Islam Tak Kekurangan Figur Pemimpin Hebat

Islam tak pernah kekurangan model pemimpin hebat. Kehebatannya tidak dibentuk karena hasil polling, tapi dari kuatnya mental, tegarnya iman, dan karakternya yang adil  

Oleh: Kholili Hasib

DALAM  sejarah Islam, terdapat model terbaik pemimpin negara. Terbaik sedunia di masa itu. Mereka disebut “Khulafa ar-Rasyidin”. Artinya para Khalifah yang mendapatkan petunjuk Allah Swt.

Kebaikan karakter kepemimpinan mereka sudah sangat terlihat sebelum dipilih. Simak kisah Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar.

Sayidina Abubakar As-Shiddiq radhiallahu ‘anhu — Khalifah Pertama — dalam pidato pertamanya saat diresmikan menjadi Khalifah, dia tak terlihat bergembira dan apalagi berpesta riang gembira. Berikut ini petikan sebagian pidatonya:

“Saudara-saudara, saya telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena saya yang terbaik di antara kalian. Untuk itu, jika saya berbuat baik bantulah saya dan jika saya berbuat salah luruskanlah.”

“Patuhlah kalian kepada saya selama saya mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika saya durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhi saya. Kini, marilah kita menunaikan shalat, semoga Allah melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita.”

Lalu ketika sayidina Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu dilantik menjadi khalifah. Saat itu dia justru menangis. Orang-orang-pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis dengan jabatan ini?”

“Saya ini tegas, banyak orang yang takut pada saya. Kalau saya nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan,” tanya Umar radhiallahu ‘anhu.

Lalu, seorang Arab Badui dengan pedang terhunus berkata; “Saya yang akan mengingatkan Anda dengan pedang ini.” “Alhamdulillah,” jawab Umar radhiallahu ‘anhu.

Lihatlah sikap kedua Khalifah di atas. Abu Bakar tidak sombong, arogan dan tidak ambisius saat akan dipilih dan setelah terpilih.

Ia mengatakan “Jika saya berbuat salah luruskanlah”. Abu Bakar siap menerima masukan. Membuka pintu untuk nasihat.

Ia tidak menutup telinga dan tidak salah keluarkan kata-kata. Beliau bertutur lembut, sopan tapi tegas.

Ia juga dikenal tidak bicara kasar, emosional dan apalagi tidak pernah mencontohkan bicara kotor, arogan, dan tidak dusta. Ia sepenuhnya sadar, pemimpin itu teladan bagi rakyatnya.

Abu Bakar tidak hanya pintar dan cerdas. Tetapi jujur dan tawadhu’. Setiap berorasi selalu menyentuh hati.

Ketika berkhutbah selalu mengandug uswah. Tidak hanya piawai berpidato, tetapi bijak dalam bertindak. Abu Bakar selalu tepat dalam memutuskan kebjakan.

Tidak merugikan kaya dan tidak mengecewakan orang miskin. Ini karakter pemimpin cerdas dan adil.

Umar bin Khattab justru bersyukur jika ada yang mengingatkan ketika salah. Justru ia khawatir jika tidak ada orang yang berani mengingatkan.

Beliau merupakan tipikal pemimpin paling tegas di antara empat Khalifah. Namun, ia tawadhu’—siap akui salah jika memang salah.

Bukan mencari alibi atau sombongkan diri. Pantas saja ia dicintai rakyatnya dan disegani Romawi (musuhnya).

Seorang pemimpin dengan model seperti sayidina Umar bin Khattab itu adalah memiliki kecerdasan karakter internal.

Di antara karaktaenya adalah;

Berani tetapi tidak gegabah, tegas tapi tidak congkak, iffah (menjaga diri) dan tawadhu’.

Satu lagi model kepemimpinan Umar. Beliau dikenal sederhana.

Utusan Raja Romawi pernah terheran-heran dengan penampilan baju Khalifah Umar. Heran karena seperti baju yang dikenakan mirip baju rakyat. Tetapi wibawanya menyamai Raja Romawi.

Tidak ada pemimpin kerajaan-kerajaan besar dunia; Romawi dan Persia yang menyamai kehebatan dua Khalifah ini.

Dua khalifah memang diseleksi oleh orang-orang terbaik. Yaitu sahabat Nabi. Wajar akhirnya yang terpilih adalah orang-orang terbaik.

Oleh karena itu Khalifah itu juga seorang imam. Ilmunya terdepan, akhlaknya terdepan, wibawanya terdepan dan kecerdasannya paling depan. Imam diikuti dan rakyat adalah makmum.

Dua khalifah tersebut dicintai seluruh rakyatnya. Bahkan, musuh-musuhnya hampir tidak berkenan menghinanya.

Apa yang mau dibully? Para musuhnya malah terkagum.

Inilah tanda pemimpin yang hebat dan adil. Dicintai rakyat dan disegani musuh.

Pemimpin harus memiliki beberapa syarat. Di antaranya; seorang yang mampu berbuat adil di antara masyarakat, melindungi rakyat dari kerusakan dan kejahatan, dan tidak dzalim (tirani).

Kehebatan kepemimpinan bukan dari besarnya hasil polling, tapi dari kuatnya mental, tegarnya iman, kecerdasan karakter internal dan kejujurannya. Seperti apa karakter pemimpin yang adil dan hebat itu?

Pemimpin yang baik itu pekerja bukan sekedar penguasa. Pemimpin yang hebat adalah bukan sekedar penguasa tetapi pelindung.

Menguasai daerah dan melindungi rakyat dari ancaman. Melindungi agama dan keyakinan rakyat.

Ia menolong dunia dan akhirat rakyatnya. Rakyat bukan hanya dikenyangkan dengan sarapan dan susu tetapi dicerdaskan akalnya dan diselamatkan imannya.

Mereka juga memberi makan akal dan hatinya dengan ilmu dan iman.

Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat bagi seorang pemimpin, Imam al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik daripada menyibukkan diri beribadah sunnah.

Apa kebutuhan pendidikan rakyat ini?: Visinya harus jelas,  kebutuhan ibadahnya terpenuhi.  

Oleh sebab itu, seseorang pemimpin negara harus mampu memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu. Sebelum memimpin orang lain.

Bagaimana pemimpin mampu memimpin dirinya? Yakni kemampuan memimpin jiwa, akal dan hawa nafsunya.

Jika seorang memiliki ilmu dan terhias dengan adab, maka dia akan mampu mengontrol secara rasional kehendak nafsu dalam dirinya itu. Inilah yang dinamakan kepemimpinan bersifat multidimensional. Cerdas akal, cerdas hati dan cerdas perilaku.

Pemimpin wajib mengetahui hakikat kekuasaan dan menghindari sifat takabbur. Biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur.

Takabbur seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan.

Maka, mencoba bercita-cita jadi pemimpin jika belum terdidik mental dan hatinya. Menjadi pemimpin bukan sekedar bermodal uang, trak keturunan dan bisnis. Jika tidak, pasti tergelincir. Dimusuhi rakyat dan dimurkai Allah.

Mari teladani khalifah ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu misalnya, setiap malam beliau berkeliling kota Madinah untuk memastikan rakyatnya dalam kondisi aman dan terpenuhi kebutuhannya.

Di zaman Kekhalifahan Bani Umayyah, kita kenal Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang kaya dan berilmu. Bahkan beliau termasuk kategori ulama, pengagumnya sangat banyak.

Namun, ia tidak sombong karena faham hakikat kekuasaan itu titipan Allah, bukan untuk kesombongan. Ia sederhana. Kelewat hati-hati dalam menjaga supaya ia ’bersih’.

Suatu hari salah satu kerabatnya memberi hadiah buah apel, namun beliau menolak secara halus – meskipun di hari itu ia betul-betul sangat menginginkan untuk mencicipi buah apel.

Beliau menolak hadiah tersebut karena khawatir hal itu menjadi risywah (suap), padahal kerabat beliau tidak bermaksud memberi suap.

Pemimpin hebat itu berasal dari rakyat-rakyat yang hebat yang memilihnya. Kita perlu pemimpin yang memiliki visi dan misi pendidikan yang kuat dan jelas.

Sarapan dan susu penting. Tetapi gizi otak dan hati lebih penting lagi. Apa visi dan misi pendidikan untuk menuju Indonesia emas? Kebutuhan pendidikan harus dipenuhi dulu.

Itulah karakter dan mental pemimpin yang yang hebat. Kita tidak pernah kekurangan teladan hebat.

Persoalannya sekarang, berminatkan pemimpin kita hari ini menjadikan mereka sebagai teladan dan model? Dari segi kekuasaan, mereka sukses. Maka layak ditiru mentalnya oleh pemimpin kita.*

Penulis pengajar di Darullughah Wadda’wah Bangil, Pasuruan  

HIDAYATULLAH

Hukum Food Vlogger dalam Islam

Food vlogger adalah orang yang membuat konten video atau tulisan tentang makanan. Konten yang mereka buat biasanya berupa review, resep, atau tips seputar makanan. Food vlogger memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat, terutama dalam hal kuliner. Lantas bagaimana hukum food vlogger dalam Islam?

Sempat viral di internet, sejumlah food vlogger, sedang berseteru di aplikasi berbagi video pendek TikTok. Seteru ini berawal dari review seorang food vlogger pada sebuah warung, dia mengomentari semua hal tentang warung itu. Mulai dari tempat yang kotor, harga yang mahal, hingga soal makanan yang dihidangkan tidak dalam keadaan hangat.

Belakangan, setelah ‘review jujur’ itu diposting dan viral. Si pemilik warung marah besar karena merasa dirugikan. Peristiwa ini memantik food vlogger lain ikut berkomentar. Ada yang mendukung si pemilik warung, tapi banyak pula yang mendukung sang vlogger. Lantas, bagaimanakah hukum food vlogger dalam Islam?

Dalam literature kitab fikih dijumpai beberapa keterangan mengenai hukum food vlogger. Ulama merinci hukum food vlogger menjadi dua bagian. Apabila dalam mereview makanan tersebut mengandung unsur pujian maka diperbolehkan dengan syarat tidak ada unsur kebohongan. Sebagaimana dalam kitab Ihya’ Ulumuddin Juz 2, Halaman 75 berikut;

أما الأول فهو ترك الثناء فإن وصفه للسلعة إن كان بما ليس فيها فهو كذب فإن قبل المشتري ذلك فهو تلبيس وظلم مع كونه كذبا

Artinya : “Adapun yang pertama, maka hal itu adalah meninggalkan pujian. Apabila seseorang mensifati barang dengan tidak sesuai kenyataan, maka hal itu disebut dusta, apabila pembeli mempercayai hal itu, maka itu termasuk penipuan dan kezaliman beserta adanya kedustaan.”

Namun demikian, apabila dalam dalam mereview makanan tersebut mengandung unsur cacian, maka secara mutlak hukumnya haram karena termasuk ghibah yang dilarang. Sebagaimana dalam lanjutan keterangan kitab Aujazul Ibarah Juz 2, Halaman 75 berikut

وتكون الغيبة بذكر العيوب في دين المغتاب أو بدنه أو نسبه أو خلقه وفي كل ما ينسب إليه حتى في ثوبه وداره، ويكون ذلك بالقول أو الكتابة أو بالإشارة أو بالمحاكاة 

Artinya : “Dan ngibah itu terjadi dengan menyebutkan beberapa ‘aib dalam agama orang atau badannya, nasabnya, bentuknya dan pada setiap hal yang dinisbatkan padanya sampai pada baju dan rumahnya. Dan ngibah itu dilakukan dengan perkataan, tulisan, isyarat atau gerakan. ”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa ulama merinci hukum food vlogger menjadi dua bagian. Apabila dalam mereview makanan tersebut mengandung unsur pujian, maka diperbolehkan dengan syarat tidak ada unsur kebohongan. Tetapi, apabila dalam dalam mereview makanan tersebut mengandung unsur cacian, maka secara mutlak hukumnya haram karena termasuk ghibah yang dilarang.

Demikian penjelasan mengenai hukum food vlogger dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Apakah Boleh Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram?

Apakah boleh shalat sunnah tahiyatul masjid di Masjidil Haram?Di antara shalat-shalat sunnah adalah shalat sunnah tahiyatul masjid. Secara sederhananya, shalat sunnah dua rakaat yang dilakukan ketika memasuki suatu masjid dan hendak berdiam diri di dalamnya. Dalam pandangan Mazhab Syafi’i, selama belum duduk, setiap orang yang memasuki masjid disunnahkan shalat dua rakaat sebagai bentuk penghormatan terhadap masjid.

Lantas bagaimana dengan Masjidil Haram? Saat memasuki Masjidil Haram apakah seorang juga disunnahkan shalat tahiyatul masjid? Bukankah Masjidil Haram juga masjid? Bahkan ia merupakan masjid yang memiliki banyak keutamaan lantaran posisinya yang berdekatan dengan ka’bah.

Pada dasarnya shalat sunnah tahiyatul masjid memang sunnah dilakukan setiap kali memasuki suatu masjid. Hal ini berdasarkan sabda kanjeng Nabi;

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِس

“Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid maka hendaklah ia mengerjakan shalat dua rakaat sebelum ia duduk” (HR. Abu Qatadah).

Mayoritas ulama pun sepakat akan kesunnahan shalat tahiyatul masjid, dan hukumnya makruh bila orang-orang yang memasuki suatu masjid langsung duduk sebelum melaksanakannya.

Sebagaimana penuturan Imam Nawawi dalam kitab Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim juz 5 halaman 226 berikut ini;

وَهِيَ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَحَكَى الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنْ دَاوُدَ وَأَصْحَابِهِ وُجُوبَهُمَا وَفِيهِ التَّصْرِيحُ بِكَرَاهَةِ الْجُلُوسِ بِلَا صَلَاةٍ وَهِيَ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ

“Shalat tahiyatul masjid hukumnya sunnah berdasarkan kesepakatan (mayoritas) ulama. Hadis di atas juga menerangkan akan kemakruhan duduk sebelum melaksanakan shalat tahiyatul masjid.”

Hanya saja kesunnahan melaksanakan shalat tahiyatul masjid menjadi gugur bila yang dimasuki adalah Masjidil Haram. Dengan kata lain shalat tahiyatul masjid tidak disunnahkan saat memasuki Masjidil Haram. Hal ini  sebagaimana penjelasan Syekh Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahab juz 1 halaman 67;

” وكتحية مسجد ” غير المسجد الحرام ” لداخله ” متطهرا مريدا الْجُلُوسِ فِيهِ

Artinya; (shalat-shalat yang disunnahkan) adalah seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang memasuki suatu masjid kecuali masjidil haram …”

Alasan kenapa saat memasuki masjidil haram tidak disunnahkan shalat tahiyatul masjid padahal ia juga masjid adalah karena penghormatan terhadap masjidil haram adalah dengan tawaf bukan dengan shalat tahiyatul masjid, demikian Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dan Syekh Sulaiman Al-Jamal menjelaskan.

“Kendati demikian, setelah melakukan tawaf, seseorang masih diperkenankan menunaikan shalat tahiyatul masjid dan mendapatkan pahala kesunnahannya.” Pungkas kedua Syekh tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saat memasuki Masjidil Haram sebenarnya tidak disunnahkan shalat tahiyatul masjid. Sebab, wujud penghormatan terhadap masjidil haram adalah dengan melakukan tawaf bukan dengan shalat tahiyatul masjid. 

Demikian penjelasan terkait apakah boleh shalat sunnah Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram? Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Manusia Bisa Ditipu Penampilan, Tetapi Tidak dengan Tuhan

Silatan lidah seseorang memang memukau manusia lainnya. Tampilan pakaian yang megah tentu akan menyilaukan para penggemarnya. Berbicara dengan indah dan lantang begitu tertata. Kesan muncul sebagai orang yang baik dan menyenangkan.

Dalam kadar tertentu, seorang bisa menipu orang lain dengan penampilannya. Seolah menjadi sangat alim dan ahli ibadah dengan tampilan yang Nampak relijius. Seolah menjadi sangat dermawan dengan tampilan yang menyuguhkan sedang berbagi. Tapi Tuhan tidak bisa ditipu dengan tampilan fisik. Seseorang bisa merangkai kata indah bisa menarik simpati pendengar, tetapi tidak dengan Tuhan. Tuhan mengetahui isi hati seseorang yang berdusta.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim).

Hadist ini menegaskan ketulusan, keikhlasan, dan niat seseorang dalam menampilkan kebaikan. Kualitas sesungguhnya dari seseorang bukan pada penampilan fisik maupun kekayaan, tetapi kualitas hati dan amal perbuatannya. Kualitas hati dan perbuatan sangat ditentukan oleh niat yang baik.

Hadist ini juga memberikan pelajaran penting tentang kemulian seseorang tidak dinilai dari tampilan dan harta, tetapi dinilai kualitas takwa. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13).

Kebanggaan seseorang itu bukan pada suku, etnis, bahasa serta identitas dan tampilan luar lainnya. Kualitas seseorang ditentukan oleh takwanya. Takwa ditentukan oleh kualitas hati dan amal perbuatan. Hati sebagai hal paling dalam diri seseorang akan menentukan kualitas pribadi seseorang.

“Ingatlah, dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hati adalah inti dari kualitas manusia. Amal kebaikan akan ditentukan oleh keikhlasan dan niat yang murni hanya untuk mengharap ridha Allah. Tuhan tidak melihat pada tampilan tetapi isi hati seseorang. Bukan ibadah luar yang akan dilihat Tuhan, tetapi keikhlasan lah yang akan dinilai.

Tuhan tidak butuh gerakan shalat, tidak butuh daging kurban, tidak butuh semua ritualitas yang nampak. Semua ibadah kembali kepada manusia itu sendiri. Namun, keikhlasan dan ketulusan hati merupakan hal penting yang akan dilihat Tuhan.

Allah juga tidak melihat status kelas, etnik, suku dan segala kebangaan dunia yang layak dibanggakan saat ini. Tuhan tidak melihat itu semua. Di hadapan Tuhan semua manusia adalah setara baik penguasa dan rakyat jelata, baik yang kaya dan kekurangan harta, baik yang dari bangsa Arab atau ajam. Yang membedakan di hadapan Tuhan adalah tingkat takwa.

ISLAMKAFFAH

Zakat Barang Perdagangan

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ

Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual.” (HR. Abu Dawud no. 1562)

Sanad hadis ini dha’if. Abu Dawud bersendirian meriwayatkan hadis ini di antara penulis kitab kutubut sittah (yaitu, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Jami’ At-Tirmidzi). Di dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul, yaitu Ja’far bin Sa’d bin Samurah; gurunya, yaitu Khabib bin Sulaiman; dan juga guru dari gurunya Ja’far, yaitu Sulaiman bin Samurah. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul.” (At-Talkhish, 2: 179) Hadis ini juga dinilai dha’if oleh Al-Albani.

Kandungan hadis

Hadis ini merupakan dalil wajibnya zakat barang perdagangan. Yang dimaksud dengan barang perdagangan (‘urudhut tijarah) adalah semua barang yang dimaksudkan untuk aktivitas perdagangan (jual beli) dalam rangka mendapatkan keuntungan, dari semua jenis barang yang diperdagangkan. Contohnya, kendaraan (mobil, motor), makanan, pakaian, bejana (cangkir, mangkok), tanah dan bangunan, hewan, atau selain itu yang termasuk dalam definisi yang telah disebutkan.

Hadis ini, meskipun sanadnya dha’if, akan tetapi dikuatkan oleh dalil-dalil umum. Di antaranya firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka sebagai zakat yang kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)

Dan juga firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian (kewajiban) tertentu.” (QS. Al-Ma’arij: 24)

Harta berupa barang perdagangan adalah harta yang sifatnya umum, karena mencakup semua jenis barang yang diperdagangkan sesuai penjelasan sebelumnya. Sehingga harta semacam ini sudah selayaknya termasuk dalam ayat-ayat tersebut.

Sebagaimana juga dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267)

Mayoritas ahli tafsir, seperti Ibnu Jarir At-Thabari, Al-Jashash, Ibnul ‘Arabi, dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah zakat barang perdagangan, karena termasuk dalam harta yang diusahakan oleh manusia. Sedangkan nafkah atau infak yang paling agung adalah infak berupa zakat. (Lihat Tafsir Ath-Thabari, 5: 555; Ahkam Al-Qur’an, 2: 174 karya Al-Jashash; dan Ahkam Al-Qur’an, 1: 235 karya Ibnul ‘Arabi)

Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya,

بَابُ صَدَقَةِ الكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ

Bab Zakat Hasil Usaha dan Perdagangan.

Setelah itu, beliau pun menyebutkan ayat di atas.

Demikian pula, terdapat sejumlah atsar perkataan para sahabat yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, seperti perkataan Umar, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum dengan sanad yang sahih. Zahirnya, perkataan semacam ini tentu saja tidak bersumber dari akal (pendapat) mereka saja, akan tetapi berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, tidak dijumpai sahabat lain yang menyelisihi atau menentang perkataan-perkataan tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr (At-Tamhid, 17: 130). Ini adalah suatu perkara yang masyhur, memiliki banyak faktor pendorong untuk dinukil, sehingga ketika tidak dijumpai nukilan sahabat yang mengingkarinya, maka hal ini dianggap ijmak (kesepakatan) mereka, bahwa terdapat kewajiban zakat barang perdagangan dari syariat.

Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya ijmak bahwa barang yang diperdagangkan itu ada kewajiban zakatnya jika telah mencapai haul (melalui masa satu tahun hijriyah) (Al-Ijma’, hal. 51). Perkataan beliau ini juga dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, dan beliau pun menyetujuinya (Al-Mughni, 4: 248).

Sedangkan ulama Zahiriyah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat barang perdagangan (Al-Muhalla, 5: 233). Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama belakangan seperti Asy-Syaukani (As-Sail Al-Jarar, 2: 26-27) dan juga Al-Albani (Tamamul Minnah, hal. 363) Mereka berdalil bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, sedangkan hukum asal mukallaf adalah bara’ah adz-dzimmah (tidak dikenai suatu kewajiban sampai adanya dalil).

Tentu saja, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yang menyatakan bahwa ada kewajiban zakat pada barang perdagangan. Adapun pendapat kedua (yang menyatakan tidak wajibnya), telah disebutkan oleh Abu ‘Ubaid bahwa pendapat itu bukan termasuk mazhab para ulama (Al-Amwal, hal. 434). Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama belakangan dari ulama zahiriyyah menyangka bahwa tidak ada kewajiban zakat (bagi barang perdagangan), padahal sudah ada ijmak sebelumnya.” (Ma’alim As-Sunan, 2: 223)

Sehingga berdasarkan perkataan Al-Khattabi rahimahullah tersebut, maka penyelisihan ulama Zahiriyah dan yang mengikuti mereka dalam masalah ini tidak perlu dianggap, karena telah ada ijmak sebelumnya. Mereka berdalil dengan kaidah bara’atu adz-dzimmah, padahal ada dalil yang memalingkan dari hukum asal, yaitu dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Selain itu, kewajiban zakat barang perdagangan juga didukung oleh dalil qiyas, dari dua sisi berikut ini:

Pertama, barang yang dimaksudkan untuk perdagangan adalah harta yang dimaksudkan atau diniatkan untuk berkembang, sama seperti harta yang dikenakan kewajiban zakat seperti hewan ternak, hasil pertanian, emas, dan perak. Bahkan, mayoritas harta yang dimiliki oleh manusia adalah barang yang diperdagangkan. Kalau kita katakan, “Tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan”, maka akan gugurlah kewajiban zakat dari sebagian besar harta kaum muslimin. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 75)

Kedua, barang-barang yang diputar sebagai modal itu sama dengan naqd (alat tukar) secara makna. Sehingga tidak ada bedanya antara barang perdagangan tersebut dengan nilai (harganya) dari dinar dan dirham. Kalau tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan, maka orang-orang kaya akan memperdagangkan dinar atau dirhamnya supaya tidak dikenai kewajiban zakat.

Kesimpulan, berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat yang terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa terdapat kewajiban zakat pada barang perdagangan.

Zakat barang perdagangan dihitung berdasarkan nilai (harga) barang tersebut. Jika harga atau nilainya telah mencapai nishab emas atau perak, maka ada kewajiban zakat. Nishab-nya dipilih yang lebih hati-hati atau lebih memberikan manfaat untuk orang-orang miskin dari nishab emas atau perak (nishab emas adalah 85 gram; sedangkan nishab perak adalah 595 gram). Kemudian juga telah mencapai haul (satu tahun hijriah). Haul dihitung setelah harga barang tersebut mencapai nishab. Jika hara barang saat dibeli sudah mencapai nishab, maka haul mulai dihitung dari sejak pembelian barang tersebut.

Besar zakatnya adalah sebesar 2,5% dari harga barang, diqiyaskan dengan besaran zakat emas atau perak. Adapun keuntungan yang didapatkan dari perdagangan tersebut, diikutkan dengan nilai asal barang, sehingga tidak disyaratkan adanya haul yang baru. Karena keuntungan ini adalah far’un (cabang), dan dia mengikuti hukum barang pokoknya.

Misalnya, seseorang membeli tanah yang dia niatkan sejak awal untuk barang dagangan. Dia membeli pada tanggal 1 Jumadilakhir 1445 seharga Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Harga tersebut sudah melampaui nishab emas atau perak saat dibeli. Akan tetapi, sebulan sebelum mencapai haul (yaitu pada tanggal 1 Jumadilawal 1446), nilai tanah tersebut mengalami kenaikan menjadi Rp. 120.000.000. Maka kewajiban zakatnya adalah 2,5% x Rp. 120.000.000 = Rp. 3.000.000; dan dibayarkan pada tanggal 1 Jumadil akhir 1446.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

@Rumah Kasongan, 18 Jumadilawal 1445/ 2 Desember 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Mati Syahid adalah Impian, Tapi Jangan Salah Memahaminya

Hari Natal 2023 tinggal sebentar lagi. Biasanya, momentum Natalan dijadikan oleh orang yang terpapar paham radikal sebagai kesempatan untuk meraih drajat syahid versi mereka sendiri dengan meledakkan bom di gereja atau lingkungan sekitarnya. Laku itu mereka bungkus dengan embel-embel jihad.

Tentu saja anggapan bom bunuh diri sebagai cara terbaik (jihad) untuk mendapatkan status sebagai syuhada adalah sebuah kekeliruan yang amat fatal. Dan kekeliruan ini tentunya akibat indoktrinasi dan ideologisasi agama kelompok radikal.

Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa di luar sana masih banyak orang yang ‘termakan’ indoktrinasi dan ideologisasi yang dilakukan oleh kelompok radikal. Karena itu, edukasi dan pencerahan terhadap narasi-narasi yang salah tafsir itu harus dilakukan. Kita wajib waspada! Dalam posisi inilah, ulasan ini dibuat agar masyarakat–terutama yang mudah terpapar–tidak salah arah (lagi).

Pahala Mati Syahid yang Menggiurkan

Setiap yang bernyawa pasti akan meninggal dunia (QS. Ali Imran: 185). Dalam Islam, orang yang meninggal dunia dalam keadaan syahid atau mati syahid, maka tempatnya yang paling mulia (surga-Nya).

Oleh karena itu, banyak orang Islam yang berlomba-lomba ingin meninggal dunia dalam keadaan syahid. Sungguh wajar dan merupakan sebuah kemuliaan, bahkan merupakan cita-cita paling agung bagi umat Islam untuk bisa mati syahid.

Sungguh menggiurkan memang pahala yang ditawarkan untuk orang yang mati syahid. Berdasarkan keterangan dari Alquran dan hadist, berikut beberapa keutamaan mati syahid.

Pertama, diampuni dosanya setelah kematiannya. Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Semua dosa orang yang mati syahid diampuni Allah SWT kecuali hutang.” (HR. Muslim).

Kedua, segera diperlihatkan tempat keabadiannya, yakni surga. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu” (QS. Fushshilat, 41:30).

Ketiga, dijaga dan dihindarkan dari api nereka. Tidak hanya dijamin masuk surga. Orang yang meninggal dalam keadaan syahid juga akan dijaga dari bara api neraka.

Keempat, ia akan menyaksikan ganjaran dan kenikmatan surga yang dijanjikan Allah SWT, sebagaimana tertera dalam Al-Quran surah Al-Hadid ayat 19.

Kelima, dikelilingi bidadari. “Seorang syuhada akan memperoleh tujuh kehormatan dari Allah SWT. Ia akan dimaafkan sejak tetesan pertama darahnya. Kepadanya akan diperlihatkan tempatnya di surga. Ia akan dilindungi dari azab kubur. Ia akan dibebaskan dari azab hari kiamat. Diatas kepalanya akan ditaruh mahkota keagungan yang sebuah batu mulianya lebih baik daripada dunia ini dengan segala isinya. Ia dinikahkan dengan 72 bidadari, dan ia akan diizinkan untuk memberikan pertolongan (syafaat) kepada 72 orang kerabatnya.” (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).

Keenam, diberikan hak untuk memberikan syafaat (pertolongan) kepada 72 orang kerabatnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Dari uraian tentang enam keutamaan yang akan didapatkan oleh orang yang mati syahid di atas, rasanya hampir tidak ada orang Islam yang tidak mau mendapatkannya. Dengan kata lain, semua umat Islam pasti mendambakan untuk bisa mati syahid.

Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semua orang bisa mati syahid dan bagaimana bom bunuh diri yang–oleh sebagian kalangan–dianggap sebagai bagian dari gerakan mati syahid?

Untuk menjawab dan menjernihkan pertanyaan tersebut, diperlukan kajian mendalam dan komprehensif guna mendapatkan pemahaman yang benar pula sehingga umat Islam tidak salah-tafsir dan tidak pula salah langkah.

Tidak Semua yang Meninggal Dunia Itu Mati Syahid

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam fath al-Baari Syarah Shahih Bukhary mengatakan bahwa macam-macam orang yang mati syahid tidak hanya mereka yang meninggal sebab berjuang di jalan Allah. Meskipun begitu, masih menurut Ibnu Hajar, yang berjuang di jalan Allah-lah yang menempati derajat paling utama.

Untuk lebih jelas mengenai mati syahid, berikut penulis nukil sebuah hadist: “Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah saw bersabda: Apa yang dimaksud orang yang mati syahid di antara kalian? Para sahabat menjawab, Wahai Rasulullah, orang yang mati terbunuh karena berjuang di jalan Allah itulah orang yang mati syahid. Beliau bersabda: Kalau begitu, sedikit sekali jumlah ummatku yang mati syahid. Para sahabat berkata, Lantas siapakah mereka wahai Rasulullah?

Beliau bersabda: Barangsiapa terbunuh di jalan Allah maka dialah syahid, dan siapa yang mati di jalan Allah juga syahid, siapa yang mati karena suatu wabah penyakit juga syahid, siapa yang mati karena sakit perut juga syahid. Ibnu Miqsam berkata, Saya bersaksi atas bapakmu mengenai hadits ini, bahwa beliau juga berkata, orang yang meninggal karena tenggelam juga syahid,” (HR. Muslim).

Melalui hadist di atas, Rasulullah menyangkal bahwasannya, orang yang mati syahid tidak hanya mereka yang meninggal dunia saat membela agama Allah saja, melainkan orang yang meninggal dunia karena terkena wabah. Bahkan dalam hadist lain, Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang meninggal saat mencari ilmu adalah mati syahid.

Celakanya, hadis-hadis tentang mati syahid, diantaranya sebagaimana yang penulis nukil dalam artikel ini, digunakan oleh kelompok radikal-teroris untuk melegalkan bom bunuh diri. Menurut kelompok ini, bom bunuh diri merupakan cara untuk mendapatkan predikat syahid. Apalagi meledakkan bom tersebut di tengah-tengah aparat negara, yang mereka anggap sebagai ansharut thagut.

Ansharut taghut, bagi kelompok radikal, darahnya halal dan apabila bisa meninggal bersamaan dengan para golongan yang disebut sebagai ansharut taghut itu, maka balasannya surga karena mati syahid.

Pemahaman kelompok radikal di atas bertentangan dengan nilai-nilai agama, bahkan nalar sehat. Mereka sama sekali tidak melihat ajaran Islam secara komprehensif. Mereka seolah menegasikan sabda Nabi: “Barang siapa yang menginginkan mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya meskipun ia tidak terluka.”

Selain itu, para teroris dan ‘sekutunya’ benar-benar tidak memahami dengan baik makna jihad fi sabilillah. Jihad di jalan Allah ini maknanya adalah luas sekali, yakni semua amalan yang tidak dilarang yang memiliki tujuan untuk memuliakan agama dan melaksanakan hukum Allah adalah sabilillah serta menjunjung tinggi harkat-martabat manusia.

Dari penjelasan di atas sangat jelas bahwa orang yang menjadikan bom bunuh diri di tempat dan momen tertentu untuk melakukan bom bunuh diri dengan maksud jihad dan meraih status syahid adalah hanya sekedar klaim belaka. Alih-alih masuk surga, pelaku bom bunuh diri kekal di dalam neraka!

ISLAMKAFFAH

Bukan tentang Kapan, Tapi Bagaimana Kita Mati

Kematian, bagaikan bayangan yang selalu mengikuti kita, meskipun kita berlari kencang ia tidak akan pernah terlepas dari diri kita. Mati adalah keniscayaan sebagaimana kita hidup adalah sebuah pemberian.

Mati adalah takdir, bukan teka-teki yang harus kita cari jawabannya. Bukan bertanya tentang kapan kita mati, tetapi bagaimana kita mati. Ia akan datang kapan saja, tanpa aba-aba dan tanda. Tidak perlu pertanyaan filosofis dan ilmiah tentang kapan, tetapi sekali lagi tentang bagaimana.

Cara kita menjawab bagaimana kita mati adalah dengan menghargai kehidupan. Tentu saja, kehidupan diri kita dan kehidupan orang lain. Kita tidak bisa mengendalikan kematian dalam waktu dan tempat tertentu, tetapi yang bisa kita kendalikan bagaimana hidup ini bermakna dan meninggalkan jejak yang bermakna bagi diri dan orang lain.

Sampailah kita pada pertanyaan penting bagaimana cara meninggalkan dunia. Caranya tentu hanya sederhana, bagaimana kita memberi manfaat kepada orang lain. Bagaimana kita mati meninggalkan jejak kebaikan yang akan selalu diingat. Kebaikan yang selalu diingat adalah pahala bagi diri kita yang terus mengalir.

Cari Meninggalkan Kebaikan sebelum Meninggal

Nabi memberikan penjelasan bagaimana cara kita meninggalkan kebaikan. Nabi bersabda : “Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau do’a anak yang shalih.” (HR. Muslim)

Kenapa tigal hal ini? Sekedah adalah kebaikan yang terus mengalir jika orang yang kita beri terus mendapatkan manfaat kebaikan atas pemberian kita. Karena kebaikan kita ia menjadi lebih baik. Ilmu yang kita berikan mendorong seseorang berbuat baik dan akan menjadi amal kita. Kesabaran kita dalam mendidik anak akan bermanfaat menghasilkan anak yang membanggakan diri kita.

Sampai kapan kebaikan itu akan mengalir? “Barangsiapa menanam pohon dan diambil oleh manusia, burung, atau hewan, maka pahalanya tetap untuknya hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Poin utama bukan tentang pohon, walaupun itu sangat penting bagi pelajaran Islam dalam menjaga lingkungan. Namun poin pentingnya adalah memberikan kebaikan. Nabi memberikan contoh hanya sekedar menanam pohon yang mendorong kebaikan kepada yang lain itu akan selalu melekat pahala hingga hari kiamat.

Ingatlah Kebaikan itu Menularkan Pahala Kebaikan

Bagaimana kita meninggalkan hidup ini adalah dengan meninggalkan kebaikan. Kebaikan itu akan menularkan kebaikan. Dan penularan kebaikan akan menghasilkan pahala bagi orang yang memulainya.

Nabi bersabda : Sebagaimana Rasullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim).

Artinya, sekecil apapun kebaikan bukan hanya selalu dikenang, tetapi akan mendorong orang lain untuk melakukan kebaikan. Orang yang menginfakkan hartanya untuk masjid akan selalu mendorong orang lain berbuat baik. Ia akan selalu dikenang dengan jasanya.

Kebaikan adalah menularkan kebaikan. Dan apa yang terbaik bagi kita untuk ditinggalkan sebelum mati adalah perbanyak kebaikan. Bukan sebalikanya, memperbanyak keburukan yang bisa menularkan keburukan.

Hidup adalah tentang bagaimana kita menjalaninya secara bermakna bagi diri dan orang lain. Sementara kematian adalah bukan tentang kapan, tetapi bagaimana kita meninggalkan kebaikan sebelum diri kita meninggal.

ISLAMKAFFAH

Hukum Debat dalam Islam, Bolehkah?

Semarak kemeriahan pesta demokrasi makin hangat diperbincangkan warga Indonesia. Salah satunya yakni ajang perdebatan para pasangan calon presiden beserta wakilnya. Event ini tentunya, kini selalu jadi topik utama di sejumlah berita media massa. Lantas bagaimanakah hukum debat dalam Islam? Apakah boleh atau justru dilarang? 

Hukum Debat dalam Islam dan Dalilnya

Dalam ajaran Islam hukum berdebat adalah dibolehkan selama kedua belah pihak sama-sama punya dalil yang kuat dan mengedepankan logika. Namun perlu digaris bawahi ada juga kategori debat yang tercela dalam Islam yakni suatu perdebatan yang tidak memakai dasar ilmu, tanpa dalil, dan sepenuhnya subjektif. 

Debat yang tercela adalah debat yang lebih mengutamakan otot, bukannya argumen tentu saja ini tidak diperbolehkan. Nah debat yang seperti inilah yang dapat menghilangkan keberkahan dari ilmu. Allah sendiri pun sangat membenci orang yang paling keras dalam berdebat atau merasa diri paling benar. Orang seperti ini hanya ingin dirinya menang, oleh karena itulah Allah sangat tidak menyukainya. Perhatikan hadits nabi Muhammad SAW berikut ini:

إن أبغض الرجال إلى الله الألد الخصم 

Artinya; “Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya.” (HR. Bukhari, No. 4523)”

Padahal tujuan debat sejatinya hanyalah untuk mencari kebenaran. Maka ketika kebenaran sudah diterima dengan akal sehat dan logika, maka tidak perlu ada lagi perdebatan yang panjang. Contoh perdebatan yang tidak disukai adalah debat para pelaku bid’ah yang mendukung kebid’ahannya. 

Saat berdebat ia hanya ingin menang tanpa berusaha mencari tujuan sama sekali. Karena apa yang dicari hanyalah kemenangan diri sendiri, maka ilmunya yang banyak tidak akan mendatangkan berkah sama sekali.

Oleh karena itu, siapa saja yang berdebat hanya untuk cari membenarkan dirinya sendiri, maka Allah tidak akan memberikan keberkahan pada ilmunya. Namun bagi siapapun yang berdebat hanya untuk mencari kebenaran dan ilmu, maka ia akan mendapatkannya.

Cara Berdebat yang Benar dalam Islam

Sebagai muslim, sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga akhlak dalam setiap perbuatan yang dilakukan, termasuk salah satunya ketika berdebat. Berikut ini adalah cara berdebat yang benar dan tepat sesuai ajaran agama Islam.

1. Diperlukan Landasan Ilmu dalam Berdebat 

Sesungguhnya Allah sangat murka kepada orang yang hanya bisa berdebat tanpa ilmu. Saat berdebat seharusnya kita tidak hanya berfokus pada inti masalah, namun juga harus menggunakan akal yang rasional, bukan prasangka buruk semata. Tujuan debat sebenarnya adalah untuk menjatuhkan argumentasi-argumentasi yang batil, kemudian memberikan argumentasi bantahan yang benar dan akurat yang berdasarkan pada kajian hingga menemukan suatu kebenaran.

Tata cara berdebat dengan ilmu yang baik bisa dicontoh dari perdebatan Nabi Ibrahim dengan raja Namruz, yang diabadikan dalam kitab suci Al Quran:

أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِى حَآجَّ إِبْرَٰهِۦمَ فِى رَبِّهِۦٓ أَنْ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ٱلْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّىَ ٱلَّذِى يُحْىِۦ وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا۠ أُحْىِۦ وَأُمِيتُ ۖ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَأْتِى بِٱلشَّمْسِ مِنَ ٱلْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ ٱلْمَغْرِبِ فَبُهِتَ ٱلَّذِى كَفَرَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Artinya; apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: 

“Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah: 258)”

2. Pelajari Topik Debat

Perhatikan topik yang akan diperdebatkan. Pastikan dirimu sudah menguasai ilmunya, jika tidak lebih baik tidak ikut masuk ke dalam perdebatan tersebut. Selain itu, pastikan topik debat adalah hal-hal yang boleh dibahas, bukannya hal yang dilarang seperti memperdebatkan ketuhanan Allah Ta’ala.

وَيُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهٖ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ مِنْ خِيْفَتِهٖۚ وَيُرْسِلُ الصَّوَاعِقَ فَيُصِيْبُ بِهَا مَنْ يَّشَاۤءُ وَهُمْ يُجَادِلُوْنَ فِى اللّٰهِ ۚوَهُوَ شَدِيْدُ الْمِحَالِۗ

Artinya; Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dialah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya. (QS. Ar-Ra’d: 13)”

Menyampaikan kebenaran Islam dan Allah sebagai tuhan semesta alam memang kewajiban seorang muslim. Namun jika ada orang kafir yang mendebatnya terus menerus setelah diberi jawaban yang benar lebih baik tinggalkan perdebatan tersebut. Kita sebagai umat islam hanya bertugas untuk menyampaikan saja, bukan yang menentukan beriman atau tidaknya seseorang kafir.

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125)”

3. Tidak Berdebat untuk Kesenangan

Orang yang suka menjatuhkan dirinya dalam perdebatan dengan tujuan hanya ingin mendapati dirinya menang, maka semua keberkahan ilmunya akah hilang. Contohnya dapat kita lihat pada pelaku bid’ah, dia sama sekali tidak mencari kebenaran melainkan hanya ingin mencari-cari pembenaran atas apa yang ia sukai. Pada tahap ini semua ilmunya tidak berguna lagi karena ia lebih mengedepankan nafsunya.

4. Tidak Menggunakan Kata-Kata Kasar saat Berdebat

Seorang muslim yang benar tidak suka menggunakan kata kasar, laknat, atau celaan ke orang lain. Oleh karena itu, selama berdebat hindari menggunakan kata kasar dan celaan yang bisa membuat hati orang lain terluka dan merasa direndahkan. Kata-kata kasar tidak mencerminkan akhlak terpuji dalam ajaran agama Islam.

Demikian keterangan hukum debat dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Perbedaan Membasuh dan Mengusap dalam Wudhu

Wudhu adalah salah satu syarat wajib untuk melaksanakan shalat. Wudhu terdiri dari beberapa rukun, salah satunya adalah membasuh dan mengusap. Kedua hal ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Nah berikut perbedaan membasuh dan Mengusap dalam wudhu.

Di dalam bahasa Arab terdapat dua kata yang maknanya sama tetapi memiliki beberapa perbedaan. Jika kita salah memahaminya maka akan berdampak kepada keabsahan wudu kita. Apa dua kata yang dimaksud? Yaitu اللمس  dan المس (al-Iamsu) dan (al-Massu). 

Kata al-Lamsu dan al-Massu memang berasal dari akar kata yang berbeda. Namun, memiliki arti yang sama yakni ‘menyentuh’. Perbedaan ini mencakup dalam beberapa perkara, sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anah at-Thalibin, juz I, halaman 95:

واعلم أن اللمس يخالف المس في أمور, منها: أن اللمس لا يكون إلا بين شخصين والمس لا يشترط فيه ذلك. ومنها أن اللمس شرطه إختلاف النوع والمس لا يشترط فيه ذلك. ومنها أن اللمس يكون بأي موضع من البشرة والمس لا يكون إلا بباطن الكف. ومنها أن اللمس في أي موضع من البشرة والمس لا يكون إلا في الفرج خاصة. ومنها أنه في اللمس ينتقض وضوء اللامس والملموس وفي المس يختص بالماس من حيث المس.

Artinya; Pahami bahwa sentuhan bertentangan dengan menyentuh dalam beberapa hal, antara lain: bahwa sentuhan hanya terjadi antara dua individu, sedangkan menyentuh tidak mensyaratkan hal tersebut. Selain itu, bahwa sentuhan memerlukan perbedaan jenis, sementara menyentuh tidak mensyaratkan hal itu.

Selain itu, sentuhan dapat terjadi di mana saja di kulit, sedangkan menyentuh hanya terjadi di telapak tangan. Selanjutnya, bahwa sentuhan dapat terjadi di mana saja di kulit, sedangkan menyentuh hanya terjadi di daerah pribadi. Dan bahwa dalam sentuhan, cahaya yang disentuh dan yang dirasakan bertentangan, sementara dalam menyentuh, fokusnya terletak pada yang dipegang dalam hal menyentuh.

Perbedaan pertama, al-Lamsu harus terjadi di antara dua orang. Artinya, dua orang tersebut sama-sama dikenai beban ‘menyentuh’. Sedangkan, al-Massu tidak harus dua orang. Artinya, memang ada dua orang tetapi yang menyentuh dan yang dikenai beban menyentuh hanya satu orang.

Kedua, al-Iamsu harus berbeda nau’ (cabang). Semisal, manusia merupakan jenis sedangkan nau’nya adalah manusia ada yang laki-laki dan perempuan. Maka al-Lamsu harus terjadi antara laki-laki dan perempuan.

Tidak laki-laki dengan laki-laki lain atau perempuan dengan perempuan lain. Kemudian al-Massu tidak harus berbeda nau’. Artinya, orang tetap dikatakan al-Massu apabila dengan lawan jenis atau dengan yang sejenis.

Ketiga, alat yang digunakan dalam al-Lamsu adalah bebas. Artinya, ia akan menyentuh menggunakan apa saja baik tangan, kaki atau hidung maka itu semua dikatakan al-Lamsu. Namun, berbeda dengan al-Massu yang alatnya hanya menggunakan bagian telapak tangan. Artinya, kita dikatakan menyentuh—dalam konteks al-Massu—ketika hanya menggunakan telapak tangan, tidak yang lain.

Keempat, objek yang disentuh ketika al-Lamsu bisa semua kulit. Sedangkan objek yang disentuh Ketika al-Massu hanya terbatas pada alat kelamin manusia, baik laki-laki ataupun perempuan.

Perbedaan yang terpenting adalah kelima, yaitu al-Lamsu dapat membatalkan wudhunya orang yang menyentuh ataupun yang disentuh. Jadi, dua-duanya sama batal wudhunya. Berbeda dengan al-Massu yang batal hanya yang menyentuh, sedangkan yang disentuh tidak batal wudhunya.

Dengan demikian, dalam bahasa Arab meskipun satu arti, tetapi maksudnya berbeda sebagaimana dua kata di atas. Pemahaman di atas sebagai tindak lanjut agar umat Islam lebih berhati-hati perihal wudhu. Karena, wudhu sangat berkaitan dengan ibadah yang notabene sifatnya ta’abbudi (memang dari Tuhan). Sekian penjelasan terkait dua kata yang satu arti tetapi beda maksud. Semoga bermanfaat.

Perbedaan membasuh dan mengusap dalam wudhu. Semoga bermanfaat. Wallahu Alam.

BINCANG SYARIAH

Seperti Inilah, Islam Mengajarkan Toleransi Beragama

Toleransi beragama, baik itu kepada Yahudi, Kristen, Majusi, Hindu, maupun kepada agama lainnya, merupakan salah satu ciri khas agama Islam semenjak dahulu kala. Hal inilah yang telah dicatat dengan jelas oleh sejarah, diakui oleh para sejarawan dan penulis, dan dirasakan langsung oleh mereka yang mengalaminya dari kalangan nonmuslim.

Hal ini tidaklah mengherankan. Karena Al-Qur’an telah memberikan dasar-dasar kepada kita, perihal bagaimana seharusnya memperlakukan nonmuslim yang bersikap damai terhadap umat Islam, yang tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengusir mereka dari rumah mereka. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Di ayat ini, Allah Ta’ala menggunakan lafaz al-birr (berbuat baik), padahal sedang membahas bagaimana memperlakukan orang-orang musyrik. Kata al-birr tersebut seringnya digunakan untuk menyebut hak yang paling layak untuk kita tunaikan setelah hak Allah Ta’ala, yaitu birrul walidain (berbuat baik dan menghormati orang tua). Hal ini tentu saja menjelaskan kepada kita akan betapa pentingnya berbuat baik kepada orang-orang non-Islam yang memenuhi syarat-syarat di dalam ayat tersebut. Yaitu, tidak memerangi kaum muslimin dan tidak pula mengusir mereka dari rumah-rumah mereka.

Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khusus

Bagi ahlul kitab, ada perlakuan khusus yang diajarkan oleh agama ini. Ahlul kitab yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang agamanya berlandaskan dengan kitab-kitab samawi, kitab-kitab yang Allah turunkan dari atas langit, meskipun kitabnya tersebut telah banyak diubah dan diganti-ganti di kemudian hari. Seperti agama Yahudi dan Nasrani yang memiliki kitab pegangan Taurat dan Injil.

Beberapa toleransi dengan mereka di antaranya:

Pertama: Al-Qur’an melarang kita untuk berdebat dengan mereka perihal agama mereka, kecuali dengan cara yang baik. Agar perbedaan pendapat yang timbul tidak menyakiti perasaan, menimbulkan pertengkaran, serta menyulut api fanatisme dan kebencian di hati. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu satu. Dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’” (QS. Al-Ankabut: 46)

Kedua: Islam membolehkan kita untuk memakan makanan ahli kitab dan makan dari hewan sembelihan mereka, juga membolehkan perkawinan campur dengan wanita-wanita mereka yang bisa menjaga kehormatan dan menjaga dirinya.

Ketahuilah, ini jelas merupakan bentuk toleransi yang besar dalam agama Islam. Seorang muslim diperbolehkan untuk memiliki istri, yang akan serumah dengannya, pasangan hidupnya, dan ibu dari anak-anaknya, seorang wanita nonmuslim (dari kalangan ahli kitab). Allah Ta’ala berfirman,

ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah: 5)

Kedua hal ini adalah perlakuan khusus kita kepada ahli kitab, meskipun mereka tidak tinggal di negeri muslim. Adapun jika ahli kitab tersebut tinggal di negeri muslim, maka mereka memiliki perlakuan yang berbeda. Mereka itulah yang kita sebut dengan “Ahlu Dzimmah.”

Toleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara Islam

Ahlu Dzimmah adalah sebutan untuk orang-orang nonmuslim yang hidup berdampingan di negara Islam dan memiliki kesepakatan damai dengan mereka serta diwajibkan untuk membayar jizyah atau upeti.

Di dalam Islam, Ahlu Dzimmah memiliki hak-hak yang sama dengan penduduk sipil muslim lainnya. Di antara hak-hak dan toleransi yang diberikan kepada mereka adalah:

Pertama: Mendapatkan perlindungan dari serangan musuh luar.

Kedua: Jaminan keselamatan dari perbuatan zalim di dalam negeri.

Agama Islam melarang umatnya untuk menyakiti orang kafir Ahlu Dzimmah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Dan Allah Ta’ala juga tidak menyukai kezaliman, bagaimana pun bentuknya, meskipun itu kezaliman kepada orang-orang nonmuslim sekalipun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ketahuilah, bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan Islam atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan, maka aku adalah orang yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3052)

Umat Islam semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, zaman khulafaurrasyidin, dan generasi-generasi seterusnya, sangatlah peduli untuk mencegah ketidakadilan yang terjadi pada Ahli Dhimmah, menahan diri untuk tidak menyakiti mereka, dan mendengarkan setiap keluhan yang datang dari mereka.

Ketiga: Jaminan keselamatan jiwa dan raga.

Darah dan jiwa mereka dilindungi menurut kesepakatan kaum muslimin. Haram hukumnya untuk ditumpahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا

Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

Keempat: Jaminan keamanan pada harta.

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan tersebut kepada utusan penduduk Nasrani Najran yang datang kepadanya. Al-Qadhi Abu Yusuf rahimahullah dalam kitabnya Al-Kharraj mengatakan,

“Najran dan rombongannya mendapat perlindungan Allah dan perlindungan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas harta benda mereka, kehidupan mereka, tanah mereka, komunitas mereka. Baik untuk orang-orang yang tidak hadir, maupun orang-orang yang menyaksikannya, keluarga mereka, dan perdagangan mereka, dan segala hal yang ada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak.” (Al-Kharraj, hal. 85)

Kelima: Kebebasan beragama dan beribadah.

Tidak boleh memaksa orang-orang nonmuslim untuk masuk ke dalam Islam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256)

Sebagaimana mereka juga diperbolehkan untuk bebas beribadah di tempat ibadah mereka masing-masing, tidak boleh mengganggu mereka atau bahkan merusak tempat ibadah mereka. Sebagaimana Imam At-Thabari rahimahullah mengisahkan tentang perjanjian Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada penduduk Yerussalem di masa beliau ketika menaklukkannya,

“Dia memberi mereka keamanan pada jiwa mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, dan simbol-simbol agama mereka yang lainnya. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni dan dirampas, tidak pula akan dirobohkan. Dan mereka juga tidak akan dihalangi dari memasuki tempat-tempat ibadah tersebut, diperbolehkan untuk menggunakan salib mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk mengubah agama mereka, dan tidak ada satu pun dari mereka yang boleh dirugikan.” (Kitab Tarikh At-Thabari, 3: 105)

Lalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal?

Sebagian dari saudara muslim kita mungkin masih ada yang beranggapan bahwa merayakan hari raya Natal dan Tahun Baru merupakan salah satu bentuk perwujudan toleransi kepada kaum Nasrani. Banyak dari mereka yang masih ikut merayakan hari raya tersebut bersama mereka atau sekedar memberikan ucapan selamat, “Merry Christmas” kepada yang merayakannya.

Ketahuilah, wahai saudaraku, perbuatan semacam ini bukanlah termasuk dari toleransi yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Sebaliknya, ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang benar datangnya dari beliau justru menunjukkan bahwa hal semacam ini terlarang.

Pertama:  Di dalam surah Al-Kafirun, Allah Ta’ala berfirman,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Allah Ta’ala perintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan ayat ini kepada kaum musyrikin yang membujuknya untuk mau menyembah sesembahan mereka dengan dalih mereka nanti juga akan menyembah Allah Ta’ala. Sebuah toleransi yang mereka tawarkan, namun Allah Ta’ala dengan tegas menjelaskan bahwa setiap agama hanya diperuntukkan untuk pemeluknya saja.

Perayaan Natal jelas merupakan salah satu hari besar orang Nasrani, sebuah perayaan yang sarat akan pengagungan dan penyembahan mereka kepada Nabi Isa, yang mereka anggap sebagai tuhan. Maka dari itu, seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalam merayakannya, karena itu sama saja mencampuri mereka dalam ibadah dan agama mereka.

Kedua: Seorang muslim dilarang berhari raya, kecuali dengan hari raya yang disyariatkan dan diizinkan oleh agama Islam. Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Ketika Nabi Muhammad datang ke kota Madinah, orang-orang Madinah memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain atau bersukacita. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya di mana kalian bersuka cita di dalamnya. Ketahuilah, Allah Ta’ala telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Idulfitri dan Iduladha.” (HR. Abu Dawud no. 1134 dan Ahmad no. 12827).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggantikan dua hari hari raya yang dirayakan oleh penduduk Madinah pada waktu itu dengan Idulfitri dan Iduladha. Lalu, bagaimana mungkin seorang muslim dengan bebasnya dan bermudah-mudahannya ikut merayakan Natal dengan dalih toleransi?! Sungguh ini merupakan penyelisihan kepada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu A’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/90287-seperti-inilah-islam-mengajarkan-toleransi-beragama.html