Adakah Ciri-ciri Khawarij di Masyarakat Muslim Hari Ini?

Para pemikir dari kalangan Islam moderat banyak yang menuding ideologi Khawarij (Khawarijisme) sebagai biang kerok pecahnya ukhuwah Islamiyah di kalangan umat Islam saat ini. Sebagai golongan, kaum Khawarij memang sudah lama lenyap namun sebagai sebuah gerakan pemikiran, Khawarij masih tetap hidup sampai sekarang. Khawarij memang tidak pernah masuk ke Indonesia karena keburu lenyap. Tetapi ideologi puritannya sering dijadikan inspirasi bagi sebagian ormas-ormas Islam di Indonesia.

Kita boleh tidak setuju dengan asumsi demikian. Kita mungkin bisa mempertanyakan apakah betul semua mazhab di Indonesia tingkat fanatismenya dapat disamakan dengan Khawarij. Apakah betul fanatisme mazhab keagamaan ini sudah ada sejak lama atau hanya muncul menjelang Pilpres baru-baru ini? Tentu sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita harus lebih dulu mengetahui ciri-ciri Khawarij di masa lalu agar kita dapat membaca karakteristik pemikirannya di masa sekarang dan kita dapat berusaha menjauhi dampak negatifnya.

Ciri Khawarij yang pertama ialah mereka sangat patuh kepada teks-teks formal Alquran dan hadis. Mereka menafsirkan Alquran secara literal dan tanpa ada usaha untuk melihat konteks dan maksud dari ayat yang bersangkutan. Mereka tidak dapat menangkap makna yang tersirat dan mereka hanya mengandalkan makna yang tersurat.

Bagi kaum Khawarij, wanita yang haid wajib berpuasa. Hal demikian karena dalam pandangan mereka Alquran tidak memasukkan wanita yang haid sebagai kategori orang yang dibebaskan dari kewajiban berpuasa. Wanita haid tidak termasuk ke dalam kategori orang yang sakit, atau bepergian atau yang tidak mampu berpuasa.

Ketika ada seorang perempuan mengatakan di depan Aisyah bahwa perempuan haid harus berpuasa, Aisyah bertanya apakah wanita tersebut seorang Khawarij. Aisyah kemudian menegaskan, “Kami diperintah untuk meng-qadha puasa tetapi tidak diperintah untuk meng-qadha shalat.”

Khawarij memang merasa paling berpegang kepada Alquran hanya karena sudah mengutip sepotong ayat yang menunjang pendapat mereka.

Ciri Khawarij yang kedua ialah mereka memang sangat patuh menjalankan ibadat ritual, paling merasa bahwa mereka sendirilah yang paling sesuai dengan ajaran Nabi namun mereka sangat kaku dalam hubungan sosial, terutama kepada kaum Muslim sendiri.

Bila ayat-ayat mengenai neraka sampai di telinga mereka berguncanglah tubuh mereka seolah-olah mereka berada di pinggir api neraka. Dahi mereka menghitam karena bekas sujud. Tidak jarang mereka menangis terisak-isak dalam salat mereka. Dalam musnad Ahmad bin Hanbal dikisahkan di depan Nabi tentang seorang laki-laki yang terkenal khusyuk dalam ibadah, tetapi Nabi menyuruh sahabat-sahabatnya untuk membunuhnya bila menemukannya. Nabi menyebutkan bahwa orang tersebut akan menjadi sumber perpecahan di kalangan umat Islam. Para ulama hadis menyebutkan bahwa orang itu kelak akan menjadi pimpinan kaum Khawarij.

Orang yang begitu patuh menjalankan shalat, yang tidak mau disentuh dengan makanan haram, ternyata dengan dingin membunuh saudaranya sesama Muslim hanya karena berbeda pendapatnya dengan kelompok mereka.

Kita mungkin bertanya-tanya apakah betul fenomena Khawarij seperti ini ada di sekitar kita? Adakah di antara kita yang secara kaku berpegang kepada Alquran dan hadis hanya dalam kerangka pemikiran kelompok kita dan tidak menghormati penafsiran dan pemahaman kelompok yang lain? Apakah dengan mudah kita mengkafirkan sesama Muslim hanya karena berbeda pendapat dengan kita lalu kita menghalalkan darahnya untuk dibunuh? Atau kita halalkan segala hal – fitnah, kebohongan, tirani, penyalahgunaan kekuasaan untuk menjatuhkan orang yang tidak sepaham dengan kita?

Bila kita menjawab “ya” untuk pertanyaan-pertanyaah ini, Khawarij masih hidup di sekitar kita. Allahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Mencela Pemimpin Ciri Kaum Khawarij

Mencela pemimpin merupakan ciri khas manhaj yang ditempuh oleh kaum khawarij. Awalnya hanya sekadar mengkritik dan membeberkan aib pemimpin di atas mimbar, seminar, koran dan medsos tetapi membengkak hingga tiada lain terminal akhirnya kecuali memberontak pemimpin. Jelas kiranya, metode ini menyelisihi petunjuk Nabi dalam mengingkari penguasa dan merupakan sumber segala fitnah/kerusakan sepanjang sejarah sebagaimana dikatakan imam Ibnu Qayyim dalam Ilam Muwaqqiin (3/7).

Sebagai bukti bahwa metode seperti itu adalah metode yang diterapkan kaum khawarij adalah riwayat imam Tirmidzi dan selainnya dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi, katanya: “Saya pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah sambil mengenakan pakaian tipis. Abu Bilal berkata: Lihatlah pemimipin kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah menegurnya seraya berkata: Diamlah, saya mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menghina pemimpin di muka bumi, niscaya Allah akan menghinakannya”” (Lihat Shahih Sunan Tirmdzi: 1812 oleh Al-Albani).

Imam Dzahabi berkata: “Abu Bilal namanya adalah Mirdas bin Udiyyah, seorang khawarj tulen. Karena kejahilannya, maka dia menganggap pakaian tipis bagi kaum pria adalah pakaiannya orang fasiq” (Siyar Alam Nubala 14/508 oleh imam Dzahabi). Demikianlah khawarij sepanjang zaman, mereka salah kaprah dalam metode mengingkari dan jahil akan hal yang diingkari.

Satu hal lagi yang perlu sekali saya sampaikan di sini bahwa hanya sekedar menghujat pemimpin muslim -sekalipun fasiq- merupakan ciri khas manhaj khawarij, sebab manusia tidak akan memberontak pemimipin tanpa ada yang menyalakan api kebencian di hati mereka walau dengan dalih menegakkan pilar amar maruf nahi mungkar. Oleh karenanya, para ulama menilai bahwa para penggerak pemberontakan, pengkritik dan pencela pemimpin adalah khawarij sekalipun sepanjang sejarah mereka tidak pernah memberontak. Dalam kitab sejarah dan firaq (kelompok dan golongan) mereka disebut Al-Qaadiyyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mensifati sebagian jenis khawarij: “Dan kaum Al-Qaadiyyah yaitu kelompok yang melicinkan pemberontakan terhadap pemerintah sekalipun tidak langsung memberontak”. Bahkan, kadang-kadang orang yang mengompori untuk berontak lebih jelek daripada yang langsung memberontak sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dalam Masail Ahmad hal. 271 dar Abdullah bin Muhammad berkata: “Khawarij jenis Al-Qaadiyyah adalah sejelek-jeleknya kelompok khawarij!”. Para ulama masa kini juga telah membendung dan memerangi pemikiran-pemikiran khawarij model Al-Qaadiyyah ini.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tatkala menjelaskan hadits Dzil Huwaishiroh: “Hadits ini merupakan dalil yang sangat mendasar bahwa berontak pada pemimpin bukan hanya dengan pedang semata tapi bisa juga dengan perkataan dan ucapan. Perhatikanlah, orang ini (Dzul Huwaishrah), dia tidak mengangkat pedang guna membunuh Nabi tapi dia hanya mengingkarinya (dengan terang-terangan). Apabila dijumpai dalam sebagian kitab ahli sunnah yang menyatakan bahwa berontak itu adalah dengan pedang, maka maksudnya adalah puncak pemberontakan”.

(Lihat Fatawa Ulama Al-Akabir hal. 94-96 dan Madarik An Nadhar hal. 272-275 oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani). [Ust. Abu Ubaidah As Sidawi]

INILAH MOZAIK

Pelajarilah Bahasa Arab Agar Memahami Agama

Mempelajari bahasa Arab memiliki peranan penting dalam menuntut ilmu agama. Karena Al Quran, hadis, perkataan para salaf, dan kitab-kitab para ulama, semuanya dalam bahasa Arab. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah” (QS. Az-Zukhruf: 3-4).

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا

“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang” (QS. Maryam: 97).

Dan lisan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam juga merupakan lisan Arab yang jelas dan mudah dipahami, bagi yang memahami bahasa Arab. Allah ta’ala berfirman:

لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

“Padahal orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya ia berbahasa ‘Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang” (QS. An Nahl: 103).

Sehingga tidak mungkin bisa memahami agama dengan sempurna kecuali dengan memahami bahasa Arab. Oleh karena itu, para ulama salaf maupun khalaf memotivasi kita untuk mempelajari bahasa Arab.

Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata:

تعلَّموا العربيةَ؛ فإنها من دينِكم

“Pelajarilah bahasa Arab karena itu adalah bagian dari agama kalian”

Perkataan ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (11/234), juga Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kabir (6/209), namun sanadnya munqathi’ (terputus). Namun secara makna, perkataan ini sahih. Oleh karena itu, riwayat ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha Shiratil Mustaqim (hal. 470) ketika beliau membahas pentingnya belajar bahasa Arab.

Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

مَا جَهِلَ النَّاسُ، وَلاَ اخْتَلَفُوا إلَّا لِتَرْكِهِم لِسَانَ العَرَبِ، وَمِيلِهِمْ إِلَى لِسَانِ أَرْسطَاطَالِيْسَ.

“Tidaklah manusia itu menjadi jahil (dalam masalah agama), kecuali karena mereka meninggalkan bahasa Arab dan lebih condong pada perkataan Aristoteles” (Siyar A’lamin Nubala, 8/268).

Beliau rahimahullah juga mengatakan:

من تبحّر في النحو اهتدى إلى جميع العلوم

“Siapa yang mahir ilmu nahwu, maka ia akan mendapat petunjuk untuk memahami semua ilmu (agama)” (Syadzarat adz-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, Ibnu ‘Imad Al Hambali, 2/407).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Iqtidha Shiratil Mustaqim sangat tegas menjelaskan pentingnya belajar bahasa Arab. Beliau mengatakan: “Demikian juga, bahasa Arab itu sendiri adalah bagian dari agama. Dan mempelajarinya wajib hukumnya. Karena memahami Al-Qur’an dan As+Sunnah itu wajib, dan keduanya tidak bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Kaidah mengatakan “jika kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan suatu sarana, maka sarana tersebut hukumnya wajib“. Namun mempelajari bahasa Arab ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah. Inilah makna dari riwayat yang disebutkan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah, Isa bin Yunus telah menuturkan kepada kami, dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, ia berkata, Umar bin Khathab menulis surat kepada Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang isinya: Amma ba’du, hendaknya kalian mempelajari as-Sunnah, hendaknya kalian mempelajari bahasa Arab, dan i’rab-lah Al Qur’an karena ia dalam bahasa Arab” (Iqtidha Shiratil Mustaqim, hal. 269 – 270).

Dengan mempelajari bahasa Arab, kita juga bisa menyelami penjelasan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Dan terbuka pintu jutaan referensi-referensi ilmu yang telah dikaji para ulama. Sehingga dalam hal ini, keuntungan yang akan didapatkan dengan memahami bahasa Arab adalah:

  • Kita membaca langsung penjelasan ulama dari referensi aslinya. Sehingga tidak terjadi distorsi informasi yang kadang terjadi ketika perkataan ulama disampaikan oleh orang lain.
  • Tidak taqlid pada terjemahan kitab, yang terkadang terjemahan kitab tergantung pemahaman dan kecenderungan dari penerjemahnya.
  • Seolah sedang bicara dengan ulama penulis kitabnya.
  • Lebih yakin dengan materi, karena tahu yang dibaca adalah perkataan ulama, bukan sekedar ustaz atau dai.
  • Lebih menyelami makna-makna dari dalil dan penjelasan ulama karena terkadang kata dalam bahasa Indonesia tidak mewakili makna secara sempurna.

Dan masih banyak lagi keuntungan lainnya. Oleh karena itu, hendaknya kita bersemangat untuk belajar bahasa Arab agar dapat memahami agama kita dengan baik.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Perbanyak Zakat, Infak dan Sedekah Saat Ramadhan

Umat Islam akan memasuki bulan Ramadhan yang kemungkinan masih dalam situasi pandemi Covid-19. Selama masa pandemi Covid-19 ini banyak masyarakat menghadapi kesulitan ekonomi akibat terdampak pandemi Covid-19.

Sehubungan dengan itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau untuk memperbanyak zakat, infak dan sedekah selama Ramadhan. Imbauan ini termaktub dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/1.0/E/2021 tentang Tuntunan Ibadah Ramadhan 1442 H/ 2021 M Dalam Kondisi Darurat Covid-19 sesuai Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. 

“Memperbanyak zakat, infak dan sedekah serta memaksimalkan penyalurannya untuk pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19. Hal ini selaras dengan spirit dari Alquran dan hadis,” kata Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Mohammad Mas’udi dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/1.0/E/2021 yang diterima Republika, Senin (29/3).

Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/1.0/E/2021 ini mengutip ayat Alquran dan hadis yang menyeru umat manusia untuk melaksanakan zakat, infak dan sedekah.

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

. . . Barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (QS Saba: 39)

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah: 261)

Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan itu semakin tampak pada bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril menemuinya (HR. al-Bukhari dan Muslim). 

IHRAM

Ciri-ciri Ulama Palsu

KETENARAN adalah fitnah, popularitas adalah bencana, dan ingin terkemuka adalah penyakit yang menahun. Di antara orang yang terkenal sebagai ulama ada yang bisanya cuma memakai jubah yang lebar, menyisir-nyisir jenggot, membawa siwak yang panjang, dan menampakkan kekusyhuan yang semu, gemar menggoyang goyangkan kepala, suka mencium dahi orang, serta menyukai kata-kata penghormatan dan ungkapan ungkapan pujian.

Bila dikatakan bahwa dirinya adalah berkah bagi seluruh manusia, bahwa Allah menjaga bangsa ini karena dirinya, bahwa semua manusia besar atau kecil berdoa untuknya, dia pasti percaya. Musuh utama ulama palsu itu adalah orang yang tidak mengakui haknya, tidak mencium tangannya, tidak menyebut-nyebut jasanya, dan tidak menyinggung-nyinggung keutamaan keutamaannya. Lawan nomor satunya adalah orang yang mengkritik atau mengoreksinya atau memberikan catatan kepadanya. Tindakan seperti ini menurutnya tidak santun, tidak sopan, dan tidak beradab.

Jika anda sebut namanya tanpa gelar, dan tanpa kata-kata sanjungan, ia akan mengganggap sebuah kesalahan yang tak terlupakan. Jika anda memuji ulama lain dihadapannya, dia pasti mencela anda, mukanya memerah dan murka.

Semua pendapat harus berujung dan berpangkal padanya, dia pikir dia mengetahui berbagai hal dan ilmu. Dia tidak boleh disebut tidak tahu dan tidak boleh dianggap tidak mampu. Itulah ujub dan takabur. Dada orang itu sempit, tidak mungkin dilapangkan kecuali oleh Allah.

Tiga pernyataan para Thagut di muka bumi, dan binasa karena pernyataannya,

– pertama kata “Aku” seperti perkataan Iblis, “Aku lebih baik”

– kedua kata “Kumiliki” yang dikatakan Qarun,” Berkat ilmu yang kumiliki”

– ketiga kata “Milikku” , yang dikatakan Firaun, “Bukankah kerjaan Mesir ini milikku”

Wahai orang yang dibalut ujub, terselimuti kesombongan, dan terbius kelalaian, takkah kau dengar Bilal menyerukan tobat di fajar umurmu, “Marilah mengejar kemenangan”. Maka basuhlah hatimu dengan berwudhu dengan linangan air mata, duduklah di barisan pertama orang-orang yang tobat untuk mendengar takbiratul ihram menghadap Allah, sampai malaikat penjaga Surga Ridwan memanggilmu dengan kemenangan,” Masukilah surga dengan sejahtera dan aman sentosa (QS al Hijr : 46). [Syeikh Aidh Al Qarni]

INILAH MOZAIK

Dua Masalah Terkait Niat Puasa di Bulan Ramadhan

Niat merupakan syarat sah ibadah puasa, sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan yang dia niatkan” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Berkaitan dengan niat puasa, terdapat dua masalah yang akan kami bahas dalam tulisan ini.

Apakah niat puasa harus dilakukan di malam hari bulan Ramadhan?

Dalam masalah ini, terdapat dua pendapat di kalangan para ulama.

Pendapat pertama, tidak disyaratkan niat di malam hari bulan Ramadhan. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah.

Dalil yang dikemukakan oleh Hanafiyah adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Salamah bin Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seseorang dari suku Aslam untuk menyerukan kepada manusia, bila ada seseorang yang sudah makan maka hendaklah dia mengganti puasanya pada hari yang lain dan siapa yang belum makan hendaklah dia meneruskan puasanya karena hari ini adalah hari ‘Asyura’.” (HR. Bukhari no. 2007 dan Muslim no. 1135)

Sisi pendalilan dari hadits tersebut adalah bahwa puasa ‘Asyura’ itu diwajibkan pada masa awal-awal Islam. Karena jika puasa ‘Asyura itu tidak wajib, tentu tidak akan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Di dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa dimulai di siang hari, dan tentunya mereka belum berniat puasa di malam harinya. Sehingga niat di malam hari itu tidak wajib, karena boleh saja niat puasa di siang harinya.

Pendapat kedua, disyaratkan untuk berniat puasa di malam hari. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).

Dalil yang dikemukakan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Hafshah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka tidak ada (tidak sah) puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2098, An-Nasa’i no. 2291, Ibnu Majah no. 1700. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 913)

Hadits ini diriwayatkan melalui sanad yang shahih dari tiga orang sahabat, yaitu Ibnu ‘Umar, Hafshah, dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Juga, tidak diketahui adanya sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini. Sehingga pendapat kedua inilah yang lebih kuat.

Sanggahan untuk pendapat ulama Hanafiyah

Adapun cara berdalil ulama Hanafiyah di atas, dapat disanggah melalui beberapa argumentasi berikut ini.

Pertama, puasa ‘Asyura tidak wajib, akan tetapi sunnah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبْ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ

“Ini adalah hari ‘Asyura’ dan Allah belum mewajibkan puasa atas kalian dan sekarang aku sedang berpuasa. Maka siapa saja yang mau, silakan berpuasa. Dan siapa saja yang tidak mau, silakan berbuka (tidak berpuasa).” (HR. Bukhari no. 2003 dan Muslim no. 1129)

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa ‘Asyura adalah puasa sunnah, bukan puasa wajib.

Kedua, jika memang puasa ‘Asyura itu hukumnya wajib di masa awal Islam, maka puasa tersebut diwajibkan di siang hari, bukan sejak malam harinya. Sehingga berniat puasa ‘Asyura di malam harinya tidak mungkin dilaksanakan, karena memang belum diperintahkan.

Ketiga, jika kita terima pendapat yang mengatakan bahwa boleh berniat puasa Ramadhan di siang hari, maka kita katakan, “Seandainya seseorang itu makan minum di pagi hari, kemudian di tengah hari dia berniat puasa, apakah puasanya sah?” Tentu mereka akan mengatakan bahwa puasa tersebut tidak sah. Maka dari sini, gugurlah sisi pendalilan mereka.

Kewajiban niat puasa di malam hari hanya berlaku untuk puasa wajib, semisal puasa Ramadhan, puasa nadzar, atau puasa kaffarah. Adapun untuk puasa sunnah, maka boleh niat di siang hari sesuai dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ

“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Aisyah, apakah Engkau mempunyai makanan?” Aisyah menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, aku akan berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Inilah pendapat sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman, Thalhah, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, juga pendapat Sa’id bin Musayyib, Sa’id bin Jubair, An-Nakha’i, Abu Hanifah, Ahmad, Syafi’i rahimahumullah.

Apakah niat harus dilakukan setiap malam di bulan Ramadhan, atau boleh niat sekali di awal bulan Ramadhan?

Dalam masalah ini, terdapat dua pendapat di kalangan para ulama.

Pendapat pertama, disyaratkan untuk niat puasa di setiap malam. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah.

Argumentasi yang disampaikan adalah karena setiap hari bulan Ramadhan adalah ibadah yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Jika puasa di satu hari batal, maka tidak membatalkan puasa di hari lainnya. Sehingga harus berniat puasa di setiap malam di bulan Ramadhan.

Pendapat kedua, boleh atau cukup untuk berniat puasa di awal bulan Ramadhan (dengan niat puasa sebulan penuh, misalnya). Ini adalah pendapat Imam Malik, Ishaq, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah.

Argumentasi yang disampaikan adalah karena ibadah puasa bulan Ramadhan itu ibadah yang berturut-turut pelaksanaannya. Sehingga cukup satu niat di awal bulan, selama puasanya tidak ada yang batal. Hal ini karena tidak boleh sengaja tidak berpuasa tanpa ada udzur (alasan) yang dibenarkan oleh syariat.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yaitu harus niat puasa di setiap malam karena dua alasan berikut ini.

Pertama, karena setiap hari di bulan Ramadhan adalah ibadah yang terpisah (berdiri sendiri), dimulai dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Jadi dipersyaratkan untuk niat di setiap malamnya.

Kedua, jika ada satu hari puasa yang batal, maka tidak akan merusak ibadah puasa, baik di hari sebelumnya ataupun di hari setelahnya.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Apa Agama Teroris?

Aksi teror yang meresahkan dan mengancam keharmonisan sosial rupanya tidak ada habisnya. Sialnya, para teroris seringkali memakai atribut dari agama tertentu. Alhasil, terjadilah stereotipe yang kelewat menyebalkan.

Teroris itu punya agama atau enggak? Ini pertanyaan yang sulit. Kalau dijawab punya, berarti kita sedang mengafirmasi agama tertentu mengajarkan aksi-aksi nir-kemanusiaan. Tapi kalau dijawab enggak punya, faktanya mereka mengklaim dirinya sedang melakukan misi keagamaan.

Untuk itu, saya kira penting membincang apa itu agama. Mula-mula, sebut saja ia sebagai sebuah institusi kepercayaan dengan segala infrastrukturnya. Dan, anggaplah itu sebagai agama.

Sementara, para pesohor dari rumpun ilmu sosial memberi keterangan bahwa agama merupakan sarana manusia dalam mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya. Ini seperti diungkap oleh Edward Burnett Tylor yang dikutip dari Seven Theories of Religion (1996) karya Daniel L. Pals. Hal senada juga dikatakan James George Frazer dalam The Golden Bough. Meski begitu, ia membedakan antara sihir dengan agama. Menurutnya, agama adalah keyakinan bahwa alam ini dikuasai oleh satu (atau lebih) dewa.

Di lain pihak, al-Quran punya sedikitnya dua diksi, ad-Din dan Millah. Keduanya merujuk pada makna yang kurang lebih sama namun dengan penggunaan yang berbeda. Pada yang pertama, umpamanya, sebuah ayat menyebut al-yauma akmaltu lakum diinakum…(telah Kusempurnakan pada hari ini untukmu agamamu), sedang pada yang kedua biasanya melekat dengan leluhur Nabi Muhammad, millata Ibrahim.

Meski begitu, millah terkadang dipakai juga untuk pengertian yang lebih teknis. Misalnya adalah kata millah dalam Surah al-Baqarah ayat 120 yang merujuk pada Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, disebut millah karena nabi-nabi yang memunculkannya dahulu sudah mengimlakkan untuk umat mereka.

Sebaliknya, seorang penafsir senior bernama Imam Ja’far ath-Thabari menulis dalam Jamiʿal-Bayan an Taʾwil ay al-Qurʾan bahwa kata ad-Din adalah serupa dengan ath-thaʿah (ketaatan). Namun, ketaatan dan kepatuhan di sini tidak sekadar “iya-iya” aja, atau membeo.

Artinya, ada semacam kesadaran bahwa ketaatan itu dibangun bukan dalam pengertian yang politis, tetapi totalitas. Maka di sini, ayat inna ad-dina inda Allah al-Islam menjadi relevan: bahwa sesungguhnya ketaatan yang diterima di sisi Allah adalah ketaatan yang totalitas dipersembahkan untuk-Nya saja.

Lagi pula, kata al-Islam sendiri berasal dari kata kerja aslama yang berarti: “masuk ke dalam kepasrahan dan ketundukan yang total”. Oleh karena itu, al-Islam bermakna kepatuhan cum ketundukan (al-Inqiyad bil-khudhluʿ), tanpa adanya resistensi sedikit pun.

Di titik ini, adalah tidak masuk akal jika para pelaku teror mengklaim aksinya sebagai ejawantah dari ajaran Islam. Apalagi jika mau sedikit lebih teliti membaca al-Quran, pastilah peledakkan rumah ibadah itu tidak akan pernah terjadi.

Lha gimana, Gusti Allah sendiri kok yang bilang “…kalau bukan lantaran Allah menolak keganasan manusia, sebagian dengan sebagian yang lain, tentulah sudah roboh biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah banyak sekali…” (Q.S. al-Hajj [22]: 40)

Rupanya, ayat ini memang cukup menarik. Tidak saja diawali (dalam teks utuhnya) oleh sebuah situasi getir berupa potret ketidakadilan sebagian manusia, tetapi ayat tersebut juga memposisikan masjid pada urutan yang paling belakang. Situasi redaksional ini, menurut Muhammad Ali dalam The Holy Quran, menyiratakan bahwa kehidupan seorang muslim mestinya bukan saja dikurbankan untuk menghentikan penganiayaan terhadap dirinya, tetapi seharusnya diabdikan juga untuk melayani masjid-masjid, dan juga memastikan keamanan gereja-gereja, dan sinagog, dan rumah ibadah lainnya.

Maka, jika umat Muslim bersepakat dengan tawaran tafsir tersebut, kita boleh sedikit berbangga karena belum tentu terdapat ajaran seadiluhung itu dalam kitab suci agama lain. Persoalannya, benarkah segenap umat Muslim sudah betul-betul “mendengar”, meresapi, atau sekadar mengakses ayat tentang Biara, Gereja, Sinagog, dan Mesjid?

Kalau melihat realitas yang ada, lewat kasus pembakaran, perusakan, dan bahkan pengeboman rumah ibadah, rasanya kita hanya semakin lantang menyeru “kembali ke al-Quran” tanpa pernah benar-benar membacanya.

Jadi, omong kosong kalau ada pelaku teror mengklaim dirinya, atau aksinya, atau misinya adalah bagian dari ajaran agama. Dan, kalau dipikir-pikir lagi, bukankah agama itu tidak lebih dari mata pelajaran di bangku sekolah?

Untuk itu, ketimbang berdebat soal “apa agama teroris”, saya kira akan lebih relevan mendebat “di mana para teroris mengenyam sekolah agama”. Heuheu…

ISLAMIco

Problematika Perempuan Saat Puasa Ramadhan

Ada banyak problematika perempuan saat puasa Ramadhan. Puasa Ramdhan adalah ibadah yang hukumnya wajib bagi umat Islam. Pembahasan tentang kewajiban puasa Ramadhan ada dalam Quran Surat Al-Baqarah Ayat 183 sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alallażīna ming qablikum la’allakum tattaqụn

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Lewat ayat tersebut, Allah Swt. menyeru pada orang-orang yang beriman dengan panggilan spesial yakni “hai orang-orang yang beriman”. Adanya panggilan ini menyatakan bahwa Allah Swt. mengingatkan umat Islam terhadap eksistensi, hakikat, dan jati dirinya sebagai seorang hamba yang beriman.

Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa indikasi bahwa orang yang beriman akan berhasil mencapai taqwa dengan puasa Ramadhan. Hal ini bisa dilihat dari semangat seorang hamba mengisi hari-hari Ramadhan dengan berbagai bentuk ibadah selain puasa.

Sebagai misal, qiyamullail yakni dengan melaksanakan shalat tarawih, shalat witir, shalat tahajjud, tilawah Al-Qur’an, sedekah dan berbagai amal kebajikan lainnya.

Agar puasa Ramadhan yang dijalankan tidak terasa begitu berat, selain panggilan spesial untuk hamba-hambanya yang beriman, Allah Swt. juga menjelaskan dalam bahwa kewajiban puasa berlaku juga bagi umat-umat terdahulu karena sudah menjadi tabiat manusia akan merasa sedikit ringan jika suatu beban itu juga dibebankan kepada orang lain, bukan hanya ia sendiri.

Pada bagian akhir ayat di atas, Allah Swt. menyatakan bahwa tujuan utama ibadah puasa adalah membentuk Muslim yang bertaqwa. Kiranya, Allah Swt. telah memberikan pemahaman agar dalam melaksanakan puasa Ramadhan, kita seharusnya tidak terjebak pada sekadar menggugurkan kewajiban.

Dalam mengisi bulan Ramadhan, laki-laki dan perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk bisa meraih keutamaan dan keistimewaan. Tapi, ada hal-hal bersifat qodrati yang tidak bisa dielakkan oleh perempuan. Selain itu, ada pula hal-hal yang membatasi kegiatan-kegiatan perempuan di bulan Ramadhan.

Hal ini diakibatkan karena tugas-tugas dan tanggung jawab sosial perempuan yang kadang-kadang membuatnya tidak dapat mengisi Ramadhan sebagaimana yang disyariatkan kepadanya. Problematika yang dihadapi perempuan saat menunaikan ibadah puasa diantaranya adalah haid dan nifas serta istihadah.

Selain itu, ada pula hamil dan menyusui. Selanjutnya, ada juga pemakaian alat kontrasepsi, saat mencicipi makanan, memakan obat penunda haid, dan lain-lain.

Hamil dan Menyusui

Problematika perempuan saat puasa Ramadhan yang paling umum adalah hamil dan menyusui. Perempuan yang hamil dan menyusui bayi diperbolehkan berbuka puasa apabila merasa khawatir atas kesehatan dirinya ataupun bayinya, baik bayi itu anak kandung perempuan yang menyusui ataupun anak orang lain, baik perempuan itu sebagai ibu dari bayi yang disusuinya ataupun sebagai ibu susu yang disewa orang tua kandungnya.

Kekhawatiran tersebut membolehkan dua kategori perempuan untuk berbuka puasa.  Perlu dicacat, kekhawatiran mestin berdasarkan perhitungan yang matang. Hal ini bisa diukur dengan pengalaman sebelumnya atau hasil konsultansi dengan dokter. Alasan dibolehkannya berbuka bagi keduanya adalah mengqiyaskannya kepada orang sakit dan musafir.

Dalam Al-Fiqh Al-Islamiy, Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan bahwa alasan bolehnya perempuan hamil dan menyusui berbuka puasa adalah dengan qiyas terhadap orang sakit dan musafir. Alasan lain terdapat dalam hadits Rasulullah Saw. sebagai berikut:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Artinya: “Sesungguhnya Allah swt meringankan kewajiban puasa dan sebagian shalat dari musafir dan (meringankan kewajiban) puasa dari perempuan hamil dan perempuan menyusui.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud)

Muhammad Ibn Ali Asy-Syaukaniy dalam Nail al-Autar menjelaskan, saat seorang perempuan hamil atau menyusui merasa ada kekhawatiran akan bahaya kebinasaan yang akan menimpanya atau anaknya kalau dia tetap berpuasa maka haram ia berpuasa.

Aturan tentang tata cara mengganti puasa yang tertinggal ini para ulama berbeda pendapat Az-Zuhaily menjelaskan salam al-Fiqh al-Islamiy, menurut mazhab Hanafi, apabila ada perempuan hamil atau menyusui yang tidak berpuasa, maka keduanya wajib mengqada puasanya tersebut tanpa harus mengeluarkan fidyah.

Sedangkan menurut mazhab Syafii dan Hambali, apabila keduanya tidak berpuasa lantaran mengkhawatirkan anaknya, maka keduanya wajib mengqada puasa dan juga membayar fidyah.

Problematika pertama perempuan saat puasa Ramdhan yakni hamil dan menyusui bisa diselesaikan dengan mengqada dan membayar fidyah puasa. Tapi, apabila fisik sang ibu dan anak kuat dalam menjalankan puasa, maka ada baiknya apabila menunaikan puasa. Hal perlu dicatat adalah puasa yang dijalankan jangan sampai karena paksaan.

Islam telah memudahkan, kini giliran kita yang memutuskan. Selain hamil dan menyusui, ada banyak problematika perempuan saat puasa Ramadhan yakni haid dan nifas, istihadah, pemakaian alat kontrasepsi, mencicipi makanan, memakan obat penunda haid, dan lain-lain yang akan dibahas di tulisan berikutnya.

Ada hikmah di balik syariat yang ditetapkan bagi perempuan hamil dan menyusui saat puasa. Sebagaimana diketahui, memiliki keturunan adalah salah satu tujuan utama perkawinan.

Dengan begitu, keturunan akan berkelanjutan dan melahirkan cikal-bakal generasi mendatang. Allah Swt. telah menanam rasa suka dan bahagia bagi setiap pasangan yang telah dikaruniai keturunan. Anak adalah berkah bagi keluarga, terutama untuk kedua orang tuanya.

Tapi karena alasan-alasan tertentu, ada kekhawatiran akan kesehatan ibu terlalu sering hamil dan melahirkan, atau bisa juga disebabkan karena kekhawatir akan kesulitan materi bila anak terlalu banyak di mana akan berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan anak-anak serta rendahnya pendidikan mereka.

Maka, banyak pasangan yang membatasi kelahiran dengan memakai alat kontrasepsi atau bisa juga dengan cara-cara tertentu.

Alat Kontrasepsi

Cara yang paling banyak digunakan untuk menghalangi atau mengurangi laju kelahiran dimasa Rasulullah Saw. adalah degan azal. Azal ialah mengeluarkan air mani di luar rahim apabila terasa akan keluar.

Para sahabat melakukan ini di zaman Rasulullah Saw. saat wahyu masih turun sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir r.a.: “Kami melakukan azal pada masa Rasulullah Saw. sedangkan Al-Qur’an masih turun.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Selain itu, ada pula Usamah bin Zaid yang meriwayatkan bahwa seseorang menghadap Rasulullah Saw. dan bertanya:

“Wahai Rasulullah Saw., saya telah melakukan azal terhadap istri saya. Rasulullah Saw. menjawab: mengapa engkau lakukan itu? Orang itu menjawab: Saya kasihan kepada anaknya atau dia, berkata saya kasihan kepada anak-anaknya. Rasulullah Saw. pun bersabda: Kalau azal itu berbahaya, tentu telah membahayakan bangsa Parsi dan Romawi.” (H.R. Muslim)

Yusuf al-Qardawy menulis dalam bukunya yang berjudul Halal Haram Dalam Islam (2000) terjemahan Wahid Ahmadi bahwa dalam hadis ini, seolah-olah Rasulullah Saw. melihat bahwa kondisi pribadi ini tidak membahayakan untuk umat secara keseluruhan.

Buktinya, azal tidak membahayakan bangsa Parsi dan Romawi yang juga melakukan azal, padahal keduanya adalah negara terkuat pada masa itu.

Salah satu alasan syar’i yang memungkinkan bisa diterimanya masalah ini adalah tentang kekhawatiran masalah pertumbuhan terhadap anak yang masih menyusui. Apabila ada kandungan baru lagi, maka kehamilan selanjutnya akan merusak ASI dan memperlemah anak. Demikian Yusuf al-Qardaway menjelaskan dalam bukunya.

Sementara itu, si bayi sangat membutuhkan perhatian ibu dalam usianya yang masih sangat muda, padahal sang ibu dalam keadan hamil dan menghadapi segala risiko yang tidak dapat memperhatikan si bayi dengan baik. Selain itu, boleh jadi kondisi kesehatan sang ibu yang baru beberapa bulan melahirkan belum pulih, padahal ada “penyakit” baru telah datang lagi.

Berbeda dengan zaman dahulu, saat ini telah ditemukan berbagai sarana yang bisa digunakan untuk mencegah kehamilan. Pencegahan ini bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dengan sasaran yang ingin dicapai yakni perlindungan terhadap bayi dan ibu dari bahaya dan kemudharatan serta menghindari kerusakan lain berupa menahan diri dari istri saat menyusui, dan ini memberatkan suami.

Cara modern yang bisa dilakukan itu antaralain memakan pil KB, suntikan, spiral, kondom, sterilisasi, dan lain sebagainya. Meskipun cara-cara ini terbilang efektif dalam  mengatur kelahiran, namun sebagiannya dapat menimbulkan masalah bagi perempuan, seperti haid yang tidak teratur, bahkan kadang-kadang terus menerus.

Selain itu, perempuan juga dihadapkan dengan permasalahan lain yang timbul dalam penggunaan alat kontrasepsi modern. Sebagai misal, pada pemasangan spiral dan pengontrolannya. Memasang spiral yaitu memasukkannya alat ke dalam vagina pada posisi tertentu. Sementara pengontrolannya adalah dengan cara mengecek apakah spiral tetap pada posisi yang sama pada saat ditempatkan.

Perlu dicatat bahwa pemasangan spiral pada bulan Ramadhan akan menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan bahwa puasanya batal dan ada pula yang mengatakan puasanya tidak batal. Pendapat tersebut tentu berdasarkan argumen masing-masing yang memiliki konteks berbeda-beda.

Jumhur ulama; mazhab Hanafi, Syafi‟i, dan Hambali berpendapat puasa akan menjadi batal dengan sebab pemasangan spiral, sebab pemasangan spiral berarti memasukkan sesuatu kedalam rongga tubuh bagian dalam yang dimasukkan melalui lubang terbuka dengan sengaja.

Sedangkan mazhab Maliki mengatakan tidak batal. Alasannya adalah bahwa yang dimaksudkan dengan memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh bagian bawah ini berwujud cairan bukan benda padat.

Sementara itu, hukum untuk pengontrolan spiral yang dilakukan secara manual atau USG juga berbeda-beda. Jumhur ulama selain mazhab Syafi’i menyatakan tidak membatalkan puasa.

Sementara itu, ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa puasanya batal. Untuk itu, kita mesti kembali pada kepercayaan dan mazhab yang dianut oleh masing-masing orang.

Jangan lupa, pemasangan alat kontrasepsi pun mesti didiskusikan terlebih dahulu, tidak berdasarkaan paksaan salah satu pihak saja.

Istihadah

Istihadah adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan, tapi tidak pada waktu-waktu yang normal seperti haid atau nifas. Ia adalah darah penyakit. Umumnya, istihadah terjadi pada perempuan di bawah usia haid yakni 9 tahun atau darah yang keluar dalam waktu kurang dari sedikit-dikitnya masa haid atau melebihi selama-lama masa haid dan juga masa nifas.

Tidak ada halangan apa pun bagi para perempuan yang mengalami istihadah dalam melaksanakan ibadah, baik ibadah yang wajib dan sunnah. Ada beberapa hadits Rasulullah Saw. yang melandasi hal tersebut, diantaranya sebagai berikut:

Pertama, hadits dari Aisyah r.a. yang menyatakan bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah Saw.: “Aku perempuan istihadah, aku tidak suci, apakah kutinggalkan shalat?” Rasulullah Saw. pun menjawab: “Istihadah itu bukan haid, jika engkau kedatangan haid, tinggalkan shalat, maka jika ukuran biasanya telah selesai, mandilah dan shalatlah.” (Asy-Syaukani, Nail al-Autar, Juz I, halaman 268).

Kedua, ada hadits Nabi Muhammad Saw. yang memerintahkan Hamnah binti Jahsy untuk berpuasa dan shalat pada waktu istihadah. (H.R. Abu Daud, Ahmad dan at-Tirmizi).

Dari dua hadits di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa perempuan haid atau nifas yang bersambung dengan istihadah hanya meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam masa haidnya saja, kemudian ia mandi dan beribadah seperti biasa.

Dalam Al-Fiqh Al-Islamy, Az-Zuhaily menuliskan bahwa menurut Malikiyah, perempuan yang istihadah disunnahkan berwudhu setiap kali akan melaksanakan ibadah shalat dan jika darah istihadahnya telah berhenti dan disunnahkan untuk mandi.

Sedangkan menurut jumhur ulama, perempuan yang istihadah wajib berwudhu setiap kali masuk waktu shalat setelah terlebih dahulu membersihkan dan membasuh kemaluannya dan memakai pembalut.

Pil Penunda Haid

Problematika perempuan saat puasa Ramadhan selanjutnya adalah mengonsumsi pil penunda haid. Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan, para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah yang sedang haid diwajibkan untuk tidak berpuasa. Namun, diwajibkan baginya untuk mengqadanya pada bulan yang lain.

Hal ini adalah kemurahan dari Allah Swt. dan rahmatNya kepada perempuan yang sedang haid, sebab kondisi badan seorang perempuan sedang lelah dan urat-uratnya lemah, perasaan tidak enak dan lain-lain.

Maka dari itu, Allah Swt. mewajibkan untuk berbuka dan bukan sekadar dibolehkan tidak puasa. Jika mereka berpuasa, maka puasanya tidak sah dan tidak diterima. Perbuatan meninggalkan puasa saat masa haid telah dilakukan para muslimah sejak masa Rasulullah Saw.

Ummahat al-Mukminin dan para Shahabiyah dan para Muslimah yang mengikuti mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan bila mereka mengalami haid. Aisyah r.a berkata: “Kami diperintahkan mengqada puasa dan tidak diperintahkan mengqada shalat.” (H.R. Bukhari)

Lantas, bagaimana apabila seorang perempuan menggunakan pil penunda haid saat puasa? Setiawan Budi Utamo menulis dalam bukunya Fiqih Aktual (2003) yang selaras dengan pendapat Yusuf Qardhawy bahwa lebih afdal apabila segala sesuatu berjalan secara alamiah sesuai dengan tabiat dan fitrahnya.

Darah haid adalah perkara tabi’i, yakni proses alamiah biologis yang fitri dan sebaiknya dibiarkan berjalan sesuai dengan tabiat dan fitrahnya sebagaimana ia diciptakan Allah Swt.

Meski demikian, penggunaan pil ini tidak dilarang. Hal ini berlaku apabila pil tersebut tidak membawa efek samping medis yang membahayakan bagi penggunanya. Untuk itu, para perempuan yang ingin menggunakannya mesti melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter ahli kandungan.

Quraish Shihab dalam Panduan Puasa (2000) tidak cenderung membolehkan penggunaan pil tersebut dengan alasan bahwa pil tersebut hanya menahan keluarnya darah tapi tidak menghilangkan dampak psikis haid.

Mencicipi Makanan

Problematika perempuan saat puasa ramadhan lainnya adalah mencicipi makanan. Memasak dan menyediakan makanan untuk orang yang berpuasa di bulan Ramadhan umumnya dilakukan oleh perempuan. Agar rasa makanan tersebut pas dan tidak berlebihan atau kurang, biasanya makanan tersebut dicicipi terlebih dahulu sebelum dihidangkan.

Mencicipi makanan pada saat berpuasa tidaklah membatalkan puasa. Syaratnya adalah makanan yang dicipipi tersebut tidak sampai tertelan. Tapi sebaiknya tidak dilakukan sebab hukumnya makruh. Hal ini dikarenakan mencicipi makanan membuka peluang batalnya puasa.[]

BINCANG SYARIAH

Larangan Bergabung dengan Perkumpulan yang Didalamnya Ada Kemaksiatan Kepada Allah

Allah Swt Berfirman :

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (QS.an-Nisa’:140)

Ayat ini memperingatkan kaum muslimin agar tidak ikut serta dalam perkumpulan yang merendahkan dan mengolok-olok Al-Qur’an. Sampai mereka berhenti merendahkan Al-Qur’an dan beralih ke pembicaraan lain.

Lalu kemudian ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa siapa yang mengikuti perkumpulan yang merendahkan al-Qur’an maka ia sama dengan orang-orang disana yang mengolok-olok Al-Qur’an.

إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

“(kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.”

Lalu ayat ini melanjutkan penekanan bahwa siapa yang ikut dalam majlis yang mengolok-olok Al-Qur’an maka di dalam jiwanya ada benih-benih kemunafikan. Dan Allah akan mengumpulkan orang-orang kafir serta orang munafik dalam satu tempat yang sama yaitu neraka Jahannam.

Pada intinya, ayat ini ingin mengingatkan kita tentang beberapa pesan penting :

1. Ikut dalam perkumpulan maksiat sama halnya dalam ikut berbuat maksiat, walaupun ia tidak melakukannya namun ia hanya ikut duduk diam di tengah-tengah mereka. Karena kehadiran di tengah perkumpulan itu adalah tanda bahwa ia rela dengan kemaksiatan yang dilakukan didalamnya.

2. Jika tidak mampu melarang secara langsung, maka tugas kita adalah menyatakan sikap tidak setuju dengan tidak menghadiri perkumpulan maksiat tersebut.

3. Orang yang datang ke peekumpulan maksiat walau ia hanya diam saja dan tidak melakukan kemaksiatan seperti yang lain, maka ia juga akan mendapatkan dosa dan balasan seperti yang berbuat maksiat.

4. Tidak ada larangan kita untuk bergaul dan berkumpul dengan saudara yang berbeda agama, asalkan didalamnya tidak ada pembicaraan yang merendahkan dan mengolok-olok Al-Qur’an.

5. Tidak berani bersikap dihadapan perkumpulan maksiat adalah tanda kemunafikan. Seorang muslim sejati harus punya sikap yang jelas dalam urusan ini. Khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan merendahkan Al-Qur’an. Bila tidak bisa menegur secara langsung maka sikap tidak setuju dengan tidak datang ke perkumpulan itu adalah bukti keimanan.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Adakah Batasan Keuntungan Dalam Jual Beli?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah keuntungan dalam jual beli memiliki batasan tertentu?

Jawaban:

Keuntungan dalam jual beli tidak memiliki batasan tertentu selama seluruh pasar memiliki harga yang sama-sama naik. Misalkan seseorang membeli barang dengan harga 100, kemudian harga barangnya naik menjadi 200, lalu dia menjualnya dengan harga 200 tersebut, maka dia mendapat keuntungan 100%.

Adapun jika dia menaikkan harga barang pada saat harga barang di pasar tidak mengalami perubahan, dan dia berniat merugikan banyak orang, atau dia menambah harga dengan sebab pembelinya termasuk orang yang bisa ditipu karena tidak mengetahui harga-harga, maka dalam kondisi-kondisi tersebut hukumnya adalah haram dan tidak halal baginya menjual lebih besar dari harga yang biasa penjual pasar menjualnya.

Sebagian penjual mengatakan: “Seandainya jika aku menyebutkan harga barang dengan harga pasar kepada pembeli, kemudian pasti si pembeli menawar untuk mengurangi harga barangnya.” Maka kita katakan, tidak mengapa engkau menambah harga jualnya, namun dengan syarat sebelumnya engkau memang menduga pembeli tersebut akan menawar untuk mengurangi harga kepadamu. Namun jika engkau menyangka bahwa pembeli biasanya tidak akan menawar untuk mengurangi harga, maka harus engkau katakan kepadanya dengan harga yang berlaku di pasar.

Contohnya, jika ada seorang yang membeli barang anda dengan harga yang berlaku di pasar yaitu sebesar 100. Namun engkau katakan harganya 120, dengan sangkaan bahwa dia si pembeli akan meminta pengurangan harga hingga mencapai harga 100. Akan tetapi si pembeli rupanya tidak meminta pengurangan harga dan menerima harga 120 tersebut, maka dalam hal ini wajib bagi engkau si penjual untuk mengatakan kepadanya: “sabarlah, saya mengatakan kepada engkau dengan harga 120 dikarenakan saya menyangka engkau seperti kebanyakan orang yang meminta untuk pengurangan harga. Namun selama engkau tidak meminta pengurangan harga, maka harga sebenarnya adalah 100”. Tidak mengapa engkau mengatakan demikian, bisa jadi ini menjadi bukti akan kejujuranmu dalam bermuamalah dengan masyarakat. Dalil tentang sikap jujur dalam berjual beli ini terdapat dalam hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

البيعان بالخيار فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما

“Pembeli dan penjual berhak untuk membatalkan perjanjian mereka. Apabila keduanya jujur dan berterus terang dalam jual beli, maka jual beli keduanya akan diberkahi. Tetapi apabila keduanya berdusta dan menyembunyikan, maka akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka” (HR. Bukhari & Muslim).

Sumber: Fatawa Nurun ‘alad Darbi (16/2) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Artikel: Muslim.or.id