Bolehkah Mencintai Ulama dan Habaib dengan Memajang Foto Mereka?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang bolehkah mencintai ulama dan habaib dengan memajang foto mereka?
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Saya mau tanya Ustadz, jika kita menggunakan foto ulama atau foto habaib dijadikan profil wa atau profil sosmed apakah boleh?
Kalau dijadikan wallpaper hp atau wallpaper komputer/laptop apakah boleh atau tidak?
mohon penjelasannya Ustadz, Syukron Ustadz.

(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Orang yahudi dan nasrani memvisualisasi (menggambarkan) para tokoh sebagai bentuk pernghormatan kepada tokoh mereka. Tujuan ini tak bisa lepas dari mengenang kesalehan dan jasa yang ditorehkan, baik itu dengan gambar nabi, ulama, orang shaleh, atau pun tokoh yang menjadi panutan mereka. Sampai bayi Nabi Isa bersama ibunda Maryam, mereka buat patungnya, mereka lukis gambarnya dan dibuat di ornamen-ornamen hiasan di dinding suatu bangunan, bahkan sampai dibuat kaca dan gantungan kunci sekalipun, anda akan menjumpainya.

Oleh karena itu, ketika beberapa istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti Maimunah dan Ummu Salamah yang pernah berhijrah ke Habasyah (Ethyopia) ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih di Mekah.

Sepulangnya mereka dari Habasyah, dan mereka telah menjadi istri dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mereka pun bercerita kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai gereja yang mereka lihat di Habasyah. Di sana ada gereja Mariyah. Ummu Salamah bercerita, di dalam gereja itu ada banyak gambar-gambar tokoh nasrani.

Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menimpali dengan sabdanya,

أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka adalah sekelompok masyarakat yang apabila ada orang soleh di antara mereka yang meninggal, maka mereka akan membangun masjid di dekat kuburannya dan menggambar wajah orang soleh itu. Merekalah makhluk paling jelek di hadapan Allah.”
(HR. Bukhari, no. 434, Ahmad, no. 24984 dan lainnya).

Hadis di atas memberi pelajaran yang sangat berharga kepada kita, bahwa cara penghormatan tokoh agama, orang soleh seperti yang dilakukan oleh orang nasrani, dengan memajang gambar dan foto tokohnya, adalah tindakan tercela. Karena ini sebab terbesar orang melakukan kultus.

Zaman pun berubah, di era digital ini, kata orang industri zaman 4.0, data yang ada adalah kebanyakan kasus foto ulama, kiay, ustadz yang dikagumi banyak berseliweran dan dipajang di media sosial sebagai profil WA (WhatsApp), di wallpaper komputer/laptop atau pun platform media sosmed lainnya oleh para ‘fans’ dan pendukungnya, semua hal ini adalah menyelisihi adab Islam, dan sebaliknya sangat dekat dengan ajaran dan tasyabbuh dengan orang-orang nasrani, oleh karenanya memajang foto ulama, atau tokoh habaib atau pun foto lainnya di media sosial adalah terlarang menurut pendapat terkuat.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Logika Sehat

Setiap muslim yang lurus fitrahnya meyakini bahwa manusia yang paling dicintai sahabat adalah Nabi Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallamSahabat ada yang dulunya pandai menggambar. Namun tidak kita jumpai satupun diantara mereka yang membuat reka wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk dipajang di masjid nabawi atau di rumah mereka masing-masing. Tidak sekalipun anjuran dan keutamaannya datang dari riwayat palsu, apatah lagi riwayat yang shahih.

Walaupun kita sangat yakin, mereka tidak mungkin sampai menyembah gambar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tauhid Dan Iman mereka jauh lebih kuat dibandingkan tauhid kita.

Cara menghormati ulama atau tokoh adalah dengan mendoakan mereka dan melestarikan ajaran dan nasehat bimbingan yang mereka bawa. Bukan dengan menggambar mereka, memajang foto mereka sebagai profil di medsos atau wallpaper di komputer, apatah lagi perbuatan tersebut tidak mendapatkan izin mereka. Apakah mereka mau??? Ulama yang lurus akan menjawab, ‘tentu tidak’.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Senin, 26 Muharram 1442 H / 15 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Jangan Pernah Berharap Dicintai Semua Orang!

Kali ini kita akan merenungkan sebuah ayat yang langsung menyentuh pada masalah yang seringkali membuat hati ini gelisah.

Tak jarang manusia merasa sedih dan menyesal ketika ada orang lain yang tidak suka padanya. Hal ini terus mengganggu pikirannya hingga ia rela melakukan apapun agar di sukai oleh orang lain.

Sadarilah bahwa setiap engkau berjalan di jalan kebenaran dan menyerukan kebenaran pasti disana banyak orang yang tidak menyukaimu. Karena itu para Nabi saja yang memiliki akhlak yang sempurna tidak bisa menjadikan semua manusia menyukainya, apalagi kita yang serba kurang ini?

Allah Swt Berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا مِّنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَۗ

“Begitulah, bagi setiap nabi, telah Kami adakan musuh dari orang-orang yang berdosa.” (QS.Al-Furqan:31)

Maka buanglah semua rasa penyesalan dari hatimu bila ada orang lain yang tidak suka padamu. Dan jangan sampai kau rendahkan dirimu demi meraih simpati mereka !

Karena mustahil engkau akan mendapatkan kerelaan semua manusia, karena sebagian besar dari mereka tidak akan menyukaimu kecuali engkau mau bergabung di jalan kebatilan bersama mereka.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN


Gengsimu Menjauhkanmu dari Kebenaran!

Allah Swt berfirman :

وَجَحَدُواْ بِهَا وَٱسۡتَيۡقَنَتۡهَآ أَنفُسُهُمۡ ظُلۡمٗا وَعُلُوّٗاۚ فَٱنظُرۡ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS.An-Naml:14)

Seringkali kita merasa aneh dan lucu ketika melihat pola pikir orang yang congkak dan sombong. Mereka mengingkari kebenaran walaupun ia meyakini dan menyaksikan secara jelas bahwa hal itu memang sebuah kebenaran.

Masalahnya sebenarnya simpel, mereka mengingkari kebenaran karena tidak mau berada di bawah siapapun, tidak mau di dahului oleh kelompok lain dan tidak rela mendapatkan perintah dari siapapun.

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَوۡ كَانَ خَيۡرٗا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيۡهِۚ وَإِذۡ لَمۡ يَهۡتَدُواْ بِهِۦ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَآ إِفۡكٌ قَدِيمٌ

Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Sekiranya Al-Qur’an itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata, “Ini adalah dusta yang lama.” (QS.Al-Ahqaf:11)

Coba bayangkan begitu jahatnya kesombongan yang bersarang di dalam hati. Kebenaran yang gamblang di depan mata rela dia tinggalkan demi gengsi sesaat. Cahaya kebenaran sebenarnya telah tertanam dalam hati mereka namun terkubur oleh hawa nafsu dan kesombongan.

Setiap kali bukti kebenaran itu datang, maka lisan mereka dengan cepat mencerca dan menyerang bukti-bukti tersebut walau sebenarnya hati mereka meyakini akan kebenarannya. Sungguh betapa meruginya mereka menjual kebenaran demi gengsi dan kesombongan diri semata.

Karena itu, pelanggaran pertama yang dilakukan oleh Iblis ketika menolak kebenaran hanya disebabkan oleh kesombongan.

وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (QS.Al-Baqarah:34)

Semoga kita terhindar dari penyakit-penyakit hati yang menjauhkan dari kebenaran.

KHAZANAH ALQURAN

Beristighfar Untuk Membuka Pintu Rizki

Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut:

Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)

Nabi Nuh ‘alaihi salam memberikan nasihat kepada kaumnya agar beristighfar kepada Allah. Mengapa Nabi Nuh memberikan nasihat seperti itu? Karena kaumnya pada saat itu banyak berbuat maksiat dan kafir kepada Allah, sehingga Dia tidak menurunkan hujan dalam jangka waktu sangat lama. Bahkan, kemarau saat itu sampai menyebabkan para wanita kaum Nabi Nuh menjadi mandul.

Mereka pun mendatangi Nabi Nuh untuk meminta saran tentang apa yang harus mereka kerjakan. Nabi Nuh akhirnya memberikan nasihat agar mereka beristighfar kepada Allah dari kemusyrikan, kemaksiatan, dan kekafiran mereka.

Imam al-Qusyairi mengatakan di dalam tafsirnya: “Sesungguhnya istighfar adalah mengetuk pintu-pintu nikmat (rezeki). Barangsiapa yang di dalam dirinya terdapat rasa butuh kepada Allah, maka dirinya tidak akan bisa sampai kepada-Nya, kecuali dengan mengajukan istighfar sebagai pembukanya.”

Hasan al-Bashri pernah didatangi oleh tiga orang tamu. Yang pertama datang mengeluh karena tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tamu kedua mengeluh karena desanya ditimpa paceklik dan tamu ketiga mengeluh karena tidak kunjung diberikan keturunan.

Hasan al-Bashri menyuruh ketiga-tiganya memperbanyak istighfar. Ketika beliau ditanya, “Wahai Hasan, tiga orang datang kepadamu mengeluhkan permasalahan yang berbeda, mengapa engkau menyuruh mereka dengan hal yang sama, yaitu istighfar?” Hasan al-Bashri kemudian membaca ayat di atas.

Banyak kejadian yang juga disaksikan dan dialami oleh Imam Fakhruddin ar-Razi pada zamannya tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu rezeki. Kita di zaman sekarang juga dapat menyaksikan dan merasakannya.Ketika kita merasakan harta kita sedikit tersendat, barangkali istighfar kita juga kurang. Saat terjadi paceklik harta di dalam rumah tangga kita, maka salah satu hal terpenting yang harus dilakukan adalah memperbanyak istighfar kepada Allah. Jangan-jangan banyak dosa dan kemaksiatan yang menyumbat pintu rezeki dari Allah.

Di saat Khalifah Umar bin Khaththab radiyallahu anhu meminta rezeki dengan turunnya hujan, maka tidak banyak yang beliau lakukan. Umar hanya keluar dari rumahnya, lalu memperbanyak istighfar bersama umat Islam. Tak ada lainnya yang beliau baca.

Sungguh, kita boleh percaya atau tidak dengan kisah dan cerita di zaman dahulu. Tapi itulah kisah yang diceritakan oleh para ulama di dalam kitab-kitabnya ketika menafsirkan firman Allah di atas. Memang, yang diminta pada waktu itu bukanlah bantuan dari pemerintah berupa bantuan langsung tunai, uang SPP anak-anak kita, atau subsidi sembako untuk menurunkan harga kebutuhan bahan pokok. Para ulama dahulu dan para sahabat tidak meminta agar perusahaannya mendapatkan investasi yang lebih banyak. Tidak pula meminta bertambahnya tender yang dimenangkan. Mereka hanya meminta hujan.

Untuk kehidupan di zaman itu, hujan adalah sumber rezeki dan kehidupan. Sebab, kebanyakan mereka mengandalkan rezeki dari bercocok tanam.

Apakah sebagai karyawan, Anda sering mengalami keterlambatan gaji? Pemotongan gaji yang berlebihan? Apakah demonstrasi menjadi solusi? Bisa jadi itu perlu dilakukan, tapi cara terbaik sebagai pembuka pintu rezeki adalah beristighfar sebanyak-banyaknya. Yakinlah dengan firman Allah di atas. Dengan izin Allah, rezeki harta akan segera diberikan.

Atau Anda seorang direktur perusahaan atau pemegang saham dan aset perusahaan? Anda baru saja mendapatkan telepon kalau perusahaan Fulan membatalkan kontraknya dengan perusahaan Anda, sehingga mengalami kerugian yang sangat besar? Karyawan Anda berdemonstrasi karena menuntut upah yang tidak mampu dibayar perusahaan? Cobalah meyakinkan diri, lalu beristighfar kepada Allah sebanyak-banyaknya, niscaya Dia akan segera membukakan pintu dan jalan keluar dari masalah tersebut.

Al-Qur’an juga memberikan penjelasan tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu-pintu rezeki di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini:

Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu, lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengatakan: “Nabi Hud alaihi salam memerintahkan kaumnya untuk beristighfar (memohon ampunan kepada Allah) agar dosa mereka dihapus Allah dan permintaan ampun mereka diterima di sisi-Nya. Barangsiapa memiliki sifat ‘pemohon ampun’, al-mustaghfir, maka Allah akan memudahkan rezeki untuknya, melancarkan urusannya, dan menjaganya.”Al-Qur’an juga memberikan arahannya kepada kita saat pintu rezeki seakan tertutup di hadapan kita, yaitu agar kita menghadapinya dan berusaha membukanya dengan kunci pintu rezeki, berupa istighfar kepada Allah. Al-Qur’ an menyatakan:

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.” (Hud: 3)

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu” adalah Allah akan memberikan rezeki dan kelapangan kepada kalian. Sedangkan Imam al-Qurthubi mengatakan: “Balasan-balasan itu adalah buah dari istighfar dan tobat. Allah akan memberikan kelapangan rezeki dan kenikmatan kehidupan kepada orang-orang yang beristighfar kepada-Nya.”*Nur Faizin, dari bukunya Rezeki Al-Qur’an-Solusi Al-Qur’an untuk Yang Seret Rezeki.

HAJINEWS


Zina Paling Ngeri

Abu Laits as-Samarqandi mengatakan,

وَأَشَدُّ الزِّنَا مَا هُوَ مُصِرٌّ عَلَيْهِ وَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِي يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ وَهُوَ مُقِيْمٌ مَعَهَا بِالْحَرَامِ وَلَا يُقِرُّ عِنْدَ النَّاسِ مَخَافَةَ أَنْ يَفْتَضِحَ

“Dosa zina yang paling ngeri adalah zina yang dilakukan terus menerus. Contohnya adalah seorang suami yang sudah menjatuhkan cerai tiga kepada isterinya namun dia tetap ngotot berhubungan badan, hubungan badan yang nilainya haram. Suami ini tidak mau mengakui telah bercerai dengan isterinya di hadapan publik karena khawatir malu.” (Tanbih al-Ghafilin hlm 339)

Cerai secara agama itu terletak pada lisan suami.

Cerai itu solusi permasalahan rumah tangga yang tidak menemukan titik temu keharmonisan, bukan sarana untuk menghukum atau mendidik isteri.

Tidak ada seorang suami menjatuhkan cerai atau seorang isteri meminta cerai melainkan dilandasi emosi terlebih dahulu.

Andai cerai dalam kondisi emosi tidak sah maka tidak akan pernah ada cerai yang sah di dunia ini.

Setelah cerai atau talak ketiga, isteri resmi jadi orang lain. Hubungan biologis setelah terjadi talak ketiga adalah zina.

Sehebat apapun pertengkaran, suami wajib mengunci lisannya agar tidak mengeluarkan kalimat talak. Kalimat yang hanya akan disesali sepanjang hayat.

Ilustrasi cerai atau talak ketiga adalah sebagai berikut:

Setelah berumah tangga 5 tahun, suami isteri bertengkar. Isteri minta cerai. Suami bilang, “Kupenuhi permintaanmu. Kuceraikan dirimu”. Ini cerai satu. Setelah kejadian ini, suami isteri ini baikan lagi. Suami lantas merujuk isterinya.

Di tahun ke-10 rumah tangga, kembali terjadi cekcok. Saat emosi suami mengatakan, “Kujatuhkan talak kepadamu”. Ini talak dua atau talak kedua. Setelah ini, keduanya berdamai. Suami lantas merujuk isterinya.

Di tahun ke-15 pernikahan terjadi kembali keributan dan perang mulut. Saat itu suami berkata kepada isterinya, Sana, kembali ke rumah ayah ibumu. Telah kububarkan rumah tangga kita”. Ini cerai tiga atau cerai ketiga.

Setelah cerai tiga, isteri tidak boleh dirujuk. Dengan jatuh cerai tiga, otomatis isteri tidak lagi berstatus isteri dan resmi jadi orang lain.

Semoga Allah jadikan rumah tangga penulis dan semua pembaca tulisan ini keluarga penuh ketenangan, cinta dan kasih sayang, kumpul bareng di dunia dan di surga. Aamiin.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIA

Tak Asal Ucapan, Ini 4 Fondasi Syahadat Menurut Ghazali

Terdapat 4 fondasi utama syahadat menurut Imam Al-Ghazali

Bagi setiap orang yang ingin memeluk Islam, maka wajib mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu:  

أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا رسول الله Asyhadualla ilaha Illallah wa Asyhadunn Muhammadar Rasulullah. 

Di dalam kalimat kesaksian itu terdapat beberapa penegasan. Dalam kitab Imam Al-Ghazali “Raudhatu ath-Thalibin wa ‘Umdatu as-Salikin” dijelaskan, secara ringkas dua kalimat syahadat mengandung penegasan tentang Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan kebenaran Rasulullah SAW.

Selain itu, di dalamnya juga terkandung empat fondasi bangunan iman. Fondasi pertama, mengenal Allah, yang meliputi sepuluh prinsip, yaitu: ilmu (pengetahuan) tentang wujud Allah, sifat qidam dan baqa’-Nya, dan bahwa dia bukan substansi, materi, maupun aksiden. Dia tidak terbatasi oleh suatu arah, tidak menetap pada sebuah tempat, dan Dia Mahamelihat dan Mahasaesa.

Fondasi kedua, yaitu mengenal sifat-sifat Allah SWT yang terdiri atas sepuluh prinsip, yaitu mengenali bahwa Allah itu Hidup, Mahamengetahui, Mahakuasa, Mahaberkehendak, Mahamendengar, Mahamelihat, Mahaberbicara, Mahabenar dalam menyampaikan berita, suci dari hal-hal baru, dan sifat-sifat-Nya adalah kadim.

Fondasi ketiga, mengenali perbuatan-perbuatan Allah SWT yang berkisar atas sepuluh prinsip, yaitu perbuatan-perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, akibat kehendak-Nya, perbuatan-perbuatan itu merupakan sesuatu yang diupayakan (muktasab).

Kemudian, Dia juga merupakan pemberi agnugerah kepada makhluk, Dia berhak memberi beban syariat (taklif) di luar kemampuan, Dia boleh menyakiti makhluk, Dia tidak wajib memperhatikan hal yang lebih maslahat, tidak ada kewajiban kecuali atas dasar syariat, pengutusan para nabi adalah perkara ja’iz (boleh), dan kenabian Muhammad Saw yang didukung berbagai mukjizat merupakan kepastian.

Fondasi keempat, perkara yang hanya didengar (samiyyat) mencakup sepuluh prinsip, yaitu hari pengumpulan makhluk (hasyr), hari kebangkitan (nasyr), azab kubur, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, shirat, penciptaan surga dan neraka, dan hukum-hukum imamah.

KHAZANAH REPUBLIKA


Pajak di dalam Islam

Pertanyaan

Saya telah memperoleh ijazah perpajakan dan saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda terkait hukum bekerja di instansi perpajakan.

Pertama, apakah saya boleh bekerja di instansi perpajakan dan apakah secara syar’i bekerja di sana hukumnya halal?

Kedua, apakah mewajibkan pajak di samping zakat diperbolehkan di negara Islam?

Ketiga, apabila bekerja di instansi perpajakan diperbolehkan, maka bagaimana memahami hadits yang mencela pajak dan pemungutnya?

Saya berharap Anda dapat menghilangkan kegalauan saya dalam permasalahan ini. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Jawaban Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus –hafizhahullah– :

الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد

Sebelum masuk ke dalam jawaban pertanyaan di atas, kita perlu membedakan antara dua jenis pajak yang dinamakan oleh sebagian ahli fikih dari kalangan Malikiyah dengan “al-wazha-if” atau “al-kharraj“; dan di kalangan ulama Hanafiyah dinamakan dengan “an-nawa-ib“, yaitu pengganti pajak perorangan dari Sulthan; sedangkan di sebagian ulama Hanabilah dinamakan dengan “al-kalf as-sulthaniyah“, kedua jenis pajak ini terbagi menjadi :

  1. Pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya.
  2. Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui batas.

Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).

Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]

dan firman-Nya,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (٤١)

Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (١٩٥)

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [Al Baqarah: 195].

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١١)

(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].

Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.

Termasuk dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib.

Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu :

  1. Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
  2. Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
  3. Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara  yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.

Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar in al-Khathab radliallahu ‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin.

Sedangkan pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu tidak lain merupakan bentuk penyitaan sejumlah harta yang diambil dari pemiliknya secara paksa tanpa ada kerelaan darinya. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram diganggu karena berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لا يحلّ مال امرئ مسلم إلاّ بطيب نفس منه

Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya[1]

من قتل دون ماله فهو شهيد

Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid[2].

ألا إنّ دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام

Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta dan kerhormatan-kehormatan kalian adalah haram atas sesama kalian (untuk dilanggar)[3].

Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits, baik yang shahih maupun yang tidak, yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang berat, kesemuanya dibawa kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan. Hal ini berarti pegawai yang dipekerjakan untuk memungut pajak dipergunakan oleh para raja dan penguasa serta pengikutnya untuk memenuhi kepentingan dan syahwat mereka dengan mengorbankan kaum fakir dan rakyat yang tertindas. Gambaran inilah yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam al-Kabair dengan komentarnya,

المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم، فإنّه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق

Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kezhaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak.

Inilah kondisi riil yang tersebar luas di pelosok dunia ketika Islam telah berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum muslimin. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.

Maka, pajak jenis ini seperti yang dinyatakan oleh sebagian ulama bahwa pajak tersebut justru dipungut dari kalangan miskin dan dikembalikan kepada kalangan elit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ruh zakat yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,

تؤخذ من أغنيائهم و ترد على فقرائهم

Zakat itu diambil dari kalangan elit dan dikembalikan kepada kalangan fakir[4].

Berdasarkan penjelasan di atas, maka seorang muslim yang peduli akan agamanya berkewajiban menjauhi segala bentuk keharaman dan kemaksiatan serta menjauhkan diri dari setiap pekerjaan yang justru akan memperbanyak dosa dan mengotori harta yang dimilikinya. Sebagaimana dia berkewajiban untuk tidak menjadi alat dan perantara untuk memaksa dalam tindak kezhaliman yang digunakan oleh para pelakunya dalam  membebani manusia dengan berbagai pungutan harta.

Bahkan, bisa jadi dia termasuk pelaku kezhaliman itu sendiri, karena biasanya seorang yang berserikat dengan para pelaku kezhaliman dan berbagi harta yang haram dengan mereka, (maka hal itu juga merupakan tindak kezhaliman), karena syari’at apabila mengharamkan suatu aktivitas, maka uang yang diperoleh dari aktivitas tersebut juga haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قاتل الله اليهود لمّا حرّم عليهم شحومها جملوه ثمّ باعوه فأكلوا ثمنه

Semoga Allah membinasakan Yahudi, karena tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai atas mereka, mereka malah mencairkannya, kemudian menjual dan menggunakan uang hasil penjualannya[5].

Adapun penetapan pajak di samping zakat, apabila tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara kecuali dengan adanya penetapan pajak, maka boleh memungut pajak bahkan hal itu menjadi wajib dengan syarat kas Bait al-Maal (kas negara) kosong, dialokasikan dan didistribusikan dengan benar dan ‘adil berdasarkan penjelasan di atas mengenai pajak yang ‘adil dan tindakan ‘Umar ibn al-Khaththab radliallahu ‘anhu yang mendukung hal tersebut.

Inilah yang nampak bagiku dalam permasalahan ini. Apabila benar, maka hal itu berasal dari Allah dan jika keliru, maka hal itu berasal dari diriku. Saya memohon kepada Allah untuk meneguhkan langkah kita, menjauhkan kita dari kesesatan, memberi taufik kepada kita untuk mengerjakan amalan yang mengandung kebaikan di dunia dan akhirat, serta menjadikan diri kita sebagai sarana dalam memperbaiki manusia dan negara. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamenguasai dan Mahaberupaya atas hal itu.

وآخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين؛ وصلّى الله على محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلم تسليما

Aljazair 12 Jumadi al-Awwal 1417 H

http://www.ferkous.com/rep/Bi2.php

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Hati-hati, Riba dalam Koperasi Simpan Pinjam

Dalam koperasi simpan pinjam, kita mengenal istilah SHU (Sisa Hasil Usaha). Apakah SHU dari koperasi seperti itu halal dimanfaatkan?

Apa itu SHU?

SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.

Adapun perlakuan terhadap SHU adalah sisa hasil usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dari koperasi, sesuai dengan keputusan rapat anggota.

SHU dari Simpan Pinjam

Yang kita kritisi adalah sisa hasil usaha dari simpan pinjam.

Jika anggota atau pihak lain yang mengajukan pinjaman pada koperasi, lalu dikenai tambahan dari utang tersebut, ini hakekatnya adalah riba. Karena kaedah yang perlu kita ingat, setiap utang piutang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba. Dan riba dihukumi haram.

Dalam hadits disebutkan,

كل قرض جر منفعة فهو حرام

Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.” Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana Syaikh Al Albani menyebut dalam Dho’iful Jami’ no. 4244. Namun berdasarkan kata sepakat para ulama -sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Mundzir-, perkataan di atas benar adanya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,

“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al Mughni, 6: 436.

Jadi walaupun dinamakan sisa hasil usaha, namun kalau hakikatnya adalah riba, maka hukumnya jelas haram.

Perhatikan Hakekat

Seorang muslim harus cerdas melihat hakikat suatu transaksi, yaitu apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya melihat istilah atau nama. Karena istilah dan embel-embel syar’i kadang menipu. Dikatakan bagi hasil atau sisa hasil usaha, namun kalau ditilik, yang nyata itu adalah riba. Karena di dalamnya yang terjadi adalah utang-piutang (bukan jual beli) dan ditarik keuntungan. Itulah riba.

Adapun jika pendapatan koperasi bercampur antara hasil usaha riil dengan simpan pinjam, maka pendapat seperti itu harus dipisahkan. Yang haram tersebut mesti dibersihkan dengan disalurkan pada kemaslahatan kaum muslimin, bukan dimanfaatkan oleh anggota secara pribadi. Tentu saja SHU seperti itu mesti dihapus dan hendaklah semakin bertakwa pada Allah dengan meninggalkan yang haram.

Ancaman Bagi Para Rentenir

Jika koperasi menarik keuntungan dari simpan pinjam, maka hakekatnya koperasi hanyalah sebagai rentenir, namun berkedok usaha resmi. Rentenir ini terkena ancaman laknat dalam hadits,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).

Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Tidak Boleh Melakukan Tipu Daya untuk Menghindari Pembayaran Zakat

Jika kita memiliki harta yang sudah melebihi nishab tetapi belum tercapai haul-nya, maka tidak boleh bagi kita untuk dengan sengaja mengurangi harta kita tersebut agar kita bisa menghindari pembayaran zakatnya.

Misalnya, jika seseorang memiliki harta yang wajib dizakati seperti uang tunai dan tabungan yang sudah melebihi nishab-nya, maka tidak boleh baginya untuk dengan sengaja menggunakan sebagian uangnya tersebut sehingga jumlahnya sekarang menjadi kurang dari nishab, dalam rangka agar dia tidak perlu membayar zakat atasnya.

Dia bisa saja menggunakan sebagian uangnya itu untuk membeli harta jenis lainnya yang juga wajib dizakati, seperti binatang ternak (kambing, sapi, dan unta), atau harta yang tidak dizakati, seperti kendaraan atau telepon seluler yang digunakan untuk keperluan pribadi (bukan untuk dijual lagi sebagai barang dagangan). Tidak peduli bagaimana dia menggunakan uangnya tersebut, selama ada niat untuk menghindari pembayaran zakat, maka ini adalah perbuatan yang terlarang secara syari’at.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ * وَلَا يَسْتَثْنُونَ * فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ * فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ

“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak menyisihkan (hak faqir miskin). Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.”

Dari serangkaian ayat ini, kita mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum para pemilik kebun tersebut karena mereka tidak mau menunaikan hak kaum faqir miskin dari sebagian hasil panen mereka. Demikian pula, jika kita dengan sengaja mengurangi harta kita hingga di bawah nishab karena tidak mau untuk membayar zakatnya, maka ini adalah perbuatan yang tercela dan haram secara syari’at.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menulis kepada beliau apa yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai zakat,

ولا يُجمَع بين متفرِّق، ولا يُفرَّق بين مجتمِع، خشيةَ الصدقة.

“Hendaknya harta yang terpisah itu tidak digabungkan, atau harta yang tergabung itu tidak dipisahkan, karena ingin menghindari zakat.”

Dari hadits ini bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh untuk melakukan hilah (tipu daya) agar kita terhindar dari kewajiban membayar zakat. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia tetap wajib untuk membayar zakat tersebut, karena di antara kaidah syari’at mengenai masalah tipu daya adalah bahwa pelaku tipu daya itu dihukum dengan ditetapkan baginya suatu ketetapan yang bertentangan dengan maksud dan tujuannya yang buruk tersebut.

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitab fenomenal beliau I’lamul-Muwaqqi’in ‘an Rabbil-’Alamin berkata,

وكذلك إذا كان في يده نصاب فباعه أو وهبه قبل الحول، ثم استردَّه، قال أرباب الحيل: تسقط عنه الزكاة، بل لو ادَّعى ذلك لم يأخذ العامل زكاته، وهذه حيلة محرَّمة باطلة، ولا يُسقِط ذلك عنه فرضَ الله الذي فرضه وأوعد بالعقوبة الشديدة مَنْ ضيَّعه وأهمله، فلو جاز إبطاله بالحيلة التي هي مكر وخداع لم يكن في إيجابه والوعيد على تركه فائدة.

وقد استقرت سنة الله في خلقه شرعا وقدرا على معاقبة العبد بنقيض قصده، كما حرم القاتلُ الميراثَ، وورَّث المطلَّقةَ في مرض الموت، وكذلك الفارُّ من الزكاة لا يُسقِطها عنه فراره ولا يُعَان على قصده الباطل فيتم مقصوده ويسقط مقصود الرب تعالى، وكذلك عامة الحيل إنما يساعد فيها المتحيِّل على بلوغ غرضه ويُبطِل غرض الشارع.

“Demikian pula jika dia memiliki harta yang sudah mencapai nishab kemudian dia menjualnya atau menghadiahkannya kepada orang lain sebelum haulnya, kemudian memintanya kembali dari orang tersebut, maka orang yang melakukan tipu daya ini akan berkata bahwa zakat tidak wajib atasnya, dan jika dia mengucapkan klaim ini maka ‘amil zakat tidak akan mengambil zakatnya, maka ini adalah hilah (tipu daya) yang haram dan bathil. Perbuatannya ini tidak menggugurkan kewajiban yang telah Allah tetapkan dan telah Allah ancam orang yang melalaikannya dan meremehkannya dengan hukuman yang berat. Jika menggugurkan kewajiban zakat dengan cara melakukan tipu daya itu dibolehkan, yang ini merupakan perbuatan makar dan kecurangan, maka tidak ada faidah ketika syari’at mewajibkannya dan memberikan ancaman hukuman bagi orang yang meninggalkannya.

Telah tetap Sunnatullah pada makhluk-Nya baik secara syar’iy maupun qadariy tentang menghukum seseorang dengan menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan orang tersebut. Sebagaimana diharamkan harta warisan bagi orang yang membunuh, dan perempuan yang ditalak oleh suaminya ketika suaminya tersebut sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya itu tetap mendapatkan harta warisannya, maka demikian pula orang yang hendak lari dari kewajiban membayar zakat, perbuatannya ini tidaklah menggugurkan kewajibannya tersebut. Maksud dan tujuannya yang bathil itu tidak akan didukung oleh syari’at sehingga membuat maksudnya itu bisa tercapai dan gugurlah maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, seluruh tipu daya itu dilakukan dalam rangka untuk mewujudkan maksud si pelaku dan menggugurkan maksud syari’at.”

Syaikh Mushthafa ar-Ruhaibaniy rahimahullah dalam kitab beliau Mathalibu Ulin-Nuha fiy Syarhi Ghayatil-Muntaha berkata,

ولم تسقط الزكاة بإخراج عن ملكه ببيع أو إبدال بأنقص من النصاب، لقوله تعالى: {إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ} الآيات، فعاقبهم تعالى بذلك لفرارهم من الزكاة، ولأنه قصد به إسقاط حق غيره، فلم يسقط، كالمطلق في مرض موته.

“Kewajiban zakat itu tidak gugur ketika seseorang mengeluarkan sebagian hartanya dengan cara menjualnya atau menukarnya dengan harta yang lebih sedikit dari nishab, berdasarkan firman Allah Ta’ala“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, …” maka Allah Ta’ala menghukum mereka karena mereka ingin menghindari pembayaran zakat, dan karena dia bertujuan untuk menggugurkan hak orang lain, sehingga hak orang lain tersebut tetap tidak gugur, sebagaimana seorang suami yang mentalak istrinya ketika si suami sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya.”

Dari penjelasan para ulama’ di atas, kita simpulkan beberapa faidah penting berikut:

Pertama: Haram bagi kita untuk melakukan perbuatan hilah (tipu daya) untuk menghindari kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dalam syari’at-Nya.

Kedua: Jika perbuatan tipu daya untuk menghindari kewajiban seperti ini dibolehkan, maka apa gunanya ada kewajiban tersebut dalam syari’at? Apa gunanya ada ancaman dari syari’at untuk orang-orang yang melalaikan dan meremehkan kewajiban tersebut?

Ketiga: Konsekuensi bagi orang yang melakukan tipu daya itu ada dua:

  1. Dia berdosa karena perbuatan tipu dayanya itu adalah perbuatan yang haram.
  2. Kewajiban yang ingin dia hindari tersebut tetap wajib dan tetap tidak gugur untuknya. Ini yang disebutkan dalam nukilan penjelasan para ulama’ di atas dengan redaksi: Allah menghukum seseorang dengan menetapkan sesuatu yang yang bertentangan dengan maksud dan tujuannya yang bathil tersebut.

Keempat: Bahwa syari’at Islam memiliki maqashid (maksud-maksud) di balik setiap ketetapannya. Melakukan tipu daya untuk menghindari ketetapan syari’at itu sama saja dengan menggugurkan maksud dari syari’at dalam ketetapannya tersebut. Padahal, maksud dari syari’at dalam setiap hukum dan ketetapannya adalah untuk mewujudkan mashlahat dan menghilangkan madharat bagi setiap individu muslim, bagi kaum muslimin secara umum, dan bahkan bagi seluruh manusia dan seluruh ciptaan Allah di alam semesta ini!

Kelima: Contoh tipu daya yang disebutkan dalam nukilan penjelasan para ulama’ di atas adalah:

  1. Orang yang membunuh kerabatnya karena ingin cepat mendapatkan harta warisan dari kerabatnya tersebut. Ini adalah perbuatan tipu daya, sehingga pelakunya berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu tidak akan mendapatkan harta warisan dari kerabatnya yang telah dibunuh olehnya tersebut.
  2. Seorang suami yang mentalak istrinya ketika si suami tersebut sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya, dengan tujuan agar istrinya tidak mendapatkan harta warisan darinya. Ini adalah perbuatan tipu daya, sehingga suami tersebut berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu sang istri tetap berhak atas harta warisan darinya.

Kita simpulkan bahwa orang yang melakukan perbuatan tipu daya untuk menghindari pembayaran zakat atas hartanya, maka dia telah berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu tetap wajib membayar zakatnya tersebut walaupun sekarang hartanya sudah kurang dari nishab. Jika dia melakukan perbuatan tipu daya ini pada setiap tahunnya, maka pada setiap tahun itu pulalah dia tetap wajib untuk membayar zakat atas hartanya.

Terakhir, kami hendak menekankan di sini bahwa apakah suatu perbuatan merupakan tipu daya atau tidak itu tergantung pada niatnya, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى.

“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”

Oleh karena itu, jika kita melakukan sebuah transaksi yang efeknya bisa membuat kita tidak wajib lagi membayar zakat ketika haulnya sudah tiba, karena ada suatu keperluan atau hajat tertentu, tanpa ada niatan untuk menghindari pembayaran zakat tersebut, maka ini tidak mengapa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّـهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan keberkahan kepada harta kita, dan semoga kita senantiasa diberikan taufiq oleh-Nya untuk menjalankan syari’at dengan ridha’ dan penuh keikhlasan, hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id

Hikmah Pagi: Jangan Pernah Merasa Sudah Berilmu

Allah swt selalu mendorong hamba-Nya untuk menambah ilmu. Jangan pernah merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki karena orang yang paling sombong adalah yang merasa telah mengetahui segalanya.

Tengoklah pribadi mulia Rasulullah saw. Yang telah diberi oleh Allah segala ilmu di masa lalu dan yang akan datang.

وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ

“Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui.” (QS.An-Nisa’:113)

Namun disisi lain Allah mendidik Nabi-Nya yang telah diberi berbagai ilmu untuk terus memohon tambahan ilmu dari-Nya.

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS.Tha-Ha:114)

Artinya, apabila Rasulullah saw yang telah diberi semua ilmu oleh Allah kemudian diperintahkan untuk tetap memohon tambahan ilmu maka hal ini adalah isyarat penting bagi kita untuk jangan pernah merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki. Teruslah mencari dan memohon tambahan ilmu dari-Nya.

Dalam suatu kesempatan, Rasulullah saw bersabda,

“Apabila satu hariku terlewatkan tanpa aku menambah ilmu maka hari itu adalah hari yang paling sial bagiku.”

Sering kita melewati hari tanpa ada ilmu yang bertambah. Dihadapan kita banyak kejadian yang memberi pelajaran, banyak buku-buku yang berdebu dan berserakan, namun rasa malas kita mengalahkan keinginan untuk menambah ilmu.

Dan yang lebih parah lagi adalah ketika seseorang diberi nasihat ataupun pelajaran namun ia menjawab, “Tak perlu kau menasehatiku, sudah cukup ilmu yang kumiliki.”

Coba renungkan sejenak…

Bukankah hanya dengan ilmu kita bisa mengenal Allah?

Bukankah hanya dengan ilmu kita bisa meresapi makna syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw?

Bukankah hanya dengan ilmu kita bisa hidup damai dan saling memberi yang terbaik?

Memang ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang terkait dengan Allah swt. Apapun itu bentuk ilmunya, apabila dihubungkan dengan Allah, dicari dengan niat ingin mendekatkan diri kepada-Nya maka itulah ilmu yang akan memberi manfaat dan menyelamatkan kita.

Bukankah ketika Allah memerintahkan Rasulullah saw untuk membaca kemudian disusul dengan perintah “Dengan Nama Tuhanmu !”

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS.Al-‘Alaq:1)

Artinya bacalah semua buku. Pelajari semua ilmu. Tapi jangan pernah memisahkan ilmu itu dari Allah swt. Hubungkan selalu dengan Allah. Karena ilmu yang tidak dihubungkan dengan Allah akan membawa bencana bagi dirinya dan bagi orang lain.

Semoga bermanfaat ..

HAJINEWS