Bukti Kekuasaan Allah

Bismillahirrahmanirrahim

Kaum muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah. Setiap muslim meyakini bahwa alam semesta ini, langit dan bumi, beserta segala isinya adalah ciptaan Allah, dan berada di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam ini kecuali Alla. Ini adalah bagian dari keyakinan mendasar bahkan fitrah yang telah Allah tanamkan dalam hati umat manusia.

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah tauhid rububiyah. Keyakinan bahwa Allah Maha Esa dalam hal mencipta, mengatur, dan menguasai alam semesta. Umat manusia pada dasarnya telah mengakui hal ini dalam lubuk hati mereka, bahkan mereka yang musyrik dan kafir sekali pun mengakui hal ini. Jika mereka ditanya, siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka pasti menjawab Allah. Jika mereka ditanya siapa yang memberi rezeki, mereka menjawab Allah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٣١

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)

Pada hari-hari ini ketika musibah wabah telah melanda berbagai negara dan menerpa berbagai lapisan masyarakat baik yang kaya ataupun yang miskin, yang punya kedudukan tinggi maupun orang biasa, maka orang pun kembali tersadar bahwa manusia itu adalah makhluk yang tidak berdaya di hadapan kekuasaan Allah. Makhluk kecil bernama virus pun mampu ‘menumbangkan’ arogansi dan kesombongan negara-negara kaya dan adidaya.

Pada hari ini kita pun kembali sadar, bahwa manusia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa pertolongan dan bantuan Allah. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pelajaran akidah mendasar ini dalam sabdanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma

يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

“Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi no. 2516, Imam Ahmad dalam Al Musnad: 1/307)

Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah menyebutkan salah satu faedah dari hadis itu adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan dan arahan kepada sahabatnya itu agar bertawakal kepada Allah semata dan tidak menggantungkan hati kepada selain Allah dalam segala urusan, apakah itu sedikit ataupun banyak (lihat Addurrah Assalafiyah, hal. 153).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Kita sebagai manusia seringkali lupa akan hal ini. Banyak orang yang terlalu bersandar kepada kemampuannya, kecerdasannya, keahliannya, kekuatannya, kekuasaannya, kekayaannya, ataupun kehebatannya. Padahal, tanpa pertolongan Allah manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Laa haula wa laa quwwata illa billaah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan bantuan Allah. Kalimat yang agung ini mengandung kewajiban bertawakal kepada Allah semata dan agar kita senantiasa memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi urusan dan permasalahan.

Apabila kita pun telah sadar dan teringat bahwa dunia dan segala isinya ini adalah milik Allah, dan Allah bisa mengatur alam ini sesuai kehendak dan hikmah-Nya, seperti apa pun yang Allah inginkan. Maka semestinya kita pun kembali sadar bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah. Karena hanya Allah yang mengatur alam raya ini. Allah pula yang menjamin rezeki seluruh manusia dan bahkan setiap binatang melata yang ada.

Kebanyakan orang apabila tertimpa musibah dan bencana kembali kepada Allah dan berdoa kepada-Nya semata agar segera dilepaskan dari musibah dan mara bahaya. Akan tetapi pada saat Allah telah menganugerahkan kepada mereka keselamatan maka tiba-tiba mereka pun kumat, kembali tenggelam dalam syirik dan kekufuran.

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا رَكِبُواْ فِي ٱلۡفُلۡكِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ إِذَا هُمۡ يُشۡرِكُونَ ٦٥

“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)” (QS. Alankabut: 65)

Ini merupakan sikap tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih. 

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah kita ragu bahwa Allah Mahamampu untuk mengangkat segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa manusia. Allah Ta’ala berfirman,

أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٞ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٦٢

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)” (QS. Annaml:62)

Bahkan orang-orang musyrik terdahulu pun meyakini bahwa hanya Allah yang bisa memberikan pertolongan kepada mereka dalam kondisi terancam bahaya dan terjepit. Oleh sebab itulah orang-orang musyrik terdahulu berdoa kepada Allah semata ketika berada dalam keadaan susah dan genting seraya memurnikan doanya untuk Allah (lihat Ibthal At-Tandid, hal. 87).

Allah Ta’ala berfirman, 

وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرّٞ دَعَوۡاْ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيۡهِ ثُمَّ إِذَآ أَذَاقَهُم مِّنۡهُ رَحۡمَةً إِذَا فَرِيقٞ مِّنۡهُم بِرَبِّهِمۡ يُشۡرِكُونَ ٣٣

“Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya” (QS. Arrum: 33)

Ayat-ayat yang jelas ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sikap kaum musyrikin terdahulu apabila tertimpa musibah maka mereka kembali kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Ishaq, dari Ikrimah bin Abu Jahal yang mengisahkan bahwa orang-orang musyrik kala itu ketika berada di atas kapal dan terancam oleh badai atau ombak lautan mereka mengatakan, “Wahai kaum, murnikanlah untuk Rabb kalian permintaan/doa kalian. Karena tidak ada yang bisa menyelamatkan dalam keadaan ini kecuali Dia (Allah).” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 6/160 cet. at-Taufiqiyah).

Allah pun telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya

وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِي ٱلۡبَحۡرِ ضَلَّ مَن تَدۡعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُۖ فَلَمَّا نَجَّىٰكُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ أَعۡرَضۡتُمۡۚ وَكَانَ ٱلۡإِنسَٰنُ كَفُورًا ٦٧

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. Alisra’: 67)

Pelajaran apa yang kiranya bisa kita petik dari musibah wabah yang menggemparkan dunia ini? Ya, banyak yang bisa kita hayati. Salah satunya adalah wajibnya kita bersandar kepada Allah dan tidak kepada kemampuan diri kita.

Kita ini lemah dan Allah Mahakuat. Kita ini tidak mampu dan Allah Mahamampu. Kita ini tidak tahu sedangkan Allah Maha Mengetahui.

Kita pun wajib memurnikan ibadah kita kepada Allah, tidak boleh beribadah kepada selain-Nya. Dengan demikian, musibah ini semestinya membuat manusia kembali sadar untuk bertauhid dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya.

Semestinya manusia ingat bahwa sebab utama musibah ini adalah karena syirik dan kekufuran yang dilakukan oleh umat manusia di muka bumi ini.

Allah Ta’ala berfirman, 

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Arrum: 41)

Dengan kata lain, semestinya setelah musibah ini menerpa seharusnya kita menjadi orang yang semakin ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Semestinya kita tinggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya, apapun bentuknya. Kita bersihkan hati kita dari syirik, kemunafikan, kefajiran, riya’, dan ujub, serta kesombongan. Jika musibah-musibah ini tidak menyadarkan kita akan hal-hal ini maka anda perlu waspada. Karena bisa jadi Allah telah mengunci hatinya.

Sebagaimana dikatakan oleh orang Arab,

“Bagaimana mungkin sayatan luka.

Bisa membuat sakit orang yang sudah binasa.”

Orang yang sudah mati hatinya tidak bisa lagi mengenali kebaikan dan keburukan. Tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Dia tidak mau tunduk kecuali dengan apa-apa yang sesuai dengan selera hawa nafsunya. Hawa nafsu adalah imamnya dan kebodohan adalah kendaraan tunggangannya. Dia taklukkan akal sehatnya dalam keadaan terjajah oleh bujuk rayu dan tipu daya para penyeru menuju lembah neraka.

Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk bertaubat dan kembali ke jalan-Nya.

Oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi hafizhahullahu Ta’ala

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56180-bukti-kekuasaan-allah.html

Jika Allah yang Memberi, Kenapa Kita Cemburu?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS.an-Nahl:71)

Selama Allah yang memberi kelebihan rezeki dan kecerdasan kepada sebagian manusia, lalu kenapa kita masih iri? Kenapa kita cemburu?

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS.az-Zukhruf:32)

KHAZANAH ALQURAN

Fikih Ringkas Shalat Tarawih

Definisi Shalat Tarawih

Tarawih adalah bentuk jamak dari tarwihah, secara bahasa artinya istirahat sekali. Dinamakan demikian karena biasanya dahulu para sahabat ketika shalat tarawih mereka memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya. Maka ketika sudah mengerjakan empat rakaat, mereka istirahat, kemudian mengerjakan empat rakaat lagi, kemudian istirahat, kemudian mengerjakan tiga rakaat (lihat Lisanul Arab, 2/462, Mishbahul Munir, 1/244, Syarhul Mumthi, 4/10).

Secara istilah tarawih artinya qiyam Ramadhan, atau shalat di malam hari Ramadhan (lihat Al Mughni, 1/455, Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 6/39).

Keutamaan Shalat Tarawih

  1. Shalat tarawih merupakan sebab mendapatkan ampunan dosa-dosa yang telah lalu

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).

  1. Orang yang tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk

Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, ia berkata:

قلت: يا رسولَ اللهِ، لو نَفَّلْتَنا قيامَ هذه اللَّيلةِ؟ فقال: إنَّ الرَّجُلَ إذا صلَّى مع الإمامِ حتى ينصرفَ، حُسِبَ له قيامُ ليلةٍ

Aku pernah berkata: wahai Rasulullah, andaikan engkau menambah shalat sunnah bersama kami malam ini! Maka Nabi bersabda: “sesungguhnya seseorang yang shalat bersama imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. Tirmidzi no. 806, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

  1. Orang yang rutin mengerjakan shalat tarawih, jika wafat maka dicatat sebagai shiddiqin dan syuhada

Dari Amr bin Murrah Al Juhani radhiallahu’anhu, ia berkata:

جاءَ رجلٌ من قُضاعةَ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال: إنِّي شهدتُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ، وأنَّكَ رسولُ اللهِ، وصليتُ الصلواتِ الخمسَ، وصُمتُ رَمضانَ وقُمتُه، وآتيتُ الزكاةَ، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: مَن ماتَ على هذا كانَ من الصِّدِّيقينَ والشُّهداءِ

Datang seseorang dari gurun kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: aku bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah utusan Allah. Aku shalat 5 waktu, aku puasa Ramadhan dan mengerjakan qiyam Ramadhan, dan aku membayar zakat. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “orang yang mati di atas ini semua, maka ia termasuk shiddiqin dan syuhada” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2212, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin no.2939, dishahihkan Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan, 18).

Hukum Shalat Tarawih

Shalat tarawih hukumnya sunnah muakkadah. Diantara dalilnya:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).

Dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).

Kedua: Dalil ijma

Al Imam An Nawawi mengatakan:

فصلاة التراويحِ سُنَّة بإجماع العلماء

“Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijma ulama” (Al Majmu, 4/37).

Ash Shan’ani mengatakan:

قيام رمضان سُنَّة بلا خلاف

Qiyam Ramadhan hukumnya sunnah tanpa ada khilaf” (Subulus Salam, 2/11).

Shalat Tarawih Di Masjid Jama’ah

Shalat tarawih lebih utama dikerjakan secara berjamaah dari pada sendirian. Dalilnya:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).

Sisi pendalilan:

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat tarawih secara berjama’ah di masjid. Namun yang menahan beliau untuk merutinkannya adalah beliau khawatir shalat tarawih diwajibkan kepada umat beliau. Maka ini menunjukkan bahwa melaksanakannya di masjid lebih utama.

Kedua: Dalil ijma

Ath Thahawi mengatakan:

قد أَجمعُوا أنه لا يجوزُ للنَّاس تعطيلُ المساجِد عن قيام رمضانَ وكانَ هذا   القيام واجِبًا على الكِفايَة، فمَن فعَلَه كانَ أفضلَ مِمَّن انفرد به

“Para ulama ijma bahwa tidak boleh orang-orang meninggalkan masjid-masjid untuk mengerjakan qiyam Ramadhan. Dan qiyam Ramadhan ini fardhu kifayah, barangsiapa mengerjakannya berjamaah maka itu lebih utama dari pada sendirian” (Mukhtashar Ikhtilaf Ulama, 1/315).

Ibnu Qudamah mengatakan:

وقال ابنُ   قُدامةَ: (الجماعةُ في التراويح أفضلُ، وإنْ كان رجلٌ يُقتدَى به، فصلَّاها في   بيته، خِفتُ أن يَقتديَ الناس به، وقد جاء عن النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((اقتدوا   بالخُلفاء))، وقد جاء عن عُمرَ أنه كان يُصلِّي في الجماعة… ولنا: إجماعُ الصَّحابة على ذلك

“Berjamaah dalam mengerjakan shalat tarawih itu lebih utama. Andai ada seorang yang meniru Rasulullah dengan shalat di rumah, aku khawatir orang-orang lain akan mengikutinya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘ikutilah para khulafa (ar rasyidin)’. Dan terdapat riwayat bahwa Umar bin Khathab mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah. Dan kami menegaskan bahwa para sahabat ijma akan hal ini” (Al Mughni, 2/124).

Ketiga: Dalil atsar sahabat

Dari Abdurrahman bin Abdil Qari, ia berkata:

خرجتُ مع عُمرَ بنِ الخطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْه ليلةً في رمضانَ إلى المسجدِ، فإذا الناسُ أوزاعٌ متفرِّقون يُصلِّي الرجلُ لنَفسِه، ويُصلِّي الرجلُ فيُصلِّي بصلاتِه الرهطُ، فقال عُمرُ رَضِيَ اللهُ عَنْه: إني أَرَى لو جمعتُ هؤلاءِ على قارئٍ واحدٍ، لكان أمثلَ، ثم عَزَمَ فجمَعَهم إلى أُبيِّ بنِ كعبٍ

Aku keluar bersama Umar radhiallahu’anhu pada suatu malam bulan Ramadan ke masjid. Ketika itu orang-orang di masjid shalat berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri-sendiri, ada juga yang membuat jamaah bersama beberapa orang. Umar berkata: ‘Menurutku jika aku satukan mereka ini untuk shalat bermakmum di belakang satu orang qari’ itu akan lebih baik’. Maka Umar pun bertekad untuk mewujudkannya, dan ia pun menyatukan orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab” (HR. Bukhari no. 2010).

Waktu Pelaksanaan Shalat Tarawih

Shalat tarawih dilaksanakan setelah shalat isya, dan yang utama adalah setelah waktu isya yang terakhir. Ibnu Taimiyah mengatakan:

فما كان الأئمَّة يُصلُّونها إلَّا بعد العِشاء على عهد النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، وعهدِ خلفائه الراشدين، وعلى ذلك أئمَّةُ المسلمين، لا   يُعرف عن أحدٍ أنه تعمَّد صلاتَها قبل العِشاء، فإنَّ هذه تُسمَّى قيام رمضان

“Para imam tidak melaksanakan shalat tarawih kecuali setelah shalat Isya sebagaimana di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan di masa para Khulafa Ar Rasyidin, dan juga di masa para imam kaum Muslimin. Tidak diketahui ada yang bersengaja melaksanakannya sebelum shalat Isya. Dan oleh karena itukah shalat ini disebut qiyam Ramadhan” (Majmu Al Fatawa, 23/120).

Beliau juga mengatakan:

السُّنة في التراويح أنْ تُصلَّى بعد العِشاء الآخِرةِ، كما اتَّفق على ذلك السَّلَف والأئمَّة

”Yang sunnah dalam melaksanakan melaksanakan shalat tarawih adalah setelah waktu isya yang terakhir. Sebagaimana ini telah disepakati oleh para salaf dan imam kaum Muslimin” (Majmu Al Fatawa, 23/119).

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Shalat tarawih dan shalat malam secara umum tidak memiliki batasan tertentu. Dalil akan hal ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata:

أنَّ رجلًا سألَ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عن صلاةِ اللَّيل، فقال رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: صلاةُ الليلِ مَثْنَى مثنَى، فإذا خشِيَ أحدُكم الصبحَ صلَّى ركعةً واحدةً، تُوتِر له ما قدْ صلَّى

Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai shalat malam. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).

Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:

ما كان يَزيدُ في رمضانَ، ولا في غيرِه على إحْدى عَشرةَ ركعةً ؛ يُصلِّي أربعَ رَكَعاتٍ فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنَّ، ثم يُصلِّي أربعًا، فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنِّ ، ثم يُصلِّي ثلاثًا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya. Beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 3 rakaat” (HR. Bukhari no. 2013, Muslim no. 837).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma beliau berkata:

كان صلاةُ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ثلاثَ عَشرةَ ركعةً. يعني: باللَّيل

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat 13 rakaat di malam hari” (HR. Bukhari no. 1138, Muslim no. 764).

Sisi pendalilan:

Dari hadits-hadits ini diketahui bahwa  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak membatasi jumlah rakaat shalat yang dikerjakan setelah Isya.

Kedua: Dalil ijma’

Ibnu Abdil Barr mengatakan:

وقد أجمَع العلماءُ على أنْ لا حدَّ ولا شيءَ مُقدَّرًا في صلاة الليل،   وأنَّها نافلة؛ فمَن شاء أطال فيها القيام وقلَّت ركعاته، ومَن شاء أكثر الركوع والسجود

“Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan rakaat tertentu dalam shalat malam. Dan bahwasanya hukumnya adalah sunnah. Barangsiapa yang ingin memanjangkan berdirinya dan menyedikitkan rakaatnya, silakan. Barangsiapa yang ingin memperbanyak rukuk dan sujud, silakan” (Al Istidzkar, 2/102).

Beliau juga mengatakan:

أكثرُ الآثار على أنَّ صلاته كانت إحدى عشرةَ ركعةً، وقد رُوي ثلاث عشرة ركعة، واحتجَّ العلماء على أنَّ صلاة الليل ليس فيها حدٌّ محدود، والصلاة خيرُ موضوع، فمَن شاء استقلَّ ومَن شاء استكثر

“Kebanyakan shalat malam Nabi itu 11 rakaat. Namun terdapat riwayat bahwasanya beliau pernah shalat 13 rakaat. Oleh karena itu para ulama berdalil dari sini bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya. Dan shalat adalah perkara yang paling baik. Siapa yang ingin mempersedikitnya silakan, yang ingin memperbanyaknya juga silakan” (Al Istidzkar, 2/98).

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:

ولا خلافَ أنه ليس فى ذلك حدٌّ لا يُزاد عليه ولا يُنقص منه، وأنَّ صلاة الليل من   الفضائل والرغائب، التي كلَّما زِيد فيها زِيد فى الأجر والفضل، وإنما الخلافُ في فِعل النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وما اختاره لنفْسه

“Tidak ada khilaf bahwa shalat malam itu tidak ada batasannya yang paten sehingga tidak boleh dikurangi atau ditambahi. Shalat malam adalah keutamaan dan hal yang sangat dianjurkan, yang semakin banyak dikerjakan maka semakin banyak pahalanya. Yang diperselisihkan adalah mana jumlah rakaat yang sering dilakukan Nabi dan yang menjadi pilihan (kesukaan) Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk dirinya” (Ikmalul Mu’lim, 3/82).

Al ‘Iraqi mengatakan:

قد اتفق العلماء على أنه ليس له حدٌّ محصور

“Ulama sepakat bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya” (Tharhu At Tatsrib, 3/43).

Tata Cara Shalat Tarawih

Shalat tarawih dilaksanakan dua rakaat – dua rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dari Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, juga pendapat Abu Yusuf dari Hanafiyah. Dalilnya:

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صلاةُ الليلِ مَثنَى مَثنى، فإذا رأيتَ أنَّ الصبحَ يُدركُك فأَوتِر بواحدةٍ .قال: فقيل لابن عُمر: ما مَثنَى مَثنَى؟ قال تُسلِّم في كلِّ ركعتينِ

Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika engkau melihat bahwa subuh akan datang, maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil”. Ibnu Umar ditanya: “apa maksudnya dua rakaat-dua rakaat?”. Ibnu Umar berkata: “maksudnya, setiap dua rakaat, salam” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).

Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:

كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُصلِّي فيما بين أن يَفرغَ من صلاةِ العِشاءِ – وهي التي يدعو الناسُ العتمةَ – إلى الفجرِ إحْدى عشرةَ ركعةً، يُسلِّمُ بين كلِّ ركعتينِ، ويُوتِرُ بواحدةٍ

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam antara setelah selesai shalat Isya, yaitu di waktu yang disebut orang sebagai atamah, sampai terbit fajar, beliau shalat 11 rakaat. Dengan salam di setiap dua rakaat kemudian, shalat witir satu rakaat” (HR. Muslim no. 736).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

والأفضل أن يُسلِّم من كل اثنتين ويوتر بواحدةٍ كما تقدَّم في حديث ابنِ عمر:   «صلاةُ الليل مَثْنى مثنى، فإذا خشِي أحدُكم الصبحَ صلَّى واحدةً تُوتِر له ما قد   صلَّى

“Shalat malam yang paling utama adalah salam di tiap dua rakaat, dan satu rakaat witir. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11/324).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

وصلاة الليل تَشمل التطوُّعَ كلَّه والوترَ، فيصلي مَثْنَى مثنى، فإذا خشِي الصبح   صلَّى واحدة فأوتَرتْ ما صلى

“Shalat malam mencakup semua shalat sunnah di malam hari, caranya dengan dua rakaat-dua rakaat, jika khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaatnya ganjil” (Majmu Fatawa war Rasail, 20/412).

Bacaan Dalam Shalat Tarawih

Tidak ada batasan tertentu mengenai bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Namun disunnahkan untuk membaca Al Qur’an 30 juz. Al Kasani mengatakan:

السُّنة أن يختمَ القرآن مرةً في التراويح، وذلك فيما قاله أبو حنيفة، وما أمر به عمرُ، فهو من باب الفضيلة، وهو أن يختمَ القرآن مرَّتين أو ثلاثًا، وهذا في زمانهم، وأمَّا في زماننا فالأفضل أن يقرأ الإمامُ على حسب حال القوم من الرغبة والكسل، فيقرأ قدْرَ ما لا يوجب تنفيرَ القوم عن الجماعة؛ لأنَّ تكثير الجماعة   أفضلُ من تطويل القراءة

“Disunnahkan untuk mengkhatamkan Al Qur’an sekali dalam shalat tarawih. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. Dan Umar bin Khathab pun memerintahkannya. Ini merupakan keutamaan, dan beliau mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak dua atau tiga kali (dalam shalat tarawih) di zaman beliau. Adapun di zaman kita, yang utama imam membaca yang sesuai dengan keadaan kaumnya. Terkadang ada kaum yang semangat dan terkadang ada kaum yang pemalas. Maka hendaknya imam membaca bacaan yang tidak membuat orang meninggalkan jama’ah. Karena memperbanyak jumlah orang dalam jama’ah leih utama dari pada memperlama bacaan dalam shalat jama’ah” (Bada’i Ash Shana’i, 1/289).

Ad Dardir mengatakan:

“و” نُدِب للإمام “الخَتْم” لجميع القرآن   “فيها”، أي: في التراويح في الشهر كلِّه ليُسمِعَهم جميعه

“Dianjurkan bagi imam untuk mengkhatamkan seluruh Al Qur’an di bulan Ramadhan, yaitu di dalam shalat tarawih, agar jamaah mendengar semua bagian dari Al Qur’an” (Asy Syarhul Kabir, 1/315).

Men-jahr-kan Bacaan Dalam Shalat Tarawih

Disunnahkan men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Ulama ijma akan hal ini. An Nawawi mengatakan:

أجمع المسلمون على استحباب الجَهر بالقِراءة في… صلاة   التراويح، والوتر

“Ulama Islam sepakat disunnahkannya men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih dan witir” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 1/130).

Demikian fikih ringkas shalat tarawih, semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/39630-fikih-ringkas-shalat-tarawih.html

Keutamaan Menyegerakan Berbuka Puasa

BERBUKA adalah sesuatu yang sangat dinantikan bagi orang yang tengah berpuasa, setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Waktu tibanya berbuka adalah saat terbenamnya matahari, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (QS: al-Baqarah: 187)

Nabi Muhammad ﷺ  telah menjelaskan dalam haditsnya terkait dengan ayat tersebut. Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, berkata bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)

Buka puasa menyenangkan karena Allah letakkan kebahagian bagi ummat Muhammad dalam buka puasa, Nabi ﷺ,

للصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه

“Orang yang puasa mendapatkan dua kebahagiaan bahagia saat berbuka, dan bahagia saat bertemu dengan Robb-nya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Syaikh Abdulkarim Al-Khudhair menerangkan,

فرحة عند فِطْرِهِ يعني في الإنسان جِبِلَّة خِلْقَة إذا قُدِّم الفُطُور ينتظر أذان المغرب، ويبدأ، يفرح هذا موجُود عند النَّاس كُلِّهم

Bahagia saat berbuka, maknanya adalah naluri manusia ketika dihidangkan bukaan, dia menunggu azan, lalu dia mulai menyantap menu buka puasa. Kebahagiaan semacam ini ada pada semua orang.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin juga menjelaskan di dalam kitab Majaalisu Syahri Ramadhaan, ‘Kebahagiaan ketika berbuka maksudnya adalah karena ia merasa senang atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu bisa melaksanakan puasa yang merupakan salah satu bentuk amal shalih yang paling utama. Betapa banyak manusia yang tidak memperoleh nikmat tersebut sehingga mereka tidak berpuasa. Ia juga merasa senang atas makanan, minuman dan jima’ yang kembali dihalalkan Allah baginya, setelah sebelumnya diharamkan pada saat berpuasa.

Karena itu ummat Rasulullah sangat ditekankan untuk menyegerakan berbuka. Buka puasa itu berbeda dengan sahur, yang justru lebih disyariatkan untuk diakhirkan.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda.

لاَيَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” [Hadits Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093]

Namun antara sahur dengan buka ada kesamaan dalam sisi menjaga orisinalitas ajaran agama. disegerakannya berbuka adalah merupakan bentuk dari penyelisihan atas tasyabbuh bil kuffar.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda.

لاَيَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى يُؤَخِرُوْنَ

“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan]

Al-Imam Sarafuddin ath-Thibi rahimahullah berkata, “Dalam sebab ini (yang terdapat dalam hadits ‘karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan [ifthar]’) menunjukkan bahwa penopang agama yang lurus ini dengan menyelisihi musuh-musuh (agama Islam) dari Yahudi dan Nasrani. Dan sesungguhnya mencocoki mereka merupakan keretakan dalam agama.” (Syarhuth-Thibi, 5/1589 no. 1995)

Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan Yahudi dan Nasrani (Syarhuth-Thibi, 5/1584 dan Fathul Bari’, 4/234). Sedangkan kita dilarang menyerupai mereka. Oleh karena itu, bersegera untuk berbuka puasa ketika telah tiba waktunya karena yang demikian adalah termasuk dari bagian menyelisihi perbuatan mereka.

Sedangkan menyegerakan berbuka itu adalah akhlak kenabian. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu ad-Darda’ radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi ﷺ  bersabda:

ثَلَاثٌ مِنْ أَخْلَاقِ النُّبُوَّةِ؛ تَعْجِيْلُ الْإِفْطَارِ، وَتَأْخِيْرُ السَّحُورِ، وَوَضْعِ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلَاةِ

“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. ath-Thabarani, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)

Keutamaan waktu berbuka

Keutamaan orang yang berpuasa hingga berbuka, banyak dinyatakan dalam hadits-hadits Rasulullah ﷺ.

Kondisi berbuka adalah kondisi dimana menjadi tempat terkabulnya doa dan permohonan. Sebagaimana hadits Rasulullah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda.

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْجَابَاتٌ : دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

“Tiga do’a yang dikabulkan : do’anya orang yang berpuasa, do’anya orang yang terdhalimi dan do’anya musafir.”

Do’a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda.

ثَلاَثٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَ تُهُمْ : الصَّا ئِمُ حِيْنَ يُفْطِرُ، وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Tiga orang yang tidak akan ditolak do’anya : orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do’anya orang yang didhalimi.”

Lebih ditegaskan lagi dalam sebuah hadits Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, dimana Rasulullah ﷺ bersabda.

إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

“Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak.”

Dalam berbuka, tentu ada banyak kebaikan yang Allah siapkan. Sehingga Allah dan RasulNya memerintahkan hal itu disegerakan, walau dengan sebutir kurma atau seteguk air. Sebagaimana Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata;

كَانَ رَسُولُ اللهِ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah ﷺ berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan sahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan al-Irwa’, 4/45 no. 922)

Doa Buka Puasa

Do’a yang sering dibaca ada dua. Pertama  اللَّهُمَّ لَك صمت وَعَلَى رزقك أفطرت  رواه أبو داود

Artinya: Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa sesungguhnya ia telah sempai kepadanya bahwasannya Nabi ﷺ jika berbuka, ia berkata,”Ya Allah, untuk-Mu puasaku dan atas rizki-Mu aku berbuka.” (Riwayat Abu Dawud)

Atau do’a  ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat serta telah tetap pahala, insya Allah.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, 2/255, ad-Daruquthni, 2/185, al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma).*/Naser Muhammad

HIDAYATULLAH

Hukum Suntik dan Mandi Menyelam Ketika Puasa

DI antara yang dapat membatalkan puasa adalah adalah memasukkan suatu benda ke dalam rongga melalui lubang yang terbuka (wushul ‘ain min manfdz maftuh ila al-jauf), seperti memasukkan makanan atau air ke dalam mulut hingga masuk ke tenggorokan. Namun, perkara  memasukkan suatu benda ke dalam rongga melalui lubang yang terbuka tidak lah sesederhana itu. Menariknya, dalam hal ini Syeikh al-Habib Hasan di dalam kitabnya yang berjudul al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat, halaman 451-454 menjelasakan beberapa permasalahan yang menarik seputar wushul ‘ain min manfdz maftuh ila al-jauf, di antaranya.

Pertama, hukum suntik bagi orang yang berpuasa

Adapun hukumnya adalah dibolehkan dalam keadaan darurat, akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam hal batalnya puasa atau tidak, perbedaan tersebut terbagi tiga pembagian. Pertama, suntik ataupun benda lain yang semacamnya itu membatalkan puasa, karena ia masuk kedalam rongga (jauf). Kedua, ulama mengatakan hal tersebut tidak membatalkan puasa, dengan alasan bahwa suntik ataupun jarum tersebut tidak masuk melalui lubang yang terbuka (ghoir manfadz maftuh). Ketiga, apabila suntik atau hal semacamnya itu mengandung bahan makanan atau vitamin, maka hal tersebut membatalkan puasa.

Namun kalau seandainya tidak mengandung bahan makanan, di sini terdapat beberapa perincian. Apabila jarum atau suntik itu dimasukkan melalui lubang yang tidak terbuka (ghoir manfadz maftuh) seperti lengan, jari, paha, kepala,  dan lain-lain, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa.

Adapun jika benda tersebut dimasukkan melalui lubang yang terbuka (manfadz maftuh) seperti dubur, telinga, hidung, mulut maka ia membatalkan puasa.  Dalam hal ini untuk berhati-hati, maka lebih baik tidak memasukkan jarum suntik ke dalam anggota tubuh ketika sedang berpuasa, karena keluar dari perbedaan pendapat ulama itu dianjurkan (al-Khuruj min al-Khilaf Mustahab).

Kedua, hukum menelan dahak

Adapun perkara menelan dahak bagi orang yang berpuasa ada perincian menarik dari para ahli fiqih. Pertama, apabila seseorang menelan dahaknya tatkala masih di pangkal tenggorokan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa.  Kedua, apabila seseorang menelan dahaknya yang sudah berada di atas pangkal tenggorokan atau diujung tenggorokan, maka hal demikian membatalkan puasa. (Lihat juga: Nihayah al-Muhtaj ditulis oleh Syamsuddin Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin al-Ramli, juz 3, hlm.135).

Ketiga, hukum menelan air liur

Hal ini tidaklah membatalkan puasa karena perkara menelan air liur ini sangat sulit untuk pencegahannya, namun dengan tiga syarat. Pertama, air liur tersebut mesti murni. Artinya tidak boleh bercampur dengan zat lain, apabila bercampur dengan air, darah atau zat yang lain. Lalu air liur tersbut ditelan, maka dalam hal ini puasanya dihukumi batal, karena air liur tersebut sudah bercampur dengan zat lain. Kedua, bahwa air liur yang ditelannya tersebut harus suci. Artinya jika air liur tersebut terkontaminasi dengan najis, maka ia membatalkan puasa tatkala ditelan. Ketiga, air liur tersebut harus berasal dari dalam atau dirinya sendiri. Maka apabila air liur tersebut ia permainkan dan telah keluar melewati bibir bagian merahnya kemudian ia telan kembali, ketahuilah perkara tersebut membatalkan puasa. (Lihat juga: Minhaj al-Thalib wa Umadah al-Muftin ditulis oleh Imam an-Nawawi hlm,75).

Keempat, hukum apabila masuk air kedalam lubang terbuka (dubur, mulut, hidung, telinga dll kecuali mata) tanpa tersengaja ketika mandi.

Dalam hal ini ulama membahasnya secara mendalam sekali, oleh karenanya hukum ini tidak bisa dianggap remeh. Pertama, apabila seseorang tersebut mandi karena ada sebab masyru’, seperti mandi junub atau mandi sunnah jum’at lalu masuk air ke dalam lubang yang terbuka seperti, dubur, mulut, hidung, telinga, kecuali mata, sementara orang yang berpuasa itu tidak  mandi menyelam, hal tersebut tidak membatalkan puasa. Namun, apabila ia mandi menyelam di sungai atau hal semacamnya. Kemudian masuk air ke dalam rongga yang terbuka seperti, dubur, telinga, mulut, hidung kecuali mata. Maka puasa orang tersebut dihukumi menjadi batal, karena mandi menyelam bagi orang yang berpuasa hukumnya makruh, atas dasar inilah orang tua dahulu melarang anaknya mandi menyelam tatkala berpuasa. Dan apabila ia mandi tanpa ada sebab syara’ (ghoir al-masyru’), seperti mandi untuk mendinginkan badan atau membersihkan kotoran di badan, lalu masuk air kedalam lubang terbuka (dubur, mulut, hidung, telinga) maka puasa orang tersebut dihukumi batal, sekalipun mandinya tidak menyelam. (Lihat juga : Fath al-Mu’in ditulis oleh Zainuddin Ahmad bin Abdul ‘Aziz al-Malibary, hlm 268).

Kelima, hukum apabila tertelan air ketika berkumur-kumur (Madhmadhah) atau memasukkan air ke dalam hidung (Istinsyaq). Menarik sekali, karena dalam hal ini fuqoha’ syafi’iyah menjelaskan secara rinci. Pertama, apabila seseorang yang berpuasa tersebut berkumur-kumur atas perkara yang dianjurkan oleh syara’ (masyru’) seperti berkumur-kumur sebelum berwudhu’. Kemudian, jika seandainya di saat itu tertelan air, maka tidaklah membatalkan puasa dengan syarat ia berkumur-kumur dengan cara tidak berlebih-lebihan (mubalagho’). Kemudian apabila ia berkumur-kumur dengan cara mubalagho sampai ke pangkal tenggorokannya, lalu airnya tertelan, maka puasanya dihukumi batal karena berlebih-lebihan (mubalagho) bagi orang berpuasa hukumnya makruh. Kedua, puasanya dihukumi batal, apabila orang yang berpuasa tersebut berkumur-kumur (mubalagho atau pun tidak) atas perkara yang tidak diperintahkan agama (ghoir al-masyru’), seperti berkumur-kumur di saat selesai berkerja atau keluar rumah. kemudian tatkala itu tertelan air walaupun tanpa sengaja, hal tersebut tetap membatalkan puasa, karena ia berkumur-kumur tanpa ada anjuran dari syara’ (ma’mur). Allahu’alam.*

Oleh: Muhammad Karim

Asatidz Tafaqquh Study Club

HIDAYATULLAH


Inilah Delapan Perkara yang Membatalkan Puasa

HAMPIR seluruh umat Islam memahami bahwa ibadah puasa itu menyehatkan. Di dalam kitab Maqashid al-Shaum yang ditulis oleh Sulthan al-Ulama ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam halaman 17, dijelaskan bahwa rahasia atau manfaat puasa adalah menyelamatkan tubuh dari berbagai penyakit dan ampuh untuk menentramkan jiwa serta pikiran. Artinya puasa itu menyehatkan jasmani dan rohani. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

“Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.” (HR. Abi Nu’aim)

Jadi puasa tersebut merupakan ibadah yang memiliki ikatan erat dengan kesehatan badan dan pikiran. Karena di dalam pelaksanaan puasa tersimpan kesehatan untuk tubuh jasmani sekaligus akal pikiran, menariknya puasa juga merupakan vitamin untuk hati sebagaimana makanan memberikan vitamin kepada tubuh. (Lihat: al-Taisir bi Syarah al-Jami’ al-Shaghir karya al-Imam al-Hafidz Zainuddin Abdurro’uf al-Manawy, juz 2. Hlm.187)

Oleh sebab itu,  sebaiknya umat Islam juga harus memahami hal yang bisa menyebabkan puasa itu menjadi batal. Adapun yang membatalkan puasa ada dua pembagian.

Pertama, perkara yang menghapus pahala puasa, sementara ia tidak membatalkan puasa dan tidak wajib mengqodho. Pembagian ini disebut dengan al-Muhbithat. Kedua, perkara yang membatalkan puasa sekaligus menghapus pahalanya, dan wajib mengqodho puasa tersebut. Pembagian ini disebut dengan al-Mufatthirat. (Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat ditulis oleh al-Habib Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.448).

Pada kesempatan ini penulis fokus terhadap perkara-perkara al-Mufatthirat. Adapun hal yang membatalkan puasa tersebut ada delapan perkara, di antaranya:

Pertamaal-Riddah yaitu keluar dari agama Islam dengan cara berniat untuk murtad atau melalui perkataan, dan perbuatan. Kemudian jika ia keluar dari agama Islam dalam waktu yang sebentar, lalu masuk Islam kembali. Maka puasanya tetap batal dan ia wajib mengqodho puasa tersebut. (Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat ditulis oleh al-Habib Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.449).

Kedua, haid, nifas, wiladah sekalipun hanya sebentar di siang Ramadhan. Artinya jika seorang perempuan haid, nifas, atau wiladah pada siang Ramadhan, maka puasanya menjadi batal dan wajib mengqodhonya. (Lihat: Umdat al-Salik wa Uddat al-Nasik ditulis oleh Syihabuddin Abi al-Abbas Ahmad bin al-Naqib, hlm.166).

Ketiga, apabila gila (al-Junun) di siang Ramadhan walaupun sebentar. Artinya seorang yang yang menjadi gila di siang Ramadhan, maka puasanya batal dan ia tidak wajib membayar fidiyah dan juga tidak wajib mengqodhonya dengan syarat penyakit gila tersebut tidak disengaja. (Lihat: Nail al-Raja’ ditulis oleh al-Sayyid Ahmad bin Umar al-Syathiry, hlm,286).

Keempat, pingsan (ayan) atau mabuk selama siang Ramadhan. Lihat: Anwar al-Masalik, ditulis oleh Syekh Muhammad al-Zuhry al-Ghumrawi, hlm.166. Namun jika seandainya pingsan (ayan) atau mabuk setengah hari saja atau hanya sebentar, maka tidak membatalkan puasa. (Lihat: Mandzumah al-Zubad ditulis oleh Ibnu Ruslan, hlm.21). Lebih detail lagi Ibn Hajar menjelaskan mabuk atau pingsan (ayan) tersebut membatalkan puasa, apabila disengaja sekalipun hanya sebentar. Dan wajib mengganti puasa tersebut pada selain bulan Ramadhan.

Kelima, berhubungan suami istri (jima’) pada siang hari Ramadhan dengan sengaja, pilihan, dan tahu bahwa perkara tersebut diharamkan. (Lihat: Busyrah al-Karim bi Syarh Masa’il al-Ta’lim ditulis oleh Sa’id bin Muhammad Ba ’Ali Ba’asyan al-Hadrami, hlm.548).

Adapun sanksi bagi seseorang yang membatalkan puasanya dengan berjima’ adalah.

Pertama, mendapatka dosa. Kedua, wajib menahan (imsak) di siang Ramadhan ketika itu, sebagaimana orang yang berpuasa. Ketiga, apabila ia tidak bertaubat, maka hakim wajib menta’zirnya sebagai pelajaran. Keempat, wajib mengganti puasa tersebut. Kelima, wajib membayar kaffarah khusus bagi lelakinya saja. Dalam hal membayar kaffarah ini, tidak dibolehkan melaksanakan tingkatan kaffarah yang ketiga, kecuali memang tidak sanggup melaksanakan kaffarah yang kedua. (Lihat: Fath al-Mu’in ditulis oleh Zainuddin Ahmad bin Abdul ‘Aziz al-Malibary, hlm 270).

Adapun kaffarah-nya adalah memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya. Dan apabila budaknya tidak ada, maka boleh melakukan tingkat yang selanjutnya, yaitu. Puasa dua bulan secara berturut-turut, artinya jika berselang satu hari saja tidak berpuasa, maka dihitung lagi dari awal puasanya. Seseorang tidak boleh melakukan perkara yang ketiga, kecuali memang benar-benar tidak sanggup melakukan puasa dua bulan berturut-turut. Adapun kaffaroh tingkat ketiga adalah memberi makan 60 orang miskin sebanyak satu mud  Nabi Muhammad ﷺ (0,6kg). (Lihat, Mukhtashar al-Muzani ditulis oleh Abu Ibrahim al-Muzani, juz 8, hlm.103).

Namun apabila tidak sanggup memberi makan 60 orang miskin satu mud, maka tetap wajib bagi seseorang tersebut sampai dia mampu. (Lihat: Anwar al-Masalik, ditulis oleh Syekh Muhammad al-Zuhry al-Ghumrawi, hlm.165).

Keenam, ada sesuatu yang masuk dari lubang yang terbuka ke dalam rongga (wushul ‘ain min manfdz maftuh ila al-jauf), seperti memasukkan makanan ke dalam mulut atau minum air.

Ketujuhal-Istimna’ yaitu mengeluarkan air mani atau sperma dengan sengaja. Adapun jika air mani keluar tanpa disengaja seperti mimpi junub di siang Ramadhan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Lihat: Raudha al-Thalibin wa Umdah al-Muftin ditulis oleh Imam Nawawi, juz, 2 hlm, 321-322). Kemudian hukum mencium istri tatkala puasa fardhu, hal tersebut dimakruhkan apabila tidak bersyahwat. Namun apabila ia mencium istrinya dengan syahwat, maka hal tersebut tidak diperbolehkan dan puasanya batal apabila ia inzal (mani keluar) tatkala mencium istri. (Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat ditulis oleh al-Habib Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.455).

HIDAYATULLAH


Berdoa Sepanjang Ramadhan

Al-Quran diturunkan di dalam bulan Ramadhan dengan tiga fungsi utama, sebagai petunjuk (hudan), penjelas (bayyinat), dan pembeda (furqon).

Ibn Katsir menjelaskan bahwa itu semua dimaksudkan sebagai pujian Allah Ta’ala kepada Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang beriman, membenarkan, dan mengikutinya.

Sebagai penjelas, artinya sebagai dalil dan hujjah yang nyata dan jelas bagi orang yang memahami dan memperhatikannya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya, berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan yang melawan penyimpangan, serta pembeda, antara yang baik dan yang bathil, yang halal dan yang haram.

Menariknya, setelah menjelaskan perihal Ramadhan dan Al-Quran, pada ayat ke 186 Surah Al-Baqarah, Allah Ta’ala menjelaskan perihal keberadaan-Nya.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawabla), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Ibn Katsir menjelaskan bahwa Allah tidak menolak dan mengabaikan doa seseorang, tetapi sebaliknya Dia Mahamendengar doa. Ini merupakan anjuran untuk senantiasa berdoa, dan Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan doa hamba-Nya.

Hal ini dipertegas dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ. “Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Maha Pemalu. Maha Dermawan. Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Maksimalkan dalam Ramadhan

Apakah ada relevansi doa dengan Ramadhan? Jawabannya sangat. Rasulullah ﷺ menjelaskan hal ini dalam sabdanya.

“Ada tiga orang yang doanya tidak akan ditolak. Penguasa yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka. Dan, doa orang yang dizalimi. Allah akan menaikkan doanya tanpa penghalang awan mendung pada hari Kiamat dan dibukakan baginya pintu-pintu langit, dan Dia berfirman, “Demi kemuliaan-Ku, Aku pasti menolongmu meskipun beberapa saat lagi.” (HR. Ahmad).

Dengan demikian, sepanjang matahari bersinar orang yang berpuasa harus banyak memanfaatkan waktu yang dilalui dengan banyak berdoa kepada Allah. Selain Allah akan menjawab doa itu, doa juga akan memberi efek positif pada diri orang yang berdoa.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ

Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a.” (HR. Tirmidzi).

Artinya, hatinya teguh, harapannya kokoh, dan kesabarannya membaja, bahwa dengan memohon, berdoa kepada Allah, kebaikan demi kebaikan pasti akan datang, baik dalam proses doa itu dikabulkan maupun saat dan setelah doa itu dikabulkan oleh-Nya.

Sunnah Para Nabi dan Rasul

Saat berbicara doa, maka sungguh di dalam Al-Quran Allah banyak menjelaskan bagaimana para hamba-hamba terkasih-Nya, dari kalangan Nabi dan Rasul tak pernah jemu, lelah, dan putus asa berdoa kepada-Nya.

Semua itu menjadi sebuah bukti bahwa kita, yang hidup sebagai umat Nabi Muhammad ﷺ benar-benar dilarang berputus asa dari rahmat Allah. Al-Quran menjabarkan bagaimana permohonan seorang hamba dan Nabi Allah yang amat sukar dalam pandangan rasio Allah kabulkan dan jadikan kenyataan.

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيّاً * إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْباً وَلَمْ أَكُن بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيّاً * وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِراً فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيّاً * يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيّاً *

“Yaitu kala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut, ‘Sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, namun aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, duhai Tuhanku. Dan sungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku mandul, maka anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra, yang akan mewarisiku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Jadikanlah pula ia, duhai Tuhanku, seorang yang diridhai.’” (QS. Maryam[19]: 2 – 6).

Lihatlah kalimat Nabi Zakaria, “namun aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, duhai Tuhanku,” merupakan isyarat penting bahwa doa kita pasti akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa dan tidak putus asa.

Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi ﷺ “Akan dikabulkan doa salah seorang di antara kalian selama ia tidak minta dipercepat, yaitu ia mengatakan, ‘Aku sudah berdoa, tetapi tidak dikabulkan.”(HR. Bukhari).

Jadi, mari jadikan Ramadhan 1441 H ini sebagai kesempatan indah dan peluang emas untuk mendapatkan pertolongan Allah dengan senantiasa berdoa hanya kepada-Nya. Insya Allah segala hajat kebaikan dunia dan akhirat, akan Allah berikan pengabulan. Allahu a’lam.*/Imam Nawawi Penulis Buku Sabar Membawa Nikmat Mengangkat Derajat

HIDAYATULLAH

Delapan Penyebab Matinya Hati

SUATU ketika Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, “Ada apa dengan kami, mengapa kami telah berdoa tetapi Allah tidak menerima doa kami, padahal Allah berfirman, ‘Aku mengabulkan doa orang yang bermohon, apabila dia berdoa kepada-Ku’?” (Qs al-Baqarah [2]: 186).

Ibrahmin bin Adham menjawab, “Karena hatimu telah mati.” Orang itu bertanya lagi, “Apa yang menyebabkan hati mati?” Jawab Ibrahim bin Adham, “Delapan hal yang menyebabkan hati dapat mati:

(1) engkau mengetahui kewajibanmu kepada Allah namun tidak melaksanakan kewajiban itu,
(2) engkau membaca Alquran tetapi tidak memperhatikan azab yang telah dijanjikan-Nya,
(3) engkau mengatakan mencintai Rasulullah Saw tetapi tidak mengikuti sunahnya,
(4) engkau mengatakan takut mati tapi tidak mempersiapkan diri untuk mati,
(5) Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya setan adalah musuhmu, maka perlakuan dia sebagai musuhmu.” Qs Fathir [35]: 6), tetapi engkau malah meminta pertolongannya dalam bentuk maksiat. Kamu begitu patuh kepadanya,
(6) engkau mengatakan takut kepada api neraka tetapi menggiring tubuh masuk ke dalam api neraka,
(7) engkau mengatakan mencintai surga tetapi tidak berbuat untuk surga,
(8) apabila engkau bangun dari tidurmu, engkau lemparkan dosa-dosamu ke belakang dan engkau buka dosa-dosa orang lain di hadapanmu. Dengan kata lain, kamu sibuk mencari aib saudaramu, tetapi kamu tidak mau melihat aibmu sendiri.

Karena itu, Tuhanmu tidak menyukaimu. Maka bagaimana mungkin Dia mengabulkan doamu?” [Imam Al-Ghazzali]

INILAH MOZAIK

Doa Buka Puasa Ramadhan yang Benar Sesuai Sunnah

Saat waktu Maghrib sudah tiba, kita disunnahkan untuk membaca doa berbuka puasa. Doa buka puasa Ramadhan yang benar sesuai Sunnah telah dijelaskan dalam beberapa hadits. Terdapat beberapa riwayat hadits yang berisi tuntunan Rasulullah Saw. tatkala beliau berbuka.

Kendati kualitas hadits berbeda-beda, namun hal itu bukan menjadi persoalan serius, selama hadits tersebut bukan palsu (maudhu’).

Berikut ini doa buka puasa Ramadhan yang benar sesuai sunnah sebagaimana diriwayat dalam beberapa hadits:

Diriwayatkan oleh Mu’adz nin Zuhroh, bahwa Nabi Muhammad Saw. ketika berbuka puasa membaca:

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Teks Latin:

Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu

Artinya:

“Tuhanku, hanya untuk-Mu aku berpuasa. Dengan rezeki-Mu aku membatalkannya.” (H.R. Abu Dawud: 2358)

Dalam hadits lain diterangkan bahwa Rasulullah Saw. tatkala menikmati hidangan berbuka puasa beliau membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Dzahabazh zhama’u wabtallatil ‘uruqu, wa tsabatal ajru, insyaallah

Artinya: “Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah, serta pahala telah tetap, insya Allah.” (H.R. Abu Dawud: 2357)Baca juga :  Niat Sholat Tarawih Sebagai Makmum [Arab, Latin dan Artinya]Baca juga :  Doa Setelah Sholawat Tarawih Lengkap Latin dan Artinya

Perbedaan Doa

Mengapa doa buka puasa berbeda-beda? Dalam konteks ini, perbedaan doa berbuka di atas bukan karena kesalahan riwayat, namun karena memang Rasulullah mencontohkan bacaan doa tidak selalu sama kepada setiap sahabat.

Oleh karena itu, entah itu kalangan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), atau ormas lain, perbedaan doa ini bukan menjadi persoalan yang sangat serius untuk diperdebatkan. Untuk menetengahkan perbedaan ini, ada kalangan ulama yang menyambungkan doa dalam kedua hadits di atas menjadi satu bacaan, sebagaimana berikut.

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ، ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu, Dzahabazh zhama’u wabtallatil ‘uruqu, wa tsabatal ajru, insyaallah

Yang terpenting di dalam doa buka puasa yakni sejauh mana diri seseorang ikhlas, pasrah, dan bersyukur sebab masih diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani puasa Ramadhan. Bahkan, apabila seorang mukmin berdoa menggunakan bahasa selain Arab pun tidak masalah, selama ia berdoa hanya kepada Allah.

Demikian doa buka puasa Ramadhan lengkap latin dan artinya sesuai Sunnah Nabi. Semoga puasa Ramadhan dan ibadah lain yang kita amalkan diterima oleh Allah Swt. Selamat berbuka puasa. Marhaban ya Ramadhan.

IQRA

Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 3)

Bertauhid yang sempurna berarti bertawakal hanya kepada Allah dengan usaha yang bermanfaat secara maksimal

Salah satu ciri khas ahli tauhid yang sempurna sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia adalah tawakal kepada Allah semata. Syaikh Muhammad Shaleh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan definisi tawakal kepada Allah Ta’ala yaitu,

صدق الاعتماد على الله عز وجل في جلب المنافع ودفع المضار مع فعل الأسباب المأذون فيها

“Kejujuran dalam bersandarnya hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam mendapatkan sesuatu yang bermanfaat atau untuk hilangnya sesuatu yang membahayakan, diiringi melakukan sebab yang diizinkan (dalam Islam).” [1]

Oleh karena itu, termasuk bentuk bertauhid yang sempurna adalah mengambil sebab atau usaha syar’i dan qadari yang baik sebagai bentuk tawakal kepada Allah yang benar.

Kaidah mengambil sebab dan macam-macam sebab

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya, Al-Qaulus Sadiid menjelaskan salah satu dari hukum sebab,

أن لا يجعل منها سببا إلا ما ثبت أنه سبب شرعا أو قدرا

“Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab, kecuali jika sesuatu tersebut terbukti sebagai sebab, baik secara syar’i maupun qadari (kauni).”

Maksudnya, sebab atau usaha apapun yang kita ambil dalam berbagai permasalahan, termasuk usaha menangani wabah corona, haruslah terbukti secara syar’i atau qadari. Jadi, kita tidaklah boleh melakukan suatu usaha, kecuali jika usaha tersebut terbukti sebagai sebab, baik terbukti secara syar’i maupun secara qadari (kauni).

Sebab syar’i dan sebab qadari

Maksud dari sebab syar’i adalah harus ada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang shahih bahwa sesuatu itu merupakan sebab untuk mencapai suatu manfa’at atau menghindari (menolak) mudharat.

Maksud dari sebab qadari adalah terbukti secara ilmiah atau berdasarkan pengalaman yang jelas dan ilmiah bahwa sesuatu itu merupakan sebab.

1. Contoh sebab syar’i

Sebab terbesar menangani wabah virus corona adalah dengan bertaubat kepada Allah Ta’ala, karena musibah itu disebabkan dosa dan karena tujuan ditaqdirkan ada wabah adalah agar kita bertaubat kepada Allah Ta’ala, merendahkan diri, berdoa kepadaNya, tunduk serta taat kepada-Nya dan mengesakan-Nya.

Dalil-dalil contoh sebab syar’i

Dalil pertama, dalam Al-Qura’n Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ أَوَلَوۡ جِئۡتُكَ بِشَيۡء مُّبِين 

“Musa berkata, ‘Dan apakah (kamu akan melakukan itu) kendati pun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?’” (QS. Asy-Syura: 30)

Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya yang terkenal menuliskan, 

وما يصيبكم أيها الناس من مصيبة في الدنيا في أنفسكم وأهليكم وأموالكم {فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ }. يقول: فإنما يصيبكم ذلك عقوبة من الله لكم بما اجترمتم من الآثام فيما بينكم وبين ربكم ويعفو لكم ربكم عن كثير من إجرامكم ,فلا يعاقبكم بها

“(Wahai manusia), musibah apa pun yang menimpa kalian di dunia, yang menimpa diri kalian, keluarga kalian, serta harta kalian, {maka itu disebabkan dosa yang diperbuat tangan kalian}. Maknanya, musibah itu menimpa kalian sebagai hukuman dari Allah untuk kalian, karena dosa-dosa yang kalian lakukan antara kalian dengan Allah. Rabb kalian pun memaafkan banyak dari perbuatan dosa kalian sehingga Dia tidak menyiksa kalian (karenanya).”

Dalil kedua, Allah Ta’ala berfirman,

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ 

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41)

Para ahli tafsir rahimahullah menafsirkan kerusakan dalam ayat tersebut dengan berbagai macam penafsiran. Kalau disimpulkan, intinya adalah seluruh perkara yang rusak, tidak baik dan tidak bermanfaat bagi manusia, baik kerusakan yang bersifat konkret atau abstrak, baik kerusakan pada perbuatan manusia maupun kerusakan hasil taqdir Allah karena sebab dosa manusia, baik kerusakan yang ada pada diri, harta, binatang, maupun tumbuhan.

Ahli tafsir mencontohkan seperti penyakit (wabah), kesulitan pangan (nafkah), banyaknya kemaksiatan, kerusakan tanaman (buah-buahan), kekeringan, kematian binatang, banyaknya rasa takut, ditinggalkannya amar ma’ruf nahi mungkar, banjir, angin kencang, serta bencana alam lainnya.

Allah jelaskan dalam ayat yang agung ini tentang hikmah dan maksud adanya musibah dan kerusakan di muka bumi ini. Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan (لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ)  dengan makna,

عقوبة بعض الذي عملوا من الذنوب

“Supaya Kami membuat mereka merasakan hukuman (sebagai akibat dari) sebagian dosa yang mereka lakukan.”

Ath-Thabari rahimahullah berkata,

)لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ) يقول :كي ينيبوا إلى الحقِّ، ويرجعوا إلى التوبة، ويتركوا معاصي الله

“(Agar mereka kembali), maksudnya agar mereka kembali kepada kebenaran dan kembali bertaubat serta meninggalkan kemaksiatan kepada Allah.”

Kesimpulan ayat ini, munculnya berbagai musibah dan kerusakan di muka bumi ini disebabkan karena dosa yang diperbuat oleh manusia. Hikmahnya adalah supaya mereka merasakan hukuman (akibat) dari sebagian dosa yang mereka lakukan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dan bertaubat kepada Allah.

Dalil ketiga, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَآ إِلَىٰٓ أُمَم مِّن قَبۡلِكَ فَأَخَذۡنَٰهُم بِٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ لَعَلَّهُمۡ يَتَضَرَّعُونَ ٤٢

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (QS. Al-An’am: 42)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan al-ba’saa’ (ٱلۡبَأۡسَآءِ) dengan “kefakiran dan kesulitan nafkah” dan adh-dharraa’ (ٱلضَّرَّآءِ) dengan “penyakit dan derita”. Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan al-ba’saa’ (ٱلۡبَأۡسَآءِ) dengan “kesulitan dan kelaparan” dan adh-dharaa’ (ٱلضَّرَّآءِ) dengan “penyakit yang lama (menahun)”.

Adanya hikmah adanya hukuman penyakit tersebut disebutkan oleh perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan (لَعَلَّهُمۡ يَتَضَرَّعُونَ) dengan,

أي: يدعون الله ويتضرعون إليه ويخشعون

“Maksudnya, mereka berdoa kepada Allah, ’merendahkan diri’ dengan mengakui dosa dan bertaubat, serta khusyuk.”

Kesimpulan, munculnya berbagai hukuman musibah yang Allah timpakan kepada sebuah umat, berupa penyakit, kemelaratan, dan kesulitan nafkah itu ada hikmah dan tujuan tertentu. Yaitu agar manusia bertaubat, memohon kepada Allah dengan tunduk merendahkan diri, taat kepada Allah dan mengesakan-Nya.

Di samping itu, sebab syar’i lainnya untuk menangani wabah virus corona adalah dengan memperbanyak dzikir yang memang ada dalil shahihnya, seperti dzikir pagi sore, dzikir keluar rumah, dzikir singgah di sebuah tempat, dan selainnya. Juga semangat mempelajari ilmu syar’i, memperbanyak ibadah sunnah setelah ibadah wajib, seperti shalat malam, dan lainnya.

2. Contoh sebab qadari

Dalam menangani virus corona kita harus pula mengambil sebab qadari sebagaimana arahan pemerintah dan ahli medis, seperti:

Tidak mendatangi tempat wabah, menutup wadah makanan dan minuman, mengucapkan salam saja ketika berjumpa dengan teman tanpa berjabat tangan, meminimalisir aktifitas keluar rumah, meminimalisir pertemuan-pertemuan yang tidak wajib, benar-benar memperhatikan kebersihan, cuci tangan dengan antiseptik, menjaga jarak dengan sesama, memakai masker, dan selainnya.

Intinya, kita kembalikan sebab qadari tersebut kepada ahlinya, dalam hal ini adalah arahan medis dari pemerintah, para tenaga medis, dan lembaga resmi yang berkompeten lainnya.


Khusus terkait dengan penanganan wabah virus corona yang mendunia ini, maka perlu memperhatikan kaidah yang terdapat dalam An-Nisa’: 83 tentang menyebarkan ataupun menviralkan suatu berita, baik bentuknya pengumuman, himbauan maupun arahan yang berdampak menyebarkan rasa takut, atau rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Apalagi terkait dengan ancaman nyawa banyak orang. Kaidahnya adalah mengembalikan ke ulama dan pemerintah, karena mengikuti ulama dan pemerintah adalah sebab keberkahan. Dan hakikatnya adalah keberkahan melaksanakan Al-Qur’an. Ini adalah sebab yang sangat besar agar kita selamat menghadapi musibah ini, meski -misalnya- banyak kekurangan secara sebab qadari.

Renungan 

Sebab syar’i itu lebih utama dari sebab qadari (medis), meski keduanya sama-sama penting untuk diambil.

Ingat, sebab syar’i dan qadari itu sama-sama pentingnya. Hanya saja tingkat kepentingannya bertingkat-tingkat antar keduanya. 

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah menyatakan dalam kitab Al-Asbab Asy-Syar’iyyah An-Naji’ah (hal. 3), “Hendaknya seseorang tidak mencukupkan diri dengan sebab medis saja dalam menangani virus corona, dan bahkan mengambil sebab syar’i itu lebih utama dalam menangani wabah corona ini dan wabah selainnya. Dan penetapan pengaruh sebab syar’i itu pasti benarnya, karena sumber penetapannya adalah wahyu Allah.”

Sobat, sungguh benar apa yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah, apalagi terkadang sebagian sebab medis itu sifatnya uji coba yang tidak ada kepastian pengaruhnya. Jika demikian maka, 

Sebab terbesar yang harus kita ambil

Sebab terbesar yang harus kita ambil adalah bertaubat kepada Allah Ta’ala dari seluruh dosa, terutama syirik besar dan setingkatnya. Hal ini karena syirik besar adalah dosa terbesar yang ancaman bagi pelakunya jika mati dan tidak bertaubat adalah berada kekal di neraka.

Dan bertaubat dari syirik itu dengan cara bertauhid dengan benar dan tidak mungkin orang bisa masuk surga tanpa bertauhid. Sedangkan contoh syirik besar adalah takut kepada jin, makhluk halus penguasa pantai, atau roh yang diyakini mampu menimpakan musibah tanpa sebab sebagaimana Allah menimpakan musibah dan mampu mengatur kematian dan kehidupan manusia.

Ritual menyembelih hewan yang dipersembahkan untuk mayit atau jin saat membangun bangunan atau saat panen laut atau saat ada wabah. Atau berdoa (istighatsah) kepada kuburan untuk tolak balak.

Bertaubat dari Syirik Kecil

Bertaubat dari syirik kecil, karena dosa syirik kecil itu lebih besar dari dosa besar (secara jenis dan secara umum). Syirik kecil seperti riya’, mencintai harta secara berlebihan (sehingga dia marah atau ridha hanyalah karena harta, meskipun harus sampai bermaksiat untuk mendapatkannya), bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, memakai jimat gelang, kalung, pusaka yang dikeramatkan untuk tolak balak, dan semisalnya.

Bertaubat dari bid’ah

Bertaubat dari bid’ah, yaitu beragama atau beribadah dengan cara yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena bid’ah adalah dosa besar yang terbesar, karena hakikatnya pelaku bid’ah membuat-buat ajaran sendiri dalam beribadah.

Termasuk juga wajibnya bertaubat dari bid’ah dalam ritual doa tolak bala’ yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bertaubat dari dosa besar dan dosa kecil

Bertaubat dari dosa besar, seperti ghibah, menenggak minuman memabukkan, mencuri, membunuh, merampok, berzina, dan korupsi. Selain itu, kita juga harus bertaubat dari dosa kecil.

Sobat, setinggi apapun iman seseorang, tetaplah wajib bertaubat dari dosa sekecil dan sesedikit apapun, apalagi jika dosanya banyak dan besar, lebih-lebih lagi saat kondisi wabah menimpanya.

Seseorang wajib segera bertaubat dari seluruh dosa, karena mati itu suatu hal yang pasti datangnya kepada setiap orang, sedangkan corona belum tentu datang mengenai setiap orang.

Maka semestinya seseorang lebih takut mati dalam keadaan tidak sempat bertaubat dari dosa daripada takut terhadap virus corona. Dan seseorang tidaklah bisa bertaubat dengan baik, kecuali dengan berilmu syar’i. Maka pelajarilah syari’at Islam ini terutama ilmu yang fardhu ‘ain, sebuah ilmu yang kalau tidak dipelajari akan terancam terjatuh pada dosa, seperti ilmu tauhid (aqidah dasar), fiqih shalat lima waktu, tentang larangan yang haram, dan lainnya. 

Semoga Allah segera menghilangkan wabah corona ini dan menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang bertauhid dan bertakwa dengan sempurna. Aamiin.

(Selesai)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55949-atasi-corona-dengan-bertauhid-yang-sempurna-bag-4.html