Melihat Kegelisahan Manusia dalam Menghadapi Cobaan

Allah Swt berfirman :

أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱلۡفُلۡكَ تَجۡرِي فِي ٱلۡبَحۡرِ بِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ لِيُرِيَكُم مِّنۡ ءَايَٰتِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّكُلِّ صَبَّارٖ شَكُورٖ – وَإِذَا غَشِيَهُم مَّوۡجٞ كَٱلظُّلَلِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ فَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٞۚ وَمَا يَجۡحَدُ بِـَٔايَٰتِنَآ إِلَّا كُلُّ خَتَّارٖ كَفُورٖ

“Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur. Dan apabila mereka digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih.” (QS.Luqman:31-32)

Ayat di atas membicarakan tentang watak manusia ketika menghadapi bencana dan cobaan.

Manusia bisa berubah seketika disaat ia menghadapi sebuah cobaan ataupun bencana. Ia menjadi penuh ketakutan, gelisah dan memohon pertolongan. Ia ingin segera terlepas dari musibah ini bagaimanapun caranya. Disaat musibah ini semakin berat dan ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi, maka ia akan mencari pertolongan dan bantuan. Dan bagi seorang yang beriman, musibah ini akan menjadi titik ia kembali kepada Allah Swt.

Ia akan mengingat masa lalunya yang penuh dosa dan kesalahan, ia akan bertaubat, memohon ampun dan berharap agar semua musibah ini akan segera diangkat oleh Allah.

“Ya Allah wahai Tuhan kami, jika Engkau selamatkan kami dari musibah ini dan Engkau keluarkan kami dari cobaan yang berat dalam keadaan sehat dan selamat maka kami akan menyembah-Mu dengan benar dan tidak akan bermaksiat kepada-Mu.”

Begitulah ia selalu berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah Swt ketika berada dalam musibah dan bencana.

Tetapi manusia tetaplah manusia. Ketika musibah itu telah diangkat, kebanyakan dari mereka mengingkari semua janji dan sumpahnya dihadapan Allah. Ia kembali melakukan kemaksiatan dan lupa dengan ketaatan yang ia janjikan.

Kita pun mungkin pernah berada dalam kondisi semacam ini. Ketika terkena cobaan, kita bertaubat dan berjanji akan menjadi hamba yang sholeh dan ketika cobaan itu telah hilang, kita kembali menjadi manusia yang lalai.

Karena itu Al-Qur’an mengharapkan kita memiliki iman yang kuat kepada Allah Swt. Dalam kondisi senang maupun susah!

Dalam kondisi tenang,aman,tentram dan memiliki segalanya, siapa yang menjamin Allah tidak akan mencabut semua kenikmatan itu dalam sekejap jika Allah menghendaki?

Sebagaimana kita membutuhkan Allah dan selalu memohon dengan penuh kepasrahan saat kita sedang susah, begitu juga kita membutuhkan Allah saat kita dalam kenikmatan dan kesenangan agar Allah menjaganya dan tidak mencabutnya.

Hari-hari itu ada ditangan Allah. Hari ini kau berada di atas, mungkin besok engkau berada dibawah. Karena itu Allah ingin agar manusia bergantung kepada Allah dalam kondisi senang maupun susah.

Maka hendaklah manusia membina dan terus menguatkan keimanannya. Jadikan iman dalam hati itu bagaikan ruh dalam jasad.

Ketika sakit ataupun sehat, ruh senantiasa berada dalam jasad. Ketika senang atau susah, ruh itu juga tetap menyertai jasad.

Maka jadikan keimanan dalam hati itu bagaikan ruh yang selalu menyertai jasad dalam kondisi apapun. Dalam keadaan susah ataupun senang, iman selalu menyertai akal dan hati kita.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Lima Amalan untuk Dapatkan Keberuntungan Dunia dan Akhirat

Seorang mukmin sejati akan patuh dan tunduk kepada Penciptanya, ia sadar bahwa dirinya mampu berbuat kebaikan maupun menjauhi segala larangan atas izin dari-Nya. Segala gerak langkahnya selalu diawasi sehingga hidupnya semakin terarah.

Abu Naim al-Asfihani mengutip perkataan Abu Abdillah as-Saji yang memaparkan lima hal yang harus diketahui oleh orang mukmin.

Pertama, mengenal Allah (makrifatullah) sebagai sang penciptanya. Seseorang yang telah mengenal Tuhannya tetapi tak mampu mengenal kebenaran maka makrifatnya kurang sempurna.

Kedua, mengetahui kebenaran. Bila seseorang tak mampu membedakan kebenaran dan kesalahan maka ia akan tersesat dalam bertindak.

Ketiga, ikhlas beramal. Ini merupakan kunci agar amal ibadah diterima oleh Allah.

Keempat, mengamalkan Sunnah Nabi. Salah satu bukti cinta kepada Nabi adalah mengikuti Sunnahnya.

Kelima, mengkonsumsi makanan yang halal. Salah satu kunci terkabulnya doa adalah mengonsumsi makanan yang baik dan diperbolehkan oleh Agama.

Dari kelima hal ini bila dipraktikkan dalam kehidupan maka ia akan beruntung di dunia dan akhirat serta akan menjadi pribadi mukmin yang dekat dengan Allah.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Hukum Shalat Tanpa Wudhu dan Tayamum Bagi Tenaga Medis Covid19?

Salah satu yang berjasa besar untuk memutus mata rantai Covid 19 adalah tenaga medis. Sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19, tenaga medis dalam bertugas harus dibekali Alat Pelindung Diri (APD) yang mempuni. Nah, dalam pemakaian APD pun terdapat Standar Operasional Prosedur ketat yang harus dilaksanakan. Timbul persoalan, para tenaga medis yang muslim ini, ketika ingin melaksanakan shalat tanpa berwudhu dan tayammum terlebih dahulu. Pasalnya akan sulit bila terlebih dahulu harus membuka APD. Nah, bagaimana hukum shalat tanpa wudhu dan tayamum bagi tenaga medis Covid19?

Dalam literatur yurisprudensi Islam, shalat tanpa berwudhu dan tayammum dikenal dengan istilah faqid ath-thahurain. Para ulama dari beberapa negara Islam telah mengeluarkan fatwa, bahwa boleh hukumnya bagi tenaga medis Covid 19 untuk melaksanakan shalat tanpa wudhu dan tayamum.

Fatwa tentang boleh shalat tenaga medis Covid-19 tanpa wudhu dan tayamum

Lembaga Fatwa Tinggi Islam Aljazair mengeluarkan bahwa berbunyi;”boleh hukumnya tenaga medis Covid 19 melaksanakan shalat tanpa wudhu dan tayamum”. Ada dua alasan utama di balik keluarnya fatwa ini. Pertama, karena khawatir para tenaga medis akan terpapar virus corona apabila membuka APD mereka. Dan para tenaga medis rentan terkena Covid 19. Alasan kedua, tenaga medis tidak dimungkinkan meninggalkan pekerjaan mereka. Pasalnya, banyak pasien yang bergantung terhadap pelayanan mereka. Apabila  pesien ditinggalkan para tenaga medis, akan menimbulkan darurat.

Berikut kutipan fatwa tersebut;

أن المكلّف العاجز عن الوضوء والتيمّم معا كما هو شأن الأطباء والممرضين ومن في حكمهم كرجال الأمن والحماية المدنية وغيرهم ممن يستحيل عليهم ترك أعمالهم, التي تتوقف عليها ضرورة العلاج وإنقاذ حياة إنسان، فعليه أن يؤدي صلاته ولو بغير وضوء ولا تيمُّم، إذا عجز عنهما

Artinya:sesungguhnya orang yang tidak dapat berwudhu dan melakukan tayamum bersama-sama, seperti yang terjadi pada dokter, perawat, dan orang-orang yang sederajat seperti petugas keamanan dan perlindungan sipil dan lain-lain yang tidak mungkin untuk meninggalkan pekerjaan mereka di mana kebutuhan perawatan dan penyelamatan hidup seseorang bergantung, atau mereka diharuskan memakai pakaian pelindung yang menutupi sebagian besar tubuh mereka dan mereka tidak dapat melepaskannya,  maka  mereka dibolehkan melaksanakan shalat tanpa wudhu atau tayamum, jika dia tidak mampu melakukannya.

Selanjutnya, Dar al-Ifta Mesir pun telah mengeluarkan fatwa tentang bolehnya tenaga medis Covid 19 untuk shalat tanpa wudhu dan tayamum. Para ulama dari Dar al-Ifta menjadikan dalil keringanan tersebut firman Allah dalam  Q.S al-Haj ayat 78:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

Dan juga sabda Nabi Muhammad:

إذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» رواه البخاري

 Artinya: apabila aku larang kamu akan sesuatu, maka kerjakanlah, dan apabila akun perintahkan tentang suatu perkara maka datangi kamulah apa yang kamu mampu memperbuatnnya.

Berikut penjelasan Lembaga Fatwa Mesir tentang bolehnya tenaga medis Covid 19 shalat tanpa wudhu dan tayamum:

دَخَل وقت الصلاة وأراد أداءها: فإذا تَعذَّر على الطبيبِ المعالج خَلْع الملابس الوقائية التي يرتديها للوضوءِ للصلاة فإنه يتيمم؛ فإن تَعذَّر التيمم عليه أيضًا؛ فحكمه في ذلك حكم فاقد الطهورين؛ فعليه الصلاة على حاله بلا وضوءٍ ولا تَيَمُّمٍ مراعاةً لحُرْمة الوقت، ولا يجب عليه إعادة ما صلَّاه.

 Artinya: masuk waktu shalat, tenaga medis berkeinginan untuk melaksanakan shalat; Maka apabila ada uzur bagi tenaga medis utuk membuka APD ketika berwudhu untuk shalat, maka dia bisa melaksanakan tayamum. Jika lemah/uzur dari melaksanakan tayamum atasnya, maka hukum demikian (shalat tanpa wudhu dan tayamum) adalah hukum faqid ath-thahurain, Maka salatlah tenaga medis dalam keadaannya tanpa wudhu dan  tayamum untuk menghormati waktu,dan tak ada kewajiban baginya untuk mengulangi shalatnya.

Lembaga Fatwa Arab Saudi pun memberikan keringan kepada para tenaga medis, boleh melaksanakan salat tanpa wudhu dan tayamum. Fatwa ini keluar sebagai jalan kemudahan bagi tenaga medis dalam melaksanakan tugasnya untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Dan juga untuk melindungi diri mereka dari penyakit menular tersebut.

Pendek kata, boleh hukumnya tenaga medis shalat tanpa wudhu dan tayamum. Dalam fiqih Islam keadaan ini dinamakan dengan istilah Faqid at thahuroin. Lantas, apa yang dinamakan Faqid at thahuroin? Para ulama klasik dan kontemporer telah membahas persoalan ini secara lengkap.

Definisi dan hukum shalat dalam faqid at thahurain

Salah satunya adalah Syaikh Athiyah Saqar, Mufti Mesir dan Guru Besar Universitas Al-Azhar. Ulama senior Mesir ini menyebut bahwa faqid at thahurain adalah ketika luput alat yang dibuat untuk bersuci yakni air dan debu.  Dalam keadaan demikian seseorang boleh melaksanakan shalat. Dan tak ada kewajiban untuk mengulangi shalatnya.

Syaikh Saqar mengatakan:

 الطهوران هما: الماء والتراب، والذي يفقدهما يصلى على حسب حاله، ولا إعادة عليه

Artinya: yang mensucikan itu ada dua yakni debu dan air; dan ketika keduanya luput, maka salatlah mereka dalam keadaan demikian, dan tidak ada kewajiban mengulanginya.

Menurut Syaikh Saqar, dalam keadaan darurat hukum faqid at thuharain ini dapat dipergunakan. Ia memberikan contoh, di kawasan yang turun salju, dan tak memungkinkah untuk berwudhu karena dingin. Dan tak ditemui debu untuk tayamum. Maka seseorang bisa melaksanakan shalat tanpa wudhu dan tayamum.

Lihat penjelasan beliau:

ومثل ذلك من وجد في منطقة جليدية ليس بها تراب، ولم يتحمل أن يتطهر بالثلج لشدة برودته، وعدم وجود ما يدفئه به فيعتبر فاقد الطهورين يصلي حسب حاله دون إعادة عليه

Artinya:  Dianggap  faqid at thuharain  untuk seseorang yang tinggal di daerah salju yang tidak memiliki debu, dan tidak mampu untuk menyucikan dirinya di salju karena sangat dingin, dan tidak ada kehangatan di dalamnya,dan dia dianggap dalam keadaan faqid at thuharain  dan shalat ia sesuai dengan kondisinya tanpa mengulanginya.

Ulama kontemporer dari Suriah, Syekh Wahbah az Zuhaili pun memberikan penjelasan tentang faqid at thurain . Ia mendefinisikan tentang keadaan ini dengan lengkap. Dalam Wahbah az-Zuhaili al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Jilid I, halaman 606-607, Wahbah Zuhaili berkata:

فاقد الطهورين: هو فاقد الماء والتراب، كأن حبس في مكان ليس فيه واحد منهما، أو في موضع نجس لا يمكنه إخراج تراب مطهر. أو كأن وجد ما هو محتاج إليه لنحو عطش، أو وجد تراباً ندياً ولم يقدر على تجفيفه بنحو نار. ومثله المصلوب وراكب سفينة لا يصل إلى الماء ومثله: من عجز عن الوضوء والتيمم معاً بمرض ونحوه، كمن كان به قروح لا يستطيع معها مس البشرة بوضوء ولا تيمم.

Artinya: faqid at thurain: adalah keadaan yang luput dari air dan debu, seolah-olah dia terkurung di tempat yang tidak ada  salah satu dari debu dan air. Atau ia berada di tempat najis, dan tak ada  tanah yang mensucikan. Atau seolah-olah ada air namun terbatas, tetapi ia dia butuhkan untuk menghilangkan haus, atau dia menemukan tanah yang lembab dan tidak mampu mengeringkannya dengan api. Demikian juga, orang yang disalibkan dan penumpang di kapal yang tidak mencapai air, dan sama juga orang  tidak  mampu berwudhu dan tayamum karena penyakit dan sejenisnya, seperti orang yang  memiliki luka yang tidak dapat disentuh kulitnya dengan wudhu atau tayamum.

Dalam teks yang diungkapkan oleh Syekh Wahbah Zuhaili, tampak pengertian faqid at thurain lebih lengkap. Dan tentu lebih kontemporer. Lantas, ketika shalat dalam keadaan faqid at thurain, apakah seseorang mengulangi shalatanya? Atau tak perlu shalat? Wahbah Zuhaili menerangkan pendapat empat ulama mazhab terkemuka dalam massalah ini.

Pertama, pendapat kalangan ulama dari mazhab Imam Syafi’i, bahwa orang yang dalam keadaan faqid at thurain, boleh melaksanakan shalat fardu saja. Tidak diperkenankan melaksanakan shalat sunat. Dan ia wajib mengulangi shalatnya kembali ketika ada air atau debu atau ketika keadaan darurat hilang.

الشافعية: يصلي فاقد الطهورين الفرض وحده في المذهب الجديد على حسب حاله بنية وقراءة، لأجل حرمة الوقت، ولا يصلي النافلة ويعيد الصلاة

Artinya: Ulama dari kalangan Syafi’i berpendapat shalatlah orang yang luput dari air dan debu, tetapi hanya shalat fardu saja, untuk menghormati waktu, dan tak diperkenankan shalat sunat, dan ia juga mengulangi lagi nanti shalat tersebut.

Kedua, Mazhab Imam Hanbali berpendapat hukumnya wajib shalat orang yang dalam keadaan (baca: faqid at thoharain) tetapi salat fardu saja. Dan tak ada kewajiban mengulangi shalatnya.

لحنابلة: يصلي فاقد الطهورين الفرض فقط، على حسب حاله وجوباً، ولا إعادة عليه

Artinya: Orang yang luput dari air dan debu hanya shalat fardu saja. Dan tidak mengulanginya.

Ketiga , mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang luput dari air dan debu boleh melaksanakan shalat dengan gerakan shalat, tapi tak perlu membaca surat Alfatiha dan bacaan lainnya. Di lain waktu, ia dianjurkan untuk mengqadha (mengganti) shalatnya.

Imam Wahbah az-Zuhaili menulis:

الحنفية: المفتى به عندهم ما قاله الصاحبان: وهو أن فاقد الطهورين يتشبه بالمصلين وجوباً، فيركع ويسجد، إن وجد مكاناً يابساً، وألا يومئ قائماً، ولا يقرأ ولا ينوي، ويعيد الصلاة متى قدر على الماء أو التراب

Artinya; bagi mazhab Hanafi , orang yang faqid at thuharain menyerupailah ia dengan orang yang shalat, maka ia rukuk dan sujud, apabila ia mendapati tempat yang kering, dan bukan untuk memberi isyarat berdiri, tidak membaca fatiha dan tidak berniat, dan mengulangi shalatnya apabila bertemu atau sanggup menyentuh air dan debu.

Keempat Mazhab Maliki, mereka berpendapat tak ada kewajiban melaksanakan shalat. Lebih lanjut,  ulama maliki mengatakan bahwa orang yang tak menjumpai air dan debu atau hilang kemampuan memakai keduanya seperti, orang disalib maka gugur kewajiban shalat dan qadha. Tak ada tuntutan syariat shalat dan  qadha.

المالكية: المذهب المعتمد أن فاقد الطهورين وهما الماء والتراب، أو فاقد القدرة على استعمالهما كالمكره والمصلوب، تسقط عنه الصلاة أداء وقضاء، فلا يصلي ولا يقضي، كالحائض؛ لأن وجود الماء والصعيد شرط في وجوب أداء الصلاة

Artinya: Kalangan mazhab Maliki memberikan penjelasan  bahwa orang yang faqid at thuharain atau uzdur dalam menggunakan air dan debu seperti orang yang disalib atau terpaksa, maka seketika gugur kewajiban shalat dan qadha. Keadaan ini  (baca: shalat dan debu) diqiyaskan kepada orang yang haid—tak ada kewajiban bagi wanita haid shalat dan mengqadha shalatnya—, sebab air dan debu menjadi syarat untuk melaksanakan shalat.

Kesimpulan dari pelbagai teks yang menerangkan tentang definisi  dan tata cara shalat faqid ath-thahurain , maka para tenaga medis tergolong orang yang dalam hukum fiqih disebut sebagai faqid ath-thahurain. Pasalnya mereka digolongkan orang yang uzhur atau darurat ketika hendak wudhu dan tayamum.

Demikian penjelasan tentang bagaimana hukum shalat tanpa wudhu dan tayamum bagi tenaga medis covid-19?

BINCANG SYARIAH

Amalan-Amalan yang Bisa Menjadi Investasi Pahala di Akhirat

Dr. H. Tohari Musnamar menuliskan tentang kematian, “Ketika roh keluar dari jasadnya, ibarat burung keluar dari sangkarnya. Ia terbang membawa seluruh amalnya. Amal baik dan amal buruk semuanya ia bawa. Tidak ada satu pun yang tersisa. Amal baik membawa pengharapan. Amal buruk membawa penyesalan. Tidak ada lagi yang dapat dihapus, karena suratan sudah terputus. Pintu amal sudah ditutup dan pintu kubur mulai mengatup

Berbicara tentang kematian adalah berbicara tentang sesuatu yang penuh dengan misteri. Namun hakikatnya kematian bukanlah suatu kejadian yang tiba-tiba. Peringatan-peringatan akan kematian di sekitar kita yang dikirim oleh Allah Swt sebenarnya adalah hal alamiah yang harus kita maknai.

Allah telah memperingatkan kita akan datangnya kematian, namun itu semua kembali kepada diri kita memaknai peringatan tersebut. Imam al-Qurthubi menjelaskan tentang peringatan kematian ini bisa bermacam-macam. Ada yang berpendapat bahwa peringatan kematian adalah kematian kerabat, tetangga, teman, atau saudara, maupun kematian orang lain. Dengan mendengar kabar kematian dari orang lain, akan menggiring hati kita mengingat bahwa kita juga akan mengalami hal yang serupa. Ada juga yang mengatakan bahwa yang memberi peringatan kematian adalah akal yang sempurna.

Kematian adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri. Saat kematian datang, canda tawa akan menjadi tangisan sedang rasa gembira menjadi kesedihan. Saat-saat yang akan menentukan nasib kita, akankah berada di kebahagiaan atau justru dalam siksaan yang kekal. Satu kata yang dapat menggambarkan suasana itu adalah sakaratul maut.

Imam al-Ghazali melukiskan bahwa sakaratul maut ialah ungkapan tentang rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian jiwa sehingga tidak ada lagi satupun bagian jiwa yang terbebas dari rasa sakit itu. (hlm. 13)

Datangnya kematian adalah datangnya rasa tersendiri bagi orang-orang beriman maupun orang-orang yang durhaka. Bagi orang-orang yang berimna, ia akan merasakan keistimewaaan tersendiri. Adapun orang-orang yang durhaka baginya kerugian yang sangat besar.

Demikian kematian adalah suatu hal yang memaksa. Tak ada yang dapat kita lakukan, kecuali mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan amal kebaikan. Kita tidak dapat menghindarinya, tak dapat pula bersembunyi darinya karena kematian ibarat pemburu yang profesional. Sekalipun kita mencoba bersembunyi di tempat yang menurut kita aman pun, jika ajal telah tiba, pasti kematian akan menemukan dan menjemput kita. Karena ia adalah bagian dari ketentuan Allah Swt.

Tampaknya tak ada yang paling setia menunggu kita di dunia ini selain kematian kita sendiri. Sayang, tidak semua orang menyadari hal itu sehingga menyebabkan manusia lalai dalam hidupnya. Beruntunglah orang yang selalu mengingat kematian. “ketika seseorang sering mengingat kematian, hatinya akan terasa lembut. Hal yang penting dengan mengingat kematian, seseorang akan termotivasi dan tergugah untuk memeprsiapkan diri dengan amal kebaikan” (hlm. 34)

Allah mencatat bentuk amal yang kita kerjakan dan pengaruh dari amal itu. Jika baik, maka dicatat sebgai kebaikan. Namun, jika buruk maka dicatat sebagai keburukan. Orang bahagia adalah yang ketika mati, maka dosanya ikut mati bersamanya. Sedangkan orang celaka adalah orang yang ketika mati, dosanya tidak ikut mati bersamanya justru masih terus tumbuh berkembang. Na’udzubillah.

Dalam suasana kubur yang mengerikan, ada beberapa orang yang kebaikannya selalu mengalir. Ruh mereka pun bersemayam dengan tenang, namun pahala terus berdatangan tak kunjung berhenti. Inilah masa pensiun di alam kubur yang teramat indah, yang dunia seisinya pun tak cukup untuk membelinya.

Dalam hadis Anas bin Malik ra. Rasulullah Saw bersabda, “Ada tujuh amalan yang pahalanya tetap mengalir untuk seorang hamba setelah ia meninggal dunia, padahal ia berada di alam kuburnya. (1) Orang yang mengajarkan ilmu agama (2) Orang yang mengalirkan sungai (yang mati), (3) Orang yang membuat sumur, (4) Orang yang menanam kurma, (5) Orang yang membangun masjid, (6) Orang yang memberi mushaf al-Qur’an, (7) Orang yang meninggalkan seorang anak yang senantiasa memohonkan ampun untuknya setelah ia meninggal dunia” (HR. Al-Bazzar dalam musnadnya 7289, al-Baihaqi dalam Syuabul Iman 3449) (hlm. 48)

Penulis menjelaskan bahwa ada sepuluh amal yang pahalanya terus mengalir. Tiga yang lainnya adalah sedekah jariyah, berjuang untuk tanah air, dan menyediakan rumah singgah. Amal-amal di atas adalah investasi pahala kita. Mari menanam investasi itu selama kita masih di dunia. Adapun yang selain ilmu bermanfaat dan anak soleh, amal-amal itu bisa sebut sebagai sodaqah jariyah karena keberadaannya yang terus dimanfaatkan oleh orang lain walau kita telah tiada.

Namun pahala dari apa yang telah kita lakukan itu akan juga dialirkan kepada kita oleh Allah Swt. Maka, jangan lewatkan walau semenit waktu kita supaya bisa beramal dan bertaubat mengingat Allah. Karena semenit saja yang kita lewatkan adalah angan-angan berjuta manusia. Jadikan “angan-angan orang mati” senantiasa hadir dalam benak dan membasahi bibir. Insya Allah kita akan menjalani menit-menit dengan ketaatan hingga kita tidak menyesal kemudia.

Judul Buku       : 10 Amalan Dahsyat yang Pahalanya Terus Mengalir Meski Kematian Memisahkan

Penulis             : Ahmad Kamil al-Jauzi

Penerbit           : Araska

Tahun Terbit     : Oktober 2019

Halaman         : 240 hlm

ISBN               : 978-623-7145-81-3

BINCANG SYARIAH

Tafsir Surat al-Waqi’ah: 83-87: Kematian Pasti Datang Menjemput

Allah berfirman dalam surat al-Waqi’ah: 83-87,

فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ- 83 – وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ- 84 –  وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ – 85 –  فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ.- 86 – تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ – 87 –

Maka kenapa tidak (kalian cegah) ketika nyawa di kerongkongan (83) Padahal kalian melihatnya (sakaratul maut kalian itu) (84) Dan kami lebih dekat kepada kamatian itu namun kalian tidak melihatnya (85) kemudian kenapa pula jika kalian bukan orang-orang yang dikuasai (86) kalian tidak kembali lagi jika kalian adalah orang-orang yang benar (87).

Dalam Tanwirul Miqbas, Ibnu Abbas menafsiri ayat ini diperuntukkan untuk orang-orang ahli Mekkah saat itu. Di riwayat lain dijelaskan bahwa ini dimaksudkan bagi orang-orang kafir yang mengatakan “seandainya mereka bersama kami, mereka tidak akan mati” seperti yang disebutkan dalam Q.S. Ali Imron ayat 156.

Sehingga tantangannya adalah ketika naza’ (sakaratul maut) sudah sampai tenggorokan, seharusnya mereka (kaum kafir yang sombong) bisa menolak dan mengembalikaan ruh mereka. Ternyata mereka tetap tidak bisa menolak dan mengembalikannya. Padahal jelas-jelas mereka juga mengetahui proses naza’ tersebut. Di riwayat lain disebutkan bahwa ini sebagai bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa yang membinasakan mereka adalah karena lamanya waktu atau masa usia mereka, sehingga mereka bisa menahannya sampai usia yang lama.

Seperti ayat sebelumnya, ayat ini juga berisi tantangan bagi mereka yang merasa bahwa dirinya bukan makhluk yang dikuasai Allah. Maka kenapa mereka tidak kembalikan saja ruhnya yang telah keluar dari jasad untuk kembali? Dengan demikian, dari beberapa ayat ini, hal yang sangat perlu kita teladani adalah bagaimana kematian pasti datang menjemput. Selain itu takdir kematian sudah merupakan kepastian Allah, jangan pernah mengatakan jika seperti ini maka tidak akan mati dan sebagainya. Di luar itu juga tidak ada satupun makhluk di dunia ini yg tidak dikuasai Allah, semuanya dimiliki oleh Allah, kita tidak mempunyai apa-apa, bahkan jiwa yg kita gunakan sekarang tidaklah atas kuasa kita sendiri. Oleh sebab itu, hina sekali kalau ada perasaan-perasaan sombong dalam diri kita.

BINCANG SYARIAH

Kematian Pintu Pertama Menuju Akhirat, Kita Harus Persiapkannya

Jika bicara akhirat, tentu tidak lepas dari yang namanya kematian. Mengingat-ingat dahsyatnya kematian merupakan satu keharusan bagi diri para pecinta akhirat. Sederet nama sahabat nabi seperti sayyidina Ustman bin Affan hingga generasi ulama salaf semisal Sufyan Al Tsaury, mereka kerap kali mendatangi kuburan atau menziarahi orang yang tengah sakaratul maut.

Mereka lalukan semua itu dengan tujuan membangkitkan semangat diri dalam mempersiapkan kehidupan akhirat sebaik mungkin. Jika orang-orang mulia selevel sahabat Nabi dan para ulama salaf saja sudah terbiasa mengingat-ingat kematian, tentunya kita pun lebih memerlukan lagi, dengan demekian kita akan lebih banyak memperoleh manfaat darinya.

الموت هو إنقطاع تعلق الروح بالبدن ومفارقته والحيلولة بينهما ، وتبدل الحال، وانتقال من دار الفناء الى دار الخلد ، وهو حتم لازم لا مناص منه لكل حي من المخلوقة

Kematian adalah terputusnya ikatan ruh dengan badan, terpisahnya keduanya, bergantinya keadaan serta berpindahnya negeri penuh kerusakan menuju negeri kebaikan. Kematian merupakan ketetapan pasti yang tidak terhindarkan bagi setiap makhluk yang hidup.

Namun yang perlu kita khawatirkan adalah keadaan setelah mati. Apakah alam barzakh itu nantinya bakal menjadi tempat persinggahan yang nyaman bagi kita setelah sekian lamanya disibukkan dengan hiruk pikuk dunia, atau justru menjadi lahan pertama dalama menerima hukuman akhirat.

Tidak ada jalan terbaik bagi kita selain bersiap semaksimal mungkin demi meraih kebahagian setelah kematian itu tiba, dengan terus menjaga akidah dan keimanan kita masing-masing  serta berupaya istiqomah dalam melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya.

Nabi Sholallahu alaihi wasallam bersabda:

الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت ، والعاجز من اتبع نفسه هواها ، ويتمنى على الله الأماني

Sang jenius itu adalah orang yang berusaha memperbaiki dirinya dan melakukan perbuatan demi kehidupan setelah matinya, sedangkan orang yang lemah adalah yang selalu mengikuti bisikan nafsu namunbia berharap kebaikan dari allah (HR. Tirmidzi).

Semoga kita tergolong sebagai umat nabi shollallahu alaihi wasallam yang memperoleh apresiasi baik dari beliau sebagai hamba allah yang cerdas, cerdik lagi berhati penuh cahaya. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Mempersiapkan Diri Menuju Kematian?

Setiap mukmin memandang dirinya sedang dalam perjalanan yang tanpa henti. Dan Al-Qur’an mengisyaratkan hal itu dalam firman-Nya :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدۡحٗا فَمُلَٰقِيهِ

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya.” (QS.Al-Insyiqaq:6)

Manusia berjalan dari suatu tempat ke tempat yang lain dan kematian hanyalah salah satu pos yang harus di lalui setiap manusia.

Setiap perjalanan memerlukan bekal, apalagi perjalanan menuju alam barzakh adalah sebuah perjalanan yang menegangkan, maka tentu manusia memerlukan bekal yang akan menemani dan membantunya dalam perjalanan. Bekal itu telah dipesankan oleh Allah Swt dalam firman-Nya :

وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ

“Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS.Al-Baqarah:197)

Manusia sering dilanda takut dan kegelisah dalam urusan kehidupannya. Dalam urusan bisnisnya, keluarganya, masa depannya, kesuksesannya dan banyak lagi lainnya.  Apabila hal-hal ini mendatangi pikiran kita, maka seharusnya kita lebih memikirkan masa depan yang pasti. Bahwa didepan ada pintu kematian, ada alam barzakh, ada hari mahsyar, apakah semua itu pernah kita pikirkan?

Satu-satunya kunci untuk mengingat kematian adalah kesadaran bahwa setiap kita lebih banyak mengingat kematian maka kita akan semakin bersemangat untuk menyiapkan bekal. Dan disaat kita alpa tentang kematian maka akan semakin sedikit persiapan kita dalam menyambutnya.

Dari sini kita memahami sabda Baginda Nabi Saw :

“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang menghancurkan seluruh kenikmatan (yaitu kematian).”

Karena itu orang yang selalu mengingat kematian akan meraih beberapa hal :

1. Akan cepat bertaubat ketika melakukan kesalahan.

2. Akan lebih qona’ah (merasa cukup) dalam menerima ketentuan Allah.

3. Akan bersungguh-sungguh dalam beramal dan beribadah.

Dan sebaliknya, siapa yang lupa dengan kematian akan membuat hatinya keras, menunda-nunda taubat dan akan terjerumus dalam kecintaan dunia.

Karena itu mari kita siapkan diri untuk menyambut kematian dan siapkan bekal sebanyak-banyaknya. Jangan sampai kita menyesal ketika waktu telah habis dan kesempatan telah sirna, seperti yang diceritakan oleh Allah dalam Firman-Nya :

حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ رَبِّ ٱرۡجِعُونِ – لَعَلِّيٓ أَعۡمَلُ صَٰلِحٗا فِيمَا تَرَكۡتُۚ كَلَّآۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَاۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرۡزَخٌ إِلَىٰ يَوۡمِ يُبۡعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah dalih yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan.” (QS.Al-Mu’minun:99-100)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Bolehkah Negara Menerima Pajak dari Minuman Keras?

Belakangan viral di media mainstream, dan lini media sosial terkait rencana pemerintah untuk  membuka investasi minuman keras (Miras) di Indonesia. Syahdan, adanya investasi Miras, akan menghasilkan pajak bagi pemasukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Langkah ini pun menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Meskipun belakangan, Presiden Jokowi telah mencabut Perpres nomor 10/2021 itu. Nah, bolehkah negara menerima pajak dari minuman keras?.

Para ulama berbeda pendapat terkait status hukum negara mengambil pajak dari investasi miras.  Syekh Ali Jumah, mantan Mufti Mesir dan guru besar Universitas  Al-Azhar,Kairo menjelaskan negara boleh memungut pajak dari masyarakat. Hal itu untuk menjaga stabilitas APBN. Ia menjelaskan;

ويجوز لولي الأمر أن يقرر فرض ضرائب عادلة في تقديرها وجبايتها على القادرين؛ وذلك لتغطية النفقات العامة والحاجات اللازمة للأمة، ومعلوم أن ميزانيات الدول الإسلامية الآن لا تقوم فقط على الزكاة، بل لها موارد متعددة منها الضرائب والرسوم وغيرها

Artinya:  Pemerintah boleh mengenakan  wajib pajak yang adil atas orang yang mampu, dan wajib pajak atas orang-orang yang kaya. Demikian ini, untuk menutupi pengeluaran publik dan kebutuhan umat. Era sekarang ini, bahwa APBN pelbagai negara Islam saat ini tidak semata-mata bersumber zakat, tetapi memiliki banyak sumber daya, antara lain pajak, iuran dan selainnya.

Hal itu didasarkan pada firman Allah dalam Alquran Q.S Albqarah ayat 177:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ.

Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Ayat ini menurut Syekh Ali Jumah menjadi dasar bagi pembolehan memungut pajak. Firman Allah ( atal mala a’la hubbihi dzawil qurba) khitab ayat ini bukanlah tentang zakat yang wajib melainkan kewajiban yang lain di luar zakat. Karena dalam ayat ini ada dua perintah zakat. Perhatikan ayat ini, (aqama as- shalata wa ataz zakat). Nah, dalam ayat ini menjadi dasar untuk memungut pajak. Kesimpulannya, ayat ini melegimasi negara untuk memungut pajak untuk kepentingan umum, karena pada dasarnya ada  hak orang lemah dalam harta orang kaya.

Syekh Ali Jumah berkata;

هذا لا يُفهم منه إباحة الضرائب فحسب، بل يُحتم فَرْضها وأخْذها، تحقيقًا لمصالح الأمة والدولة

Artinya: Hal ini tidak hanya dipahami dari keabsahan pajak, tetapi wajib diberlakukan pengungutan pajak, demi kepentingan bangsa dan negara.

Lebih lanjut, Syekh Ali Jumah mengeluarkan fatwa bahwa negara boleh menerima pajak dari hasil investasi miras. Ada tiga alasan terkait kebolehan tersebut. Pertama, terdapat perbedaan antara harga barang yang diharamkan (khamar) dan pajak atas barang yang diharamkan (khamar). Ada pun harga khamar itu pengertiannya adalah uang yang dibayarkan untuk membeli barang terlarang (khamar) tersebut. Dan hukum khamar itu sepakat ulama adalah haram. Maka tak boleh membeli, menjual, atau mengambil harganya di antara kaum muslim.

Sedangkan yang dimaksud dengan pajak bukan demikian. Pajak adalah pengutan yang diambil oleh negara dari perdangan dan komuditas yang jumlahnya telah ditentukan seperti dari khamar atau barang lainnya. Ini tak ada hubungannya dengan halal dan haram. Oleh karena itu mengambil pajak dari komoditas miras tak dilarang.

وهي هنا قدر محدد من الدخل يُستقطع من هذه التجارات والسلع وليست ثمنًا لها؛ فلا علاقة لها بكون هذه السلعة حلالًا أو حرامًا، وحينئذٍ لا تكون الضريبة على الخمر أو نحوها من الحرمات ثمنًا لأي منها، وعليه لا يكون أخذها والاستفادة منها حرامًا.

Artinya: yang dimaksud di sini dengan pajak adalah pendapatan tertentu yang harus diambil sebab adanya perdagangan dan komoditas , dan ini bukan nilainya (harga). Maka tak ada hubungan ini komoditas dengan hukum halal dan haram.

Dan pajak dari minuman keras dan jenis jenis barang haram lainnya tidak sama hukumnya dengan harga jual belinnya.  Konsekuensinya mengambil dan memanfaatkan pajak barang haram tersebut tidak haram.

Alasan kedua terkait kebolehan negara mengambil pajak dari miras, adanya contoh yang bisa menjadi qiyas (pajak), yaitu  dengan jizyah. Ada pun jizyah   diwajibkan pada kalangan non muslim pada harta mereka dan mengambil jizyah juga dari harga khamar mereka, dan mengambil jizyah juga dari harga uang riba mereka. Namun, faktanya tak ada khalifah dan penguasa muslim yang menolak untuk menerima uang tersebut, bahkan dimasukkan ke dalam baitul mal.

Ketiga, adanya pajak terhadap minuman keras dalam konteks ini sejatinya untuk membuat regulasi terkait miras. Agar pemerintah bisa mengontrol peredaran miras. Agar tak menyebar luas dan menimbulkan mudharat lain. Dan Syekh Ali Jumah pun mendorong para pemimpin dunia Islam untuk mengizinkan minuman keras untuk kalangan non muslim saja

Syekh Ali Jumah menulis:

أن يتخذوا إجراءات واقعية للحد من بيع هذه المحرمات والقضاء عليها في بلاد المسلمين، أو أن يسمحوا بذلك حصرًا في غير المسلمين حتى تستقر الأمور ويرتفع الحرج

Artinya; dan pengambilan pajak dari penjualan miras itu untuk membatasi dari penjualan miras tersebut, dan menghilangkan miras dari negara muslim, dan menkhususkan ini untuk negeri yang non muslim, sehingga dapat distabilkan dan menga

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab pajak—dahalu disebut ushr yang berarti sepersepuluh 10%–, pun diberlakukan.  Pajak itu dipungut atas komoditas barang dagangan para pedagang kafir yang memasuki wilayah Islam. Para pedagang non Muslim itu dikenakan pajak sebanyak 10 persen. Perintah itu langsung ditugaskan oleh Umar kepada gubernur Abu Musa Al-Asya’ri.

Kebijakan penarikan pajak terhadap non Muslim juga dipungut pada masa Khalifah Harun Ar- Rasyid. Sebagai Qadhi kala itu, Abu Yusuf menyarankan pedagang kafir dzimmi dikenakan cukai 5%. Dan pedagang kafir harbi sebesar 10% (jaminan keamanan dan keselamatan). Pajak yang dikutip tersebut digunakan untuk kemaslahatan umum.

Ada juga ulama yang berpendapat haram negara memungut pajak dari minuman keras. Salah satunya, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Ulama Besar dari Saudi ini menyebut bahwa haram hukumnya mengambil pajak dari minuman keras.

Bin Baz menjelaskan:

أخذ الضرائب على الخمر والسجائر: فمن المعلوم أن الخمر حرام وذلك معلوم من الدين بالضرورة عليه فلا يجوز للدولة أن تقبل بتجارة الخمر في البلد, وعليها أن تحارب من يروج لذلك

Artinya: hukum mengambil pajak dari khamar dan rokok: sebagaimana telah diketahui bahwa minuman keras adalah haram, dan juga diketahui buruknya akibat minuman keras, maka tak dibolehkan bagi negara untuk menerima penjualan khamr di negara muslim, dan negara harus tegas melarang orang yang mempromosikannya.

BINCANG SYARIAH

Tobat Jera Generasi Salaf Usai Menenggak Miras dan Dampaknya

Terdapat oknum generasi salaf yang pernah meminum miras

Meminum minuman yang memabukkan dalam Islam adalah salah satu dosa besar. Khamr atau minuman keras (miras) merusak moral para peminumnya, bahkan menjatuhkan mereka pada kerusakan moral yang paling dalam.

Ulama salaf, Al-Jahiz, mengingatkan untuk menghindari minuman yang memabukkan. Sebab, mabuk itu bisa mendorong ke hal-hal yang tidak senonoh, seperti melakukan perbuatan amoral lalu diumbar ke publik.

Orang mabuk tentu akan dengan mudahnya melakukan berbagai hal yang seharusnya tidak dilakukan dalam keadaan sadar. Karena itu, tinggalkan miras jauh-jauh dan hindari pertemuan dengan orang-orang yang suka mabuk dan pornografi.

Sebab jika sekali saja hadir dalam pertemuan tersebut, lalu mencoba meminum miras sedikit, maka berikutnya dia akan diundang kembali untuk menghadiri pertemuan serupa. Lambat-laun miras yang awalnya sedikit itu pun diteguk seperti orang kehausan.

Salah satu contoh dampak meminum miras di zaman Nabi Muhammad SAW adalah ketika Hamzah bin Abdul Muthalib minum miras (sebelum Islam melarang miras) sampai mabuk. Setelah itu Hamzah mengambil dua unta untuk Ali bin Abi Thalib, lalu memotong gigi untanya, juga mengambil hati dan memotongnya.

Tentu tindakan itu tidak akan dilakukan jika Hamzah tidak mabuk dan tidak meminum miras. Bahkan tindakan Hamzah akibat mabuk ini tertuju pada Nabi Muhammad SAW dan Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Hamzah berkata kepada keduanya, “Apakah kalian hanyalah budak ayahku?” 

Nabi Muhammad SAW tahu bahwa Hamzah sedang mabuk karena ucapan itu pastinya diucapkan Hamzah saat dalam keadaan mabuk. Hamzah tidak akan berbicara seperti itu jika dalam kondisi sadar. Kemudian turun ayat yang melarang miras dan sejenisnya. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS Al-Maidah: 90-91)

Al-Abshihi juga menjelaskan, di antara mereka yang meninggalkan miras di era pra-Islam adalah Abdullah bin Jada’an yang merupakan salah satu pembesar Quraisy dan pernah meminum miras bareng Umayyah bin Abi al-Shalt al-Tsaqafi.

Lalu dalam kondisi mabuk, Abdullah memukul bagian mata Umayyah sehingga tampak menghijau. Lalu besoknya, Abdullah melihat mata Umayyah yang hijau itu, dan bertanya, “Mengapa dengan matamu?” Umayyah menjawab, “Kan dipukul sama kamu.”

Lalu Abdullah pun menyadari bahwa kemarin dia meminum miras sampai mabuk hingga memukul Umayyah. Setelah itu, Abdullah berjanji tidak meminumnya lagi dan membayar 10 ribu dirham. Abdullah berkata, “Saya dilarang minum miras, dan saya tidak akan pernah mencicipinya lagi.”

Karena itulah, miras sungguh menghilangkan pikiran dan memunculkan para pecandu di antara barisan yang tidak bermoral dan bodoh dan merendahkan mereka sendiri. Dan sudah sepatutnya setiap Muslim memohon kepada Allah SWT untuk membimbing kita dan umat Islam ke jalan yang benar.

Sumber: islamweb

KHAZANAH REPUBLIKA

Kemunculan Muhammad SAW yang Diakui Kitab dan Nabi Terdahulu

Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman diabadikan kitab terdahulu

Nabi Muhammad SAW adalah pesan terbesar yang telah disampaikan kepada para nabi sebelumnya. 

Allah SWT memberi tanda dan kabar baik terkait akan munculnya seorang nabi di masa mendatang, yaitu Nabi Muhammad SAW. 

Alquran menjelaskan bahwa Allah SWT menyampaikan kabar baik munculnya Nabi Muhammad dalam kitab-kitab ilahi kepada para nabi sebelumnya.

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS Al-Araf: 157)

Allah SWT memberi tahu semua Nabi tentang akan datangnya Nabi Muhammad SAW. Allah SWT juga memerintahkan mereka untuk menyampaikan kabar tersebut kepada para pengikut mereka tentang perlunya percaya kepadanya dan mengikutinya jika mereka menyadarinya. 

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ ۚ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَىٰ ذَٰلِكُمْ إِصْرِي ۖ قَالُوا أَقْرَرْنَا ۚ قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu setuju dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Allah berfirman, “Kalau begitu bersaksilah kamu (para nabi) dan Aku menjadi saksi bersama kamu.” (QS Ali Imran: 81)

Imam al-Mawardi dalam kitab A’laam al-Nubuwah menjelaskan, kabar gembira yang disampaikan para nabi terdahulu tentang kenabian Muhammad menjadi bukti dan keajaiban untuk membantu para rasul terdahulu dari apa yang telah diwahyukan Allah SWT saat Nabi Muhammad belum ada.

Setelah dikabarkan kepada pengikuti nabi terdahulu, sebagian ada yang menyebut dirinyalah yang akan menjadi sosok nabi itu. Sebagian ada yang menganggap kapasitasnya pantas untuk menjadi nabi. Ada pula yang mengaitkan kedatangan Nabi kelak berasal dari bangsanya atau negerinya.

Dalam Dari Salamah bin Waqash, dia berkata, “Dulu kami punya tetangga Yahudi di Madinah dan dia pergi menemui kami. Dia mengatakan soal pengusiran, surga dan neraka. Lalu kami bertanya, “Apa tandanya?” Dia menjawab, “seorang nabi akan diutus dari negara-negara ini (dia menunjuk ke Makkah)…” (HR Ahmad)

Sumber: islamweb

KHAZANAH REPUBLIKA