10 Pilar dalam Dakwah

Dakwah sebuah keharusan yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku Islam. Tanpa dakwah, dipastikan Islam akan segera lenyap dari permukaan bumi ini

قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah (wahai Muhammad!):” Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashiroh (hujjah/ ilmu)yang nyata. MahasuciAllah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musryik.” (QS:Yusuf [12]:108)

DAKWAH merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tanpa dakwah dapat dipastikan bahwa Islam akan segera lenyap dari permukaan bumi ini. Sebab, hanya dakwah lah yang mampu mempertahankan eksistensi Islam hingga saat ini.

Bisakah  kita dapat membayangkan, apa jadinya jika dunia sepi dari kegiatan dakwah? Sepi dari kegiatan transfer ilmu agama?, Pasti akan muncul sebuah generasi yang tidak mengenal aturan hidup (syari’at). Pada akhirnya akan muncul suatu kehidupan yang berantakan (chaose).

Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika al-Qur’an menyebutkan bahwa dakwah merupakan jalan para Rosul Allah. Sejak rosul pertama, Nuh ‘alaihis salam, sampai dengan rosul terakhir, Muhammad ﷺ.

Secara etimologi, dakwah berasal dari akar kata da’aa-yad’ua, yang mengandung arti mengajak, menyeru dan mengundang. Adapun secara terminologi, merupakan segala aktivitas yang dilakukan secara terorganisir, untuk mengajak seseorang atau lebih kepada jalan yang lurus (ash-shiroth al-mustaqim), mengeluarkan sesorang dari kesesatan menuju hidayah dan dari kegelapan menuju cahaya Islam, dengan menggunakan metode yang sistematis berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.

Dalam berdakwah, setidaknya ada sepiluh pilar yang harus diperhatikan oleh para da’i. Menurut Hassan al-Banna ada sepuluh pilar dalam dakwah. Selanjutnya, sepuluh pilar itu sudah banyak dijelaskan oleh banyak ulama dan cendekiawan muslim, seperti Sa’id Hawa dalam “Afaaq Risalah at-Ta’lim”, Dr. Abdullah al-Khatib dan Dr. Abdu Halim dalam “Nazharat fi Risalah Ta’lim” , Dr. Yusuf al-Qordowi dalam “Aulawiyat al-harokah al-Islamiyah” dan yang terakhir Rahmad Abdullah dalam bukunya “untukmu kader dakwah”. Adapun herarkis sepuluh pilar itu adalah.

Pertama, al-Fahmu. Yang dalam bahasa Indonesia berarti pemahaman. Artinya setiap da’I harus mampu memberikan pemahan yang benar kepada obyek dakwahnya tentang apa yang ia dakwahkan, dalam hal ini adalah Islam.

Kedua, al-ikhlas. Artinya seorang da’i harus melandasi seluruh aktivitas dakwahnya dengan totalitas keikhlasan kepada Allah SWT. Da’i tidak boleh mengharapkan dari aktivitas dakwahnya itu melainkan keridho’an Allah SWT, bukan yang lain. Sehingga orang-orang yang diajak pun mampu merasakan pancaran kesucian jiwanya.

Dalam pada itu, mereka pun akhirnya akan percaya bahwa yang disampaikan oleh da’i itu merupakan kebenaran dari Allah SWT, sebelum pada akhirnya mereka pun akan mengikuti arahan dan pesan dakwah dari da’i tersebut. Bahkan tidak mustahil kelak mereka pun akan menjadi da’i-da’i baru yang akan meneruskan agenda dakwah muka bumi ini.

Ketiga, al-’Amal. Sangat ironis sekali jika seorang da’i mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu, namun ia sendiri tidak melakukan apa yang diucapkan. Disamping mendapat murka dari Allah SWT, orang lain pun akan meremehkannya dan tidak akan menggubris apa yang dikatakannya. Dalam pada itu, sangat besar kemungkinannya agenda dakwah akan terhambat. Dikarenakan ulah sebagian da’i yang tidak mampu memberi contoh yang baik (qudwah hasanah) bagi obyek dakwahnya.

Keempat, al-Jihad. Di dalam dakwah amal saja tidak cukup, melainkan diperlukan pula adanya kesungguhan dan usaha keras dari para da’i tersebut. Sehingga dakwah itu dapat berjalan secara efektif dan mampu mengajak lebih banyak objek dakwah. Tanpa kesungguhan, dakwah akan berjalan ala kadarnya, bahkan sangat dimungkinkan akan terjadi futur (patah semangat) dalam diri da’i itu. Mengingat dakwah bukanlah pekerjaan yang ringan. Sehingga kesungguhan merukapakan hal yang harus dimiliki oleh setiap da’i.

Kelima, at-Tadhiyah. Disamping kesungguhan, diperlukan pula adanya pengorbanan dari da’i, baik pengorbanan material maupun mental. Merupakan kebohongan besar, jika ada yang ingin mengambil jalan dakwah tanpa mau berkorban. Mengingat orientasi dakwah tidak lah sama dengan perdagangan, yang nota bene berorientasi pada keuntungan material. Maka dari itu, pengorbanan merupakan suatu keniscayaan bagi para da’i.

Keenam, ath-Tho’ah. Dalam berdakwah seorang da’i tidak boleh berjalan secera sendiri-sendiri. Melainkan harus secara berjama’ah. Oleh karena itu, mutlak diperlukan adanya kepatuhan dari setiap da’i terhadap keputusan jama’ah itu. Jika tidak, maka hampir dapat dipastikan bahwa dakwah tersebut akan kandas di tengah jalan, bahkan bisa jadi para da’I itu akan mengalami kesulitan dan rintangan dari musuh-musuh dakwah.

Ketujuh, ats-Tsabat. Disamping memiliki kepatuhan, seorang da’i dituntut untuk memiliki keteguhan hati. Sehingga sanggup melawan segala rintangan dan kesulitan yang ditemuinya dalam menjalankan tugas dan amanahnya dari dakwah tersebut.

Kedelapan, at-Tajarrud. Agar dapat menyampaikan dakwahnya dengan benar, maka seorang da’i juga harus memiliki paradigma berfikir yang benar dan terbebas dari pengaruh pemikiran-pemikiran non-islami. Dalam pada itu, ketika seorang da’i sudah tercemari paradigma berfikirnya, maka ada kemungkinan da’i, yang sedianya ingin menyelamatkan orang, malah menyesatkannya. Inilah makna dari At-Tajarrud itu.

Kesembilan, al-Uhkuwah. Ketika berdakwah,hampir dapat dipastikan bahwa da’i akan menemui pelbagai rintangan, sehingga bantuan dari da’i lain sangat diperlukan dalam rangka menyukseskan agenda dakwah. Dari itu, rasa persaudaraan, baik sesama da’i, maupun antara da’i dengan obyek dakwahnya, merupakan hal yang sangat krusial dalam dakwah. Sehingga ketika memerlukan bantuan ia dapat memanggil saudaranya.

Kesepuluh, ats-Tsiqoh (kepercayaan). Mustahil rasanya, seseorang mau mengikuti perkataan orang lain tanpa adanya kepercayaan orang tersebut kepadanya. Dari itu, kepercayaan merupakan hal yang harus dibangun oleh para da’i di hadapan para obyek dakwahnya.

Ketika kepercayaan sudah ada maka para da’I, dapat dengan mudah mengarahkan obyek dakwahnya untuk mengikuti arahan dan pesan dakwah yang ia berikan padanya. Sebelum pada akhirnya, da’i tersebut juga dapat mempercayakan suatu perkara kepada kader dakwah yang muncul dari mereka, untuk meneruskan dakwahnya. Maka rasa saling mempercayai dari kedua belah pihak merupakan sebuah keniscayaan.

Itulah sepuluh pilar dalam dakwah. Dalam mana harus dipegang teguh oleh setiap da’i dan dilaksanakan menurut herarkinya. Dan mudah-mudahan, dengan melaksanakan itu semua, Allah SWT berkenan untuk menjadikan kita para da’i yang berkompeten dan meraih kesuksesan dalam berdakwah. Semoga.

*/Faruuq Tri Fauzialumni Lembaga Dakwah Kampus “Jama’ah Fahruddin (JF) UMM. Dikutip Hidayatullah.com, Rabu, 22 September 2004

HIDAYATULLAH

Usir Sifat Kikir dengan Ayat-Ayat Ini!

Bila engkau sering ragu ketika ingin bersedekah, atau berat ketika ingin berbagi, atau malas disaat ingin membantu orang yang sedang membutuhkan, maka usirlah semua perasaan itu dengan mengingat ayat-ayat ini.

1). Allah Swt Berfirman :

وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS.Saba’:39)

2).

إِنَّ ٱلۡمُصَّدِّقِينَ وَٱلۡمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقۡرَضُواْ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا يُضَٰعَفُ لَهُمۡ وَلَهُمۡ أَجۡرٞ كَرِيمٞ

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS.Al-Hadid:18)

3).

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang zhalim.” (QS.Al-Baqarah:254)

4).

وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.” (QS.Al-Munafiqun:10)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada dengan ayat-ayat di atas. Semua itu adalah obat yang bisa menyembuhkan penyakit kikir, sombong dan malas yang telah menempel dalam diri kita

Kita harus meyakini bahwa semua harta atau bantuan yang kita keluarkan atau kita berikan kepada orang yang membutuhkan akan menjadi kekal dan resmi menjadi milik kita yang sebenarnya. Sementara harta yang ada ditangan kita sebenarnya bukan milik kita. Karena hanya ada dua pilihan, apakah harta itu akan habis meninggalkan kita atau kita yang akan meninggalkannya (mati).

Jika harta yang ada ditangan kita lalu dibelikan makanan, maka nilainya seperti yang keluar dari perut kita. Atau kita belikan rumah, mobil dan perhiasan, maka semua itu juga pasti akan sirna dan binasa. Bukan kita dilarang untuk memiliki semua itu, tapi jangan sampai kita hanya fokus kepada yang akan sirna dan lupa terhadap yang akan kekal bersama kita.

Sedangkan harta kita yang akan kekal dan selalu menemani kita hanyalah harta yang sudah kita infakkan. Harta ini akan selamanya menjadi milik kita dan memberi manfaat untuk kita.

Allah Swt Berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al-Hasyr:18)

Sayyidina Ja’far As-Shodiq pernah berpesan :

“Bila yang mengganti itu Allah maka kenapa harus bakhil ?”

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Menyikapi Perayaan Tahun Baru Masehi

Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap umat beragama memiliki hari-hari besar dan perayaan-perayaannya. Akan tetapi, setiap dari mereka memiliki perbedaan cara dalam merayakannya.

Sebagian di antara umat beragama, ada yang memperingati hari besarnya dengan hiruk-pikuk dan pesta pora seperti berkumpul di malam hari, meniup terompet, membunyikan lonceng atau menghujani langit dengan petasan dan juga kembang api. Mereka sangat gembira ria pada tengah malam.

Akan tetapi ada kelompok kedua yang berbeda dengan kelompok pertama tadi, dimana kelompok kedua ini merayakan hari besarnya dengan sunyi senyap sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Bali.

Apabila datang hari raya Nyepi, mereka melakukan catur brata. Pada hari itu mereka melakukan pati geni (memadamkan cahaya), pati karya (berhenti atau tidak beraktivitas), pati lelungan (tidak bepergian), pati lelanguan (tidak mencari hiburan). Sehingga pada hari Nyepi, mereka hanya diam di rumahnya masing-masing, memadamkan cahaya, tidak beraktivitas, dan tidak bepergian jauh.

Ada juga kelompok ketiga yang lebih aneh lagi dalam merayakan hari besarnya.  Mereka memperingati hari besarnya dengan tangisan, ratapan, menjerit-jerit, memukul dada, bahkan merobek-robek baju serta menyakiti diri. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Syiah Rafidhah yang mana mereka melakukan ritual penyesalan diri terhadap kematian Husein –radhiyallahu ‘anhu – .

Sebenarnya di antara perbedaan cara ketiga kelompok tersebut, mereka memiliki satu niat yang sama yaitu taqarrub ilallah (beribadah kepada Allah). Mereka merayakan hari-hari besar tersebut dengan tujuan  untuk mendekatkan diri pada TuhanYang Maha Kuasa.

Akan tetapi ketika mereka menginginkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka artinya mereka tengah melakukan ibadah. Dan sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam masalah ibadah, Islam telah mengaturnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ulama:

الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتىَّ يَقُوْمَ دَلِيْلُ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal ibadah itu terlarang/batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.”

Oleh karena itu, hari raya merupakan ibadah sehingga harus ada aturannya atau dalil yang memerintahkannya. Jika tidak, maka berlaku hukum baginya sebagaimana hadits riwayat Muslim:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dalam urusan (agama) kami, maka amal itu tertolak.”

Jadi sebenarnya –dalam Islam–, hari raya itu apa? Hari raya apa saja yang legal dalam Islam?

Dikatakan dalam sebuah riwayat, dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu -:

كان لأهل الجاهلية يومان في كل سنة يلعبون فيهما، فلما قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة قال: كان لكم يومان تلعبون فيهما، وقد أبدلكم الله بهما خيرا منهما: يوم الفطر ويوم الأضحى.

Dahulu, orang Arab Jahiliyyah mempunyai dua hari raya dimana mereka bersenang-senang pada hari raya tersebut. Kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  hijrah ke Madinah dan menjumpai masyarakat Madinah yang ternyata mereka pun merayakan dua hari raya tersebut, yaitu hari raya Jahiliyah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarangnya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengatakan: “Mulai detik ini, kita hapuskan semua hari raya kecuali dua hari raya sebagai penggantinya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.”

Oleh karena itu, bisa kita tarik kesimpulan bahwa hari raya yang sesuai dengan Islam hanya dua yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Kemudian, dua hari raya yang diperingati masyarakat Jahiliyah pada saat itu maksudnya hari raya apa?

Jawabannya, mereka memperingati perayaan Neirus dan Mihrojan.

Neirus adalah perayaan tahun baru Persia. Karena asimilasi budaya, masyarakat Madinah yang kala itu masih musyrik, suka mengikuti budaya masyarakat lain yang dianggap lebih berperadaban. Seperti Persia atau Romawi. Sampai saat ini, hari raya Neirus tersebut masih diperingati oleh masyarakat Iran, padahal hal tersebut sudah dibatalkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam – .

Maka berdasarkan hadits tadi, kaum muslimin tidak boleh merayakan hari raya lain kecuali dua hari raya saja, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Salah satu yang termasuk pada hari raya terlarang adalah hari yang sebentar lagi kita akan saksikan –insya Allah–, dimana hiruk-pikuk manusia dari Indonesia sampai ke Maroko merayakannya. Negeri-negeri Islam pun ikut merayakannya, yang mana hari raya tersebut sebenarnya bukan bagian dari Islam.

Jika ada yang mengatakan,

“Ustadz, Rasulullah tidak pernah mengharamkan tahun baru Masehi”

Kita bisa jawab,

“Pada waktu itu Rasulullah sudah melarang tahun baru Persia karena  –atas kehendak Allah– kebudayaan Persia-lah yang diserap oleh orang Arab, sedangkan kebudayaan Romawi belum terserap pada saat itu. Akan tetapi larangan Rasulullah untuk melakukan tahun baru Persia itu otomatis juga merupakan larangan Rasulullah untuk mengatakan perayaan tahun baru lainnya, apalagi ditambah dengan banyaknya mafsadat atau kerusakan di dalam perayaannya.”

Wallāhu a’lam

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/8100-menyikapi-perayaan-tahun-baru-masehi.html

Hukum Bayar Zakat Sebelum Jatuh Tempo (Haul)

Para pembaca Bimbinganislam yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hukum bayar zakat sebelum haul (jatuh tempo)
selamat membaca.

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga ustadz selalu dalam lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Mohon petunjuk, bagaimana jika zakat dibayarkan sebelum jatuh tempo dan dibayarkan tiap bulan ke mustahik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apakah dibolehkan untuk tidak membayarkannya sekaligus di awal atau di akhir?
Jazakumullahu khairan kathiran.

(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Alhamdulillāh wa shalātu wa salāmu ‘alā rasūlillāh.

Zakat diwajibkan atas seorang muslim jika sudah terpenuhi dua syarat:
1. Mencapai nishob, yaitu kadar minimal harta yang dimiliki.
2. Nishab di atas telah mencapai setahun.

Jika kedua syarat tersebut terpenuhi harta seseorang maka wajib untuk dikeluarkan zakatnya.

Adapun masalah menyegerakan zakat sebelum diwajibkan, butuh kepada rincian:

1. Jika dikeluarkan sebelum harta mencapai nishab, maka tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama. Imam Nawawi berkata:

زكاةُ الماشية والنَّقد والتِّجارة، فلا يجوزُ تعجيلُ الزكاة فيه قَبل مِلك النِّصاب، بلا خلافٍ

“Zakat hewan ternak, uang dan perdagangan, maka tidak boleh disegerakan sebelum mencapai nishabnya tanpa ada perselisihan di kalangan ulama.”
(Al-Majmu’ syarh muhadzzab : 6/146).

2. Jika dikeluarkan setelah harta mencapai nishab namun belum lewat satu haul (satu tahun hijiryyah). Mayoritas ulama membolehkan hal tersebut. Imam Tirmidzy berkata:

قال أكثرُ أهلِ العِلم: إنْ عجَّلَها قبل مَحَلِّها أجزأتْ عنه، وبه يقولُ الشافعيُّ، وأحمدُ، وإسحاقُ

“Mayoritas ulama berkata: Jika seseorang menyegerakan zakat sebelum jatuh tempo, sah zakatnya. dan ini adalah perkataan Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq”
(Sunan Tirmidzy: 2/57).

Jadi, boleh mengeluarkan zakat sebelum jatuh tempo dengan syarat harta telah mencapai nishab (misal : jika uang setara dengan 85 gr emas). Baik dengan cara langsung maupun dengan cara dicicil perbulannya.
Ketika telah mencapai satu haul, maka dihitung jumlah hartanya, dan dilihat apakah zakat yang dikeluarkan setiap bulan sudah pas atau belum, jika masih kurang maka keluarkan sisanya.

Wallahu a’lam

Dijawab oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله

Read more https://bimbinganislam.com/hukum-bayar-zakat-sebelum-jatuh-tempo-haul/

Pesan Ibnu Abbas dan Ali Bin Abi Thalib Soal Kedua Orang Tua

Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib berpesan tentang berbakti orang tua.

Berbakti kepada kedua orang tua, tak terkecuali ibu tentunya, bisa berbentuk apapun. Bakti tersebut bisa dilakukan saat keduanya masih hidup ataupun sudah meninggal.

Di antara bakti yang bisa dilakukan itu adalah dengan mendoakan keduanya. Doa anak untuk kedua orang tua itu bahkan bisa menjadi amal jariyah yang pahalanya akan tetap mengalir untuk kedua orang tua di alam baka. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ 

”Apabila ‘anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan yang d manfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan dia.” (HR Muslim) 

Teladan Rasulullah SAW tersebut dilaksanakan dengan baik oleh para sahabat beliau. Sahabat Ibnu Abbas RA, misalnya, dia pernah berkata:

ﺇﻧﻲ ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻋﻤﻼ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻣﻦ ﺑﺮ اﻟﻮاﻟﺪﺓ

“Tidak kuketahui amalan yang lebih mendekatkan kepada Allah dari pada berbakti kepada ibu” (Imam al-Bukhari, Adab Al-Mufrad).

Sementara itu, berbakti kepada ibu dan ayah adalah dengan tidak menyakitinya, seperti dalam riwayat yang dinukilkan dari sayyidina Ali bin Abi Thalib RA berikut:

ﻣﻦ ﺃﺣﺰﻥ ﻭاﻟﺪﻳﻪ ﻓﻘﺪ عقهما (ﺧﻂ ﻓﻲ اﻟﺠﺎﻣﻊ) ﻋﻦ ﻋﻠﻲ

“Barangsiapa membuat susah kedua orang tuanya maka ia telah durhaka kepadanya.”

(Riwayat Khatib al-Baghdadi dari Ali bin Abi Thalib) 

KHAZANAH REPUBLIKA

Fadhilah Sholawat Asyghil: Doa Penyelamat dari Kedzaliman

Salah satu bentuk shalawat yang populer dan sering dibaca oleh masyarakat Indonesia adalah Shalawat Asyghil.

Shalawat ini lebih populer terutama dalam masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) dan kalangan pesantren.

Hampir dalam setiap istighasah, shalawat ini termasuk bacaan utama yang harus dikumandangkan secara berjamaah.

Apakah sebenarnya fadhilah Sholawat Asyghil? Berikut penjelasannya: Ada banyak shalawat dengan bermacam-macam redaksi atau lafadz shalawat.

Jumlahnya bahkan bisa mencapai ribuan macam lafadz shalawat baik yang berasal dari Nabi sendiri, maupun para sahabat, dan wali-wali Allah, dan orang-orang shaleh pilihan.

Pembacaan pertama kali shalawat Asyghil adalah Imam Ja’far Assadiq (w. 138 H). Konon, beliau terbiasa membaca shalawat ini saat melakukan doa qunut shalat Subuh.

Kemudian, shalawat ini masyhur dengan sebutan Sholawat Habib Ahmad bin Umar Alhinduan Ba ‘Alawy (w.1122 H).

Hal ini karena shalawat ini termasuk bacaan shalawat yang dihimpun dalam kitabnya Alkawakib Almudhi’ah fi Zikris Shalah ‘ala Khairil Bariyyah.

Fadhilah Sholawat Asyghil, selain untuk memohonkan shalawat dan salam atas Nabi Saw., keluarga dan sahabatnya, juga bertujuan untuk meminta kepada Allah Swt. agar kita diselamatkan dari kejahatan orang-orang yang zalim.

Berikut lafadz shalawat Asyghil:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَشْغِلِ الظَّالِمِيْنَ بِالظَّالِمِيْنَ وَأَخْرِجْنَا مِنْ بَيْنِهِمْ سَالِمِيْنَ وَعَلَي

الِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Allahumma sholli ‘ala sayyidina muhammad wa asyghilidz dzolimin bidz dzolimin wa akhrijna min bainihim salimin wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Artinya: “Ya Allah, berikanlah shalawat kepada pemimpin kami Nabi Muhammad, dan sibukkanlah orang-orang zalim dengan orang zalim lainnya. Selamatkanlah kami dari kejahatan mereka. Dan limpahkanlah shalawat kepada seluruh keluarga dan para sahabat beliau.”

Bagi umat Islam, bershalawat untuk Nabi Muhammad Saw. memiliki keutamaan yang besar dan menghasilkan manfaat yang banyak di dunia dan akhirat.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah penghormatan kepadanya”. [Al Ahzab:56]

Ayat di atas menjelaskan tentang penghormatan dan pengagungan bagi NabiNya serta dorongan bagi para hambaNya yang mu’min untuk mengucapkan shalawat dan salam baginya.

Setiap muslim harus berlomba-lomba memberikan shalawat yang terbaik dan memperbanyak bacaan shalawat.

Majelis-majelis shalawat pun harus dibentuk dan diadakan secara rutin di mana-mana.

Sayangnya, ada saja sekelompok kecil umat Islam yang sangat sedikit jumlahnya terkesan menghalangi dan tidak menyukai majelis-majelis shalawat-an yang sudah mengakar di Masyarakat Nusantara ini khususnya masyarakat Ahlussunnah wal Jamaa’ah.

Bahkan, tidak jarang dikatakan orang shalawat-an dianggap bid’ah, sesat, syirik, dan sebagainya dan pelakunya divonis masuk neraka.

Padahal dengan memperbanyak bershalawat yang apalagi dilaksanakan secara berjamaah, itu bisa banyak fadhilah salawat yang didapatkan.

Semoga kelak kita akan mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad Saw.

Alangkah mulianya apabila kita sebagai umat Islam untuk senantiasa bershalawat dengan shalawat-shalawat yang hebat dan penuh manfaat dari para ulama, waliyullah dan orang-orang shalih.

Mari terus amalkan Shalawat Asyghil ini secara rutin baik sendiri maupun berjama’ah dan mari berbondong-bondong mendirikan berbagai majelis shalawat di mana pun kita berada.

Insya Allah, fadhilah Sholawat Asyghil ini membantu kita meminta kepada Allah agar kita diselamatkan dari kejahatan orang-orang yang zalim.[]

BINCANG SYARIAH

Kapan Kita Pernah Sendiri?

Allah Swt Berfirman :

ٱلۡيَوۡمَ نَخۡتِمُ عَلَىٰٓ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَتُكَلِّمُنَآ أَيۡدِيهِمۡ وَتَشۡهَدُ أَرۡجُلُهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS.Ya-Sin:65)

Dalam kesendirian kita, jangan tertipu dengan diamnya anggota tubuh kita, karena itu semua kelak akan berbicara. Tangan dan kaki kita kelak akan bercerita dan bersaksi atas apa yang kita lakukan dengan keduanya. Bahkan kulit pun ikut bersaksi dan berbicara.

وَقَالُواْ لِجُلُودِهِمۡ لِمَ شَهِدتُّمۡ عَلَيۡنَاۖ قَالُوٓاْ أَنطَقَنَا ٱللَّهُ ٱلَّذِيٓ أَنطَقَ كُلَّ شَيۡءٖۚ وَهُوَ خَلَقَكُمۡ أَوَّلَ مَرَّةٖ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ

Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” (Kulit) mereka men-jawab, “Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS.Fushilat:21)

Mata akan bersaksi tentang apa yang dilihatnya. Telinga pun akan bersaksi atas apa yang didengarnya.

وَمَا كُنتُمۡ تَسۡتَتِرُونَ أَن يَشۡهَدَ عَلَيۡكُمۡ سَمۡعُكُمۡ وَلَآ أَبۡصَٰرُكُمۡ وَلَا جُلُودُكُمۡ وَلَٰكِن ظَنَنتُمۡ أَنَّ ٱللَّهَ لَا يَعۡلَمُ كَثِيرٗا مِّمَّا تَعۡمَلُونَ

“Dan kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan.” (QS.Fushilat:22)

Bahkam bumi akan bersaksi atas apa yang kita lakukan di atasnya. Setiap jengkal dari tanah ini akan bercerita tentangnya.

يَوۡمَئِذٖ تُحَدِّثُ أَخۡبَارَهَا

“Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya.” (QS.Az-Zalzalah:4)

Dan sebelum semua itu, bukankah Allah Swt selalu memandang dan memperhatikan kita dalam kesendirian atau saat keramaian? Lalu kapan kita dalam keadaan sendiri? Sementara Allah Swt selalu menyertai kita kapanpun dan dimanapun.

وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِير

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al-Hadid:4)

Bukankah Dia Yang Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam benak dan hati kita ?

وَأَسِرُّواْ قَوۡلَكُمۡ أَوِ ٱجۡهَرُواْ بِهِۦٓۖ إِنَّهُۥ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS.Al-Mulk:13)

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Solusi Dari Berbagai Macam Fitnah (Bagian Kedua)

Hidup di dunia fana ini adalah ujian dan cobaan. Setiap likunya tidak mungkin bisa dipisahkan dalam hidup manusia. Setiap orang pasti mengalaminya. Fitnah berarti setiap ujian yang bisa mempengaruhi keutuhan iman seseorang.

Karena itulah, Nabi kita yang mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada umatnya untuk rajin-rajin memohon perlindungan dari bahaya fitnah. Beliau bersabda kepada para sahabat,

تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

Berlindunglah kepada Allah dari setiap fitnah, yang nampak maupun yang tidak nampak.
(HR. Muslim, no. 7392)

Di antara solusi jitu dari berbagai macam fitnah di dunia ini adalah bersabar. Bersabar dan kuatkanlah lagi kesabaran itu dalam menghadapi aneka ujian kehidupan.
Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.
(QS. Ali Imran: 200).

1. Bersabar dalam menahan lisan

Petaka lisan pada masa berkobarnya fitnah sangat buruk. Wajib hukumnya bagi setiap muslim memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisannya, karena bisa jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah Ta’ala dan bahkan sampai pada tingkat membahayakan kehidupan umat manusia di atas muka bumi ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Wahai Rasulullah, apakah kita diazab karena apa yang kita ucapkan?” Muadz bin Jabal bertanya.
Maka Rasulullah bersabda, “Bagaimana engkau ini wahai Muadz, bukankah seorang tertelungkup dalam neraka di atas wajahnya tidak lain karena sebab lisannya?”

(HR. At-Tirmidzi, no. 2616)

Di zaman modern dan era digital ini, maka sebagian ahli ilmu memberikan 3 syarat minimal ketika seorang hendak bicara, membuat status atau berkomentar di dunia nyata maupun dunia maya;

Pertama:
Baiknya niat sebelum berbicara

Kedua:
Baiknya cara penyampaian semisal mengetahui hal-hal yang layak disampaikan di khalayak ramai dan hal yang hanya layak dibicarakan dalam forum khusus atau terbatas.

Ketiga:
Baiknya dampak dengan melihat maslahat dan mudharat dari apa yang keluar dari lisan. Kata-kata tersebut tidak berdampak kegaduhan, membuat keributan, permusuhan, dan sebagainya. (faedah dari ceramah Syaikh Prof. Dr. Sulaiman Ruhaily).

2. Bersabar dalam beribadah kepada Allah Ta’ala

Dalam sebuah hadits yang datang dari jalur sahabat Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ..

“Sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Al-Khulafa-ur-Rasyidîn yang telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah oleh kalian hal-hal yang baru. Sesungguhnya hal-hal yang baru tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
(HR. Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42. Syaikh Al-Albani menilai derajat haditsnya ‘shahih’ dalam kitab Shahih Sunan Abi Daud, no. 3851).

Ibadah di zaman fitnah memiliki keutamaan yang banyak karena rata-rata manusia lalai dari urusan ibadah dan sibuk dengan urusan yang lain. Hanya sedikit saja yang benar-benar mengisi waktunya dengan ibadah. Oleh karena itu terdapat sebuah riwayat dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

“Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari berubah dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari ia berubah dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia”
(HR. Muslim no. 118).

Menjalankan perintah Allah setelah mendengar nasehat merupakan jalan-jalan ketegaran iman. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”
(QS. An-Nisaa’: 66)Baca:  Bahaya Syirik (Bagian 2)

Sebaliknya meninggalkan amal setelah mengilmuinya dan setelah mendengar nasehat adalah sebab kehinaan dan kesesatan.

3. Bersabar dengan bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa dalam setiap urusan

Orang yang tergesa-gesa, tidak bersikap tenang dan tidak berpikir matang dalam menangani urusan, maka dia akan membuka untuk dirinya dan orang lain suatu pintu keburukan dan mala petaka. Dia telah berbuat dosa dan akan mengakibatkan bahaya besar bagi masyarakat luas.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan dalam sabdanya yang mulia;

إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْه

“Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci (pembuka pintu) kebaikan dan gembok-gembok (penutup pintu) keburukan. Dan di antara manusia ada kunci-kunci (pembuka pintu) keburukan dan gembok-gembok (penutup pintu) kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah jadikan kunci-kunci kebaikan tersebut di kedua tangannya. Dan celakalah orang yang Allah jadikan kunci-kunci keburukan di kedua tangannya.”
(HR. Ibnu Majah, no. 237. Syaikh Al-Albani menilai derajat haditsnya ‘hasan’ dalan kitab Shahih Sunan Ibnu Majah, no 193).

Tidaklah akan terkumpulkan antara ketergesaan dan kesabaran, karena kesabaran mewujudkan tujuan, sementara ketergesaan (sikap terburu-buru) mewujudkan kegagalan dan keterbalikan. Allah Yang Maha Bijaksana berfirman:

فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم

“Bersabarlah (wahai Nabi) sebagaimana kesabaran para rasul ulul azmi dan janganlah engkau tergesa-gesa/terburu-buru bagi mereka (kaum mu)”
(QS Al-Ahqof: 35).

Sampai sahabat mulia Abdullah Bin Mas’ud berkata:

إِنَّهَا سَتَكُوْنُ أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات فَعَلَيْكُمْ بِالتُّؤَدَةِ ، فَإنَّكَ أَنْ تَكُوْنَ تَابِعًا فِي الْخَيْرِ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ رَأْسًا فِي الشَّرِّ

“Sesungguhnya akan ada hal-hal syubhat (samar). Wajib bagi kalian untuk berlahan-lahan. Sungguh, apabila engkau menjadi pengikut suatu kebaikan, itu lebih baik daripada engkau menjadi pemimpin suatu keburukan.”
(lihat makalah Dhawabit litajannubil fitan oleh Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq dalam situs www.al-badr.net).

4. Bersabar tidak berselisih dan selalu mengusahakan berjama’ah dengan kaum muslimin

Di antara pelajaran penting dari poin ini adalah menyerahkan urusan kepada ahlinya. Urusan ilmu serahkan kepada para ulama, urusan pemerintahan serahkan kepada pemerintah, jangan ikut campur dalam masalah yang bukan menjadi hakmu, jauhi perselisihan dan selalu menasehati untuk bersatu di atas agama Allah Ta’ala, niscaya akibatnya akan jauh lebih baik.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil-amri (orang yang memegang urusan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil-amri). Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).”
(QS. An-Nisa’: 83).

Perpecahan adalah suatu keburukan, sedangkan persatuan adalah rahmat. Dengan berjamaah, maka akan menghasilkan kesatuan, kekuatan ikatan dan ketinggian wibawa kaum muslimin.

Dari sahabat mulia An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ ، وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ

“Jamaah adalah rahmat (kasih sayang), sedangkan perpecahan adalah azab.”
(HR. Ahmad, 4/278). Syaikh Al-Albani menilai derajat haditsnya ‘hasan’ dalam kitab Shahihul Al-Jami,’ no. 3109).

Hadits lain juga berasal dari sahabat mulia ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

لَا تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا

“Janganlah kalian berselisih pendapat. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah berselisih pendapat, sehingga mereka pun binasa.”
(HR. Al-Bukhari, no. 2410).

Wallahu Ta’ala A’lam.

Referensi Tambahan: ‘Dhawabithu Litajannubil-Fitan’ Oleh Prof. Abdurrazzaq Al Badr

Disusun oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Selasa, 23 Rabiul Akhir 1442 H / 08 Desember 2020 M

<a href="http://<!– wp:paragraph –> <p>Read more </p> BIMBINGAN ISLAM

Notifikasi Empat Puluh Tahun

Ada apa dengan usia empat puluh tahun?

Imam Malik Rahimahullah berkata, “Aku mendapati para ulama di berbagai negeri, mereka sibuk dengan aktivitas dunia dan pergaulan bersama manusia. Ketika mereka sampai usia 40 tahun, mereka menjauh dari manusia.” (Al-Jaami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 14: 218)

Pengetahuan tentang pedoman agama dalam menjalani kehidupan ini merupakan hal yang amat penting bagi kita. Di antara pedoman tersebut adalah yang berkaitan dengan fase kehiduan di dunia yang mesti kita mengerti dan fahami. Bahwa ada sebuah masa di mana seorang manusia secara syariat dinilai telah sempurna dari sisi akal dan fikiran, yaitu saat berumur 40 tahun.

Banyak dalil yang menjelaskan tentang batasan usia 40 tahun sebagai titik tolak kesempurnaan akal ummat manusia.  Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ إِحۡسَٰنًاۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ كُرۡهٗا وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهٗاۖ وَحَمۡلُهُۥ وَفِصَٰلُهُۥ ثَلَٰثُونَ شَهۡرًاۚ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَةٗ قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah  mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai. Dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau. Dan sungguh aku termasuk orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Sebagaimana diterangkan oleh Imam Asy-Syaukani Rahimahullah, para ulama pakar tafsir menyatakan bahwa tidaklah seorang nabi diutus melainkan mereka telah berusia 40 tahun. Ayat ini menunjukkan bahwa jika seseorang mencapai usia 40 tahun, dia membaca doa seperti yang terdapat dalam ayat di atas (Fath Al-Qadir, 5:24).

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

…وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۢ بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡـٔٗاۚ

” … dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun). Sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya” (QS. Al-Haj: 5).

Maksud dari usia tua dalam potongan ayat (ثُمَّ لِتَكُونُواْ شُيُوخٗاۚ) menurut  Imam al-Qurthubi Rahimahullah adalah orang yang telah melewati usia 40 tahun (Al-Jami li Ahkamil Qur’an, 15: 330).

Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah juga menyatakan bahwa ketika seseorang berada dalam usia 40 tahun, maka akal, pemahaman, dan kelemah lembutannya telah sempurna (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 623).

Berdasarkan hal ini, siapa saja yang telah melewati usia 40 tahun hingga akhir hayatnya, maka sesungguhnya dia telah berada dalam fase-fase terakhir kehidupan menuju sisa jatah usia yang tidak terlalu lama lagi. Sebagaimana kehidupan manusia yang umumnya akan berakhir pada kisaran usia 60 hingga 70 tahun. Sebagaimana hadis dari Abu Hurarirah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “أَعْمَارُ أُمَّتـِيْ مَا بَيــْنَ سِتِّيْنَ وَسَبْعِيْنَ. وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَلِكَ

“Usia umatku (umat Islam) antara 60 hingga 70 tahun. Dan sedikit dari mereka yang melewatinya” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Shahihul Jaami’ no. 1073).

Karena kita tidak akan pernah tahu

Secara sederhana, apabila dirunut dari hitungan umur baligh seorang manusia, yaitu usia 15 tahun, maka waktu 25 tahun -mencapai umur 40- merupakan masa-masa pembentukan kualitas diri seseorang. Apabila masa tersebut dia pergunakan untuk  melakukan ketaatan kepada Allah, tentu di usia 40 tahun tersebut –biidznillah– dia akan terus berbuat baik. Sebaliknya, apabila sebagian besar masa tersebut dia habiskan dalam kubangan maksiat, maka dia akan terbiasa pula melakukannya di usia 40 ke atas –wal iyadzu billah-.

Tidak ada seorang hamba pun yang mengetahui kapan ajal tiba. Semuanya dalam kekuasaan dan pengetahuan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala yang menentukan sampai kapan seorang manusia diberikan jatah usia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam,

ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

“Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizki, ajal, amal, dan celaka atau bahagia” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu).

Kita pun tidak akan pernah tahu, apakah akan diwafatkan oleh Allah Ta’ala di usia muda belia atau di usia tua renta. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۢ بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡـٔٗا

“Dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun) sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya”  (QS. An-Nahl: 70).

Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan bahwa maksud diwafatkan adalah ketika masih kuat di masa mudanya. Sedangkan diwafatkan di usia yang sangat tua yaitu di usia lanjut dan tua renta, ketika kekuatan akal, fikiran, pemahaman, dan keadaan dirinya semakin berkurang, menyusut serta lemah (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 118, 832).

Oleh karena itu, selayaknya kita memanfaatkan sisa umur yang ada untuk senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Mati adalah suatu keniscayaan. Ketidaktahuan akan waktu datangnya ajal pun merupakan ciri khas kita sebagai makhluk Tuhan.

Maka sungguh benar ucapan mulia Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang telah mengingatkan kita tentang hal ini, yaitu agar mengingat lima perkara sebelum datangnya lima perkara,

قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لرجلٍ وهو يَعِظُه : اغتنِمْ خمسًا قبل خمسٍ : شبابَك قبل هَرَمِك، وصِحَّتَك قبل سَقَمِك، وغناك قبل فقرِك، وفراغَك قبل شُغلِك، وحياتَك قبل موتِك.

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum (datangnya) lima perkara (yang lain), 

(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,

(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,

(3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,

(4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,

(5) Hidupmu sebelum datang kematianmu” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 34).

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita agar kita selalu dapat mempersembahkan amal dan ibadah terbaik kepada Allah Ta’ala serta diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah.

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/60076-notifikasi-empat-puluh-tahun.html

Mualaf I Gede Nyoman Wisnu, Surat Al-Ikhlas Getarkan Hati

Hati mualaf I Gede Nyoman Wisnu bergetar dengar surat Al-Ikhlas meski belum Islam.

Wisnu, pria berusia 34 tahun lahir di keluarga yang berbeda agama. Ibunya seorang Muslimah, sedangkan ayahnya penganut Hindu. Perjalanannya menemukan hidaya Islam pun cukup berliku.

Sejak kecil, pemilik nama lengkap I Gede Nyoman Wisnu Satyadharma ini diajarkan dua agama dari kedua orang tuanya. Kebiasaan ini berlangsung hingga kelas lima SD. Wisnu lahir dan besar di Bandung, ayahnya hanya setiap pekan datang.  

Sejak kelas lima SD inilah, ayahnya memutuskan agar anak-anaknya hanya mempelajari agama sang ayah saja dan berhenti belajar tentang Islam. 

Wisnu kemudian memeluk hindu hingga SMA. Namun hal itu hanya untuk memenuhi apa yang diperintahkan orang tuanya.  

“Saya tidak yakin dengan agama itu, sehingga saya sejak SMA tidak beribadah agama apapun meski KTP saya masih Hindu,”ujar dia kepada Republika.co.id beberapa waktu lalu.

Hingga suatu hari, dia memutuskan kembali mempelajari Islam bersama temannya, sesama penganut Hindu. Namun Wisnu terhalang karena ketakutannya sendiri terutama khawatir akan berkonflik dengan sang ayah. 

Akhirnya hanya temannya yang memutuskan mualaf pada saat itu, sedangkan Wisnu masih menunda dan memutuskan untuk tidak beragama.   

“Ada rasa takut mengutarakan pendapat untuk memeluk Islam, sehingga saya mengurungkan niat saya,” jelas dia. 

Kemudian ketika masuk perguruan tinggi, Wisnu memiliki pergaulan yang lebih luas. Apalagi mayoritas mahasiswa di kampusnya merupakan Muslim. 

Wisnu mengakui saat itu dia merasa iri dengan teman Muslimnya, karena bisa menjalankan ibadah secara rutin tanpa rasa khawatir. Apalagi ketika ada masalah, hanya dengan sholat seseorang terlihat lebih tenang dan damai. 

Karena kedekatan dengan teman Muslim, Setelah lulus kuliah, Wisnu dikenalkan dengan komunitas Muslim yang bergerak di bidang sosial oleh pendirinya. Komunitas yang dikenal sebagai komunitas sedekah ini merupakan bagian dari proses Wisnu untuk menguatkan keyakinannya untuk memeluk Islam. 

Meski awalnya komunitas ini tidak memploklamirkan diri sebagai komunitas Islam, belakangan nafas Islam dari para pengurus dan anggota lebih kental. Karena ketika bergabung di awal Wisnu bukan seorang Muslim. 

“Saya kemudian menemukan bahwa ajaran Islam saya dapatkan dari komunitas ini terutama tentang ilmu sedekah. Saya membuktikan sendiri bahwa dengan bersedekah, harta kita tidak akan berkurang sedikitpun dan bahkan ditambah berkali lipat,” ujar dia.   

Balasan dari Allah SWT dari sedekah itu sangat besar dan ada keberkahan didalamnya. Apalagi saat mengunjungi panti asuhan, ada banyak momen-momen yang membuatnya terharu.  

“Pernah komunitas kita membuat acara dan anak panto tampil, sederhana hanya membacakan surat al-Ikhlas, tapi saat mendengar seketika haru dan hati bergetar hingga saya meneteskan air mata,” ujar dia. 

Namun saat itu belum juga membuatnya untuk berani memeluk Islam. Hingga tiga tahun lalu, Wisnu memutuskan untuk memeluk Islam.

Saat itu dia berpikir bahwa usia 31 tahun bukanlah usia yang muda lagi. Dia harus mengambil keputusan besar untuk memilih ajaran agama yang akan dipegangnya hingga akhir hayat.   

Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Wisnu memutuskan memilih agama Islam. Bukan berarti agama sebelumnya tidak baik, hanya saja Wisnu lebih yakin dengan kebenaran yang ada pada Islam.  

Banyak jawaban dari pertanyaan tentang kehidupan yang hanya dia temukan pada agama Islam dan tidak ada pada agama lain. Namum dia masih khawatir jika ayahnya mendengar dia memeluk keyakinan lain.  

Bukan karena akan dilarang atau dimusuhi, tetapi khawatir dengan kesehatan ayah dan dikucilkan keluarga dari ayah. Sehingga sebelum benar-benar bersyahadat, Wisnu memutuskan untuk mencari bukti kebenaran dari Rasulullah  SAW adalah benar-benar utusan Allah SWT dan Islam adalah agama yang benar. 

Wisnu mulai mencari informasi dari berbagai sumber, mulai dari buku sirah nabi. Namun dia tidak selesai membaca hingga tamat dan memutuskan untuk mencari ustadz. 

Dia menghadiri kajian beberapa ustadz yang sedang populer seperti Evi Evendy dan Hanan Attaki. Namun karena waktu mereka yang sangat padat sehingga sulit untuk mengajak mereka berdiskusi. 

Kemudian dia bertemu ustadz senior yang sering mengisi acara di kampusnya dan mulai bertukar pikiran. Wisnu pun sembari belajar sholat dan bertanya tentang bukti kenabian.  

Ustadz tersebut mencontohkan tentang Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saat kondisi nabi yang buta huruf. Ketika dulu banyak orang yang mendustakan Alquran dan dikira buatan Nabi, tetapi mereka tidak bisa membuat ayat yang sama indahnya dengan Alquran.

Namun karena masih ada kekhawatiran, ustadz tersebut meminta Wisnu untuk berdoa dengan cara apapun. Saat itu ustadz tersebut belum mengetahui jika Wisnu sudah mulai melaksanakan sholat meski hanya Al-Fatihah dan gerakan saja. 

“Saya diminta berdoa, redaksinya kira-kira seperti ini, Ya Rabb yang menciptakan aku, tunjukkan aku jalan kebenaran dan jauhkan dari bisikan syetan,”ujar dia.

Wisnu terus berdoa setelah sholat meski belum rutin. Setelah sepekan mencoba, ada rasa malas untuk sholat tetapi gelisah muncul sehingga dia memutuskan untuk sholat.    

Terbukti setelah sholat hati terasa tenang. Usai sholat, dia merasa yakin tidak perlu lagi mencari bukti kebenaran tentang Islam ataupun Nabi Muhammad utusan Allah

“Saat menjalankan sholat merasa ada ketenangan yang luar biasa sedangkan meninggalkannya menjadi gelisah berarti ada yang benar dengan sholat ini dan tidak perlu lagi sebuah bukti,”ujar dia.   

Bagi Wisnu bahwa ketenangan dalam sholat adalah bukti itu sendiri adalah benar Nabi muhammad utusan Allah. Setelah itu pada Juli 2018, Wisnu memutuskan untuk bersyahadat di Masjid Istiqamah, Bandung dibantu oleh Mualaf Center Bandung.   

Setelah bersyahadat Wisnu memutuskan mengunjungi ayahnya di Serpong. Setelah memberitahu ayahnya, apa yang dikhawatirkan tidak terjadi.

Malah ayahnya menerima dengan terbuka keputusan anaknya. Dan sebenarnya sejak 2012, ayahnya sempat bertanya tentang keyakinannya, hanya saja Wisnu belum berani mengutarakannya. Jika Wisnu mau mengakui di tahun itu, sebenarnya ayahnya pun menerima keputusan dia. Keluarga besar juga tidak mempermasalahkan, karena keluarganya hidup dengan multiagama.  

KHAZANAH REPUBLIKA