Nafsu Terpuji yang Bermuara kepada Surga Abadi Allah SWT

Alquran menyebutkan tentang keberadaan nafsu yang senantiasa mengajak kepada kemaksiatan. Namun ada juga nafsu yang dapat tunduk dan dapat dikendalikan bagi orang-orang taat kepada Allah SWT.  

Ibnu Hasan Bisry At’Turjani dalam bukunya. “Hamba-hamba yang Diselamatkan Dari Tipudaya Musuhnya” menuliskan, nafsu yang mengajak kepada ketaatan itu ada tiga yaitu sebagai berikut: 

Pertama an-Nafsul Muthmainnah, Kedua, an-nafsul radhiyah, dan ketiga an-nafsul mardhiyah. Ketiga nafsu tersebut hendaknya dipelihara dan dijaga agar tidak terkontaminasi dengan nafsu-nafsu yang terdahulu yang senantiasa mengajak keburukan.

Sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya Allah SWT menamakan hari pertama itu dengan hari Ahad, karena pada hari itulah Dia memulai menciptakan segala sesuatu.” 

Allah SWT berfirman, “Hari Ahad adalah hari pertama, sebelumnya tidak ada sesuatu apapun selain Tuhanmu. La Ilaha Illallah Al Malikul Haqqul Mubin yang artinya “Tidaklah kecintaan itu melainkan bagi kekasih pertama.”

Kekasih pertama itu adalah Allah SWT. Dan engkau telah memindahkan rasa cintamu itu kepada ibu, kepada ayah dan kepada yang lainnya seperti kepada anak-anak, istri dan harta benda.  

Jika engkau meninggal, maka akan terputuslah kecintaan itu dari hatimu dan terputus pula kecintaan mereka kepadamu. Maka berkatalah Allah SWT:

“Wahai hambaku, Aku adalah kekasihmu yang pertama, engkau cintai Aku pada hari perjanjian. Sekarang, setiap cinta telah meninggalkanmu, sedangkan Aku menghubungkanmu, maka kembalilah kepada Ku maka Aku memuliakan engkau dengan kemuliaan pencinta.” Allah SWT berfirman dalam surat Al-Fajr ayat 27-30: 

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي  وَادْخُلِي جَنَّتِي “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.”

Itulah nafsu yang telah patuh dan dapat dikendalikan, maka berbahagialah orang-orang diberi kekuatan oleh Allah dalam hal mampu menekan hawa nafsunya. Sebagaimana pernah terjadi di kalangan para sahabat ra. Merekalah orang-orang yang sukses di dunia dan akhirat kelak karena Allah SWT memberi ampunan dan keridhaan-Nya.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Menolak Legalisasi Miras Demi Kemaslahatan Bangsa

BELAKANGAN ini ada meme beredar di media sosial yang unik untuk dikupas sebab masih terkait dengan isu yang sedang viral di republik ini, yakni legalisasi Miras oleh Pemerintah. Di dalam meme tersebut ada setidaknya lima komparasi masing-masing sila Pancasila dan korelasinya terhadap miras.

Kenapa Pancasila yang dipakai, menurut hemat penulis mungkin karena si pemegang kebijakan yang melegalkan miras selama ini selalu mendaku dan didaulat oleh para pendukung fanatiknya sebagai kelompok paling Pancasilais.

Dalam meme itu sila pertama ketuhanan yang maha esa coba dihubungkan dengan miras. Apakah mungkin miras sesuai dengan tauhid sebagai pengejawantahan dari ketuhanan yang maha esa, secara gamblang tentu sangat bertolak belakang.

Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Apakah miras sesuai dengan prinsip adil dan beradab serta bermanfaat bagi kemanusiaan, jelas sangat bertentangan.

Allah SWT berfirman,  “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan Syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90).

Sila ketiga, persatuan Indonesia. Bisakah miras membuat elemen bangsa yang didominasi orang beragama Islam ini bersatu, tentu tidak mungkin.

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Baqarah; 42).

Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Bisakah miras dihubungkan dengan sila keempat ini, jawabannya mudah saja, bisakah orang mabuk diajak berbicara secara normal. Apalagi diajak bermusyawarah atau dipilih sebagai wakil kita dalam suatu keperluan. Akal waras tentu sudah bisa menjawabnya.

Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mungkinkah dengan melegalkan miras akan tercipta keadilan sosial di tengah masyarakat atau malah akan terjadi kekacauan sosial. Entah itu kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, tawuran, atau pemerkosaan.

Seperti yang baru-baru ini terjadi di sebuah kafe di Cengkareng Jakarta Barat, dimana ada polisi “koboi” yang mabuk dan menembak mati tiga orang yang salah satunya adalah anggota TNI. Apa pemicu kejadian itu, tidak ada lain selain miras.

Kantor berita Antara menulis, miras adalah penyebab terbesar kecelakaan lalu lintas di Papua.   Miras juga faktor dominan biang kerok kecelakaan di NTT.

Ingat pula kasus fenomenal kecelakaan di Tugu Tani Jakarta pada 22 Januari 2012 silam. Pengemudi bernama Afriyani Susanti yang menabrak 12 pejalan kaki diketahui sedang berada dibawah pengaruh narkoba dan miras.

Lalu ada pula kasus Wakil Bupati Yalimo Erdi Dabi yang terlibat kecelakaan hingga menewaskan seorang polisi wanita (polwan) di Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua, Rabu (16/9/2020), itu juga diduga kuat dikarenakan miras.

Melihat betapa bahayanya dampak dari miras, wajar saja pada 2017 silam, Gubernur Papua Lukas Enembe mengeluarkan pernyataan yang menyebut sebanyak 22 persen kematian di Tanah Papua disebabkan konsumsi minuman keras (miras). Hal itu membuat miras jadi salah satu penyebab terkikisnya populasi penduduk asli Papua selain penyakit-penyakit di daerah tersebut.

Laporan Polda Papua ternyata membenarkan asumsi tersebut. Data yang dilansir pada 2019 menyimpulkan bahwa 1.485 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 277 warga meninggal sebagian besar terjadi didahului konsumsi miras. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) Papua juga melansir bahwa minuman keras menjadi pemicu utama kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di berbagai daerah di Papua.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilansir Kementerian Kesehatan menunjukkan rerata konsumsi alkohol di Papua memang paling tinggi se-Indonesia. Angkanya 9,9 poin per bulan dibandingkan rerata nasional yakni 5,4 poin per bulan.

Fakta itulah yang membuat Pemprov Papua mengeluarkan peraturan daerah otonomi khusus pada 2013 untuk menanggulangi miras. Meski regulasi tersebut digugat di pengadilan, Pemprov Papua terus melakukan penertiban merujuk perda tersebut.

Gubernur Papua juga sempat mengancam akan membakar toko-toko yang masih berjualan miras. “Makanya saya harap mulai hari ini para penjual ini dikasih tahu. Sebab kita ingin selamatkan orang Papua yang sudah banyak mati karena barang haram ini,” ujar dia beberapa waktu lalu.(https://www.republika.co.id/amp/qp6fm7393).

Tak heran, saat pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang menetapkan Papua sebagai salah satu wilayah tempat miras alias minuman beralkohol boleh diproduksi secara terbuka banyak pihak yang terkejut.

Di saat berbagai elemen masyarakat Papua lintas agama, tokoh adat dan pejabat setempat sibuk memerangi miras demi menjaga keberlangsungan generasi Papua, pemerintah pusat malah melakukan hal yang sebaliknya. Apakah hanya demi ambisi investasi ekonomi harus dengan mengorbankan nyawa anak bangsa sendiri dan melanggar norma agama, adat, etika dan moral? Tentu bagi siapapun yang mendaku sebagai Pancasilais sejati tidak akan mungkin melakukannya.

Khamr  dalam Pandangan Islam

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ وَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ مِنْهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِىَ فِى بَطْنِهِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ». وَاللَّفْظُ لأَبِى عُمَرَ الْقَاضِى.

“Rasulullah ﷺ bersabda, “Khamr  itu adalah induk keburukan (Ummul Khobaits) dan barangsiapa meminumnya maka Allah tidak menerima shalatnya 40 hari. Maka apabila ia mati sedang Khamr  itu ada di dalam perutnya maka ia mati dalam keadaan bangkai jahiliyah.” (HR Ath-Thabrani, Ad-Daraquthni dan lainnya)

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Khamr  adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum Khamr , ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya dan saudari ayahnya (HR ath-Thabrani).

Bahaya miras juga telah diingatkan oleh salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ, Sayyidina Utsman bin Affan Radiyallahu Anhu. Diriwayatkan, suatu ketika Utsman sedang menyampaikan khotbah sembari berpesan, “Waspadalah terhadap miras karena sesungguhnya miras merupakan induk segala perbuatan keji. Sungguh, pernah terjadi pada seorang pria saleh sebelum kalian dari kalangan ahli ibadah. Ia rajin beribadah ke masjid. Suatu ketika ia bertemu dengan seorang perempuan nakal.”

“Perempuan tersebut memerintahkan kepada pembantunya agar mempersilakan lelaki tersebut masuk ke dalam rumah. Kemudian pintunya dikunci rapat-rapat. Di sisi perempuan tersebut terdapat miras dan seorang bayi. kemudian perempuan tadi berkata, ‘Kamu tidak bisa keluar dari rumah ini sebelum engkau memilih minum segelas arak ini atau engkau berzina dengan aku, atau engkau membunuh bayi ini. Jika kamu tidak mau, maka saya akan berteriak dan saya katakan bahwa kamu ini memasuki rumahku. Siapa yang akan percaya kepadamu?’

Lelaki tersebut menjawab, “Saya tidak mau melakukan perbuatan keji (berzina) atau pun membunuh jiwa seseorang.” Akhirnya ia minum segelas miras. Demi Allah, ia menjadi mabuk sehingga ia pun berbuat zina dengan perempuan tersebut dan membunuh si bayi.

Utsman RA pun berpesan, “Jauhilah minum minuman keras, karena minuman keras merupakan induk segala perbuatan keji. Demi Allah, sungguh, iman dan minuman keras tidak akan bersatu di dalam hati seseorang melainkan hampir pasti salah satu di antaranya melenyapkan yang lain.”

Sebagai negeri Muslim terbesar di dunia tentu menjadi paradoks besar manakala induknya segala kejahatan dilegalkan. Apalagi jika pengesahan itu dilakukan oleh pemimpin yang didaulat sebagai orang yang agamis, dekat Ulama, Pancasilais, bahkan pernah dianggap mirip dengan karakter Umar Bin Khattab yang tegas terhadap kemungkaran oleh para pendukung fanatiknya.

Dan anomali negeri Pancasila ini akan kian menjadi-jadi manakala jajaran pendamping dan anggota partai pendukung termasuk badan pembina ideologi negara yang selama ini banyak diisi oleh tokoh Kyai, Gus dan para agamawan ternyata memilih diam. Semoga para pemimpin negara diberi hidayah dan dibukakan nuraninya bahwa tidak ada kebaikan sama sekali dari barang haram itu.

Allah SWT berfirman,

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”(QS: Al-Baqarah : 219).

Manfaat melegalkan miras demi ekonomi negara yang sebenarnya bisa didapat dari sumber lain yang halal tidak akan mampu mengalahkan kerusakan besar yang ditimbulkannya. Dan yang paling berbahaya tentunya adalah murka dari Allah SWT.

Apalagi ketika bencana masih belum selesai menghantam negeri ini mulai dari banjir, gempa bumi, longsor, tsunami, gunung meletus dan Pandemi Covid-19. Bahkan perkara miras ini pernah menjadi wasilah diselamatkannya suatu negeri dari wabah Tha’un (seperti wabah Covid ini).

Kala wabah Tha’un n menjangkiti Samarkand, banyak umat Islam di negeri itu yang wafat. Tiap harinya dimakamkan sekitar 5 atau 6 ribu jenazah Muslim. Semua orang sibuk siang dan malam memakamkan jenazah saudaranya. Lebih dari dua ribu rumah kosong karena penghuninya meninggal.

Sibth Ibnu Al Jauzi berkata, ”Dan seluruh manusia bertaubat. Orang-orang pun menyedekahkan banyak hartanya, banyak tinggal di masjid membaca Al Qur`an. Para wanita pun melakukan hal yang sama di rumah. Mereka juga membuang Khamr  dan merusak alat-alat musik. Setiap rumah yang terdapat khamar di dalamnya, semuanya meninggal dalam satu malam. Ada seorang yang sekarat selama tujuh hari, kemudian ia mengisyaratkan agar membuang khamar yang ada di rumahnya, akhirnya ia pun sembuh dari sakitnya.” (Mir’ah Az Zaman, 19/ 12-14).

Mumpung masih ada waktu sebaiknya legalisasi itu dibatalkan saja agar murka Allah tidak jadi datang ke negeri ini. Dan lebih-lebih bisa jadi wasilah negeri ini lekas dientaskan dari pandemi wabah ini. Wallahu A’lam Bis Showab.*

Oleh: Muhammad Syafii Kudo, Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan

HIDAYATULLAH

Mengapa Orang Pintar Agama Bisa Tersesat?

Dalam berbagai forum pengajian, banyak jamaah yang bertanya, mengapa ada orang-orang pintar ilmu agama tetapi bisa tersesat? Mengapa ada orang-orang yang melecehkan al-Quran, menolak syariat Allah, dan bahkan yang menghalalkan perkawinan sesama jenis (homo dan lesbian), adalah orang-orang yang dikenal pintar ilmu agama? Ada apa dengan mereka?

Untuk menjawab itu, ada baiknya kita memperhatikan sejumlah ayat al-Quran yang artinya sebagai berikut:

وَاتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَاَ الَّذِىۡۤ اٰتَيۡنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنۡهَا فَاَتۡبَعَهُ الشَّيۡطٰنُ فَكَانَ مِنَ الۡغٰوِيۡنَ

وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰهُ بِهَا وَلٰـكِنَّهٗۤ اَخۡلَدَ اِلَى الۡاَرۡضِ وَاتَّبَعَ هَوٰٮهُ‌ ۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الۡـكَلۡبِ‌ ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ اَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَث ‌ؕ ذٰ لِكَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِيۡنَ كَذَّبُوۡا بِاٰيٰتِنَا‌ ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُوۡنَ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan, maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya), tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS: al-A’raf:175-176).

Ayat ini menjelaskan orang-orang yang sebenarnya sudah menerima ayat-ayat Allah, sudah memahaminya, tetapi dengan sengaja dia meninggalkan semua kebenaran itu. Faktor-faktor duniawi, hawa nafsu, menjadi pendorong untuk meninggalkan kebenaran.

Cara melepas kebenaran adalah laksana ular yang melepas kulitnya, dan menggantinya dengan yang baru. Kebenaran yang selama ini dia terima, seperti tidak berbekas sama sekali. Dia lebih memilih hawa nafsunya, lebih memilih kenikmatan dunia – harta, tahta, popularitas, dan sebagainya — ketimbang memilih kebenaran dan keselamatan akhirat.

Al-Quran menyebut, bahwa manusia-manusia jenis ini adalah laksana anjing, yang selalu menjulur-julurkan lidahnya. Para pemuja nafsu dunia ini memang akan tertutup hatinya dari kebenaran. Meskipun berbagai hujjah ditunjukkan pada mereka. Namun, hawa nafsu telah membutakan mata hatinya. Allah menjelaskan tentang manusia-manusia pemuja hawa nafsu semacam ini:

”Maka pernahkah kamu melihat orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah menyesatkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan penghalang atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberi petunjuk sesudah Allah. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia ini saja; kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain waktu, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai ilmu tentang itu; mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan dari mereka selain mengatakan: Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar.”  (QS: al-Jaatsiyah:23-25).

Namun, orang-orang yang tersesat bukan hanya karena soal hawa nafsu. Ada juga yang tersesat karena ketiadaan ilmu.

“Akankah kami beritakan tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya. Yaitu orang-orang yang sesat amalnya di dunia, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan perjumpaan dengan-Nya, maka hapuslah amal perbuatannya, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amal) mereka pada Hari Kiamat.” (QS: al-Kahfi:103-105).

Manusia-manusia jenis ini tersesat karena tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar; mana yang iman dan mana yang kufur; mana tauhid dan mana syirik, mana al-ma’ruf dan mana al-munkar. Akibat kebodohannya itulah, maka seseorang bisa tersesat. Karena itulah, manusia diperintahkan untuk mencari ilmu, agar tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ilmu adalah cahaya, dan kebodohan adalah kegelapan. Tanpa cahaya, manusia tidak dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Rasulullah ﷺ mengingatkan: “Termasuk diantara perkara yang  aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Orang pintar bisa saja keliru! Apalagi orang bodoh, tetapi merasa pandai. Tidak tahu tetapi merasa tahu. Sebenarnya dia tidak memahami agama dengan baik. Dia sudah dijangkiti sikap sombong, tidak tahu diri, sehingga enggan bertanya kepada orang yang alim.

Atau, jika ia pintar, tetapi tidak tahu diri. Mungkin dia merasa sebagai seorang mujtahid, dan kemudian merasa mampu menafsirkan al-Quran dengan semaunya sendiri. Padahal, ilmunya dalam bidang syariah Islam sangat jauh dari memadai. Dia belum pernah menulis satu kitab pun tentang ushul fiqih, tetapi sudah berani mencerca Imam asy-Syafii.

Saat ini, tidak sedikit yang merasa lebih hebat dari para ulama mazhab, hanya karena sudah mendapat gelar doktor atau profesor dalam bidang politik, sejarah, pendidikan, dan sebagainya. Padahal, ilmu agamanya masih jauh dari memadai jika dibandingkan dengan para ulama tersebut. Sayangnya, para profesor ini tidak mau belajar; dan tidak mau mengakui kelemahan ilmunya. Fenomena semacam inilah yang bisa dikatakan sebagai ”sikap tidak tahu diri”.

Untuk itu, agar kita selamat dunia dan akhirat, maka perlu sikap ”tahu diri”. Perlu tahu adab dalam keilmuan. Jika tidak tahu satu bidang tertentu, apakah ilmu tafsir, ilmu hadits, ushul fiqih, dan sebagainya, maka sebaiknya kita tidak jumawa untuk bertanya dan merujuk kepada para ahlinya.

Jika tidak tahu masalah fiqih, maka tidak semestinya kita mengeluarkan fatwa tanpa merujuk kepada para ahlinya. Dengan cara itulah, kita senantiasa belajar, dan ilmu kita pun – Insyaallah – akan terus bertambah dan menjadi ilmu yang bermanfaat. Dengan sikap beradab seperti itu, insyaAllah, kita tidak tersesat; selamat dunia akhirat. (Depok, 18 Februari 2021).*

Oleh: Adian Husaini  , Penulis pengasuh PP Attaqwa College (ATCO), Depok

HIDAYATULLAH

Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 5)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 4).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada artikel sebelumnya telah kami jelaskan beberapa poin tentang sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman, diantaranya: (1) memantulkan rupa dengan tampilan yang halus; (2) menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya; (3) jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”; (4) menampakkan aibmu yang sulit kamu ketahui; (5) menampakkan rupamu sendiri.

Pada artikel ini insyaallah akan kami jelaskan lanjutan dari sikap mukmin terhadap saudaranya seiman yang terakhir, diantaranya: (6) hanya menampakkan bagian tubuh yang ada di hadapan cermin saja; (7) menampakkan segala sesuatu yang berada di depannya.

Setelah itu akan kami jelaskan sikap seorang mukmin yang menerima nasihat dari saudaranya yang seiman. Simak penjelasan berikut ini.

(Lanjutan) sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Keenam, hanya menampakkan bagian tubuh yang ada di hadapan cermin saja

Diantara sifat cermin adalah hanya menampakkan bagian tubuh yang langsung ada dihadapannya dan tidak menampakkan anggota tubuh yang ada dibalik baju, demikian pula seorang mukmin terhadap saudaranya.

Apabila anda bercermin, maka aib tubuhmu yang tertutupi baju tidaklah nampak pada cermin, karena cermin hanya  menampakkan bagian tubuh yang langsung ada dihadapannya. Cermin tidak mampu menampakkan sesuatu yang tersembunyi atau tertutupi benda lainnya.

Demikianlah seorang mukmin dalam menasihati saudaranya, hanya menyampaikan sesuatu yang nampak padanya saja (zahir), ia tidak menyampaikan isi batin atau isi hati saudaranya, karena hal itu adalah perkara yang ia tidak mengetahuinya.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Usamah Radhiyallahu ‘anhu yang membunuh seseorang yang zahir lisannya telah mengucapkan la ilaha illallah,

أقالَ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وقَتَلْتَهُ؟

“Apakah ia mengucapkan la ilaha illallah, namun masih saja engkau membunuhnya?”

Dan tatkala Usamah menyampaikan alasannya bahwa ia telah menilai hati orang yang dibunuh itu dengan mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Wahai Rasulullah, ia mengucapkannya hanyalah karena (hatinya) takut (dipancung) dengan pedang.”

Lalu mendengar alasan Usamah bahwa ia menilai batin orang tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegurnya,

أفَلا شَقَقْتَ عن قَلْبِهِ حتَّى تَعْلَمَ أقالَها أمْ لا؟

“Sudahkah engkau membelah dadanya hingga engkau tahu apakah ia benar-benar mengucapkannya (dengan ikhlas) atau tidak?”

Oleh karena itu, hendaklah seorang mukmin dalam menasihati saudaranya hanya menilai sesuatu yang zahir saja, dan meninggalkan sesuatu yang ada dalam hatinya atau tersembunyi yang ia tidak mengetahuinya.

Ketujuh, menampakkan segala sesuatu yang berada di depannya

Diantara sifat cermin adalah menampakkan segala sesuatu yang berada didepannya, baik aib maupun kebagusannya, demikian pula seorang mukmin terhadap saudaranya.

Seorang yang bercermin itu melihat kebaikan maupun aib yang ada di wajahnya, karena cermin itu menampakkan semua yang berada didepannya.

Demikianlah seorang mukmin menjadi cermin bagi saudaranya, tidak hanya melihat kesalahan dan aib saudaranya saja lalu meluruskannya, namun juga memperhatikan kebaikan saudaranya lalu menyemangatinya, mendukungnya, membantunya, dan memudahkannya.

Didalamnya juga terdapat isyarat, apabila seorang mukmin akan menasihati saudaranya, maka diantara cara bijak adalah ia melihat kebaikan-kebaikannya, lalu ia sebutkan kebaikannya tersebut sebelum meluruskan kesalahan atau aib-aibnya.

Karena meluruskan kesalahan itu sejenis kritikan, maka orang yang dikritik perlu dipermudah agar bisa menerima kritikan dengan cara mengingatkan kebaikan-kebaikannya terlebih dahulu.

Apalagi sebagian orang bertipe perasa, suka bawa perasaan, dan mudah tersinggung, sehingga biasanya ia berat menerima nasihat dan kritikan.

Maka janganlah menggabungkan antara dua perkara yang berat padanya, yaitu nasihat meluruskan kesalahannya dan cara menasihati dengan hanya menyebutkan kesalahannya saja padahal kondisi menuntut untuk disebutkan kebaikannya [1].

Sikap seorang mukmin yang dinasihati oleh saudaranya yang seiman

Dalam hadis “cermin” yang agung di atas,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

“seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya”

terdapat faedah ditinjau dari sikap seorang mukmin yang dinasihati oleh saudaranya yang seiman, yaitu: diantara sifat cermin adalah ia memantulkan gambar sesuatu dengan jujur sesuai aslinya, sehingga hasil pantulannya dapat dipercaya, demikian pula seorang mukmin yang dinasihati oleh saudaranya seiman.

Apabila seorang yang beriman menasihati kita dengan menunjukkan aib kita dengan apa adanya, maka segera kita terima nasihatnya dengan lapang dada dan segera kita berusaha memperbaiki diri, karena kita tahu dia jujur dalam “memantulkan” aib kita atas dasar cinta dan kasih sayang karena Allah, tidak menambahi maupun menguranginya.

Maka semestinyalah kita yang dinasihati tidak marah kepadanya, tidak mencelanya dan tidak meresponnya dengan respon yang tidak pantas. Namun justru kita terima dengan lapang dada sebagaimana orang yang bercermin berlapang dada dalam menerima gambar dirinya yang kotor wajah saat bercermin. Ia tidak marah kepada cermin, bahkan tidak “buruk muka, cermin di belah!”.

Sebuah ucapan yang masyhur dari Umar Bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu,

رحم الله أمرأ أهدى إلي عيوبي

“Semoga Allah merahmati orang yang memberi hadiah kepadaku berupa (memberitahu) aibku.”

Dari sini dapat kita ketahui bahwa Umar Bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berprasangka baik kepada orang yang menasihatinya dan menilai nasihat yang diberikan kepadanya itu sebagai hadiah untuknya.

Bahkan selayaknyalah kita meminta saudaranya untuk menasihati dengan menunjukkan kesalahan diri kita, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim Rahimahullah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa diantara enam hak seorang muslim atas muslim lainnya adalah,

وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ

“… dan jika ia meminta dinasihati, maka nasihatilah ….”

Apabila anda mendapatkan seorang mukmin yang jujur, suka menasihati, nampak tanda keikhlasannya, lalu sedang menasihati anda, maka sebenarnya ketika itu anda mendapatkan seorang yang sedang beribadah kepada Allah dengan ibadah menasihati anda, maka bersabarlah dengan kesabaran yang besar, sebagaimana Allah berfirman kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah engkau bersama-sama dengan orang-orang yang beribadah kepada Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini, dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS. Al-Kahfi: 28).

Wallahu a’lam, allhamdulillahilladzi bini’matihi tatimushaalihaat.

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Seorang Mukmin Tidak Akan Puas Sebelum Bertemu dengan Allah

Allah Swt Berfirman :

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS.Al-Kahfi:110)

“Pertemuan” dengan Allah sejatinya akan terjadi setelah kematian, yaitu di hari akhir disaat manusia harus menghadapi Hari Perhitungan dan menerima hasil perbuatannya.

Karena di hari itu, setiap manusia akan menemui hasil sesuai dengan amal perbuatannya. Allah Swt berfirman :

يَوۡمَ تَجِدُ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا عَمِلَتۡ مِنۡ خَيۡرٖ مُّحۡضَرٗا وَمَا عَمِلَتۡ مِن سُوٓءٖ

“(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan.” (QS.Ali ‘Imran:30)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدۡحٗا فَمُلَٰقِيهِ

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya.” (QS.Al-Insyiqaq:6)

Dan masih banyak lagi ayat yang berbicara tentang hari kiamat dan “pertemuan dengan Allah”.

Lalu pertanyaannya, “Bagaimana dengan sebelum kematian dan sebelum hari kiamat? Apakah ada “pertemuan” dengan Allah?”

Jawabannya adalah : “Ada !”

Sholat adalah “pertemuan” dengan Allah.

Munajat adalah “pertemuan” dengan Allah.

Dzikir adalah “pertemuan” dengan Allah.

Tafakkur adalah “pertemuan” dengan Allah.

Sedekah adalah “pertemuan” dengan Allah.

Membaca Al-Qur’an adalah “pertemuan” dengan Allah.

Berbakti kepada orang tua adalah “pertemuan” dengan Allah.

Bangun ditengah malam untuk beribadah adalah “pertemuan” dengan Allah.

Menolong orang yang teraniaya adalah “pertemuan” dengan Allah.

Memberi makan orang yang lapar adalah “pertemuan” dengan Allah.

Dan setiap amal perbuatan yang ditujukan untuk Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah “pertemuan” dengan-Nya.

Lalu apakah kita sadar berapa banyak waktu “pertemuan” dengan Allah Swt yang kita lewatkan ? Pernahkah kita memberi perhatian untuk hal ini ?

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

5 Golongan yang Dibenci dan Dilaknat Malaikat

Terdapat sejumlah golongan umat Islam yang dilaknat malaikat

Rasulullah SAW memberitahukan informasi bahwa sesungguhnya kebencian kepada Allah SWT adalah hal yang merantai manusia akibat menanggalkan keimanan. Sedangkan iman malaikat selalu konsisten, maka tak heran jika malaikat melaknat dan membenci golongan-golongan manusia tertentu.

Dilansir di Islamweb, Kamis (4/3), tak diragukan lagi bahwa atas keimanan yang konsisten maka malaikat dapat melaknat manusia atau menjatuhkan laknatnya terhadap golongan tertentu, sehingga tidak semua keturunan Nabi Adam dikutuk dan dilaknat malaikat. Namun demikian untuk dapat melaknat manusia tertentu, para malaikat meminta izin terlebih dahulu kepada Allah dan diterima.

Pertama, para malaikat mengutuk orang yang menyembunyikan pengetahuan dan hukum syariat. Yakni apa yang disampaikan bagi para ahli ilmu dan hukum berkebalikan dengan apa yang ada dalam syariat. Allah SWT berfirman dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 159: 

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

“Innalladzina yaktumuna maa anzalna minal-bayyinaati wal-huda min ba’di maa bayyannahu linnasi fil-kitaabi. Ulaika yal’anuhumullahu wa yal-anuhumulla’inuna.”

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” 

Dijelaskan bahwa ayat tersebut berisi tentang peringatan atas janji Allah yang tegas dan pasti kepada orang-orang yang menyembunyikan yang hak atas syariat. Orang-orang yang berpengetahuan tidak boleh melakukan penyimpangan atas ilmu yang ia miliki.

Kedua, malaikat melaknat orang-orang yang mengutuk/menista sahabat Nabi. Sebab para sahabat Nabi adalah orang-orang yang mendapatkan keridhaan Allah SWT sebab Nabi SAW sangat ridha akan mereka.

Para sahabat Nabi adalah murid-murid Nabi. Sehingga Allah memuji mereka dalam Alquran, dan memberikan pujian terhada mereka. 

Para sahabat digambarkan sebagai golongan orang yang paling terdepan dalam membela Nabi dan tangguh menemani dakwah Islam melawan orang-orang kafir.

 وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Wassabiqunal-awwaluna minal-muhaajirina wal-anshari walladzina hum bi-ihsaanin radhiyallahu anhum wa radhu anhu wa a-adda lahum jannatin tajri tahtahal-anhaaru khaalidina fiiha abadan, dzalikal-fauzul-azhimu.” 

Yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya, itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah: 100)  

Ketiga, para malaikat melaknat orang yang berbuat kemungkaran. Berbuat kemungkaran jelas dilarang dalam Islam, dan malaikat membenci ini jika dilakukan manusia.

Nabi Muhammad bahkan mengingatkan dalam sebuah hadis tentang laknat dari malaikat kepada golongan ini:

عن أنس رضي الله عنه، أن النبي -صلى الله عليه وسلم-، قال: (من أحدَثَ حَدَثاً فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين) 

“Man ahdatsa fiiha hadatsan aw awa muhditsan fa-alaihi la’natullaha wal-malaikati wannasi aj’main.” 

Yang artinya: “Barangsiapa yang berbuat kemungkaran yang dilarang agama di dalamnya, atau membantu orang berbuat bid’ah maka orang itu akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia,”. (HR Bukhari dari Anas bin Malik RA)

Keempat, malaikat melaknat orang Islam yang menusuk saudaranya dengan sepotong besi (saling membunuh). Dalam Islam, ukhuwah Islamiyah adalah ikatan yang kuat yang harus dipertahankan. Karena itu adalah tuntutan tertinggi sebagai bagian dari melestarikan akhlak luhur sebagai karakteristik Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah: 

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال أبو القاسم -صلى الله عليه وسلم-: (من أشار إلى أخيه بحديدة، فإن الملائكة تلعنه، حتى يدعه، وإن كان أخاه لأبيه وأمه) رواه مسلم

“Man asyaara ila akhihi bihadidatin fa-innal-malaaikata tal’anuhu hatta yada’ahu wa in kaana akhaahu li-abihi wa ummihi.” 

Yang artinya: “Barangsiapa yang menunjuk kepada saudaranya dengan sepotong besi, maka malaikat melaknatnya sampai ia menghentikan perbuatannya tersebut. Walalupun yang ia tunjuk adalah saudara kandung seayah dan seibu.” (HR Muslim) 

Hadits ini menjelaskan tentang beberapa orang yang saling mengangkat senjata untuk membunuh. Jelas perbuatan ini sangat merugikan, tak dibenarkan apalagi terhadap saudara seiman sendiri.

Kelima, malaikat mengutuk mereka yang mengahancurkan perjanjian. Salah satu sifat dan identitas seornag Muslim adalah bersikap amanah. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadits riwayat Anas bin Malik RA: 

عن أنس بن مالك رضي الله عنه حين قال: ما خطبنا نبي الله -صلى الله عليه وسلم- إلا قال: لا إيمان لمن لا أمانة له، ولا دين لمن لا عهد له “Laa imanan liman laa amaanata lahu wa laa dina liman laa ahda lahu”.

Yang artinya: “Tidak beriman bagi orang yang tidak amanah, dan tidaklah baginya agama bagi orang yang tidak bisa memegang janji.”

Sumber: islamweb  

KHAZANAH REPUBLIKA

Jejak Kopi dalam Penyebaran Islam

Saat ini kopi menjadi salah satu bahan minuman yang populer di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, yang merupakan salah satu produsen kopi dunia, dalam beberapa tahun belakangan tumbuh kultur kopi spesialitas sebagai variasi dari dominasi kultur kopi instan. Kopi single original sebagai konsumsi sehari-hari, serta nongkrong di kafe, sudah jadi bagian dari gaya hidup normal, terutama di kalangan anak muda.

Sepanjang sejarahnya, kopi banyak terlibat dalam berbagai peristiwa menarik di berbagai belahan dunia. Mulai dari peristiwa yang menimbulkan kegegeran, sampai kronik-kronik jenaka. Mulai dari kelompok agamawan hingga kalangan pedagang, punya cerita masing-masing dengan kopi.

Dalam historiografi penyebaran Islam, kopi juga punya tempat tersendiri. Kuatnya kultur ngopi di kalangan bangsa-bangsa Arab membuat kopi menjadi salah satu bekal para penjelajah pendakwah Islam. Sejarawan Mark Pendergrast dalam bukunya Uncommon Grounds, bahkan menyimpulkan bahwa kopi menyebar bersama Islam. Di mana ada Islam, di situ ada kopi.

Awal mula penemuan kopi sendiri sampai sekarang masih simpang-siur karena tidak ada bukti sejarah yang bisa dijadikan rujukan. Salah satu versi paling populer adalah cerita rakyat tentang Kaldi, bocah penggembala dari Etiopia yang melihat kambing-kambingnya menjadi energik setelah memakan buah-buahan serupa beri berwarna merah yang akan dikenal sebagai kopi. Yang pasti, sejak ditemukan popularitas kopi lekas meroket di kalangan masyarakat sekitar. Orang menyukai efek kesegaran yang diberikan buah berukuran mini tersebut.

Kontroversi pertama yang melibatkan kopi segera muncul. Kelompok agamawan curiga bahwa kopi adalah tipu daya setan untuk melenakan manusia. Meski begitu, ketika merasakan langsung efek kopi pada tubuhnya, kelompok agamawan malah menjadikan kopi sebagai logistik penting untuk praktik ibadah. Sebab kopi membantu mata mereka tetap melek ketika menjalankan ibadah malam, baik dengan cara dikonsumsi atau dibakar. Dari sinilah pintu masuk kopi dikenal dalam dunia Islam.

Ada dua versi tentang titimangsa awal manusia mengenal kopi, yakni abad ke-6 dan abad ke-9 M. Meski begitu sebuah riwayat yang dikutip Pendergrast mengisyaratkan bahwa pada era Nabi Muhammad (abad ke-6 sampai 7 M.), kopi sudah dikenal umum di kalangan masyarakat Mekah. Nabi bahkan disebutkan berkata bahwa kopi, “mengalahkan tenaga empat puluh lelaki dan mempengaruhi empat puluh perempuan”.

Sejarawan Reay Tannahill menyebut bahwa di Arab pada masa itu, umat Islam menyambut gembira kopi karena dianggap sebagai pengganti khamr, minuman keras yang mulai dilarang Islam. Karenanya di Arab buah kopi salah satunya disebut dengan qahwa, yang berarti minuman anggur, alias wine. Nama lain penyebutan kopi dalam leksikon masyarakat Arab adalah kaffa atau kafta, yang dipercaya menjadi asal dari kata kopi atau coffee sekarang. Selain itu ada juga yang menyebutnya sebagai quwwa dan bunn.

Di era selanjutnya ketika Islam mulai disebarkan ke luar Jazirah Arab, di wilayah Turki, negara-negara. Balkan, Spanyol, dan Afrika Utara, kopi dapat ditemukan bersama dengan masuknya pengaruh Islam. Kopi bahkan populer disebut sebagai “minuman Islam”. Dari penyebaran inilah nanti penduduk Eropa dan dunia mulai mengenal kopi.

Ilmuwan muslim Persia Al-Razi (abad 9-10 M) dipercaya sebagai orang pertama yang menyebut kopi dalam literatur. Ia mendaftar buah bunn dan minuman buncham dalam ensiklopedia berbagai bahan yang punya khasiat menyembuhkan penyakit. Sayangnya ensiklopedia ini telah musnah. Sementara ilmuwan Persia sesudahnya, Ibnu Sina (abad 10-11), pernah menyebut kopi punya khasiat menambah daya tahan tubuh, membersihkan kulit dan memberikan bau tubuh yang enak.

Meskipun kopi sudah demikian populer di berbagai belahan dunia, tapi sampai abad ke-15 M. tidak pernah ada bibit kopi yang menyebar ke luar Jazirah Arab. Pendergrast menyebut bahwa bangsa Arab yang paham berharganya komoditas ini, memonopoli produksi kopi dengan menjaga ketat kebun-kebun kopi dan hanya membolehkan penjualan buah atau biji kopi yang sudah diolah, agar tidak dijadikan bibit. Rencana tersebut berantakan karena ulah seorang jamaah haji asal India, Baba Budan.

Entah darimana dapatnya, Budan disebut menyelundupkan tujuh biji kopi segar di perutnya ketika selesai melakukan ibadah haji. Di kampungnya, Misore, India, ia sukses menumbuhkan pohon-pohon kopi. Dari sinilah monopoli bangsa Arab atas kopi perlahan-lahan runtuh. Atas “dosa” Baba Budan inilah sekarang kita bisa mendapatkan dan menikmati beragam jenis kopi dengan mudah.

Kalau kita sering mendengar ormas-ormas mengatasnamakan Islam yang kerap menggerebek tempat-tempat hiburan, jangan dianggap itu gejala yang cuma terjadi pada saat ini. Pada sekitar abad ke-15 M. praktek penggerebekan oleh sekelompok orang Islam juga melanda kedai kopi yang saat itu mulai tumbuh subur dan menjadi tempat nongkrong berbagai kalangan di Turki. Alasannya, mereka tidak rela kopi yang selama ini dikenal sebagai logistik ibadah, kini bercampur baur dengan segala aktivitas hiburan dan kesenangan duniawi.

Tapi sejarah membuktikan bahwa berbagai upaya memonopoli dan membatasi kopi pada akhirnya kalah juga. Bahkan para penguasa yang khawatir dan sempat melarang kedai-kedai kopi, lantaran kerap menjadi tempat berkumpul warga untuk bergosip politik, akhirnya mesti angkat tangan. Ini misalnya terjadi pada Khair-Beg, gubernur Mekkah pada abad 16 M.

Sebuah cerita kondang yang menarik, meski sulit dibuktikan kebenarannya, disebut terjadi pada abad ke-16 M di Eropa. Saat itu kopi masih dikenal sebagai “minuman Islam” dan penduduk Eropa baru mengenalnya. Sebagaimana beberapa kelompok dan pemuka Islam pernah mencoba menolak kopi karena menimbulkan kesenangan, di kalangan Kristen juga tumbuh kekhawatiran yang sama ketika popularitas kopi mulai melanda Eropa.

Para pemuka gereja pun menghadap Paus Clement VIII (abad 16-17 M.), membawa bukti kopi dan memintanya agar memfatwa haram “minuman setan” tersebut. Clement VIII memutuskan untuk mencicipinya sebelum menjatuhkan fatwa.

“Kenapa minuman ini lezat sekali?” kata Clement VIII begitu selesai menyeruput. “Sayang jika membiarkan orang Islam menguasainya sendiri. Kita mesti “menipu” setan dengan membaptis kopi”.

Dan hingga kini kopi terus bertahan dari zaman ke zaman.

BINCANG SYARIAH

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 4): Seputar Wudhu dan Tayammum

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 3): Najis dan Cara Menyucikannya.

Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan tentang macam-macam najis dan bagaimana cara menyucikan dari najis tersebut. Selanjutnya pada artikel ini kami akan membahas seputar wudhu dan tayamum.

Pembahasan tentang wudhu akan membahas tentang hal yang mewajibkan seseorang untuk berwudu, hal yang dianjurkan seseorang untuk berwudu.

Sedangkan untuk tayamum akan membahas terakit hukum tayamum, syarat sah tayamum, tata cara tayamum, hal yang membatalkan tayamum, cara bersuci jika tidak ada air dan debu, mendapati air setelah tayamum dan salat.

Simak penjelasan berikut ini.

Wudu

Wudu merupakan rukun salat yang apabila tidak dilakukan maka ibadah salat sama sekali tidak sah. Wudu memiliki keutamaan yang sangat banyak, seperti: tanda kemuliaan di hari kiamat [1], mendapatkan ampunan [2], jaminan surga [3], pembersihan dosa [4], dan meninggikan derajat [5].

Hal yang mewajiban berwudu

Terdapat tiga jenis ibadah yang dapat mewajibkan seseorang berwudu, yaitu: salat, tawaf, dan menyentuh mushaf Al-Quran.

Pertama: salat

Wudu sebelum melaksanakan salat baik fardu maupun sunah merupakan kewajiban yang bersifat mutlak, sebagiamana firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. al-Maidah: 6).

Kedua: tawaf di Baitullah

Sebelum melaksanakan tawaf di Baitullah ada kewajiban mutlak yang harus ditunaikan yakni berwudu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Aisyah Radhiallahu’anha,

“Kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh orang yang mengerjakan ibadah haji kecuali bertawaf di Baitullah hingga kamu bersuci” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tawaf di Baitullah disebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salat sehingga berwudu pun menjadi syarat sebelum berthawaf. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tawaf di Baitullah adalah salat …” (HR. an-Nasai dan at-Trmidzi).

Ketiga: menyentuh mushaf

Al-Quran merupakan mushaf yang berisi kalamullah yang patut untuk mendapatkan penghormatan tertinggi dari seorang hamba-Nya. Oleh karenanya, sebelum menyentuhnya untuk melantunkan kalamullah tersebut wajib bagi seorang muslim untuk berwudu terlebih dahulu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak ada yang boleh menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci (bersuci terlebih dahulu -pen.)” (HR. Malik, ad-Daraquthni dan al-Hakim, dari hadis ‘Amr bin Hazm dan Hakim bin Hizam serta Ibnu Umar Radhiallahu’anhum).

Hal disunahkan untuk berwudu

Syaikh As-Sa’di merangkum sepuluh keadaan yang karenanya disunahkan seseorang untuk berwudu [6] diantaranya,

a. Sebelum berzikir dan berdoa kepada Allah [7].
b. Wudu pada saat akan tidur [8].
c. Wudu setiap kali berhadas [9].
d. Wudu setiap kali salat [10].
e. Wudu setelah menunaikan fardhu kifayah (mengusung mayit) [11].
f. Wudu setelah muntah [12].
g. Wudu setelah mengonsumsi makanan yang tersentuh api [13].
h. Wudu bagi orang yang junub apabila hendak makan [14].
i. Wudu apabila hendak mengulangi hubungan badan [15].
j. Wudu bagi orang yang junub apabila hendak tidur sebelum mandi [16].

Tayamum

Tayamum merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala yang dilakukan dengan menggunakan debu bersih untuk mengusap wajah dan tangan dengan niat menghilangkan hadas bagi yang tidak mendaptkan air atau tidak bisa menggunakannya [17]. Tayamum disyariatkan apabila ada sebab seperti adanya halangan menggunakan air, baik dikarenakan ketiadaan air atau adanya bahaya apabila menggunakannya.

Hukum tayamum

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS. al- Maidah: 6).

Selain dalil Al-Quran, dalil-dalil sahih dari As-Sunnah pun banyak yang menjelaskan tentang syariat tayamum sebagai ganti dari berwudu dengan air sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Syarat sah tayamum

a. Apabila tidak menemui air [18].
b. Tayamum pada bagian yang tidak terkena air [19].
c. Kemungkinan bahaya apabila menggunakan air [20].
d. Adanya halangan syar’i untuk mendapatkan air [21].

Tata cara tayamum

a. Berniat di dalam hati [22].
b. Membaca “bismillah” [23].
c. Menepukkan kedua telapak tangan ke debu yaang suci dengan sekali tepukan kemudian mengusapkan kedua telapak tangan tersebut ke wajah [24].
d. Mengusap kedua tangan dari ujung jari hingga pergelangan tangan [25].

Hal yang membatalkan tayamum

a. Semua sebab yang membatalkan wudu [26].
b. Adanya (ditemukannya) air untuk wudu [27].

Bersuci jika tidak ada air dan debu

Kita diwajibkan untuk bersuci dengan air. Bilamana ada sebab yang menghalangi kita menggunakan air -sebagaimana dijelaskan sebelumnya – maka boleh bertayammum dengan tanah yang suci. Namun demikian, apabila tidak mampu melakukan tayammum baik karena tidak adanya debu yang suci atau adanya sebab yang membahayakan jika kita menyentuh debu tersebut atau adanya halangan yang syar’i [28], maka gugurlah kwajiban taharah dan kita boleh mengerjakan salat dalam keadaan yang kita alami [29][30][31][32].

Menemukan air setelah bertayamum dan salat

Tidak perlu mengulangi salat apabila kita telah bertayamum dan telah melaksanakan salat meskipun masih ada waktu salat tersebut. Sebab seorang yang tidak mengulangi wudu dan salat sejatinya telah mengamalkan sunah sesuai dengan kamampuan. Namun, disisi lain tidak ada salahnya bagi orang yang mengulangi wudu kemudian salat sebab ia mendapakan pahala salatnya yang pertama (dengan tayamum) dan salatnya yang kedua (dengan wudu). Namun yang dimaksudkan disini adalah adanya upaya untuk menepati sunah [33].

Saudaraku, selaku umat muslim yang menginginkan pahala yang banyak dari Allah dengan melakukan ibadah yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu pengetahuan tentang wudu dan tayamum secara paripurna mesti kita kejar untuk mendapatkannya. Sebab dengan mengetahui celah-celah pahala yang bisa kita peroleh dari setiap ibadah wajib dan sunah maka insyaallah adalah anugerah yang sangat berharga yang tidak semua muslim bisa mendapatkannya, wallahu’a’lam bi as-shawab.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya serta mengikuti jejak petunjuk Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Bersambung]

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 4)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 3).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada artikel sebelumnya telah kami bahas sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman: (1) memantulkan rupa dengan tampilan yang halus; (2) menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya; (3) jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”.

Pada artikel ini akan kami lanjutkan penjelasan sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman: (4) menampakkan aibmu yang sulit kamu ketahui; (5) menampakkan rupamu sendiri. Simak penjelasan berikut ini.

(Lanjutan) sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Keempat, menampakkan aibmu yang sulit kamu ketahui

Anda bercermin saat anda ingin tahu apakah ada sesuatu yang tidak beres pada penampilan anda atau anda ingin memeriksa apakah penampilan anda sebaik yang anda harapkan.

Demikianlah manfaat cermin fisik, menampakkan sesuatu yang sulit atau anda sendiri tidak bisa mengetahuinya.

Maka demikian pula -dengan taufik Allah- status seorang mukmin sebagai cermin maknawi. Dia bisa melihat aib anda yang anda tidak merasanya dan tidak mengetahuinya [1]. Anda pun bisa melihat aibnya yang dia tidak mengetahuinya.

Tidak ada satupun diantara kita yang statusnya hanya menjadi orang penerima nasihat selamanya. Setiap kita tertuntut menasihati dan  perlu dinasihati.

Oleh karena itu, dalam sebuah hadis yang agung terdapat isyarat bahwa perlunya seorang mukmin meminta nasihat kepada saudaranya, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim Rahimahullah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ

“… dan jika ia meminta dinasihati, maka nasihatilah ….”

Kelima, menampakkan rupamu sendiri

Diantara sifat cermin adalah menampakkan gambarmu sendiri, dan bukan gambar orang lain, demikian pula seorang mukmin terhadap saudaranya. Kaum mukminin seperti satu tubuh, begitu sayangnya seorang mukmin kepada saudaranya.

Seorang mukmin dengan niat yang ikhlas menginginkan kebaikan untuk saudaranya, menyayanginya, menasihatinya dengan cara yang ia juga suka diperlakukan seperti itu, karena ia memperlakukan saudaranya seperti ia memperlakukan dirinya. Layaknya sebuah cermin menampakkan gambar diri anda, dan bukan gambar orang lain.

Banyak dalil yang menunjukkan bahwa kaum mukminin itu seperti satu tubuh dan satu jiwa.

Allah Ta’ala berfirman,

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا

“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri?” (QS. An-Nur: 12).

Dalam Tafsir Al-Baghawi Rahimahullah, maksud “ … tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri?” Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah menafsirkan,

“(Tidak berprasangka baik) terhadap orang yang beragama dengan agama mereka (kaum mukminin yang lainnya), karena kaum mukminin itu seperti satu jiwa.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian” (QS. An-Nisa: 29).

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah dalam Tafsir Al-Baghawi Rahimahullah menafsirkan,

“(Janganlah kalian membunuh) saudara-saudara kalian” maksudnya, “Wahai kaum mukminin, janganlah sebagian kalian membunuh sebagian kaum mukminin lainnya.”

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ

“Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi salam kepada ‘diri kalian sendiri’” (QS. An-Nur: 61).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir Rahimahullah, Said Bin Jubair, Al-Hasan Al-Bashri, Qotadah, dan Az-Zuhri Rahimahumullah menafsirkanhendaklah kalian memberi salam kepada ‘diri kalian sendiri’” sebagai,

“Hendaklah sebagian kalian memberi salam kepada sebagian (kaum mukminin) yang lain.” Maksudnya hendaklah sebagian kaum mukminin memberi salam kepada saudaranya yang seiman.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ

“Dan janganlah kalian suka mencela diri kalian sendiri” (QS. Al-Hujurat: 11).

Imam Mufassirin Ibnu Jarir Ath-Thabari Rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut,

“Allah menjadikan orang yang mencela saudaranya seperti orang yang mencela dirinya sendiri, karena kaum mukminin itu seperti satu orang dalam perkara yang harus dilakukan oleh sebagian mereka terhadap sebagian yang lainnya, berupa memperbaiki urusan saudaranya, mencari sesuatu untuk kebaikan saudaranya dan mencintai kebaikan  untuk saudaranya.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan, kasih sayang, dan belas kasih mereka bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggota tubuh yang terasa sakit, maka seluruh anggota tubuh lainnya ikut merasa tidak bisa tidur dan merasa demam (sakit juga)” (HR. Muslim Rahimahullah).

Wahai kaum mukminin, semangatlah anda menjadi cermin bagi saudara seiman anda, seolah-olah anda melihat dan memperlakukan diri anda sendiri.

Anda perbaiki kesalahannya dan anda ingatkan ketika ia lupa dengan kalimat terbaik, waktu yang paling tepat, serta metode menasihati yang termudah diterima olehnya, tanpa melanggar syariat Islam yang agung ini. Sebagaimana selayaknya anda suka diperlakukan seperti itu juga.

[Bersambung, insyaallah]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

10 Tips Agar Tegar Menghadapi Cobaan

  1. Sadarlah bahwa Anda tidak sendirian, ada Allah bersama Anda.
  2. Ingatlah bahwa di balik takdir Allah pasti ada hikmah yang indah.
  3. Tidak ada yang dapat memberi kebaikan dan menyelamatkan dari keburukan kecuali Allah, maka janganlah menggantungkan harapan kecuali kepadaNya.
  4. Apapun yang ditakdirkan menimpamu; ia tidak akan meleset darimu. Dan apapun yang ditakdirkan meleset darimu; ia tidak akan dapat menimpamu.
  5. Ketahuilah hakekat dunia, maka jiwa Anda akan menjadi tenang.
  6. Berbaik-sangkalah kepada Rabb Anda.
  7. Pilihan Allah untuk Anda, itu lebih baik daripada pilihan Anda untuk diri Anda sendiri.
  8. Cobaan yang semakin berat, menunjukkan pertolongan Allah semakin dekat.
  9. Jangan pikirkan bagaimana datangnya pertolongan Allah, karena jika Allah berkehendak, Dia akan mengaturnya yang cara yang tidak terlintas di akal manusia.
  10. Anda harus berdoa meminta kepada Allah, yang di tangan-Nya ada kunci-kunci kemenangan.

Kalau kita perhatikan, kebanyakan prinsip di atas mengaitkan kita dengan Allah ta’ala. Karena memang manusia itu makhluk lemah, dan dia tidak akan menjadi kuat kecuali jika mendapatkan suntikan kekuatan dari luar, dan tidak ada yang mampu memberikan kekuatan seperti Allah azza wajalla.

Dari sini, kita juga bisa memahami, mengapa semakin orang dekat dengan Allah, semakin kuat pula jiwanya.. dan mengapa semakin kuat akidah seseorang, semakin kuat pula kepribadiannya, wallohu a’lam.

Penulis: Ust. Musyafa Ad Darini

Artikel Muslim.Or.Id