Makna Lafaz Allah Menurut Ulama dan Perbedaannya dengan Lafaz al-Ilah

 Setiap muslim memiliki kewajiban mengenal tuhannya dengan baik yakni Allah SWT. Dalam literatur arab, terdapat  dua kata yang sering dipakai untuk menyebut kata “tuhan” yakni lafal Allah dan al-Ilah. Salah satu upaya untuk lebih mengenal Allah adalah dengan cara mengetahui makna lafal Allah tersebut serta perbedaannya dengan lafal yang mirip  dengannya yaitu al-Ilah (tuhan).

Syekh Muhammad Ali as-Shabuni dalam kitabnya Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an (j. 1 h. 31) menuturkan kalau ulama tafsir memaknai lafal Allah dengan berbeda-beda akan tetapi memiliki substansi yang sama.

Imam al-Qurthubi menyebut makna lafaz Allah sebagai sebuah nama yang sangat agung dan suci; nama bagi sebuah entitas (keberwujudan) yang hakiki; nama yang memiliki seluruh sifat ilahiyah (ketuhanan); yang tunggal memiliki wujud  yang hakiki; tiada Tuhan melainkan hanya Dia; serta satu-satunya nama yang berhak disembah.

al-Imam Ibnu Katsir mengatakan  bahwa lafal Allah adalah sebuah nama bagi tuhan yaag maha memberi berkah  dan tinggi. Nama yang sangat agung dimana memiliki seluruh sifat-sifat keagungan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Hasyr [59]: 23,

هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْمَلِكُ ٱلْقُدُّوسُ ٱلسَّلَٰمُ ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْجَبَّارُ ٱلْمُتَكَبِّرُ

Dialah Allah, tidak ada tuhan selain Dia,  Maharaja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala.

Melalui ayat ini, nama Allah menempati tempatnya seluruh sifat-sifat  yang mulia tersebut.

(Syekh Muhammad Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, jus 1 hal 17)

Mengutip buku The Foreign Vocabulary of The Qur’an (h. 66) karya Arthur Jeffery, Profesor Bahasa-Bahasa Semit di School of Oriental Studies Kairo, of Semitic Languages School of Oriental Studies Cairo, ia mencatat kalau Imam Ar-Razi dalam kitab Mafaatih al-Ghoyb memberi informasi perihal orang-orang muslim di zaman awal yang berpendapat lafal Allah berasal dari bahasa Syiria atau Ibrani.

Namun, mayoritas muslim mengklaim bahwa lafal Allah tersebut merupakan bahasa Arab murni, meski mereka berbeda pendapat tentang turunan kata tersebut. Ada yang berpendapat bahwa lafal Allah tidak memiliki derivasi (turunan kata) sehingga hanya murni memang dipakai untuk sebuah nama tidak yang lain, dalam bahasa Arab disebut alam murtajal

Ulama Kufah mengatakan bahwa lafal Allah berasal dari turunan kata al-Ilāha, sementara ulama Bashrah berpendapat lafal tersebut berasal dari turunan al-Lāh, dimana kata Lāh sendiri merupakan kata benda verbal dari laihun yang bermakna menjadi tinggi atau tertutup.

Demikian juga dengan kata ilāhun memiliki beberapa varian turunan kata. Pertama, kata Ilāh berasal dari derivasi kata alaha yang berarti menyembah. Kedua, berasal dari kata aliha yang bermakna bingung. Ketiga, berasal dari kata aliha ila yang berarti beralih ke perlindungan.

Setelah menjelaskan makna-makna dari lafal Allah di atas, sekarang kita beralih kepada perbedaan antara lafal Allah dan al-Ilah. Berikut ini perbedaan diantara kedua lafal tersebut yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Ali as-Shabuni,

Pertama, lafaz Allah adalah nama bagi  sebuah zat (entitas) yang disucikan, dimana tidak ada yang berserikat (serupa) dengannya. Sementara lafal al-Ilah adalah nama yang bisa ditujukan kepada Allah dan selain Allah.

Kedua, lafal Allah memiliki makna zat (entitas) yang disembah dengan kebenaran (al-haq). Sementara lafal al-Ilah memilki arti zat atau sesuatu yang disembah, baik dengan jalan yang benar atau tidak. contoh : patung yang disembah oleh orang Arab jahiliyah disebut Ālihatun bentuk jamak dari lafal Ilahun karena patung itu disembah dengan jalan yang batil.

BINCANG SYARIAH

Nasehat Bagi yang Sulit Jodoh (Bag. 1)

Bagi anda yang sudah ingin nikah namun sulit untuk menikah atau sulit untuk menemukan calon pasangan idaman, maka renungkan dan perhatikanlah beberapa nasehat ringkas berikut ini:

1. Luruskan niat, menikah untuk mencari ridha Allah

Karena menikah adalah ibadah dan perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menikah dalam firnan-Nya:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An Nur: 32).

Dalam ayat di atas menggunakan kata وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah) yang merupakan fi’il amr (kata perintah).

Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk menikah, beliau bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400).

Dalam hadits di atas juga digunakan fi’il amr فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah).

Maka jika niat sudah benar, apapun kekurangan yang ada pada calon pasanganmu, maka bersikap longgarlah, selama ia adalah orang yang mau diajak bersama-sama mencari ridha Allah.

2. Sulit jodoh itu adalah musibah, dan musibah terjadi karena maksiat, maka banyak-banyaklah bertaubat kepada Allah dari semua maksiat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30).

Akuilah semua dosa-dosa dan kesalahanmu selama ini, baik yang kecil-kecilan apalagi dosa yang besar. Tinggalkan itu semua dan sesalilah. Bertaubatlah kepada Allah. Semoga Allah angkat musibah darimu.

Jauhi juga maksiat-maksiat dalam proses mencari pasangan seperti:

  • pacaran
  • berdua-duaan
  • chatting dengan lawan jenis tanpa kebutuhan
  • flirting / rayu-merayu padahal belum halal
  • melihat-lihat foto para akhawat
  • berbohong dan menipu demi tampil baik di hadapan calon pasangan
  • merusak rumah tangga orang lain

dll

Karena ini hanya akan menambah musibahmu.

Orang yang banyak bertaubat dan meminta ampunan kepada Allah, akan diberikan kemudahan dalam memperoleh keturunan dan jodoh tentunya. Karena tidaklah orang memiliki keturunan kecuali ia menikah terlebih dahulu. Allah ta’ala berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

“Aku mengatakan: beristighfarlah kepada Rabb kalian, karena ia Maha Pengampun. Ia akan mengirimkan hujan yang melimpah melalui langit kepada kalian. Dan Ia akan memberikan harta serta anak-anak kepada kalian, serta menumbuhkan kebun-kebun kalian dan mengalirkan sungai-sungai kalian” (QS. Nuh: 10 – 12).

3. Sulit jodoh adalah masalah. Allah menjanjikan jalan keluar dari masalah, bagi orang yang bertaqwa.

Allah ta’ala berfirman:

ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia duga” (QS. Ath Thalaq: 2-3).

Dijelaskan dengan indah oleh Ibnu Abi Izz Al Hanafi rahimahullah:

فقد ضمن الله للمتقين أن يجعل لهم مخرجا مما يضيق على الناس، وأن يرزقهم من حيث لا يحتسبون، فإذا لم يحصل ذلك دل على أن في التقوى خللا، فليستغفر الله وليتب إليه

“Allah ta’ala menjamin bagi orang-orang bertaqwa bahwa Ia akan memberikan jalan keluar dari perkara yang menyulitkannya dalam hubungan terhadap manusia. Dan Allah menjamin bahwa Ia akan memberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.

Jika itu belum terjadi, maka ini menunjukkan bahwa dalam ketaqwaannya masih ada cacat. Maka hendaknya ia meminta ampunan kepada Allah dan bertaubat kepadanya” (Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah dengan ta’liq Syaikh Yasin Abul Abbas Al Adeni hal. 333-334).

Maka bagi yang punya masalah dan solusi belum kunjung datang, coba renungkan…

mungkin akidahmu belum lurus…

mungkin shalatmu belum benar…

mungkin belajar agamamu masih kurang semangat…

mungkin dzikirmu belum banyak…

mungkin menutup auratmu belum sempurna…

mungkin baktimu kepada orang tua masih kurang…

mungkin sedekahmu kurang banyak…

mungkin lisanmu masih suka offside…

mungkin semua yang kau lakukan di atas masih kurang ikhlas…

4. Utamakan sisi agama, perkara lain bersikap longgarlah!

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari no.5090, Muslim no.1466).

Dari Abu Hatim Al Muzanni radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إذا جاءَكم مَن ترضَونَ دينَه وخُلقَه فأنكِحوهُ ، إلَّا تفعلوا تَكن فتنةٌ في الأرضِ وفسادٌ

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi” (HR. Tirmidzi no.1085. Al Albani berkata dalam Shahih At Tirmidzi bahwa hadits ini hasan lighairihi).

Carilah pasangan yang shalih atau shalihah, yang mau taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mau tunduk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Itulah yang utama. Andaipun ada kekurangan dalam hal lain:

  • kurang ganteng / cantik
  • kurang pintar
  • kurang kaya
  • kurang besar gajinya
  • kurang modis
  • kurang kurus
  • kurang gemuk

dan lainnya…

maka bersikap longgarlah. Sebab semua hal-hal ini pun kelak akan sirna juga. Namun apa yang diniatkan untuk Allah ta’ala, akan senantiasa abadi. Allah ta’ala berfirman:

مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقٍ

“Apa yang ada pada kalian akan sirna. Dan apa yang ada di sisi Allah akan abadi” (QS. An Nahl: 96).

Boleh saja mempertimbangkan hal-hal di atas, namun jangan jadikan patokan utama sehingga membuatmu menjauh dari calon pasangan yang shalih atau shalihah.

[Bersambung]

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Seri Dua Contoh Yang Berbeda dalam Al-Qur’an (bag 4)

Antara orang yang terpesona dengan dunia dan orang yang mengharapkan pahala Allah.

Dalam salah satu kisah Al-Qur’an, Allah Swt menceritakan tentang Qarun (seorang konglomerat sombong yang merasa semua yang ia miliki adalah hasil dari kehebatannya sendiri).

قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ

Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” (QS.Al-Qashash:78)

Dalam Surat Al-Qashas diceritakan bahwa suatu hari Qarun melakukan pawai dengan menampakkan kehebatan dan kekayaannya. Disaat itulah manusia yang memandang Qarun saat itu terbagi menjadi dua kelompok.

فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ فِي زِينَتِهِۦۖ

“Maka keluarlah dia (Karun) kepada kaumnya dengan kemegahannya.”

1. Kelompok yang silau dengan dunia.

Ketika melihat kekayaan Qarun, air liur mereka menetes dan mereka menyesal karena tidak memiliki seperti apa yang dimiliki oleh Qarun. Kekayaan Qarun bagi mereka adalah sebuah anugerah dan kemuliaan di sisi Allah Swt.

قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا يَٰلَيۡتَ لَنَا مِثۡلَ مَآ أُوتِيَ قَٰرُونُ إِنَّهُۥ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٖ

Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, “Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Karun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS.Al-Qashash:79)

Kelompok pertama ini terpesona oleh gemerlap dunia dan pikirannya hanya sibuk untuk mendambakan dunia.

2. Kelompok kedua adalah para ulama’ sejati yang tidak silau dengan dunia.

Yang dipikirkan dan yang diharapkan oleh kelompok kedua ini hanyalah keridhoan dan kerelaan Allah Swt. Dan mereka meyakini bahwa keridhoan dan kerelaan Allah hanya akan diraih oleh orang yang beriman dan beramal sholeh serta menghiasi diri dengan kesabaran.

وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ وَيۡلَكُمۡ ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيۡرٞ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ

Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, “Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar.” (QS.Al-Qashash:80)

Bagi mereka kenikmatan dunia tidak da artinya bila akhirnya kelak tidak mendapatkan pahala dan kerelaan Allah Swt.

Inilah dua kelompok yang berbeda ketika melihat gemilau kekayaan dunia. Di satu sisi hanya berharap dunia dan di sisi lain hanya mengharapkan kerelaan Allah Swt.

Ketika Allah menghancurkan semua kekayaan Qarun dengan sekejap mata, kelompok pertama baru menyadari bahwa dunia ini hanya sementara dan akan segera sirna. Semua adalah pemberian Allah dan kapanpun dengan mudah Allah akan mencabutnya.

فَخَسَفۡنَا بِهِۦ وَبِدَارِهِ ٱلۡأَرۡضَ فَمَا كَانَ لَهُۥ مِن فِئَةٖ يَنصُرُونَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُنتَصِرِينَ – وَأَصۡبَحَ ٱلَّذِينَ تَمَنَّوۡاْ مَكَانَهُۥ بِٱلۡأَمۡسِ يَقُولُونَ وَيۡكَأَنَّ ٱللَّهَ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُۖ لَوۡلَآ أَن مَّنَّ ٱللَّهُ عَلَيۡنَا لَخَسَفَ بِنَاۖ وَيۡكَأَنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

Maka Kami benamkan dia (Karun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri. Dan orang-orang yang mendambakan kedudukannya (Karun) itu berkata, “Aduhai, benarlah kiranya Allah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya).

Sekiranya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya pada kita, tentu Dia telah membenamkan kita pula. Aduhai, benarlah kiranya tidak akan beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (QS.Al-Qashash:81)

Dan akhir dari kisah Qarun dalam Surat Qashas ini, pada ayat 83 Allah mengakhiri kisah ini dengan Firman-Nya.

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Al-Qashash:82-83)

Akhirat bukanlah tempat bagi mereka yang sombong dan berbuat durjana. Karena akhir yang baik hanya dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa.

Dari kisah ini, kita bisa melihat dimana posisi kita. Apakah kita termasuk orang-orang yang silau dengan dunia dan hanya sibuk untuk mengejarnya ?

Memang kita tidak dilarang untuk mencari dunia, namun jangan sampai pikiran kita hanya disibukkan oleh dunia sehingga melupakan tujuan hidup yang sebenarnya. Jangan sampai kita menghalalkan segala cara untuk mengerjarnya.

Ingatlah bahwa pahala dan kerelaan Allah serta Surga-Nya jauh lebih baik dari semua kemilau keindahan dunia.

ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيۡرٞ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ

“Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar.” (QS.Al-Qashash:80)

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Waspada, 7 Dosa Sebab Pengharaman dari Masuk Surga

Setiap insan yang berakal pasti ingin selalu bahagia. Tak terkecuali bagi seorang muslim. Dia selalu berharap bahwa kebahagiaannya tidak hanya di dunia, tapi bersambung sampai kepada kehidupan akhirat yang abadi, alias masuk di surga Allah Ta’ala, yang luasnya seluas langit dan bumi.

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”.
(QS. Ali Imran: 133)

Namun keinginan masuk surga saja ternyata belum cukup, setiap orang harus berusaha untuk bisa masuk ke dalamnya dan usaha itu harus dilakukan dengan perjuangan dan kesungguhan, dimulai sekarang dalam kehidupan di dunia ini.

Diantara usaha yang dapat dilakukan dalam kehidupan di dunia ini agar bisa masuk ke dalam surga adalah dilepaskan atau dibuangnya berbagai penghalang dan sebab tercegahnya menuju surga Allah Ta’ala Yang Maha Luas rahmat-Nya. Sebab pengharaman bagi seseorang dari masuk surga benar-benar harus disingkirkan. Maka dosa-dosa yang kami akan sebutkan ini, harus diwaspadai dan ditinggalkan, karena sangat jelas akan menyebabkan diharamkannya surga pagi para pelakunya, di antaranya;

1. Dosa Syirik

Dosa Syirik kepada Allah Ta’ala yaitu berkeyakinan, atau menganggap atau menjadikan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan), ini merupakan syirik besar sehingga pelakunya dinyatakan kafir, keluar dari Islam alias murtad dan seandainya sebelum itu dia melakukan amal yang shaleh, maka terhapuslah nilai amalnya itu, dan sia-sia belaka.

Allah Ta’ala berfirman;

لقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِالله فَقَدْ حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih sendiri berkata: Hai bani israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang-orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga kepadanya, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolongpun”
(QS. Al Maidah/5: 72).

2. Dosa Bunuh Diri

Bunuh diri bagaimanapun caranya bukanlah solusi untuk menghadapi kemelut kehidupan dan bukan juga sebuah jalan pintas, perbuatan ini adalah dosa yang sangat besar dalam Islam, yang pelakunya mendapatkan ancaman terhalang dari surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

كان فيمن كان قبلكم رجل به جرح فجزع فأخذ سكيناً فحز بها يده فما رقأ الدم حتى مات . قال الله تعالى : بادرني عبدي بنفسه حرمت عليه الجنة

“Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, ia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga ia mati. Allah Ta’ala berfirman: “Hambaku mendahuluiku dengan dirinya, maka aku haramkan baginya surga”
(HR. Bukhari, no. 3463, Muslim, no. 113).

3. Dosa Memutus Silaturahim (Tali Persaudaraan Keluarga)

Para ulama sepakat bahwa menyambung silaturahim, hubungan kekerabatan adalah wajib hukumnya. Maka siapa saja yang memutus tali persaudaraan (hubungan rahim) mendapatkan ancaman dari terhalangnya masuk surga.

Dari sahabat mulia Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

وَإِنَّ هَذِهِ الرَّحِمَ شِجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ، فَمَنْ قَطَعَهَا حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“… Dan sesungguhnya rahim itu diambil dari nama Allah ‘Ar Rahman’, barangsiapa yang memutuskan hubungan rahim (kekerabatan), maka Allah Mengharamkan surga baginya.” 
(HR. Ahmad, 1/ 190, no. 1651, Syaikh Syu’aib Al Arnaut berkata, Isnad haditsnya shahih)

4. Dosa Mengambil Harta Orang Lain Tanpa Hak

Mengambil harta orang lain tanpa hak banyak macamnya, semisal mencuri, makan harta anak yatim, meminjam harta dengan niat tidak dikembalikan dan lainnya, semuanya mendapatkan ancaman dari terhalang masuk surga.

Dari sahabat mulia Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ الله لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ الله قَالَ وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ

“Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan masuk surga. Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu araak (kayu untuk siwak).”
(HR. Muslim, 1/122)

5. Dosa Menisbatkan Diri Kepada Bukan Ayahnya

Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Misalkan saja, seorang anak hanya boleh menisbatkan diri kepada ayah kandung yang sah secara pernikahan syar’i, sebaliknya yang mencari jalan selain ini, maka baginya ancaman besar.

Dari sahabat mulia Sa’ad radhiallahu ‘anhu, Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barang siapa yang menisbatkan diri kepada selain ayah kandungnya (secara syar’i), sedangkan dia tahu bahwa ayah itu bukan ayahnya, maka haram baginya mendapatkan surga”
(HR. Bukhari, no. 6766)

6. Dosa Membunuh Kafir Mu’ahad (non muslim yang memiliki akad perjanjian)

Kafir Mu’ahad yakni orang yang memiliki perjanjian (terikat perjanjian damai, perjanjian dagang atau selainnya) dengan kaum Muslimin yang berada atau bertugas di negeri kaum Muslimin tidak boleh disakiti, selama mereka menjalankan kewajiban dan perjanjiannya. Membunuh mereka akan menghalangi dari masuk surga.

Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِي غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad tanpa haknya, maka Allah Ta’ala mengharamkan surga baginya”
(HR. Abu Daud, no. 2760, Ahmad, no. 20377, dan lainnya, Isnadnya shahih menurut Syaikh Syu’aib Al Arnaut)

7. Dosa Penguasa Berbuat Curang Kepada Rakyatnya

Dari Ma’qil Bin Yasar radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلا حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّة

“Tidaklah seorang penguasa (yang diberi amanah oleh Allah) yang memimpin bawahannya dari kaum muslimin, pada saat meninggal, ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya.”
(HR. Bukhari, no. 7150 & Muslim, no. 142)

Perbuatan dosa ini mencakup semua orang yang mempunyai kriteria seperti tersebut dalam hadits. Yaitu Allah Ta’ala memberinya wewenang untuk mengatur rakyat, baik itu kepemimpinan dalam skala besar (imamah uzhma; yaitu penguasa negara) ataupun dalam skala yang lebih kecil, semisal pemimpin perusahaan, kepala dusun, dll.

Catatan Penting

Aqidah kaum muslimin ahlus sunnah meyakini bahwa seorang muslim yang terjerumus dalam maksiat dan dosa besar, tidaklah keluar dari Islam (tidak kafir), akan tetapi dia adalah seorang muslim yang kurang keimanannya. Maka dia adalah seorang mukmin dengan keimanan yang ada dalam hatinya, namun dia adalah orang fasik dengan dosa besar yang ada pada dirinya.
Namun, semua itu harus memenuhi tiga syarat:

(1) dosa besar tersebut bukanlah dosa kemusyrikan atau kekafiran akbar;
(2) dia tidak meyakini halalnya perbuatan dosa tersebut; dan
(3) dia tidak melakukan pembatal Islam jenis yang lainnya.

Adapun urusan dia di akhirat, dia tergantung pada kehendak Allah Ta’ala. Jika Allah Yang Maha Kuasa menghendaki, Allah Yang Maha Pengampun akan mengampuninya. Namun jika Allah Ta’ala menghendaki, dia akan dihukum sampai bersih dari dosa-dosanya, kemudian dimasukkan ke dalam surga. Mereka inilah yang disebut mantan penghuni neraka oleh penduduk surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنَ النَّارِ بَعْدَ مَا مَسَّهُمْ مِنْهَا سَفْعٌ، فَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، فَيُسَمِّيهِمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ: الْجَهَنَّمِيِّينَ

“Akan keluar dari neraka suatu kaum setelah mereka di bakar dalam neraka, kemudian mereka akan masuk ke dalam surga. Penduduk surga menamakan mereka dengan Jahannamiyyun {mantan penghuni neraka yang kemudian masuk surga}”
(HR. Bukhari, no. 6559).

Tidaklah kekal di neraka kecuali orang-orang yang kafir kepada Allah Ta’ala atau berbuat kemusyrikan syirik akbar (syirik besar).

Referensi: Risalah Prof. Fahmi Ahmad Al Qozzaz, ومن يحرم على الجنة؟,

Wallahu Ta’ala A’lam.

Disusun oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Rabu, 03 Rabiul Akhir 1442 H / 18 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Penegakkan Hukum di Masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dewasa ini, kita bisa menyaksikan bersama ketika hukum ditegakkan di negeri ini. Ketika orang-orang yang memiliki harta, kekuasaan, dan jabatan melakukan suatu pelanggaran hukum, mereka pun diproses seperti warga negara biasa lainnya. Hal ini tentu patut kita syukuri. Memang demikianlah kewajiban penguasa (pemerintah), yaitu menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tidak membedakan antara pejabat atau rakyat biasa. Kalau kita melihat sejarah, maka penegakkan hukum seperti ini telah dicontohkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjadi pemimpin negara.

Riba yang Pertama Kali Dihapus adalah Riba ‘Abbas bin Abdul Muthollib

Praktik-praktik riba banyak dilakukan oleh masyarakat musyrik jahiliyyah sampai datanglah firman Allah Ta’ala yang mengharamkan praktek riba,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2]: 275).

Orang-orang yang terlanjur bertransaksi dengan sistem riba (misalnya dia memberikan pinjaman dengan bunga tertentu), maka wajib bagi orang tersebut untuk menggugurkan transaksi ribanya, tidak boleh lagi mengambil riba. Hal ini ditegaskan oleh lanjutan ayat di atas yaitu,

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, kemudian berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan). Dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al Baqarah [2]: 275).

Maksudnya, riba yang terlanjur diambil sebelum turunnya larangan, maka itu untuknya (tidak perlu dikembalikan) karena Allah Ta’ala mengampuni apa yang telah lewat, namun setelah turunnya larangan ini dan seseorang masih memiliki perjanjian riba, maka dia tidak boleh lagi mengambil harta riba tersebut. Artinya, dia wajib menggugurkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengumumkan ketika haji wada’ (haji terakhir nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) bahwa riba jahiliyyah telah dihapus (dilarang) sampai hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

“Sesungguhnya seluruh riba jahiliyyah telah dihapus. Bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak boleh mendzalimi dan tidak pula didzalimi” (HR. Abu Dawud no. 3336. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka muncul pertanyaan pada masyarakat Arab jahiliyyah waktu itu,Apakah kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melakukan praktik riba juga wajib menggugurkan riba?” Hal ini karena di antara kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ada yang melakukan praktik (transaksi) riba. Pertanyaan masyarakat Arab jahiliyyah itu dijawab dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

”Riba jahiliyyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi sendiri, pen.)Maka riba jahiliyyah dihapus seluruhnya”  (HR. Abu Dawud no. 1907. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Demikianlah hukum. Demikianlah penguasa. Mereka pertama kali menerapkan aturan pada kerabatnya sendiri. Berbeda dengan penguasa pada hari ini, ketika kerabat para penguasa tersebut memiliki kekebalan hukum sehingga dapat berbuat semaunya sendiri.  Akan tetapi, pada masa rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam riba yang dihapuskan pertama kali adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman beliau sendiri). Maka riba ‘Abbas dihapus seluruhnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/1907, Maktabah Asy-Syamilah).

Lihatlah bagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai menegakkan aturan haramnya riba dimulai dari paman beliau sendiri, yaitu ‘Abbas bin Abdul Muthallib.

Jika Fatimah binti Muhammad Mencuri, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam Sendiri yang Akan Memotong Tangannya

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»

“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’ (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”.  Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri –dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya.”

Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah melanjutkan, ”Demikianlah, wajib atas pemimpin (pemerintah) untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaannya, kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/2119, Maktabah Asy-Syamilah).

Yang selalu mengharap ampunan Rabb-nya,

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Artikel Muslim.Or.Id

Adab Islami Mengkritik Pemerintah di Tengah Pandemi Wabah

Islam memberikan panduan tata cara bijak mengkritik pemerintah.

Momentum Ramadhan dengan berdiam diri di rumah digunakan untuk hal-hal yang positif, jangan sampai menjadi momen untuk mencela keadaan, terlebih mencela kebijakan pemerintah di medsos. Sebab syariat menekankan tata krama yang baik dalam mengkritik pemerintah.

Salah satu tata kramanya adalah dengan tidak mencela atau mengkritik pemerintah dengan penyampaian yang disebarkan di khalayak umum (‘alaniyah). Hal demikian seperti disampaikan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِى سُلْطَانٍ فَلاَ يُكَلِّمْهُ بِهَا عَلاَنِيَةً  

“Barang siapa yang hendak menasehati pemerintah, maka jangan disampaikan secara terbuka” (HR Hakim)

Mengkritik pemerintah melalui media sosial tentu tergolong larangan mengkritik secara terbuka dalam hadis di atas, sebab dapat diketahui masyarakat secara luas, hingga berakibat runtuhnya kewibawaan pemerintah, dan hal demikian jelas merupakan larangan dalam Agama Islam. 

Kritik yang baik adalah dengan disampaikan secara tertutup dan langsung tertuju pada kebijakan pemerintah, tanpa perlu mencela dan mencaci orang yang menerapkan kebijakan. Dengan begitu kritik dan masukan dapat dinilai secara maksimal oleh pemerintah.

Kebijakan pemerintah sudah tentu berdasarkan prinsip kemaslahatan masyarakat. Misalnya kebijakan pemerintah tentang larangan mudik di tengan pandemi Covid-19 pada Ramadhan tahun ini. Kebijakan demikian tentunya sudah berdasarkan pertimbangan dan penilaian yang sangat akurat dan terukur.

Mudik di tengah tersebarnya wabah selain merupakan tindakan yang membahayakan kesehatan masyarakat juga merupakan hal yang tidak etis dilakukan.

Imam As-sya’roni dalam kitabnya, Lathaif al-Minan menjelaskan pendapat gurunya, Syekh ‘Ali al-Khawwas dalam menerangkan orang yang tetap bepergian pada saat terjadinya wabah:

من ضحك أو جامع زوجته أو لبس ثوبا مبخرا أو ذهب إلى موضع التنزهات أيام نزول البلاء على المسلمين, فهو والبهائم سواء

“Orang yang tertawa, bersetubuh dengan istrinya, mengenakan baju yang dipenuhi wewangian, atau berkunjung ke tempat hiburan pada saat turunnya wabah pada umat Islam, maka dia dan binatang tidak ada bedanya” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 350)

Bersilaturrahmi pada keluarga di kampung sudah cukup dilakukan dengan cara video call atau dengan mengirimkan pesan dan pemberian hadiah kepada mereka, tanpa perlu menemui secara langsung.

Kebijakan pemerintah tentang pelarangan mudik sudah selayaknya didukung dengan kesadaran penuh, tanpa perlu mencela dan mengkritik yang tidak ada manfaatnya.

Sudah selayaknya kita apresiasi dan kita hargai keputusan pemerintah dalam rangka kewajiban taat kepada imam yang merupakan ajaran dalam syariat Islam. Patutlah kita mencontoh adab Imam as-Sya’roni dalam menghormati kebijakan pemerintah dengan senantiasa husnudzan bahwa kebijakan yang dipilih pemerintah adalah kebijakan yang paling baik dan ideal daripada pandangan pribadi dirinya atau rakyat secara umum. Berikut penjelasan beliau:

ومما من الله تبارك وتعالى به علي أدبي مع قضاة هذا الزمان كبارا وصغارا ولا أقول بيطلان أحكامهم في العقود والوثائق كما يقع فيه بعضهم بل أرى عقودهم وأنكحتهم صحيحة أدبا مع أئمة الدين القائلين بصحتها وأدبا مع السلطان الذي ولى أولئك الحكام ولعلمي بأنه أتم نظرا مني ومن أمثالي بل ربما كان أتم نظرا من جميع رعيته وصاحب هذا المشهد لا ينكر على امامه في تولية احد او عزله ولا يذمه أبدا من ورائه كما يفعله بعضهم وقد قال العلماء رضي الله تعالى عنهم لو ولى السلطان قاضيا فاسقا نفذ قضاؤه للضرورة

“Sebagian anugerah yang Allah berikan kepadaku adalah tata kramaku kepada hakim pada zaman ini, baik yang sudah tua ataupun masih muda. Aku tidak mengatakan putusan mereka dalam akad dan perjanjian adalah putusan yang batal, seperti yang dilakukan sebagian orang. Bahkan aku berpandangan bahwa akad dan pernikahan yang mereka lakukan sah, dengan bertujuan menjaga adab terhadap para imam yang berpandangan tentang keabsahannya, dan menjaga adab pada pemerintah yang telah mengangkat hakim tersebut, dan juga karena aku tahu bahwa pemerintah lebih sempurna dalam menentukan kebijakan dibanding aku dan orang-orang yang selevel denganku, bahkan kebijakan pemerintah bisa jadi lebih sempurna dibanding semua (pandangan) rakyat.

Pemilik kesaksian ini (Imam asy-Sya’roni) tidak akan mengkritik terhadap pemerintah atas pengangkatan atau pemecatan seseorang, dan aku selamanya tidak akan mencela pemerintah di balik hadapan mereka, seperti yang dilakukan sebagian orang. Para ulama’ sungguh telah berkata: “Jika Sultan mengangkat hakim yang fasik, maka keputusan hukumnya tetap berlaku (sah) karena darurat” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 275). Wallahua’lam bishawab.

Gus Ubaidillah Amin Moch, Stafsus Menteri Agama RI 

KHAZANAH REPUBLIKA




Penjelasan Hadits: “Allah Menciptakan Adam dalam Bentuk-Nya”

Terdapat sebuah hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan oleh Allah dalam bentuk-Nya. Bagaimana maksud hadits ini? Simak penjelasan ringkas berikut.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خَلَقَ اللَّهُ عزَّ وجلَّ آدَمَ علَى صُورَتِهِ، طُولُهُ سِتُّونَ ذِراعًا

“Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya. Tinggi beliau 60 hasta” (HR. Bukhari no.6227, Muslim no. 2841).

Dalam riwayat Muslim:

إذا قاتَلَ أحَدُكُمْ أخاهُ، فَلْيَجْتَنِبِ الوَجْهَ، فإنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ علَى صُورَتِهِ

“Jika kalian saling berkelahi dengan saudaranya, maka jangan pukul wajah. Karena Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” (HR. Muslim no. 2612).

Dalam riwayat lain, dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ خلق آدمَ على صورةِ الرَّحمنِ

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk ar Rahman” (HR. Ad Daruquthni. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [5/217] mengatakan: sanadnya dan perawinya tsiqah).

Apakah maksud “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya”? Apakah hadits ini menyamakan Allah dengan Nabi Adam ‘alahissalam? Bukankah Allah ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada yang semisal dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11).

Dan tidak boleh mengatakan bahwa dhamir “hi” dalam kata صُورَتِهِ di sini kembali kepada selain Allah. Ini adalah tahrif dan merupakan madzhab Jahmiyah. Syaikh Hamud bin Abdillah At Tuwaijiri mengatakan:

والقول بأن الضمير فيه عائد إلى غير الله تعالى هو قول الجهمية ومن تبعهم على قولهم الباطل من علماء أهل السنة في المائة الثالثة فما بعدها

“Pendapat yang mengatakan bahwa dhamir dalam hadits tersebut kembali kepada selain Allah, ini adalah pendapat Jahmiyah dan juga sebagian ulama Ahlussunnah yang mengikuti pendapat batil Jahmiyah dalam hal ini, di tahun 300 an Hijriyah dan setelahnya” (Aqidatu Ahlil Iman fi Khalqi Adama ‘ala Shuratir Rahman, 1/6).

Masalah ini dijelaskan dengan ringkas dan baik oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan:

“Jawaban umumnya, kita katakan, tidak mungkin hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah ta’ala (yang artinya) : “Tidak ada yang semisal dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11). Jika bisa dikompromikan, maka wajib dikompromikan. Jika tidak mampu mengkompromikan, maka cukup katakan:

آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ  رَبِّنَا

“Kami beriman kepada dalil tersebut, semuanya datang dari Rabb kami” (QS. Ali Imran: 7).

Dan kita meyakini bahwa Allah itu tidak ada yang semisal dengan-Nya. Dengan demikian anda akan selamat di hadapan Allah ‘azza wa jalla.

Yang satu adalah kalamullah, yang satu lagi adalah sabda Rasul-Nya. Maka semuanya benar, tidak mungkin saling mendustakan satu sama lain. Karena semuanya dalam bentuk khabar, bukan dalam bentuk penyebutan hukum yang bisa di-nasakh (dihapus). Dan saya katakan, ayat tersebut menafikan adanya yang semisal dengan Allah, sedangkan hadits menetapkan adanya shurah (bentuk). Maka cukup katakan: “sesungguhnya Allah tidak semisal dengan satu apapun dan Allah menciptakan Adam dalam bentuk-Nya, yang satu adalah kalamullah dan yang satu lagi adalah sabda Rasul-Nya, semuanya benar dan kami mengimaninya”. Dan juga katakan: “semuanya datang dari Rabb kami”. Kemudian setelah itu diam (tidak menambah apa-apa lagi), inilah maksimal yang bisa kita katakan (jika tidak mampu mengkompromikannya).

Adapun jawaban secara detailnya:

Pertama:

Kita katakan, yang mengatakan bahwa “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan beliau juga yang menyampaikan wahyu (yang artinya) “Tidak ada yang semisal dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11). Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mungkin berpaling dari apa yang beliau sampaikan.

Dan juga orang yang bersabda “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” adalah orang yang sama yang juga bersabda:

إن أول زمرة تدخل الجنة على صورة القمر

“sesungguhnya rombongan pertama orang yang masuk surga kelak, mereka dalam bentuk bulan” (HR. Bukhari no.3254, Muslim no.2834).

Maka apakah dari sini anda meyakini bahwa orang-orang yang pertama kali masuk surga itu berbentuk seperti bulan dalam semua sisinya? Ataukah anda meyakini bahwa mereka tetap dalam bentuk manusia, namun dari sisi bersinarnya mereka, bagusnya mereka, indahnya mereka, cerahnya wajah mereka, sama seperti bulan?

Jika anda meyakini kemungkinan yang pertama, berarti anda meyakini bahwa penduduk surga tidak punya mata, tidak punya hidung, tidak punya mulut? Kalau demikian maka mereka masuk surga dalam bentuk seperti batu! Namun jika  anda meyakini kemungkinan yang kedua, maka hilanglah isykal (kebingungan). Dan jelaslah bahwa ketika sesuatu dikatakan ‘ala shurati sya’in (berbentuk sesuatu yang lain), bukan berarti dua hal ini semisal dalam segala sisinya.

Jika anda tidak terima dengan jawaban ini, dan anda belum bisa memahaminya, dan anda mengatakan: “saya tidak paham penjelasan anda, saya tetap merasa hadits tersebut menyamakan Allah dengan makhluk”. Maka, baiklah, ada jawaban yang kedua.

Kedua:

Bentuk idhafah صورته (bentuk-Nya) dalam hadits tersebut, merupakan idhafah (penyandaran) makhluk kepada Khaliq-nya (yaitu Allah). Maka lafadz على صورته (dalam bentuk-Nya) ini semisal dengan firman Allah ‘azza wa jalla tentang Nabi Adam :

وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي

“Aku tiupkan ruh-Ku pada Adam” (QS. Shad: 72).

Tentu tidak mungkin Allah memberikan sebagian dari ruh Allah kepada Adam. Namun maksudnya, Allah meniupkan ruh yang Allah ‘azza wa jalla ciptakan, kepada Adam. Namun Allah idhafah-kan dengan diri-Nya dalam rangka pemuliaan kepada Adam. Sebagaimana jika kita menyebut kata: ibaadullah (hamba Allah). Kata “hamba Allah” di sini mencakup orang kafir, orang muslim, orang mukmin, para syuhada, para ash shiddiq dan para Nabi. Namun kalau kita berkata: “Muhammad hamba Allah”, maka ini idhafah yang khusus, tidak sebagaimana yang penyebutan hamba sebelumnya.

Maka lafaz “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” maknanya adalah: Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang merupakan ciptaan Allah. Sebagaimana dalam ayat:

لَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ

“Telah kami ciptakan kalian, kemudian kami bentuk kalian, kemudian kami katakan kepada Malaikat: sujudlah kepada Adam” (QS. Al A’raf: 11).

Yang dibentuk oleh Allah dalam ayat ini adalah Nabi Adam. Maka bisa kita katakan “Adam dalam bentuk-Nya”, yaitu:  dalam bentuk yang merupakan ciptaan Allah. Dalam bentuk yang Allah siapkan sebagai bentuk yang terbaik di antara para makhluk. Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الأِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sungguh telah kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk” (QS. At Tin: 4).

Maka menyadarkan shurah dengan nama Allah (sehingga menjadi kata “bentuk-Nya”), ini dalam rangka pemuliaan. Seakan-akan Allah ‘azza wa jalla ingin memberikan peringatan pada perihal bentuk shurah tersebut. Karena sebab (pemuliaan) itulah, dilarang memukul wajah (sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar), yang ini akan menghinakan wajah secara fisik. Juga tidak boleh mencela wajah dengan berkata: qabbahallahu wajhak (semoga Allah memburukkan wajahmu), yang ini akan menghinakan wajah secara maknawi. Karena bentuk manusia adalah bentuk yang Allah buat dan Allah sandarkan kepada diri-Nya dalam rangka memuliakanya, maka tidak boleh menghinakannya secara fisik maupun maknawi.

Kemudian, jawaban yang kedua ini, apakah termasuk tahrif (mengubah makna) ataukah lahu nazhir (memiliki sisi pandang yang masih ditoleransi secara bahasa)? Kita katakan, ia lahu nazhir. Sebagaimana kata baitullah (rumah Allah), naaqatullah (unta Allah), abdullah (hamba Allah). Karena bentuk dari Adam itu bukan bagian dari diri Allah. Dan semua yang Allah sandarkan para dirinya (semisal: baitullahnaaqatullahabdullah), bukan bagian dari diri Allah. Dan mereka semua adalah makhluk. Dengan demikian, telah hilangkan kerancuan.

Namun jika ada yang bertanya: “mana jawaban yang paling selamat dari dua jawaban di atas?”. Kita katakan, jawaban yang pertama lebih selamat. Karena selama kita bisa memaknai lafaz dalil sebagaimana makna zhahirnya dalam bahasa Arab, dan dapat diterima oleh akal, maka wajib untuk memaknainya demikian. Dan kita telah jelaskan bahwa lafaz shurah dikatakan seperti shurah yang lain, tidak berarti keduanya semisal. Sehingga ini jawaban yang lebih selamat yaitu kita makna secara zhahirnya.

(Syarah Al Aqidah Al Wasithiyyah, 1/108 – 110).

Dari penjelasan beliau di atas, makna “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” ada dua kemungkinan makna:

  1. Bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan oleh Allah ta’ala dalam bentuk Allah secara hakiki. Namun, bukan berarti sama dalam keseluruhan sisinya. Karena dalam bahasa Arab, ketika sesuatu dikatakan ‘ala shurati sya’in (berbentuk sesuatu yang lain), bukan berarti dua hal ini semisal dalam segala sisinya. Jadi tetap saja, Allah tidak sama dengan Nabi Adam ‘alaihissalam, dan Alalh tidak semisal dengan suatu apapun.
  2. Bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan oleh Allah ta’ala dalam suatu shurah (bentuk) yang merupakan ciptaan Allah.

Demikian semoga bisa dipahami. Wallahu ta’ala a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Seri Dua Contoh Yang Berbeda dalam Al-Qur’an (Bag 3)

Allah Swt mengabadikan kisah dua putra Adam as dalam Surat Al-Ma’idah, yaitu mulai ayat 27 sampai ayat 32. Dan dikisahkan dalam riwayat bahwa nama keduanya adalah Qobil dan Habil. Qobil adalah seorang pembunuh dan Habil adalah yang dibunuh.

Pada awalnya, Qobil dan Habil diperintahkan untuk berkurban oleh Allah Swt. Singkatnya, kurban dari Habil diterima dan kurban dari Qobil di tolak oleh Allah Swt.

Rasa cemburu, iri dan dengki mulai merasuki jiwa Qobil. Terjadi dialog antar kakak beradik itu hingga muncul sebuah perkataan dari lisan Qobil seperti yang diceritakan dalam Firman-Nya :

قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ

Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!”

Habil menjawab :

قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ

Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS.Al-Ma’idah:27)

إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

“Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.Al-Ma’idah:28)

إِنِّيٓ أُرِيدُ أَن تَبُوٓأَ بِإِثۡمِي وَإِثۡمِكَ فَتَكُونَ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلنَّارِۚ وَذَٰلِكَ جَزَٰٓؤُاْ ٱلظَّٰلِمِينَ

”Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka; dan itulah balasan bagi orang yang zhalim.” (QS.Al-Ma’idah:29)

Itulah dialog singkat yang terjadi antara Qobil dan Habil. Dan dari sini kita bisa mengambil pelajaran dari dua perbedaan karater dan sifat yang dimiliki oleh dua putra Nabi Adam as ini.

1. Sifat Qobil :

Dia memilih membunuh saudaranya karena rasa iri yang menguasai dirinya disebabkan oleh kurbannya yang tidak diterima oleh Allah Swt. Padahal Habil tidak ada sangkut pautnya dengan diterima atau tidaknya kurban Qobil. Karena tolok ukur diterimanya kurban tersebut adalah ketakwaan kepada Allah Swt.

2. Qobil hendak membunuh jiwa yang tak bersalah dan ia ingin berbuat kerusakan di bumi ini. Dendam dalam hatinya telah membutakan mata dan hatinya. Dan ia tidak akan puas sebelum menuntaskan dendamnya kepada saudaranya sendiri.

3. Qobil tidak mau mendengar sedikit pun nasihat dari saudaranya yang mengingatkan agar jangan sampai ia melakukan hal-hal keji semacam ini. Dia telah bertekad untuk membunuh saudaranya, setan telah menguasai hatinya sehingga susah sekali ia untuk kembali.

فَطَوَّعَتۡ لَهُۥ نَفۡسُهُۥ قَتۡلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُۥ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

“Maka nafsu (Qabil) mendorongnya untuk membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia termasuk orang yang rugi.” (QS.Al-Ma’idah:30)

2. Sifat Habil

1. Sifat dari Habil tergambar jelas dalam keilmuan dan ketakwaannya.

Ketakwaan Habil tergambar dalam Firman-Nya :

قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ

Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS.Al-Ma’idah:27)

2. Dan keilmuan Habil tergambar dalam Firman-Nya :

إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

“Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.Al-Ma’idah:28)

Karena dalam ayat lain Allah berfirman :

إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْ

“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama (oramg berilmu).” (QS.Fathir:28)

2. Keburukan tidak dibalas oleh keburukan.
Habil tidak membalas ancaman dari saudaranya dengan ancaman serupa. Karena ia tidak akan membunuh saudaranya sendiri, seperti apa yang akan dilakukan Qobil terhadapnya. Apalagi hanya karena masalah sepele.
Habil adalah sosok yang sangat tenang dalam menghadapi masalah. Ia tidak mudah emosi dan tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu.
Dan semua keindahan sikap ini muncul karena didasari dengan keimanannya kepada Allah Swt. Dia selalu menginginkan kedamaian ditengah umat manusia.

Dan pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah dua putra Nabi Adam as adalah :

1. Jika Qobil adalah wujud nyata dari kejamnya kedengkian dan kekafiran, maka Habil adalah gambaran nyata dari indahnya toleransi dan perdamaian. Kisah ini menggambarkan dua perseteruan yang akan terus ada hingga Hari Kiamat.

2. Qobil berani membunuh nyawa saudaranya yang tak berdosa sementara Habil melihat perbuatan itu adalah kekejian yang dahsyat sehingga ia tidak akan pernah menyentuhnya.

3. Qobil tidak memiliki alasan yang diterima atas kekejamannya, padahal Habil sealu menasehatinya dan membimbingnya untuk keluar dari pengaruh setan yang menjerumuskan.

4. Karena Al-Qur’an telah memvonis Qobil sebagai orang yang rugi dan menyesal. Maka bisa kita pastikan bahwa Habil adalah termasuk dari mereka yang selamat, sukses dan beruntung. Walaupun ia harus dikorbankan di alam dunia ini. Karena itu cerita ini di akhiri dengan firman Allah Swt bahwa membunuh satu nyawa di bumi ini sama seperti membunuh seluruh manusia.

مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا

“Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.” (QS.Al-Ma’idah:32)

Itulah pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Qobil dan Habil. Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Berhubungan Intim Saat Istri Sedang Haidh, Bolehkah?

1. Pengertian haidh

Secara bahasa haidh berarti mengalir. (lihat lisanul arab: 7/142).

Adapun secara istilah haidh berarti darah yang keluar dari Rahim wanita dalam kondisi sehat, bukan saat melahirkan maupun kodisi sakit. Sifat darah tersebut biasanya berwarna pekat, dan berbau. (fiqh islamy wa adillatuhu : 1/610).

2. Persamaan hukum antara haidh dan nifas.

Darah haidh merupakan darah yang keluar setelah melahirkan, adapun darah yang keluar bersamaan dengan anak ataupun sebelumnya tidak dinamakan darah nifas. (Fathul qarib mujib : 1/61).

Semua hal yang terlarang ketika haidh juga terlarang ketika nifas, karena hukum nifas sama seperti hukum haidh kecuali dalam beberapa permasalahan yang dibahas ulama dalam kitab-kitab fikih. (lihat : raudhatut thalibin : 1/136). Dan orang arab terkadang mengatakan haidh dengan lafazh nifas, sebagaimana sabda rasulullah ﷺ kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

ما لَكِ أنُفِسْتِ؟. قُلْتُ: نَعَمْ، قالَ: «إنَّ هَذا أمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلى بَناتِ آدَمَ، فاقْضِي ما يَقْضِي الحاجُّ، غَيْرَ أنْ لاَ تَطُوفِي بِالبَيْتِ

“Apakah engkau sedang haidh?” aku (Aisyah) pun berkata: iya. Lalu rasulullah ﷺ bersabda: “sesungguhnya hal tersebut merupakan ketetapan Allah untuk keturunan wanita Adam, lakukanlah semua yang dilakukan orang yang berhaji, tapi jangan berthawaf”
(HR. Bukhari : 294).

3. Hukum bersenggama dengan istri tatkala haidh.

Allah ﷻ melarang kaum muslimin untuk berhubungan biologis dengan istri-istri mereka di saat haidh atau nifas. Allah ﷻ berfirman:

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ ۝

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah sesuatu yang kotor”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(QS. Albaqarah : 222).

Maksud dari tidak mendekati wanita saat haidh adalah tidak berhubungan biologis dengannya, dan hal ini merupakan kesepakatan ulama kaum muslimin dan merupakan dosa besar. Imam Nawawi berkata:

“Ketahuilah bahwa mendatangi istri saat haidh itu bermacam-macam, salah satunya adalah dengan berhubungan biologis, dan perbuatan ini haram berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sesuai dengan nash quran dan hadits yang shahih.”

Kemudian beliau berkata:

“jika suaminya dengan sengaja bersenggama dengannya dan ia tahu istrinya sedang haidh begitu pula dengan keharaman perbuatan tersebut, tidak pula dalam keadaan terpaksa, maka dia sejatinya telah melakukan dosa besar, imam Syafii dengan jelas mengatakan perbuatan tersebut adalah dosa besar”.
(Syarah shohih Muslim : 3/204).

4. Solusi bagi suami jika istri sedang haidh.

Islam adalah agama yang datang dari Allah ﷻ Rabbul ‘alamin, sehingga syariat-syariat yang terkandung di dalamnya sesuai dengan fitrah manusia. Begitu pula dalam masalah ini, ketika seorang istri sedang haidh maka suami tidaklah secara muthlak harus meninggalkan istrinya, dia masih bisa melepaskan syahwat dengan istrinya, begitu pula istri bisa melepaskan syahwatnya dengan suaminya selama mereka berdua tidak melakukan hubungan biologis (jima’).

Sepasang suami istri tetap bisa bercumbu tatkala istri sedang haidh dengan cara menjauhi area antara pusar dan lutut istri, dan ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.
(lihat Ahkamul haidh dan istihadhah hal. 20).

Adapun hukum bersenang-senang dengan istri pada area bawah pusar dan di atas lutut menjadi perbincangan dikalangan para ulama, mayoritas ulama membolehkannya walaupun tanpa penghalang kain dengan syarat selama tidak melakukan jima’ (senggama). Mereka berdalil dengan hadits:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إلّا النِّكاحَ

“Lakukanlah semuanya selain jima’ (senggama)”
(HR. Muslim no. 302).

Sedangkan mayoritas ulama membolehkan seorang suami melepaskan syahwat dengan istrinya pada area antara lutut dan pusar tersebut dengan syarat ditutupi dengan kain. Dan ini adalah pendapat yang lebih selamat, lebih terjaga dan sesuai dengan sunnah rasulullah ﷺ. Ibunda kaum mukimin ‘Aisyah berkata:

كانَ يَأْمُرُنِي، فَأتَّزِرُ، فَيُباشِرُنِي وأنا حائِضٌ

“Dahulu rasulullah ﷺ menyuruhku untuk memakai sarung, lalu beliaupun menggauliku sedangkan aku sedangkan haidh”
(HR. Bukhari no. 300).

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Senin, 01 Rabiul Akhir 1442 H / 16 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Dua Nabi Ini Penasaran Proses Kebangkitan Setelah Mati

Proses kebangkitan setelah kematian membuat penasaran dua Nabi.

Dialektika kebangkitan manusia dari alam kubur sudah ada sejak sebelum Islam datang. Bahkan nabi-nabi terdahulu juga memohon penjelasan pada Allah tentang proses bangkitnya manusia dari kematian. 

Seperti kisah seorang nabi ketika melewati negeri yang telah porak poranda. Ada riwayat yang menyebut nabi itu bernama Uzair atau Hizqial atau seorang nabi dari Bani Israil. Sementara ada riwayat yang menyebutkan wilayah yang porak poranda itu adalah Baitul Maqdis yang telah dihancurkan oleh Nebukadnezar (Bukhtunashshar al Babili). 

Dikisahkan ketika melewati negeri yang porak poranda itu, nabi itu bertanya tentang bagaimana Allah bisa membangkitkan kembali penduduk negeri yang telah mati itu. Setelah itu Allah pun mematikan nabi itu bersama keledainya. Selang seratus tahun kemudian, Allah membangkitkan nabi itu bersama keledainya. Maka menjadi jelaslah persoalan kebangkitan bagi nabi itu.  Kisah ini merupakan penjelasan dari surat Al Baqarah ayat 259.

أَوْ كَٱلَّذِى مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ وَهِىَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحْىِۦ هَٰذِهِ ٱللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۖ فَأَمَاتَهُ ٱللَّهُ مِا۟ئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُۥ ۖ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۖ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۖ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِا۟ئَةَ عَامٍ فَٱنظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَٱنظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةً لِّلنَّاسِ ۖ وَٱنظُرْ إِلَى ٱلْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al Baqarah ayat 259)

Begitu pun dengan pernyataan Nabi Ibrahim yang bertanya-tanya tentang cara Allah membangkitkan orang yang telah wafat. Meski yakin akan datangnya hari kebangkitan, tetapi nabi Ibrahim tetap ingin mengetahui secara lebih detail proses kebangkitan agar hatinya lebih tentram. 

وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ ٱلطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ ٱجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ٱدْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَٱعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera”. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Baqarah ayat 260).

Dalam buku Kiamat dalam Perspektif Al-Quran dan Sains yang disusun Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI dengan LIPI dijelaskan dua kisah tersebut menggambarkan betapa persoalan kebangkitan manusia di hari akhir masih memunculkan pertanyaan, meski bagi seorang nabi sekalipun.

“Tentu bukan karena mereka tidak percaya, melainkan karena keingintahuan mereka mengenai detail prosesnya. Kedua nabi tersebut sudah percaya dalam tataran ‘ilmul yaqin, tapi belum pada tataran ‘ainul yaqin,” dijelaskan dalam buku tersebut.

Ini seperti dianalogikan dengan keyakinan akan eksistensi Ka’bah. Semua umat Islam pasti meyakini eksistensinya, meski belum tentu mereka pernah melihatnya. Keyakinan akan eksistensi Ka’bah tentu akan bertambah kadarnya bila dibarengi dengan melihat wujud aslinya dengan mata kepala sendiri. Begitupun dengan nabi Uzair dan nabi Ibrahim, keduanya bertanya untuk meneguhkan iman mereka. Dan sebagaimana dikatakan nabi Ibrahim yakni agar menenangkan hatinya.

“Jika kedua nabi saja masih penasaran maka wajarlah jika persoalan kebangkitan banyak dipertanyakan oleh orang kaum Quraisy. Untuk itu Al Quran menjelaskan bahwa keberadaan merupakan keniscayaan,” dijelaskan dalam buku itu.

Menjelaskan tentang kebangkitan manusia, Al Quran mengemukakan dua hal. Yakni pertama melalui analogi berpikir yang sehat. Kedua, melalui analogi fenomena yang ada di alam semesta. 

KHAZANAH REPUBLIKA