Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 2)

Dalil-dalil larangan ghuluw terhadap orang shalih

Bismillah walhamdulillah, wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du:

Disebutkan oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah dalam Kitabut Tauhid alladzi huwa haqqullah ‘alal ‘abiid sebuah bab yang berjudul :

باب ما جاء أن سبب كفر بني آدم وتركهم دينهم هو الغلو في الصالحين

Bab (tentang) sebab kekafiran manusia dan sebab mereka meninggalkan agama Islam adalah melampaui batas terhadap orang shalih.

Lalu beliau menyebutkan beberapa dalil tentang larangan bersikap melampaui batas terhadap orang shalih atau yang dikenal dengan istilah ghuluw terhadap orang shalih.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nisaa’ ayat 171,

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Wahai ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian!”

Dalam Ash-Shahihain, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah Ta’ala,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا 

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.” (QS. Nuuh: 23)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

هذه أسماء رجال صالحين من قوم نوح، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون فيها أنصابا، وسموها بأسمائهم، ففعلوا. ولم تعبد حتى إذا هلك أولئك ونُسي العلم عُبدت

“Ini adalah nama-nama orang-orang shalih di kalangan kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan godaannya kepada kaum mereka,

“Dirikanlah patung-patung di majelis-majelis yang dahulu didatangi oleh orang-orang shalih itu. Dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.”

Kemudian kaum itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut, dan sewaktu itu patung-patung tersebut belumlah disembah. Sampai orang-orang yang mendirikan patung tersebut telah mati dan (ketika itu) ilmu tauhid telah dilupakan, akhirnya patung-patung tersebut disembah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah Ta’ala menjelaskan,

“Lebih dari seorang salaf shalih yang berkata,

لما ماتوا عكفوا على قبورهم، ثم صوروا تماثيلهم، ثم طال عليهم الأمد فعبدوهم

“Tatkala orang-orang shalih itu meninggal dunia, mulailah orang-orang berlama-lama berdiam diri di makam mereka. Kemudian mereka membuat patung-patung orang-orang shalih tersebut. Berlalulah masa yang panjang, hingga mereka pun menyembah orang-orang shalih tersebut.”

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تُطروني كما أطرت النصارى ابن مريم؛ إنما أنا عبد، فقولوا: عبد الله ورسوله

Janganlah kalian melampaui batas dalam menyanjungku, sebagaimana kaum Nashara melampaui batas dalam menyanjung Nabi Isa putra Maryam! Sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu, katakanlah (bahwa aku adalah ) hamba Allah dan Rasul-Nya!” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إياكم والغلو؛ فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو

“Awas, jauhilah sikap melampaui batas! Karena sikap melampaui batas adalah perkara yang membinasakan kaum sebelum kalian!” (HR. An-Nasaa’i dan selainnya, dinilai shahih oleh Al-Albani rahimahumallah)

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هلك المتنطعون ، قالها ثلاثا

“Binasalah orang-orang yang melampaui batas!” (Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tiga kali)

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 1)

Siapakah orang saleh itu?
Bismillah walhamdulillah, wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.

Definisi orang saleh
Orang saleh adalah orang yang taat kepada Allah Ta’ala, yaitu orang yang melaksanakan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Berdasarkan syariat Islam, orang saleh terdiri dari dua tingkatan, yaitu:

Pertama, As-Saabiq bil khairat
As-Saabiq bil khairat adalah orang yang bersegera dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan. Mereka inilah orang-orang yang memiliki dasar keimanan dan menyempurnakan keimanannya, baik dengan amal wajib maupun amal sunah (ahli kamal iman al-mustahab) [1].

Tingkatan ini adalah tingkatan orang-orang yang melaksanakan perkara yang wajib dan yang sunah, serta meninggalkan perkara yang haram, makruh, dan sebagian perkara yang mubah (halal). Tingkatan ini adalah tingkatan yang tertinggi dalam keimanan, yaitu tingkatan yang sampai pada derajat ihsan.

Kedua, Al-muqtashid
Al-muqtasihid adalah orang-orang pertengahan yang memiliki dasar keimanan dan menyempurnakan keimanannya yang wajib (ahli kamal iman al-wajib), namun belum sampai derajat kesempurnaan iman yang sunah [2].

Tingkatan ini adalah tingkatan orang-orang yang melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perkara haram, meninggalkan sebagian perkara yang sunah, dan melakukan sebagaian perkara yang makruh [3].

Dinamakan “muqtashid” karena tingkatannya pertengahan. Maksudnya tingkatan mereka di atas orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri (zhalim linafsih) dan di bawah as-saabiq bil khairat (orang yang bersegera dan bersungguh-sungguh melakukan kebaikan) [4].

Dengan demikian, yang disebut sebagai “orang saleh” secara syariat adalah tingkatan al-muqtashid dan tingkatan as-sabiq bil khairat [5].

Tingkatan al-muqtashid ini berada di bawah tingkatan as-sabiq bil khairat, sedangkan tingkatan as-sabiq bil khairat adalah tingkatan yang tertinggi dalam kesalehan.

Dua tingkatan ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Faathir: 32)

Satu tingkatan yang tidak termasuk golongan orang saleh
Sedangkan satu tingkatan yang disebutkan dalam ayat ke-32 dalam surat Faathir di atas, namun tidak termasuk ke dalam golongan orang saleh adalah orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, yaitu zhalim linafsih. Mereka adalah orang-orang yang memiliki dasar keimanan, keislamannya sah, namun meninggalkan kewajiban atau mengerjakan perkara haram. Mereka adalah seorang muslim pelaku dosa besar (muslim fasiq).

Tiga jenis manusia dalam bersikap terhadap orang saleh
Untuk mengetahui siapa saja golongan yang bersikap salah (keliru) terhadap orang saleh, maka kita perlu mengetahui bagaimanakah batasan syariat Islam terkait hak orang saleh.

Batasan syariat Islam terkait hak orang saleh adalah mencintainya sesuai dengan tingkatan keimananya, menghormatinya sewajarnya, membela mereka dalam kebenaran, mencontoh mereka dalam kebaikan, dan sikap selainnya yang diziinkan dalam syariat Islam.

Dan jika orang saleh itu adalah Rasulullah (utusan Allah) Alaihis salam, maka umatnya wajib untuk mengambil syariat yang dibawa dan taat kepadanya Alaihis salam.

Dalam bersikap terhadap orang saleh, manusia terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama, melampui batasan syari’at Islam (berlebihan), ini sikap yang salah
Contoh sikap terhadap orang saleh yang berlebihan adalah menyanjungnya dengan melampui batas; membangun dan memberi lampu terhadap kuburnya; beribadah kepada Allah di sisi kuburnya; ngalap berkah dengan jasad dan peninggalannya; membela orang saleh tanpa melihatnya apakah dia benar atau salah; dan selainnya dari sikap yang melebihi batasan syariat Islam. Puncak sikap berlebihan terhadap orang saleh adalah dengan menyembahnya dan menuhankannya. Wal’iyadzu billah.

Kedua, pertengahan, ini sikap yang benar karena sesuai dengan batasan syariat Islam. Seperti batasan syariat Islam yang telah kami sebutkan di atas.

Ketiga, mengurangi batasan syariat Islam (menelantarkan atau merendahkan), ini juga sikap yang salah.

Maksudnya adalah bersikap merendahkan orang saleh, tidak menghormatinya sesuai dengan kedudukannya, tidak mencintainya sesuai dengan kesalehannya, tidak membelanya saat berada pada pihak yang benar, atau tidak memenuhi hak-haknya sebagai orang saleh [6].



Renungan
Sikap berlebihan terhadap orang saleh, dan sikap merendahkan (menelantarkan) hak-haknya adalah dua sikap yang sama-sama salah dan berbahaya, wajib bagi kita untuk menghindarinya.

Bahkan sikap berlebihan terhadap orang saleh itu bisa menghantarkan kepada kekafiran. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Muhammad At-Tamimi Rahimahullah dalam Kitabut Tauhid alladzi huwa haqqullah ‘alal ‘abiid dalam bab yang berjudul,

باب ما جاء أن سبب كفر بني آدم وتركهم دينهم هو الغلو في الصالحين

“Bab (tentang) sebab kekafiran manusia dan sebab mereka meninggalkan agama Islam adalah (sikap) melampui batas terhadap orang saleh”.

Insyaallah, bab ini akan kita pelajari dalam serial artikel ini selanjutnya.


Sibukkanlah Dirimu dalam Amal Shalih
Teladan Kebaikan Dari Para Keluarga Salafus Shalih
[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id



Kisah-Kisah Menghidupkan Orang Mati dalam Al-Qur’an

Allah Swt telah beberapa kali menceritakan tentang fenomena menghidupkan orang mati di dunia sebagai bukti bahwa kelak semua akan dihidupkan kembali di hari kiamat.

Nah, kali ini kita akan mengangkat beberapa kisah “menghidupkan orang mati” yang di abadikan didalam Al-Qur’an.

1). Bani Israil dan Nabi Musa as.

Kisah ini bermula ketika Bani Israil menantang Nabi mereka yaitu Musa as dengan perkataan :

وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَٰمُوسَىٰ لَن نُّؤۡمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى ٱللَّهَ جَهۡرَةٗ فَأَخَذَتۡكُمُ ٱلصَّٰعِقَةُ وَأَنتُمۡ تَنظُرُونَ

Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas,” maka halilintar menyambarmu, sedang kamu menyaksikan. (QS.Al-Baqarah:55)

Mereka pun mati setelah tersambar halilintar kemudian Allah menghidupkan mereka kembali.

Allah Swt Berfirman :

ثُمَّ بَعَثۡنَٰكُم مِّنۢ بَعۡدِ مَوۡتِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

“Kemudian, Kami membangkitkan kamu setelah kamu mati, agar kamu bersyukur.” (QS.Al-Baqarah:56)

2). Korban mayat dari Bani Israil dan perintah Allah untuk menyembelih sapi betina.

Dalam kisah yang cukup terkenal dalam Surat Al-Baqarah, ditemukan mayat korban pembunuhan ditengah Bani Israil dan pelakunya dituduhkan kepada orang dari Qabilah lain yang tak bersalah. Padahal pembunuh sebenarnya adalab sepupunya sendiri.

Hampir terjadi peperangan antar Qabilah kemudian mereka merujuk kepada Nabi Musa as untuk mencari solusi.

Dan dengan bimbingan wahyu dari Allah, Nabi Musa as memerintahkan untuk mencari sapi betina dan menyembelihnya. Kemudian mayat korban tersebut dipecut dengan salah satu bagian dari sapi tersebut dan ia pun hidup kembali untuk memberi tau siapa sebenarnya sang pembunuh.

وَإِذۡ قَتَلۡتُمۡ نَفۡسٗا فَٱدَّٰرَٰٔتُمۡ فِيهَاۖ وَٱللَّهُ مُخۡرِجٞ مَّا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ – فَقُلۡنَا ٱضۡرِبُوهُ بِبَعۡضِهَاۚ كَذَٰلِكَ يُحۡيِ ٱللَّهُ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَيُرِيكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ

Dan (ingatlah) ketika kamu membunuh seseorang, lalu kamu tuduh-menuduh tentang itu. Tetapi Allah menyingkapkan apa yang kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman, “Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari (sapi) itu!” Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti. (QS.l-Baqarah:72-73)

3). Desa yang telah dimatikan oleh Allah kemudian dihidupkan kembali.

Terjadi pandemi yang dahsyat di rumah-rumah salah satu kaum terdahulu , sehingga mereka keluar dari rumah-rumah mereka karena takut akan kematian. Lalu Allah mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali untuk menyempurnakan ajal mereka.

۞أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَهُمۡ أُلُوفٌ حَذَرَ ٱلۡمَوۡتِ فَقَالَ لَهُمُ ٱللَّهُ مُوتُواْ ثُمَّ أَحۡيَٰهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَذُو فَضۡلٍ عَلَى ٱلنَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشۡكُرُونَ

Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamannya, sedang jumlahnya ribuan karena takut mati? Lalu Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu!” Kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS.Al-Baqarah:243)

4). Seseorang yang dimatikan oleh Allah selama 100 tahun kemudian dihidupkan kembali.

Diceritakan dalam Al-Qur’an, ada seorang yang dimatikan oleh Allah selama 100 tahun kemudian dihidupkan kembali. Kala itu dia bersama seekor keledai dan ada makanan serta minuman di sekitarnya. Keledai itu telah menjadi tulang belulang namun makanan dan minumannya masih utuh.

Allah Swt menceritakan dalam Firman-Nya :

أَوۡ كَٱلَّذِي مَرَّ عَلَىٰ قَرۡيَةٖ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحۡيِۦ هَٰذِهِ ٱللَّهُ بَعۡدَ مَوۡتِهَاۖ فَأَمَاتَهُ ٱللَّهُ مِاْئَةَ عَامٖ ثُمَّ بَعَثَهُۥۖ قَالَ كَمۡ لَبِثۡتَۖ قَالَ لَبِثۡتُ يَوۡمًا أَوۡ بَعۡضَ يَوۡمٖۖ قَالَ بَل لَّبِثۡتَ مِاْئَةَ عَامٖ فَٱنظُرۡ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمۡ يَتَسَنَّهۡۖ وَٱنظُرۡ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجۡعَلَكَ ءَايَةٗ لِّلنَّاسِۖ وَٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡعِظَامِ كَيۡفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكۡسُوهَا لَحۡمٗاۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥ قَالَ أَعۡلَمُ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِير

Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?” Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Baqarah:259)

Itulah beberapa kisah menghidupkan orang yang mati yang di abadikan oleh Al-Qur’an. Sekali lagi, Allah menghidupkan manusia yang mati di dunia sebagai bukti kekuasaan-Nya bahwa semua manusia kelak akan dibangkitkan kembali di Hari Kiamat.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Kedzaliman Adalah Sebab dari Hancurnya Negara

Di dalam Al-Qur’an, kita mendapati begitu banyak dalil-dalil yang melarang dan mengharamkan kedzaliman. Cukup satu bukti bahwasa-Nya Allah Swt mengharamkan kedzaliman pada Diri-Nya maka Allah pun mengharamkan hal itu pada hamba-hambaNya.

Dijelaskan pula bahwa para Nabi dan Rasul diutus untuk menegakkan keadilan di antara manusia, dengan kata lain melawan kedzaliman !

لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ

“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.” (QS.Al-Hadid:25)

Kenapa kedzaliman haru selalu dilawan ?

Karena kedzaliman adalah sebab dari kehancuran. Semua bangunan perlahan akan hancur bila dipenuhi dengan kedzaliman di dalamnya.

Kedzaliman membawa kehancuran pada rumah tangga, masyarakat bahkan Negara sekalipun. Kedzaliman akan menggiring masyarakat menuju masa depan yang suram.

Tidak ada sesuatu yang lebih cepat membawa kehancuran melebihi perbuatan dzalim. Karena kedzaliman tidak mengenal batas dan tidak pernah ada ujungnya.

Dan salah satu Sunnatullah yang tidak akan pernah berubah adalah bahwa akhir cerita dari orang-orang dzalim adalah kehancuran dan kesengsaraan. Mereka tidak akan pernah berhasil dengan rencana-rencana busuk yang mereka siapkan. Walau terkadang mereka tampak kuat dan sukses, namun semua kejayaan itu tidak akan bertahan lama.

فَسَوۡفَ تَعۡلَمُونَ مَن تَكُونُ لَهُۥ عَٰقِبَةُ ٱلدَّارِۚ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Kelak kamu akan mengetahui, siapa yang akan memperoleh tempat (terbaik) di akhirat (nanti). Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu tidak akan beruntung. (QS.Al-An’am:135)

Kesimpulannya, keamanan dan ketentraman hidup ini tidak akan terwujud tanpa keadilan. Kekuatan apapun tidak akan membawa masyarakat menuju kesejahteraan tanpa adanya keadilan. Karenanya, mari kita menjaga diri dari perbuatan dzalim mulai dari lingkup terkecil dalam kehidupan kita. Karena kedzaliman pasti akan membawa kepada kehancuran.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Ucapan Selamat Natal Menurut Madzhab Syafi’i

Asy-Syarbini (wafat 977 H) –rahimahullah-, salah seorang ulama besar Madzhab Syafi’i mengatakan:

“Dan diberi hukuman ta’zir*, seorang yang mengikuti orang-orang kafir dalam merayakan hari raya mereka. Begitu pula orang yang memberikan ucapan selamat kepada seorang kafir dzimmi di hari rayanya” (Mughnil Muhtaj, Asy-Syarbini, 5/526).

Hal senada juga disebutkan dalam banyak kitab syafi’iyyah lainnya, diantaranya: Al-Iqna’ fi halli Alfazhi Abi Syuja’ (2/526), Asnal Matholib (4/162), Tuhfatul Muhtaj (9/181), Hasyiata Qolyubi wa Amiroh (4/206), Annajmul Wahhaj (9/244).

Bahkan lebih tegas lagi Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 982 H) –rahimahullah– mengatakan: “Kemudian aku lihat ada sebagian para imam kami yang muta’akhirin telah menyebutkan keterangan yang sesuai dengan apa yang telah kusebutkan, dia mengatakan:

‘Diantara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya – hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi –shallallahu alaihi wasallam– telah bersabda: Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka‘.

Bahkan Ibnul Hajj mengatakan: ‘Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut’” (Fatawa Fiqhiyyah Kubra, Ibnu Hajar Al-Haitami, 4/239).

Mungkin sebagian dari mereka beranggapan bahwa dengan mengucapkan selamat untuk hari raya mereka akan menjadikan mereka tertarik untuk masuk Islam. Tapi tidakkah mereka mengingat Firman Allah ta’ala (yang artinya):

Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani TIDAK AKAN rela kepadamu, hingga kamu mengikuti agama mereka“. (QS. Al Baqoroh: 120).

Begitu pula firmanNya (yang artinya):

Orang-orang kafir akan TERUS memerangi kalian hingga mereka menjadikan kalian keluar dari agama kalian” (QS. Al Baqoroh: 217).

Jika mereka ingin umat lain masuk Islam, maka hendaklah mereka mendakwahi mereka dengan sesuatu yang dibenarkan oleh syariat, misalnya dengan akhlak mulia dan dakwah yang penuh hikmah. Ingatlah tujuan yang mulia haruslah ditempuh dengan jalan yang mulia pula. Wallohu a’lam.

*) ta’zir adalah hukuman yang diberikan waliyul amr dalam rangka untuk memberi efek jera, terhadap perbuatan yang melanggar syariat namun tidak ditentukan hukuman dan kafarah-nya dari syariat, karena melihat adanya maslahah, dan jenis hukumannya ditentukan berdasarkan ijtihad hakim.

Penulis: Ust. Musyafa Ad Darini, Lc., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

Islam dan Kebebasan Berpikir

Islam adalah agama yang argumentatif. Setiap ingin menyampaikan sesuatu atau mengajak manusia untuk melakukan sesuatu, Islam selalu datang dengan dalil-dalil yang kuat dan argumentasi yang kongkrit.

Islam bukanlah agama doktrin yang membelenggu akal. Islam bukanlah agama kaku yang melarang pengikutnya untuk belajar sesuatu yang lain.

Islam membuka pintu lebar-lebar kepada siapapun yang ingin belajar, mencari dan mendengar pendapat yang lain. Karena Islam tidak pernah takut pengikutnya akan terpengaruh dengan ajaran ataupun pemikiran yang lainnya.

Mungkin kita pernah mendengar ajaran ataupun pemikiran yang melarang pengikutnya untuk mencari tau tentang ajaran lainnya, bahkan membaca buku dari pemikiran lain saja dilarang.

Hal ini muncul karena para elit dalam ajaran itu takut pengikutnya akan meninggalkan kepercayaan ini dan berpindah kepada keyakinan baru yang lebih masuk akal. Mereka sadar bahwa apa yang selama ini diyakini tidak memiliki argumentasi yang kuat sehingga mudah digoyang dengan pemikiran yang lain.

Namun Islam tidak lah demikian. Agama ini begitu percaya diri karena semua dalilnya sangat kuat dan berasal dari Tuhan Pencipta Alam.

Bahkan Al-Qur’an menyebut orang yang berakal adalah orang yang mau mendengar semua informasi, membaca segala macam buku, lalu ia memikirkan dan memilih yang terbaik untuk diikuti.

Bukankah Allah swt berfirman,

وَٱلَّذِينَ ٱجۡتَنَبُواْ ٱلطَّٰغُوتَ أَن يَعۡبُدُوهَا وَأَنَابُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ لَهُمُ ٱلۡبُشۡرَىٰۚ فَبَشِّرۡ عِبَادِ – ٱلَّذِينَ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقَوۡلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحۡسَنَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Dan orang-orang yang menjauhi Tagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS.Az-Zumar:17-18)

Islam sangat yakin dan percaya diri bahwa orang yang berakal akan memilih yang terbaik dan tidak akan terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran lainnya. Mereka tidak takut membaca hal yang lain, tapi mereka juga tidak akan menerimanya begitu saja.

Islam mengajak setiap pengikutnya untuk membaca segala hal, tapi jangan lupa untuk memilih dan merenungkan mana yang terbaik.

Lebih dari itu, Islam juga mengecam orang-orang yang menutup telinga dari hal-hal yang baru karena mereka fanatik terhadap kepercayaan lama yang selama ini mereka pegang.

Sebagaimana Allah menceritakan umat Nabi Nuh as,

وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوۡتُهُمۡ لِتَغۡفِرَ لَهُمۡ جَعَلُوٓاْ أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَٱسۡتَغۡشَوۡاْ ثِيَابَهُمۡ وَأَصَرُّواْ وَٱسۡتَكۡبَرُواْ ٱسۡتِكۡبَارٗا

“Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.” (QS.Nuh:7)

Jangan asal menerima tapi jangan menutup telinga dan fanatik terhadap pengetahuan yang selama ini engkau punya. Dunia ini luas, ilmu pengetahuan pun sangat luas !

Terbukalah dengan berbagai hal dan renungkan apa yang kau dengar. Karena Al-Qur’an sangat memuji dan menghargai orang yang mau mendengar berbagai pendapat lalu memilih yang terbaik. Mereka lah yang disebut orang-orang yang berakal dan merekalah orang-orang yang mendapat hidayah serta petunjuk dari Allah swt.

Semoga bermanfaat..

Ketika Orang-Orang Baik Diam!

Ada sebuah ungkapan Inggris mengatakan “enough for evil to thrive when the good people do nothing”. Arti dari ungkapan ini kira-kira: “cukuplah kejahatan itu akan merajalela ketika orang-orang baik tidak melakukan apa-apa”. 

Dalam Islam seruan kepada kebaikan dan larangan dari kejahatan atau keburukan menjadi salah satu fondasinya. Bahkan ada yang mengatakan seandainya ada rukun Islam yang keenam maka “amar ma’ruf dan nahi mungkar” adalah rukunnya yang keenam. 

Alqur’an pun mengaitkan antara kejayaan kolektif umat, bahkan menjadi karakteristik utama Umat ini sebagai Umat terbaik,  dengan tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar ini. Alquran menyebutkan: “dan hendaklah ada di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkinan. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali-Imran: 104). 

Lalu pada ayat 110 Allah menyampaikan: “dan kamu adalah Khaer Ummah (Umat terbaik) yang telah dihadirkan untuk manusia. Kamu menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran dan beriman kepada Allah”. 

Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa suatu ketika Allah memerintahkan malaikat untuk menghacurkan sebuah kota atau kampung (qaryah). Setiba di kampung itu sang malaikat ternyata menemukan ada seorang yang saleh, yang kerjanya hanya beribadah dan berdzikir. Malaikat pun menjadi ragu melakukan perintah Allah itu. Maka dia kembali menyampaikan kepada Allah bahwa ada seorang yang ahli ibadah dan dzikir di kampung itu. Kalau kampung itu dihancurkan maka dia akan ikut jadi korban. Mengejutkan, Allah ternyata berkata kepada sang malaikat itu: “hancurkanlah dulu orang itu. Karena dia sadar akan agama dan Tuhan, tapi tidak peduli dengan berbagai kejahatan dan dosa di kampung itu”. 

Di tengah dunia yang penuh gongangan dan fitnah saat ini, kewajiban mendasar Islam ini perlu diambil secara serius. Diam di hadapan kemungkaran sejatinya adalah kemungkaran itu sendiri. Diam di hadapan pelaku kemungkaran adalah melakukan kemungkaran tersendiri. 

Berbagai kezholiman dan ketidak adilan yang tidak saja tanpa lagi malu-malu dipertontonkan. Kezholiman dan ketidak adilan serta kesemena-menaan sebagian orang saat ini bahkan direkayasa diputar balik seolah kebaikan. Menzholimi orang lain tidak jarang dijuluki dengan menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas.

Di sinilah kewajiban amar ma’ruf nahi mungkin menjadi semakin menemukan tantangannya. Dan orang-orang beriman yang merasa mewakili kebenaran dan kebaikan secara langsung tertantang untuk bangkit dan menyuarakan resistensi itu. 

Tentu kita sadar dan harus saling mengingatkan bahwa dalam prosesnya amar ma’ruf dan nahi mungkar harus tetap menjaga norma-norma “al-ma’ruf” sehingga prosesnya justeru tidak menjadi “al-mungkar” dengan sendirinya. 

Artinya, amar ma’ruf dan nahi mungkar itu harus dilakukan dalam bingkai akhlakul karimah. Yaitu bersifat positif dan konstruktif. Tidak negatif dan destruktif. Dan pastinya dengan petimbangan asas “dar’u al-mafasid wa jalbu al-mafasid”. Yaitu pertimbangan yang selalu mengedepankan manfaat dan menghindari mudhorat yang lebih besar. 

Khusus dalam konteks keIndonesiaan pastinya proses amar ma’ruf dan nahi mungkar juga tidak boleh keluar dari batas-batas aturan/hukum nasional yang disepakati. Maknanya bahwa perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetap harus memperhatikan aspek konstitusionalnya. 

Intinya adalah semua orang yang ada setitik cahaya Iman di dadanya wajib menyampaikan resistensi (penentangan) kepada kezholiman dan kesemena-semenaan sebagian manusia. Siapapun yang pelakunya, termasuk mereka yang sedang diamanahi oleh Allah dengan otoritas atau kekuasaan. 

Hadits populer yang kita kenal menyatakan: “siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah dirubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Dan Jika masih tidak mampu maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman”. 

Diam di hadapan kemungkaran, kezholiman dan kesemena-menaan itu pertanda jika iman anda sedang mengalami krisis berat. Anda perlu segera ke bengkel hati sebelum hati anda mengalami kematiannya.  Bahkan lebih jahat lagi orang yang diam di hadapan kemungkaran, kejahatan, kezholiman dan kesemena-menaan itu bagaikan syetan yang bisu (syaithoon akhrash). 

Tapi yang lebih berbahaya lagi adalah ketika diamnya anda ternyata memang bukti jika anda telah menjadi bagian kokaborasi yang terbangun antara anda dan kejahatan itu. Maklumlah Iblis dan konco-konconya itu cerdas dalam membangun networking dan kolaborasi. 

Alquran menggambarkannya dengan: “ba’dhuhum aulaiyaa ba’dha” (mereka para syetan dan penjahat itu saling berkolaborasi dan saling melindungi di antara mereka). Wa’iyadzy billah! 

Batam, 14 Desember 2020

Oleh Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation)

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Mengenal Allah Sehingga Hati Menjadi Tenang

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang cara mengenal Allah sehingga hati menjadi tenang.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.Saya mau tanya. Bagaimana cara mengenal Allah, mengetahui siapa Allah itu? kemudian meyakini Allah sampai akhirnya mencintai Allah?
Sebab perkara ini membuat saya selalu bertanya-tanya dan hidup dengan hati ragu.

(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.Mengenal Allah harus dengan cara Allah, karena Allah belum pernah ada yang berjumpa langsung dengan-Nya  di dunia ini, maka tiada cara untuk mengenalnya kecuali melalui apa yang Allah beritahukan sendiri tentang dirinya kepada para hamba-Nya.Semua melalui lisan para nabi dan para Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

 يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
(QS. Al Maidah:67)

Allah juga berfirman :

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS An Nisaa’:165)

Dari para Nabi dan Rasul kita mengenal Allah dan mengenal kewajiban kita sebagai seorang hamba. Untuk menunjukkan bahwa memang benar seorang hamba mengenal RabbNya. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

 وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُون

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.”
[Adz Dzaariyaat:56].

Juga firmanNya:

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : “Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.”
(QS Al Anbiyaa’:25).

Dari sini maka kita tidak akan mungkin bisa mengenal Allah kecuali dengan mempelajari segala sesuatu yang telah diterangkan oleh Rasul-Nya tentang Dzat-NYa, apa hak-hak-Nya yang harus dijaga dan kewajiban apa yang semestinya para hamba jalankan untuk mengabdi kepada-Nya.

Hanya dengan cara itu seorang hamba mengenal Allah, dengan ilmu bukan dengan mimpi dan bualan dusta yang banyak disebarkan. Belajar dari sumbernya, dari alquran dan as-sunnah (hadits) dengan pemahaman yang dijelaskan oleh para sahabat Rasulullah. Kita tidak butuh khayalan dan kedustaan, yang kita butuhkan adalah penjelasan valid dari pihak dan sumber yang benar. tanpa penambahan dan pengurangan.

Dari bukti kenabian berupa al-quran dan al-hadist yang sahih kita bisa mengenal Allah, yang kemudian di dukung dengan bukti nyata dari alam semesta dan makhluk di sekitar untuk meyakinkan bahwa kita tidak mungkin tercipta tanpa adanya Dzat yang Maha Pencipta dan Maha Hebat dari seluruh makhluk-Nya.

Utamanya bila seseorang belajar tentang ilmu tauhid, ilmu tentang Allah dan kewajiban mengesakan Allah. Ilmu yang sangat di tekankan oleh Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam ketika mendakwahkan ajaran islam. Tidak tanggung tangung, selama tiga belas tahun lamanya Rasulullah berjuang mengenalkan hakikat Allah ta’ala kepada kaumnya di Mekkah, walau banyak rintangan sampai akhirnya terusir dari tempat kelahirannya.

فقد قال ابن رجب: أفضل العلم: العلم بالله وهو العلم بأسمائه وصفاته وأفعاله، التي توجب لصاحبها معرفة الله وخشيته ومحبته وهيبته وإجلاله وعظمته والتبتل إليه والتوكل عليه والصبر عليه، والرضا عنه والانشغال به دون خلقه. انتهى

Berkata Ibnu Rajab, ”Paling mulianya ilmu adalah ilmu tentang Allah yaitu ilmu terhadap nama, sifat dan kehendak-Nya, yang menuntut kepada para hamba untuk mengetahui Allah, takut, cinta, tunduk, mengagungkan, memuliakan dan beribadah kepada-Nya, serta bertawakal kepada-Nya, bersabar atas kuasanya dan menyibukkan diri hanya kepada-Nya, bukan kepada makhluk-Nya.”

Bisa di ikhtisarkan, bahwa cara mengenal Allah  adalah dengan cara belajar  ilmu syar’i, atau dengan membaca ayat ayatnya yang syar’iyyah (dari dalil al-quran dan as-sunnah), dengan penuh tadabbur (penghayatan) . Atau juga dengan cara memperhatikan dengan segala makluk-Nya yang  bisa di rasakan dengan panca indera kita, untuk meyakinkan bahwa Allah dzat yang Maha Besar.

Itulah sekilas, usaha untuk lebih mengenal Allah, sampai akhirnya kita benar benar Mencintai Allah dan Allahpun cinta kepada hamba karena pengabdianNya.

Semoga dengan usaha kita mengenal Allah, Allah akan memberikan kebahagian kepada kita semua.

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Selasa, 30 Rabiul Akhir 1442 H/ 15 Desember 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Menyikapi Vaksin Covid, Apakah Dianggap Mendahului Takdir?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang menyikapi vaksin covid.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.

Bagaimana menyikapi jika pemerintah mewajibkan masyarakat untuk melakukan vaksinasi untuk mengendalikan keamanan dari wabah covid ini. Dan seperti wabah-wabah sebelumnya dengan vaksin yang berbeda.
Kemudian, apakah kita dianggap mendahului takdir jika melakukan vaksinasi sebagai ikhtiar mencegah terkena suatu penyakit?
Mohon penjelasannya secara detail ustadz. Jazakillahu khair.(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتِ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ فِيْ ذَ لِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ

“Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar sehari itu dari racun dan sihir.”
[HR. al-Bukhari: 5768 dan Muslim:4702]

Dari dalil di atas, menunjukkan bahwa ikhtiar yang di lakukan seseorang untuk mengantisipasi suatu penyakit atau hal yang dikhawatirkan atau ditakutkan supaya tidak terjadi adalah amalan yang dibolehkan oleh syariat dan tidak mendahului takdir. Terlebih bila vaksin tersebut di wajibkan oleh pemerintah karena ada pertimbangan yang di khawatirkan. Maka seyogyanya seseorang hendaknya mentaati pemimpinnya, selama tidak memerintakan kepada kemaksiatan.

Lalu bagaimana bila ada dzat yang diyakini berbahaya yang akan mencederai tubuh seseorang atau dianggap dalam vaksin tersebut ada bahan yang dilarang dikonsumsi oleh seorang muslim?

Selama meyakini adanya kedua hal tersebut, dari sumber dan dipercaya maka seseorang hendaknya tidak melakukannya, kecuali bila ada kedaruratan untuk melakukan vaksin, maka diperbolehkan menggunakan hal yang di haramkan. Sebagaimana sabda nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam,

 إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا، وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram”
[ash-Shahihah 4/174]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارِ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.”

Silahkan lebih detailnya dapat dipelajari lebih lanjut pada link link berikut :

Referensi:
https://almanhaj.or.id/2536-kontroversi-hukum-imunisasi-polio.html
https://bimbinganislam.com/hukum-vaksin-mr-measles-and-rubela/
https://bimbinganislam.com/jika-wabah-telah-sampai-di-daerahmu-tentang-corona/

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Rabu, 01 Jumadal Ula 1442 H/ 16 Desember 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Benarkah Shaf Terdepan Paling Utama?

TERPUJILAH Allah semesta alam yang menjadikan salat berjemaah di masjid memiliki keutamaan yang jauh lebih besar dibandingkan salat sendirian di rumah. Selain itu, bergegas memenuhi seruan muadzin demi mendapatkan shaf pertama pun menjadi hal penting sebagaimana yang kita ketahui selama ini. Namun, apakah benar bahwa shaf terdepan adalah yang paling utama?

Marilah kita simak untaian kalimat dari baginda kita Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,

“Shaf salat laki-laki yang paling baik adalah yang paling depan, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang paling belakang. Sebaliknya, shaf salat perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang paling depan.” (HR Muslim)

Hadis ini menjelaskan bahwa tak selamanya shaf terdepan adalah yang paling utama apabila itu bagi perempuan. Hal ini disebabkan, shaf terdepan bagi perempuan lebih dekat kepada shaf laki-laki sehingga memungkinkan terjadinya fitnah dibandingkan shaf salat paling belakang yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya fitnah.

Selanjutnya, bagaimana cara mengantisipasi kondisi apabila shaf laki-laki berdekatan dengan shaf perempuan?

Adapun adab-adab yang dapat kita jaga di antaranya sebagai berikut:

1. Perempuan tidak mengangkat kepala dari ruku’ atau sujud sebelum laki-laki mengangkat kepala
2. Perempuan sebaiknya keluar dari masjid terlebih dahulu, bila tidak ada pintu khusus bagi masing-masing
3. Tidak memakai wewangian, perhiasan dan pakaian tertentu dengan tujuan memamerkan diri

Jadi, masihkah shaf terdepan menjadi yang paling utama bagi perempuan Shalihat? Mari berbenah bersama ya…

INILAH MOZAIK