak, 1/ 320).

Imam Adz Dzahabi pun mengakui penshahihan Al Hakim tersebut, di mana ia berkata,”Sesuai dengan syarat Muslim.” (At Talkhis, dalam Hasyiyah Al Mustadrak, 1/320).

Imam As Suyuthi menshahihkannya, di mana Ash Shan’ani pensyarah Al Jami’ Ash Shaghir karya Imam As Suyuthi berkata,”Dan penulis menyimbulkan keshahihannya.” (At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/96).

Pendapat mayoritas ulama, yang dimaksud adzan adalah Adzan Bilal (Adzan Pertama).  Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adzan di hadits itu adalah adzan pertama, yakni adzan sebelum terbit fajar.

Imam Al Baihaqi, berkata saat mengomentari hadits Abu Hurairah di atas, ”Ini, jika shahih, maka ia ditafsiri bagi mayoritas ahlul ilmi, bahwasannya sesungguhnya Rasulullah ﷺ  mengetahui bahwasannya muadzin pada waktu itu mengumandangan adzan sebelum terbitnya fajar, dimana waktu minumnya sebelum terbitnya fajar. (As Sunan Al Kubra, 4/218).

Mereka memilih menafsirkan adzan dalam hadits dengan adzan pertama dengan berhujjah dengan hadits lainnya, yakni hadits Ibnu Mus’ud radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ :« لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سُحُورِه، فَإِنَّمَا يُنَادِى لِيُوقِظَ نَائِمَكُمْ وَيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ ». رواه مسلم

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, ”Sekali-kali tidak melarang seorang pun adzan Bilal dari sahurnya, sesunggunya ia menyeru untuk membangunkan orang yang tidur dari kalian dan mengembalikan orang yang terjaga dari kalian (kepada hajatnya). (Riwayat Muslim).

Imam An-Nawawi juga menyampaikan pendapat Imam Al Baihaqi di atas dalam menafsirkan makna hadits Abu Hurairah tersebut. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/31). Imam Ar Rafi’i, sebagaimana dinukil oleh Al Munawi, menyatakan, ”Beliau (Nabi Muhammad ﷺ) menghendaki adzan Bilal yang pertama berdasarkan dalil bahwa sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Faidh Al Qadir, 1/ 484).

Al Khaththabi berkata mengenai hadits Abu Hurairah di atas, ”Aku berkata: Ini pada perkataannya (Nabi Muhammad ﷺ) bahwasannya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian, sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Ma’alim As Sunan, 1/371). Al Munawi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas,  ”Yakni, adzan Bilal pertama di pagi hari.” (At Taisir bi Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 1/210).

Syeikh Mahmud Al Khathtthab As Subki juga menafsirkan hadits di atas, ”Yang adzan awal di waktu Subuh, dia adalah adzan Bilal, sesungguhnya ia mengumandangan adzan sebelum terbit fajar, untuk mengembalikan orang yang bangun (kepada hajatnya) dan membangunkan orang yang tidur.” (Manhal Al `Adzb Al Maurud, 10/73).

Syaikh Muhammad Al Banna As Sa’ati berkata dalam Syarh Musnad Ahmad, mengenai hadits Abu Hurairah di atas, ”Dan jumhur (mayoritas) menafsirkannya kepada adzan pertama, dia adalah adzan Bilal, di mana ia mengumandangkan adzan waktu malam sebelum terbutnya fajar shadiq, untuk mengembalikan orang yang bangun (kepada hajatnya) dan membangunkan orang yang tidur.” (Al Fath Ar Rabbani, 10/23).

Penafsiran Lain: Hadits Ditujukan pada yang Ragu Datangnya Fajar

Selain penafsiran jumhur ada pula dari para ulama yang memiliki penafsiran lain. Ykni bahwa hadits ditujukan kepada mereka yang ragu apakah fajar telah terbit atau belum.

Al Khaththabi berkata, setelah menyebutkan penafsiran bahwasannya adzan yang dimaksud adalah adzan Bilal, ”Atau maknanya jika seorang mendengar adzan, sedangkan ia ragu mengenainya datangnya Subuh, seperti saat langit mendung, maka dengan adzan ia tidak mengetahui  bahwa fajar telah terbit karena ia mengetahu bahwa tanda-tanda fajar tidak ada. Kalau sekiranya tanda-tanda itu nampak bagi muadzin, tentu nampak pula bagi dia. Adapun jika ia tahu bahwa fajar telah terbit, maka ia tidak perlu dengan adzan yang sharih, karena ia diperintahkan untuk menahan dari makanan dan minuman jika terang baginya benang putih dari benang hitam fajar.” (Ma’alim As Sunan, 1/371).

Beberapa ulama pensyarah hadits juga menafsirkan hadits Abu Hurairah seperti panafsiran Al Khaththabi di atas. Di antara mereka adalah Al Munawi dalam Faidh Al Qadir (1/484).

Demikian pula Ash Shan`ani, di mana beliau berkata, ”Artinya, jika ia mendengar adzan, sedangkan ia ragu terhadap datangnya Subuh. Telah mengatakan Ad Darimi dan Al Mawardi, bahwasannya tidak diharamkan bagi orang yang ragu-ragu untuk makan, dikarenakan firman Allah:

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَد (سورة البقرة الآية:187

Artinya: Sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam.” (Al Baqarah: 187) (dalam At Takhyir, 6/289).

Ibnu Muflih Syamsuddin Al Maqdisi Al Hanbali juga berpandapat, ”Artinya, bahwa ia tidak yakin dengan terbitnya fajar.” (dalam Al Furu’ wa Tashhih Al Furu`, 5/34).

Hal yang sama disampaikan oleh ِAbdurrahman An Najdi Al Hanbali, ”Artinya- Allahu A`lam-selama tidak tahu terbitnya fajar.” Kemudian ia melanjutkan, ”Adapun jika ia mengetahui menyebarnya waktu Subuh, maka diharamkan secara kesepakatan.” (Hasyiyah Ar Raudh Al Murbi`, 3/431).

Pandangan Lain: Waktu Adzan Maghrib

Selain dua penafsiran di atas, ada pula yang menafsirkan bahwasannya yang dimaskud adzan pada hadits Abu Hurairah di atas adalah adzan maghrib. Setelah menyampaikan mengenai penafsiran pihak jumhur ulama, Al Munawi berkata, ”Dan dikatakan bahwasannya artinya adalah adzan maghrib. Jika seorang berpuasa, sedangkan bejana di tangannya, maka hendaklah dia tidak meletakannya, akan tetapi ia berbuka sekaligus, dalam menjaga untuk mensegerakan berbuka.” (Faidh Al Qadir, 1/484).

Kesimpulan

Walhasil, dari beberapa penafsiran ulama di atas, tidak ada yang memberi penafsiran bahwasannya boleh makan dan minum secara mutlak, ketika sudah mendengar adzan Subuh dikumandangkan. Karena pihak yang menafsiri bahwa yang dimaksud adzan dalam hadits adalah adzan fajar berpendapat bahwasannya hal itu boleh dilakukan oleh orang yang ragu, apakah waktu Subuh sudah masuk atau belum.

Namun jika sudah meyakini masuk waktu Subuh, namun tetap melakukan makan minum, maka mereka pun berpendapat bahwasannya hal itu diharamkan.

Sedangkan penafsiran mayoritas ulama tidak menyatakan bahwa adzan dalam hadits adalah adzan Subuh, namun adzan Bilal di malam hari. Sedangkan penafsiran yang disampaikan Al Munawi menyatakan bahwasannya yang dimaksud adzan dalam hadits adalah adzan maghrib. Wallahu A`lamu bi ash shawab.*

HIDAYATULLAH

Ramadan: Kedudukan Mulia Orangtua karena Alquran

RAMADAN di samping bulan untuk berpuasa dan qiamullayl diapun merupakan bulannya Al-Quran, padanya Allah azza wa jalla turunkan Al-Quran dan pada bulan ini pula Rasulullh shalallahu alaihi wasallam saling memperdengarkan Al-Quran bersama Jibril alaihis salaam.

Bahkan untuk lebih menegaskan besarnya ganjaran membaca Al-Quran, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyebutkan nilai perhuruf yang akan diperoleh seorang hamba dari membaca Al-Quran. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda

“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kebaikan, aku tidak katakan sebagai satu huruf tetapi alif itu satu huruf, lam itu satu huruf, mim itu satu huruf.” [HR. At-tirmizi no. 2910].

Ketahuilah pula bahwa sesungguhnya Rasululllah telah memberikan kedudukan mulia untukmu serta telah mengutamakan dirimu pada momen ibadah yang sangat agung semua itu karena Al-Quran, sebagaimana sabda Nabi: “Hendaklah yang mengimami Suatu kaum adalah yang paling bagus diantara mereka bacaan (hapalan) alqurannya.” [HR. Muslim no. 673].

Sungguh ini adalah kemuliaan yang sangat agung, ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengutamakanmu pada ibadah yang sangat utama.

Saudaraku tidakkah kita semua ingin atau tidakkah kita semua senang dan bangga ketika pada suatu hari nanti di akhirat, ketika kedua orang tua kita tiba-tiba merasa aneh dan heran ketika keduanya dipakaikan dengan pakaian yang sangat menakjubkan yang tidak dimiliki oleh penduuduk dunia? Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Kedua orang tuanya akan dipakaikan dengan pakaian yang tidak dimiliki oleh penduduk dunia, mereka berdua bertanya, kenapa kami di anugerahkan pakaian ini?, merekapun dijawab bahwa sebabnya adalah karena anak mereka yang menghapal Al-Quran.” [HR. Ahmad no. 22950].

Alangkah indah balasan dan pahala bagi para pembaca dan penghapal Al-Quran, oleh karena itu janganlah bulan yang suci ini terlewatkan begitu saja, marilah kita isi dengan memperbanyak membaca Al-Quran terlebih apabila kita sanggup untuk menghapalnya, maka ini sungguh kebaikan di atas kebaikan. []

INILAH MOZAIK

Pahala Puasa Ramadhan itu Tak Terhingga, Apa Maksudnya?

Pahala Puasa Ramadhan itu tak terhingga, apa maksudnya?

Ada hadits yang menerangkan pahala puasa Ramadhan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)

Setiap amalan akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan yang semisal. Kemudian dikecualikan amalan puasa. Amalan puasa tidaklah dilipatgandakan seperti tadi. Amalan puasa tidak dibatasi lipatan pahalanya. Amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangan.

Kenapa bisa demikian? Ibnu Rajab Al Hambali –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, ”Karena orang yang menjalankan puasa berarti menjalankan kesabaran”. Mengenai ganjaran orang yang bersabar, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Sabar itu ada tiga macam yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam meninggalkan yang haram dan (3) sabar dalam menghadapi takdir yang tidak mengenakkan.

Ketiga macam bentuk sabar tersebut, semuanya terdapat dalam amalan puasa. Dalam puasa tentu saja di dalamnyaada bentuk melakukan ketaatan. Di dalamnya ada pula menjauhi hal-hal yang diharamkan. Begitu juga dalam puasa, seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Itulah mengapa amalan puasa bisa meraih pahala tak terhingga sebagaimana sabar.

Lihat bahasan dalam Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 268-290.

Kesimpulannya, pahala puasa Ramadhan dan puasa secara umum adalah tak terhingga karena di dalamnya menjalankan bentuk sabar, yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menghadapi ujian (cobaan).

Sumber bahasan:

Buku “Mutiara Nasihat Ramadhan“, Muhammad Abduh Tuasikal, Penerbit Rumaysho,

Sumber https://rumaysho.com/27880-pahala-puasa-ramadhan-itu-tak-terhingga-apa-maksudnya.html

Salah Kaprah Praktik Poligami Menurut Pakar Hukum Islam

Terjadi salah paham tentang poligami dan praktiknya di masyarakat

Guru besar hukum Islam Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Zaitunah Subhan mengatakan bahwa banyak yang salah kaprah memahami makna poligami. “Poligami dalam Islam adalah sebuah solusi bagi kondisi darurat yang membuat harus berbuat demikian. Namun saat ini banyak kelompok maupun individu yang salah kaprah dan tidak betul-betul memahami makna dari poligami,” kata Prof  Zaitunah Subhan melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (15/4).

Menurut dia, praktik poligami lebih banyak memberikan dampak buruk daripada manfaat terutama bagi perempuan dan anak. Menurut dia, poligami kerap terjadi karena anggapan praktik poligami tersebut mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.

“Padahal jelas Nabi melakukan poligami bukan dengan alasan biologis seperti yang kebanyakan terjadi saat ini. Kemudian penafsiran firman Allah yang tidak sepenuhnya, banyak orang yang tidak memahami arti dan alasan firman Allah tersebut turun. Alasan lainnya karena jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki,” ujar dia.  

Dia mengatakan perempuan harus memberdayakan diri, mengasah kemampuan intelektual dan mandiri sehingga mereka mampu menolak ajakan poligami. “Salah satu upaya untuk menghindari perempuan dari upaya poligami dengan perlu terus dilakukan peningkatan kapasitas perempuan baik dari sisi keterampilan, kemandirian, pemberdayaan, dan nilai-nilai intelektual. Sehingga perempuan enggan dan menolak untuk dipoligami dengan alasan apapun,” ujar Prof Zaitunah.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Perkawinan, salah satu asas perkawinan adalah monogami, bahwa di dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan begitu pula sebaliknya.

Namun sesuai ketentuan dalam syariat Islam, negara memberikan ruang untuk dapat menjalankan poligami dengan persyaratan yang ketat. Persyaratan tersebut mencakup bahwa poligami hanya boleh dilakukan ketika istri tidak dapat memberikan keturunan, serta keadilan bagi istri-istrinya ketika berpoligami. Dalam menjalankan poligami, suami sudah harus meminta izin dari istrinya, serta disertai persetujuan dari pengadilan agama. 

Sementara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, mengatakan poligami yang tidak dilaksanakan dengan kesiapan, pemikiran matang dan pengetahuan yang cukup dari berbagai pihak, dapat berisiko menjadi awal mula terjadi berbagai perlakuan salah, terutama terhadap perempuan.

“Prihatin jika melihat masih banyak narasi yang salah mengenai poligami ini. Poligami dianggap sebagai jalan pintas untuk mencari kesejahteraan, kemakmuran, dan kesuksesan dalam hidup. Padahal, poligami harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati dengan pertimbangan, ilmu dan komitmen yang kuat,” ujar Menteri Bintang.

KHAZANAH REPUBLIKA

Dapatkan artikel keislaman setiap harinya, download dan instal aplikasi Android ini