4 Karakter Calon Penghuni Neraka dalam Surat Yunus

Terdapat 4 karakter calon penghuni neraka menurut surat Yunus.

Bagi orang beriman, kehidupan dunia hanyalah satu episode dari perjalanan hidup yang panjang, bukan akhir dari kehidupan dan segalanya. Namun, di balik itu, masih terdapat alam kubur dan akhirat.

Di sana, manusia berjumpa dengan Tuhannya. Karena itu, ia selalu berkomunikasi dengan Allah, melalui ibadah dan doa setiap hari dan waktu agar perjumpaan itu terlaksana secara sukses dan menyenangkan.

Adapun bagi orang yang tidak beriman, dunia seolah menjadi titik henti terakhir. Karena itu, seluruh hidupnya dipertaruhkan dan dicurahkan hanya untuk mencari kepuasan atau popularitas diri. Inilah yang Allah gambarkan dalam Alquran, 

إِنَّ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ 

“Orang-orang yang tidak mengharapkan adanya perjumpaan dengan Kami, lalu merasa puas dengan kehidupan dunia, merasa tenteram dengannya, serta orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, tempat mereka adalah neraka sesuai dengan apa yang mereka lakukan.” (QS Yunus {10}: 7).

Menurut Wahbah Zuhayli dalam Tafsir al-Munir, ayat di atas memberikan gambaran tentang empat karakter calon penghuni neraka. Pertama, tidak meyakini adanya pertemuan dengan Allah. Mereka tidak takut kepada hukuman-Nya, peringatan-Nya, ancaman-Nya, serta sama sekali tidak mengharapkan pahala dari-Nya. 

Kedua, puas dengan kehidupan dunia. Ini adalah akibat logis dari sikap pertama. Ketika seseorang tidak percaya akan berjumpa dengan Allah, dia tidak akan menyiapkan apa pun untuk pertemuannya nanti dengan Allah. Seluruh capaiannya hanya berorientasi kepada dunia yang pendek.

Ukuran kelapangan, kesenangan, dan kegembiraan bertumpu pada dunia dan keduniaan semata. Berbagai upaya untuk mencapainya dilakukan meski dengan menghalalkan segala cara, mempertaruhkan reputasi, menanggalkan harga diri, menyerang kawan sendiri, bahkan harus mengorbankan agama sekali pun.

Ketiga, merasa tenteram dan nyaman dengan dunia. Ini dirasakan ketika kesenangan dan kenikmatan dunia entah berupa harta, wanita, kedudukan, dan jabatan berhasil dicapai.

Keempat, lalai terhadap ayat-ayat-Nya. Yakni, merasa aman dari siksa dan ancaman Allah di dunia ataupun akhirat. Dengan kata lain, sama sekali tidak merasa penting mengambil pelajaran dan tidak merenungkannya.

Manakala empat karakter tersebut terdapat dalam diri manusia, ia akan jauh dari jalan kesempurnaan, dan tidak akan pernah mencapai kebahagiaan. Sebab, kesempurnaan dan kebahagiaan terletak pada kemampuan manusia menata hidup secara benar dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan.

KHAZANAH REPUBLIKA


Cegah Penyakit Menurut Ilmuwan Islam: Sholat dan Tak Marah

Ilmuwan Muslim mengutarakan langkah cegah penyakit antara lain sholat dan tak marah.

Islam menekankan tidak hanya pentingnya mengobati penyakit, tetapi juga mencegah munculnya penyakit.

Abul Walid Muhammad ibnu Rusyd (wafat 1198) menempatkan metode menjaga kesehatan sebagai salah satu objek penelitiannya. Ibnu Rusyd adalah dokter, filosof, dan hakim kenamaan. Dia pula orang pertama yang menemukan dan menerapkan peranan latihan fisik dalam menjaga kesehatan. 

Uraian mengenai pemeliharaan kesehatan termaktub pula dalam kitab Taqwim as Sihha (Menjaga Kesehatan) karya Ibnu Butlan, ilmuwan asal Irak. Dia mengemukakan enam hal yang dapat memengaruhi kesehatan. 

Pertama, kebersihan udara. Menurut dia, udara bersih bermanfaat memelihara fungsi paru-paru. 

Kedua, memperhatikan kualitas gizi makanan dan minuman. Ketiga, berolahraga atau gerak badan. Keempat, cukup tidur dan beristirahat.

Kelima, menenangkan pikiran dengan memperbanyak humor. Terakhir, tidak mudah marah, kecewa, atau sedih yang berlarut-larut.

Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Tacuinum Sanitatis. Lewat tulisan The Arabs and Mediaeval Europe, N Daniel menyatakan, Ibnu al-Wafid menambahkan aspek spiritual sebagai bagian penting memelihara kesehatan. Misalnya, sholat. 

Melalui sholat dan gerakan-gerakannya, seorang Muslim memperoleh dua keutamaan aspek medis sekaligus baik secara fisik maupun psikis. Beberapa pemikir sufi pada masa itu punya pandangan spiritual senada. Sufisme, dalam berbagai bentuk, memberikan masukan atas kesehatan diri, selain melindungi lingkungan.

Salah satu pemikiran Ibnu al-Wafid, seperti dikutip dari buku Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, adalah praktik zuhud atau menahan hawa nafsu dunia serta menjauh dari kekayaan dan hidup sesederhana mungkin. Para sufi berkeyakinan, zuhud sebagai jalan mencapai kesehatan jiwa dan raga.

Kitab al-Adwiya al-Mufada atau Powers of Medicine and Food karya lain Ibnu al-Wafid menguraikan pengobatan serta makanan. Dia menjelaskan bahwa fungsi pengobatan adalah mengembalikan kesehatan tubuh. Ini mencakup dua hal. Pertama, memahami keseluruhan bagian-bagian tubuh dan fungsinya.

Kedua, pengetahuan tentang obat-obatan dan makanan. Ilmuwan asal Toledo ini percaya, apabila kedua aspek itu dapat terpenuhi, masing-masing orang akan sanggup menjaga kesehatan diri dan lingkungannya sehingga memperkuat langkah preventif. Langkah preventif menjadi gerakan pada masa sekarang ini. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Di Rumah Saja? Ibadah Ini Cocok Menemani Anda

Alhamdulillah, jalan menuju surga Allah itu banyak. Allah Ta’ala tidak menjadikan ibadah itu satu tipe saja, namun terdapat bermacam-macam tipe ibadah yang bisa dilakukan oleh seorang hamba.

Ada ibadah yang membutuhkan kekuatan fisik, ada yang membutuhkan harta, ada yang membutuhkan kelembutan, agar setiap orang mampu beramal sesuai dengan kesanggupannya.

Jika dia tidak mampu jalani suatu ibadah yang sunnah, dia bisa sungguh-sungguh menekuni dan berkonsentrasi di ibadah sunnah yang lain.

Maha benar firman Allah Ta’ala yang mensifati Islam sebagai agama yang sempurna. Allah Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Hari ini Aku sempurnakan agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat untuk kalian, dan Aku ridhai Islam sebagai agama untuk kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)

Mungkin di antara pembaca masih ada yang sampai saat ini masih work from home (WFH atau bekerja dari rumah) alias minim mobilitas di luar rumah. Dalam kondisi ini, mungkin ibadah puasa cocok untuk menjadi rutinitas pekanan atau bulanan.

Sebagian kajian ilmu (pengajian) belum bisa dijadikan offline (luring). Sehingga dengan ibadah puasa seseorang dapat mempertahankan ketakwaannya, karena goal (tujuan) terbesar dalam puasa seseorang adalah menjadi hamba yang bertakwa.

Allah Ta’ala berfirman,

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Allah Ta’ala, dengan segala hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menciptakan dua tempat akhir bagi manusia, yaitu surga dan neraka.

Surga diciptakan untuk hamba yang bertakwa,

أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Disiapkan untuk orang bertaqwa.” (QS. Ali ‘Imran: 133)

Dan neraka untuk hamba yang kufur,

أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Disiapkan untuk orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 24)

Dengan berpuasa, kita bisa menjadi penduduk surga, karena surga hanya untuk mereka yang bertakwa.

Di bawah ini merupakan beberapa faidah lain dari puasa, yaitu:

Pertama, puasa itu membuat jalannya setan dalam diri kita sempit. Karena setan itu berjalan di pembuluh darah manusia. Dengan berpuasa, tekanan darah juga melemah, maka seharusnya semakin sedikit maksiat yang dikerjakan.

Kedua, puasa memberikan kita semangat untuk mengerjakan amal-amal ketaatan dan itu merupakan bagian dari takwa.

Ketiga, puasa juga membiasakan kita merasakan rasa lapar dan haus, yang dengannya kita memberi faqir dan miskin, dan ini pun bagian dari takwa.

Keempat, puasa dapat membawa kita kepada ketakwaan, dan dengan itu Allah Ta’ala akan memasukkan kita ke surga yang memang disiapkan untuk mereka yang bertakwa.

Dengan puasa, semoga kita bisa menjadi penduduk surga, walaupun masih di rumah saja.

***

Penulis: Muhammad Halid Syarie, Lc.

Artikel: Muslim.Or.Id

Sabar Menahan Gangguan Dari Orang Tua

Salah satu akhlak yang harus dimiliki oleh para anak adalah tahammul al adza minal walidain, yaitu bersabar menahan gangguan dari orang tua.

Andaikan orang tua memarahi anda, mengomeli anda, menghukum anda, mencaci maki anda, merendahkan anda, membanding-bandingkan anda dengan orang lain, melakukan kezaliman kepadamu, maka hendaknya diam, tahan dan bersabarlah. Jangan membantahnya, jangan mendebatnya, jangan membalasnya dengan keburukan, jangan membalasnya dengan kemarahan juga, jangan pergi berpaling. Tapi diam, tahan dan bersabarlah.
Allah ta’ala berfirman :

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Luqman: 15).

Perhatikan dalam ayat ini ketika orang tua mengajak berbuat syirik, Allah perintahkan untuk jangan taat kepada mereka dalam kesyirikan. Maka ketika itu biasanya orang tua akan marah bila tidak ditaati. Mungkin mereka akan memukul anda. Mungkin mereka akan mencaci maki, menganggap anda radikal, fanatik, sok suci, sok pintar dan lainnya.

Namun Allah tetap perintahkan untuk menghadapi orang tua dengan sikap yang baik. Diantaranya dengan tahammul al adza (menahan gangguannya dengan sabar).
Syaikh Musthafa al ‘Adawi hafizhahullah mengatakan:

فإذا نال من ولده أو ضربه أو سبه فليس من الأدب ولا من الخلق الحسن بحال من الأحوال أن يرد الابن على الأب بمثل الذي صنع, بل أن هذا يحرم في أكثر الأوقات والأحوال

“Jika orang tua memberikan gangguan pada anaknya, atau orang tua memukul anaknya, atau mencelanya, maka bukan termasuk adab dan akhlak yang baik, apapun keadaannya, jika sang anak membalas ayahnya dengan semisal yang dilakukan sang ayah. Bahkan ini hukumnya haram secara umum” (Fiqhu at Ta’amul ma’al Walidain, hal. 45).

Kemudian Syaikh Musthafa al ‘Adawi membawakan kisah keteladanan dari Abdurrahman bin Abi Bakar Ash Shiddiq, ketika ia dimarahi oleh Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhuma, karena Abdurrahman dianggap kurang maksimal dalam memuliakan tamunya Abu Bakar. Maka Abu Bakar mengatakan kepada Abdurrahman:

يَا غُنْثَرُ فَجَدَّعَ وَسَبَّ وَقَالَ كُلُوا لَا هَنِيئًا فَقَالَ وَاللَّهِ لَا أَطْعَمُهُ أَبَدًا وَايْمُ اللَّهِ مَا كُنَّا نَأْخُذُ مِنْ لُقْمَةٍ إِلَّا رَبَا مِنْ أَسْفَلِهَا أَكْثَرُ مِنْهَا قَالَ يَعْنِي حَتَّى شَبِعُوا وَصَارَتْ أَكْثَرَ مِمَّا كَانَتْ قَبْلَ ذَلِكَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا أَبُو بَكْرٍ فَإِذَا هِيَ كَمَا هِيَ أَوْ أَكْثَرُ مِنْهَا فَقَالَ لِامْرَأَتِهِ يَا أُخْتَ بَنِي فِرَاسٍ مَا هَذَا قَالَتْ لَا وَقُرَّةِ عَيْنِي لَهِيَ الْآنَ أَكْثَرُ مِنْهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِثَلَاثِ مَرَّاتٍ فَأَكَلَ مِنْهَا أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ يَعْنِي يَمِينَهُ

“Wahai Ghuntsar (kalimat celaan)!” Abu Bakar terus saja marah dan mencela Abdurrahman. Kemudian ia berkata (kepada tamu-tamunya), “Makanlah kalian semua.” Kemudian Abu Bakar mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan berikan ia (Abdurrahman) makanan”. Demi Allah, tidaklah kami ambil satu suap kecuali makanan tersebut justru bertambah semakin banyak dari yang semula.” ‘Abdurrahman berkata, “Mereka kenyang semua, dan makanan tersebut menjadi tiga kali lebih banyak dari yang semula. Abu Bakar memandangi makanan tersebut tetap utuh bahkan lebih banyak lagi. Kemudian ia berkata kepada istrinya, “Wahai saudara perempuan Bani Firas, bagaimana ini?” Istrinya menjawab, “Tak masalah, bahkan itu suatu kebahagiaan, ia bertambah tiga kali lipatnya.” Abu Bakar kemudian memakannya seraya berkata, “Itu pasti dari setan!” (yaitu sumpah serapah yang ia ucapkan kepada Abdurrahman)” (HR. Bukhari no. 602, 3581, Muslim no. 2057).

Dalam hadits ini, Abdurrahman dimarahi dan dicela oleh Abu Bakar Ash Shiddiq namun ia tidak membalas sedikitpun dan tidak mendebatnya. Ia tahan kemarahan dan cacian ayahnya dengan sabar. Dan justru hal itu berbuah keberkahan dari Allah dan penyesalan dari Abu Bakar.

Juga keteladanan yang ditunjukkan oleh Aisyah radhiallahu’anha. Sebagaimana diceritakan beliau:

خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في بعض أسفاره ، حتى إذا كنا بالبيداء أو ذات الجيش انقطع عقد لي ، فأقام رسول الله صلى الله عليه وسلم على التماسه ، وأقام الناس معه ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فأتى الناس أبا بكر رضي الله عنه ، فقالوا : ألا ترى ماصنعت عائشة ؟ ! أقامت برسول الله صلى الله عليه وسلم وبالناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فجاء أبو بكر رضي الله عنه ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، واضع رأسه على فخذي قد نام ، فقال حبست رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ؟ ! قالت عائشة : فعاتبني أبو بكر وقال : ما شاء الله أن يقول ، وجعل يطعن بيده في خاصرتي ، فما منعني من التحرك إلا مكان رسول الله صلى الله عليه وسلم على فخذي ! فنام رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أصبح على غير ماء ، فأنزل الله عز وجل آية التيمم . فقال أسيد بن حضير : ما هي بأول بركتكم يا آل أبي بكر ! قالت : فبعثنا البعير الذي كنت عليه ، فوجدنا العقد تحته

“Kami keluar bersama Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam pada beberapa perjalanan beliau. Tatkala kami sampai di Al-Baidaa atau di daerah Dzatul Jaisy, kalungku terputus. Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam pun berhenti untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang yang ikut bersama beliau pun ikut berhenti mencari kalung tersebut. Padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci (dalam keadaan berwudu) dan tidak membawa air. Sehingga orang-orang pun berdatangan menemui Abu bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah? Ia membuat Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam dan orang-orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan bersuci dan tidak membawa air. Maka Abu Bakar pun menemuiku, lalu ia mengatakan apa yang dikatakannya. Lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk menghindar kecuali karena Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam yang sedang tidur di atas pahaku. Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam terus tertidur hingga subuh dalam keadaan tidak bersuci. Lalu Allah menurunkan ayat tentang tayammum. Usaid bin Al-Hudhair mengatakan, “Ini bukanlah awal keberkahan kalian wahai keluarga Abu Bakar”. Lalu kami pun menyiapkan unta yang sedang aku tumpangi, ternyata kalung itu berada di bawahnya”. (HR. An Nasa-i no.309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i).

Aisyah radhiallahu’anha dipukul oleh ayahnya (dengan pukulan yang tidak menyakitkan), namun ia tidak membalas, tidak membantah, dan tidak protes kepada ayahnya. Dan hal tersebut kembali berbuah keberkahan dan kebaikan.

Inilah salah satu akhlak mulia kepada orang tua, yaitu sabar menahan kemarahan dan gangguan dari orang tua.

Tentunya dengan catatan, selama gangguan dan kemarahan tersebut masih bisa ditahan dan tidak membahayakan diri. Jika gangguan tersebut bisa membahayakan diri maka tidak mengapa menghindar dan menyelamatkan diri. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

لا ضَرَرَ ولا ضِرَارَ

tidak boleh membiarkan bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah no.1910, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257, Muslim, no. 1840).

Perkara yang ma’ruf didefinisikan oleh As Sa’di:

المعروف: الإحسان والطاعة، وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه

Al ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat” (Tafsir As Sa’di, 1/194-196).

Maka jika orang tua melakukan perkara yang membahayakan agama si anak atau perkara yang dipastikan oleh akal bahwa itu membahayakan diri, ketika itu boleh menghindar dan menyelamatkan diri.

Tetap memberikan nasehat
Ketika orang tua memberikan gangguan, maka akhlak yang mulia adalah diam, bersabar dan menahannya. Namun bukan berarti membiarkan kekeliruan atau pelanggaran syari’at yang dilakukan orang tua. Allah ta’ala berfirman:

أَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”(QS. Asy Syu’ara: 216).

Namun hendaknya memberi nasehat kepada orang tua dengan cara yang hikmah, santun dan di waktu yang tepat. Allah ta’ala berfirman:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An Nahl: 125).

Dengan sabar dan perlahan, disertai terus memohon hidayah kepada Allah untuk orang tua. Ini adalah cara dalam menasehati orang tua.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslimah.or.id

Persamaan Orang yang Bersedekah dengan Para Syuhada

Allah Swt menceritakan tentang kemuliaan orang-orang yang berinfak (bersedekah) bahwa mereka tidak memiliki rasa takut dan rasa sedih.

Allah Swt berfirman :

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُم بِٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Al-Baqarah:274)

Begitupula dengan para Syuhada’ yang syahid di jalan Allah. Mereka hidup dan diberi nikmat dari sisi Allah Swt. Dan tidak ada rasa takut dan rasa sedih di hati mereka.

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ – فَرِحِينَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَيَسۡتَبۡشِرُونَ بِٱلَّذِينَ لَمۡ يَلۡحَقُواْ بِهِم مِّنۡ خَلۡفِهِمۡ أَلَّا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki, Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (Ali ‘Imran:169-170)

Maka jangan pernah takut untuk mensedekahkan hartamu pada orang-orang yang membutuhkan. Walau masa-masa sulit seperti sekarang ini terus berkepanjangan, dan menjadi semakin parah.

Karena :

1. Harta tidaklah berkurang dengan sedekah, bahkan akan semakin bertambah.

2. Sedekah adalah obatmu ketika engkau sakit.

3. Sedekah adalah naungan yang menjagamu di Hari Kiamat.

4. Sedekah adalah jaminan yang akan membuatmu tidak takut dan tidak akan bersedih di hari-hari yang berat nanti.

Bila engkau merasa khawatir dengan panjangnya kondisi krisis saat ini, takut kekurangan dalam nafkah sehari-hari, takut terserang penyakit atau kehilangan orang yang dicintai maka BER-SEDEKAHLAH !

Karena dibalik sedekah itu ada janji Allah, engkau tidak akan berada dalam ketakutan dan kesedihan.

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Pilar Rasa Syukur Kepada Allah

Para pembaca Bimbinganislamcom yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang pilar rasa syukur kepada Allah.
selamat membaca.


Syukur memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Perintah bersyukur dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah demikian banyak dan jelas. Sampai-sampai imam al-Fairuz Abadi menyatakan; “Syukur adalah kedudukan tertinggi bagi orang yang berjalan menuju keridhaan ilahi”. Bahkan kata beliau, Syukur adalah separuh iman.

Untuk mencapai kesempurnaan syukur ini seorang muslim harus mengetahui pilar dan tonggak kesempurnaannya. Pilar yang rasa syukur tegak berdiri kokoh di atasnya. Sebab tanpa mengenal hal ini dikhawatirkan sudah merasa bersyukur padahal masih jauh dari hakekat syukur tersebut. Ibarat kata orang, api jauh dari panggang.

Begitu pentingnya masalah ini, hingga para ulama membahas dan menjelaskan bahwa syukur memiliki lima pilar yang bila hilang satu maka hilang juga kesempurnaan dan kebenaran sikap tersebut. Kelima pilar tersebut adalah:

1. Ketundukan orang yang bersyukur kepada Dzat yang disyukuri

Seorang yang diberikan karunia nikmat oleh Allah tentunya akan menghormati dan mengagungkan-Nya sehingga akan muncul rasa tunduk kepada sang pemberi nikmat tersebut.

2. Mencintai sang pemberi nikmat

Seorang anak yang berbakti adalah anak yang bersyukur atas budi dan nikmat yang dilimpahkan orang tuanya. Di saat berbuat baik terhadap kedua orang tua tersebut, yang terbesit dalam hati bahwa kebaikan yang kita sampaikan pada mereka ini merupakan bukti cinta kita terhadap mereka. Karena dari semenjak kita dikandung ibu, masa kanak-kanak sampai dewasa setiap harinya tidak terlepas dari kebaikan mereka.

Maka seharusnya rasa cinta seperti ini lebih besar kita sampaikan kepada Allah yang telah menciptakan kita dan memberikan beragam kenikmatan dan rezeki sehingga bisa hidup dan berkembang hingga kini. Semua ini harusnya membuat kita mencintai sang pemberi kenikmatan.

3. Mengakui dan sadar nikmat yang ada semuanya mutlak karunia dari Allah

Pernahkah kita menghitung nikmat dari Allah? Nah, itulah kita yang jangankan untuk mensyukuri nikmat, menyadari akan adanya nikmat apalagi menghitungnya sepertinya sangat jarang kita lakukan.

Contoh sederhananya ketika kita makan pagi, apakah kita benar-benar sadar akan nikmat dari makanan sepiring nasi atau beberapa potong roti?
Lalu pernahkah kita berfikir, bagaimana caranya Allah swt menyampaikan nikmat sepiring nasi atau beberapa potong roti itu kepada kita?

Subhanallah, apabila sejenak saja kita berfikir akan nikmat ini insya Allah kita akan tersungkur dan menyatakan syukur kita kepada Allah ta’ala. Misalnya dari tiap butir nasi yang kita makan, kita tidak tahu siapa yang menyemai benihnya, siapa yang menanamnya, siapa yang memanennya, siapa yang mengolah padi jadi beras, siapa yang membawanya. Dari sebutir nasi yang sampai pada kita, tersusun rangkaian nikmat-nikmat Allah yang memudahkan kita untuk menikmatinya.

Belum lagi nikmat tangan kita untuk menyuapkan nasi ke mulut, nikmat mulut, gigi, lidah, tenggorokan, usus, lambung sampai pada nikmat mengeluarkan kotorannya. Itu semua harusnya menjadikan diri kita lebih bisa merasakan dan menyadari akan nikmat Allah ta’ala ini. Kesadaran akan nikmat Allah yang begitu banyak, begitu besar tercurah kepada kita dimulai dari helaan nafas, kedipan mata, degup jantung aliran darah dan lain sebagainya, akan menumbuhkan rasa berutang budi dan bergantung hanya pada Allah tabaraka wata’ala. Sang Pemberi Nikmat. Oleh karena itu Nabi Sulaiman berkata setelah mendapatkan banyak sekali kenimatan:

قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ 

“Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia“.
(QS An-Naml : 40).

4. Memuji-Nya atas karunia tersebut

Memuji kepada Allah Sang Pemberi Nikmat ini merupakan pilar berikutnya, sebagai ungkapan hati yang bersyukur. Karena memang hakikat dari semua pujian itu sebenarnya kembali kepada Allah. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk memuji Allah atas kenikmatan tersebut seperti dalam doa bangun tidur atau doa setelah makan.

5. Tidak menggunakan nikmat tersebut pada perkara yang dibenci-Nya

Pilar kelima ini adalah pilar pelengkap kesempurnaan rasa syukur.  Di saat kita mencurahkan hati, pikiran, tenaga, harta, waktu dan segala fasilitas yang kita miliki untuk taat pada Allah, itulah yang disebut bersyukur.
Kelima pilar ini bila ada pada seorang muslim ketika bersyukur kepada Allah maka rasa dan sikap syukurnya tersebut telah sempurna dan sah.

Mari wujudkan pilar-pilar ini dalam rasa syukur kita!

Semoga bermanfaat.
Wabillahi taufiq.

Disusun oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi حفظه الله
Selasa, 09 Dzul’qadah 1441 H/ 30 Juni 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Rahasia Sederhana Peroleh Panjang Umur Menurut Islam

Islam memberikan resep sederhana agar kita bisa memperoleh umar panjang.

Seseorang bisa berumur panjang meski usianya pendek jika selama hidupnya gemar berbuat baik. Sebaliknya, seseorang berumur pendek meski usia hidupnya lama karena sedikitnya amal kebaikan selama hidupnya. 

Menurut Dr Muhammad Mahmud Abdullah dalam bukunya Asbab Thulil `Umr, ajal Allah itu terbagi dua. Pertama, ajal yang ditentukan. Kedua, ajal yang ditangguhkan (dikurangi atau ditambah sesuai kehendak-Nya). Allah SWT berfirman: 

أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۚ  

“Sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Allah mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai batas waktu yang ditentukan.” (QS Nuh [71]: 3-4).

Selanjutnya Dr Mahmud menyebut enam rahasia panjang umur. Pertama, beriman kepada Allah SWT. Keimanan berarti optimisme hidup. Riset kesehatan membuktikan, seorang yang optimistis menghadapi hidup biasanya berusia panjang daripada mereka yang pesimistis dan penuh kerisauan jiwa.

Dale Carnegie memberi contoh, pernah ada seorang yang berpenyakit akut divonis dokter hidupnya tinggal satu bulan lagi. Ia kalut dan panik menunggu hari-hari kematiannya.

Alih-alih terus larut dalam kesedihan, ia lalu menikmati sisa-sisa hidupnya justru dengan keceriaan dan tidak menghiraukan vonis itu. Hasilnya sungguh ajaib, hidupnya ternyata bisa jauh lebih panjang dari perkiraan sang dokter!

Kedua, gemar berbuat baik. Ketiga, silaturahim, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, perpanjanglah silaturahim.” (HR Bukhari). Keempat, zikir dan tasbih. Zikir merupakan bukti bersihnya hati.

Demikian pula ajal suatu bangsa. Sejarah menjadi saksi kebinasaan kaum-kaum yang ingkar pada ajakan kebenaran para nabi. Kaum `Ad, Tsamud, dan kaum Nuh menjadi sepenggal kisah kegetiran manusia.

Keselamatan perahu Nuh AS yang ditumpangi orang-orang beriman, simbol lugas bahwa hanya orang-orang berimanlah yang kelak selamat dari azab Allah SWT.

Kekufuran akan mengantarkan siapa pun pada kebinasaan. Sebagaimana doa Nabi Nuh AS: رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS Nuh [71]: 26).  

Naskah karya Yusuf Burhanuddin didokumentasikan Harian Republika 2007 

KHAZANAH REPUBLIKA


7 Hadits Sebagai Dalil Sunnah Paling Jelas Tentang Bahaya Riba

Yakinlah bahwa segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta’ala Yang Maha Tahu, pasti mengandung mudharat dan keburukan di dalamnya, oleh karenanya mesti dijauhi karena terkandung maksud kebaikan di baliknya. Diantara banyaknya perkara yang dilarang, amalan riba menjadi salah satunya.

Praktek ribawi merupakan dosa besar yang merusak, akibat yang ditimbulkan adalah merusak dan menghancurkan tatanan kehidupan muamalah di antara manusia. Namun sayang sekali, praktek riba telah menjamur di masyarakat, bahkan ada anggapan mustahil bagi kita untuk menuntaskan praktek ribawi secara tuntas.

Praktek Riba hukumnya haram berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Bahkan seluruh agama samawi selain Islam pun mengharamkannya.

Disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu.”
(Safarul Khuruj pasal 22 ayat 25; dinukil dari Fiqhus Sunnah, 3/130)

Dalam Perjanjian Baru juga disebutkan, “Jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya imbalan sehingga kalian memperoleh pahala yang besar.”
(Injil Lukas pasal 6 ayat 34-35; dinukil dari Fiqhus Sunnah, 3/131).

Cukuplah bagi kita tuntunan Dari Allah Yang Maha Tahu Lagi Maha Bijaksana, dalam firmanNya;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. al-Baqarah: 275)

Imam Nawawi rahimahullah pernah berkata (yang artinya), “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya riba. Riba itu termasuk kabair (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-Mawardi”.
(lihat al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391)

Dari sudut pandang yang lain, riba adalah satu bentuk kezhaliman, sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari’at yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman.

Jika ada yang berkata, “Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ribawi ini?”

Maka di antara jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. (Karena) sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya, bukan malahan meminta imbalan lebih, bahkan memakai syarat-syarat yang menyusahakan bagi yang berhutang. Petunjuk ini terkandung dalam firman Allah Ta’ala;

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(QS. Al Baqarah: 280).

2. Jika terdapat tambahan dalam transaksi hutang tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan syariat, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah Yang Maha Mulia. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.

3. jika diteliti lebih lanjut dengan penuh kejujuran, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridha terhadap transaksi ribawi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu’amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu’amalah yang lain. Maka secara lisan (dirinya) menyatakan ridha, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridha, karena seorang yang berakal sehat tentunya tidak akan ridha hutangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh, apatah lagi dia yang meminjam sedang dalam kesusahan saat itu.
(lihat penjelasannya dalam Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 10, juga dalam kitab Taudhihul Ahkam 4/367).

Berikut ini kami pilihkan hadits-hadits tentang bahaya riba, dan ngerinya dosa yang akan di pikul pelaku riba;

Pertama, Riba Termasuk dalam 7 dosa yang membinasakan

7 dosa yang amat besar dikhususkan nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam , Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah itu?”
Beliau menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”.

(HR. al-Bukhari, no. 3456; Muslim, no. 2669)

Kedua, Pelaku Riba terlaknat

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”,
dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mereka itu sama.”
(HR. Muslim, no. 4177).

Ketiga, Pelaku riba di antara indikasi bahwa pelakunya berhak mendapatkan azab di dunia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله

“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.”
(HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan disetujui oleh Adz Dzahabi).

Keempat, Dosa riba yang paling ringan seperti menzinai ibu kandung sendiri

Dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

“Riba itu ada tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.”
(HR. Ibnu Majah, no. 2274. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kelima, Keberkahan harta hilang, walau riba terus bertambah banyak

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Riba membuat sesuatu jadi bertambah banyak. Namun ujungnya riba makin membuat sedikit (sedikit jumlah, maupun sedikit berkah, -pen.).”
(HR. Ibnu Majah, no. 2279; Al-Hakim, 2/37. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Keenam, Pelaku riba dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”إِيَّايَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ”, ثُمَّ قَرَأَ: “الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ”

Dari sahabat ‘Auf bin Malik, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu barang, dia akan membawanya pada hari kiamat.

Dan pemakan riba. Barangsiapa memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan sempoyongan.”
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat yang artinya), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
(lihat al-Baqarah:275). (HR. Thabrani di dalam Mu’jamul Kabir, no. 14537; al-Khatib dalam at-Tarikh. Dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 3313).

Ketujuh, Pelaku riba di neraka dengan hukuman berenang di sungai darah sambil diganjal mulutnya dengan batu

Dari sahabat mulia Samurah bin Jundub radhiallahu ’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam menuturkan keadaan pelaku riba di neraka,

فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ

“Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu, sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, “Apa yang sedang mereka lakukan berdua?”
Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka kami pun berangkat.”

Dalam lanjutan hadits disebutkan,

وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا

“Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.”
(HR. Bukhari, no. 7047).

Demikianlah apa yang bisa kami himpun dari hadits-hadits shahih lagi sharih (jelas) yang menunjukkan bahaya riba, dan dosa mengerikan yang akan dipikul kelak bagi para pelakunya. Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan kaum muslimin.
Semoga Allah ‘Azza Wa jalla menolong kaum muslimin untuk terlepas dari jeratan riba dan beralih kepada bentuk-bentuk muamalah yang sesuai dengan syariat. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 29 Muharram 1442 H / 17 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Ekonomi Sulit, Bolehkah Meminjam Uang di Bank?

Para pembaca Bimbinganislamcom yang baik hati berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang saat kesulitan ekonomi, bolehkah meminjam uang di bank?
Silahkan membaca.

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga,

Afwan kami ingin bertanya.. Mohon penjelasannya Ustadz..
Bagaimana solusinya jika kita sedang dalam kesulitan keuangan, untuk membayar anak sekolah kita terpaksa  pinjam di bank. Kita sudah berusaha jual tanah tapi belum laku-laku, pinjam di saudara sudah malah belum bisa mengembalikan, sedangkan untuk anak sekolah tanggal sekian harus sudah dibayar.
Mohon pencerahan dan solusinya Ustadz.

Syukron wa jazaakallahu khairan

(Disampaikan oleh Fulanah, Sahabat BiAS T09-029)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Ayyuhal  Ikhwan wal Akhwat baarakallah fiikum Ajma’in.

Ingatlah, tujuan itu tidak membenarkan segala cara, kecuali yang halal saja dan dibolehkan syariat. Dalam hal meminjam uang di bank, maka terlarang karena sudah jelas diketahui adanya riba dalam hal tersebut.
Bertaqwalah kepada Allah Ta’ala, niscaya Dia Yang Maha Pemurah akan memberikan jalan keluar, memberikan rizki dari arah yang tidak diduga, tempuhlah jalan-jalan yang halal, semoga jalan keluar sedang menunggu anda.
Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثٌ لاَ يَحْتَسِبُ

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Alloh, niscaya Alloh menjadikan jalan keluar baginya. Dan Dia akan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka.”
(QS. At-Thalaq : 2).

Seandainya seorang mukmin mengetahui hal ini, tentu dalam segala permasalahan yang menimpanya, dia akan senantiasa kembali kepada Allah Yang Maha Mengatur segala urusan. Dia akan mengoreksi dirinya terlebih dahulu apakah dia telah bertakwa kepada Allah Ta’ala ataukah belum.

Permasalahan ini mencakup segala permasalahan. Baik permasalahan yang berkaitan dengan duniawi, ataupun ukhrawi. Semuanya bertumpu kepada ketakwaan. Maksudnya, baik tidaknya kehidupan duniawi maupun ukhrawi manusia, semuanya tergantung kepada ketakwaan kepada Allah Maha Raja di atas segala raja.

Tidak heran, karena Allah Ta’ala lah yang menguasai dua alam tersebut, dunia dan akhirat. Sehingga kebaikan hanya bisa tercapai dengan menaati Allah Yang Maha menguasai dua alam tersebut.

Adapun tentang rizki, maka kita dapati –dengan sangat disayangkan– banyak di antara kaum muslimin yang tidak memahami hal ini. Sehingga di antara mereka ada yang mencari rizki dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Allah Yang Maha Pemberi rizki. Dengan maksiat dan melanggar ketentuan-ketentuan syariat.  Wallahul Musta’an.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan (artinya),

“Sesungguhnya ruhul qudus (Jibril) menyampaikan wahyu ke dalam hatiku, bahwa jiwa tidak akan mengalami kematian sehingga dia menyempurnakan rizkinya.
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah (rizki) dengan cara yang baik. Jangan sampai anggapan lambat datangnya rizki membawa kalian untuk mencarinya dengan berbuat maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah, tidak akan bisa digapai segala apa yang di sisi-Nya kecuali dengan menaatinya.”
(Lihat Kitab ash-Shahihah, no. 2866).

Biaya Sekolah Mahal

“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian”. Jika Anda memang tidak mampu membayar biaya sekolah anak Anda di sekolah sekarang, dengan biaya yang mahal misalkan, yang dengannya diharapkan dapat membekali anak-anak dengan pemahaman yang baik tentang Islam dan membimbingnya menjadi anak shalih; maka minta keringanan atau penangguhan pembayaran dari sekolah, kemukakan alasan dan uzur syar’i anda (bukan dibuat-buat), jika tetap tidak bisa maka dipastikan ini termasuk kesalahan dalam memilih sekolah, silahkan mengajukan ‘undur diri’ untuk anak anda sebagai peserta didik, karena sekolahnya saja dari segi sosial tidak mendidik.

Maka pilihlah sekolah dengan biaya yang terjangkau, tidak mengapa menyekolahkan anak anda di sekolah umum asalkan anak-anak tetap dikontrol pergaulannya dan diberi bekal ilmu agama di luar sekolah, dengan memasukkan ke madrasah diniyah atau kajian-kajian ilmiah atau home scholing di rumah; dan tidak dicukupkan hanya belajar agama di sekolah umum yang sangat minim pembelajaran agama.

Anda juga bisa mengusahakan agar anak anda mendapat beasiswa, silakan dicari lebih dahulu lembaga-lembaga yang dapat memberi beasiswa bagi anak kurang mampu. Ini lebih aman daripada menyekolahkan anak-anak di sekolah umum, yang anda sebagai orang tua juga tidak mampu membekali secara bersamaan pendidikan agamanya di rumah sendiri.

Tugas Dan Kewajiban Orang

Orang tua juga tetap harus belajar agama dengan baik sebagai bekal Individu seorang hamba dihadapan Sang Pencipta Maha Kuasa. Minimal hal yang wajib diketahui oleh seorang muslim, dimana dia tidak boleh tidak tahu tentang hal tersebut, dan akan bermanfaat pada situasi-situasi seperti ini, menjadi sekolah bagi anak-anaknya Di rumah sendiri,

jikalau keadaannya mengharuskan demikian alias Pendidikan Informal, yaitu sekolah bersama orang tua melalui jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal ini juga diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan atau lebih dikenal dengan ujian kesetaraan (paket).

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Jumat, 06 Jumadal Akhirah 1441 H/ 31 Januari 2019 M

BIMBINGAN ISLAM

Menjadikan Islam sebagai Sarana Meraih Dunia

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Bagaimana pendapat ulama yang mulia tentang orang-orang yang menyibukkan diri dalam Islam, namun bertujuan untuk mewujudukan ambisi (keinginan) pribadi?

Jawaban:

Islam adalah agama kebenaran sebagaimana yang telah diketahui (telah dikenal), walillahil hamd (segala puji hanya milik Allah Ta’ala)Sebagaimana firman Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيراً وَنَذِيراً

“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Al-Baqarah [2]” 119)

Agama Islam itu lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih unggul, lebih dari sekedar dijadikan sebagai sarana untuk meraih ambisi (keinginan) pribadi (yang bersifat duniawi, pent.). Setiap orang yang mengklaim bahwa dia adalah penolong dan pembela Islam, wajib baginya untuk membuktikan ucapannya itu dengan perbuatannya, sehingga jelaslah bahwa klaimnya tersebut adalah klaim yang jujur. Hal ini karena orang-orang munafik pun mengabarkan (mengklaim) bahwa mereka berpegang teguh dengan Islam setiap kali mereka mendengar seseorang mempertanyakan apakah mereka itu orang yang beriman.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.”

Kemudian Allah Ta’ala mengatakan,

وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّهُمْ سَاء مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.”

Sampai dengan firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munaafiquun [63]: 1-4)

Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang menjadikan Islam ini hanya sebagai sarana untuk meraih ambisi pribadinya, yaitu menjadikan Islam ini sebagai sarana untuk meraih tujuan-tujuan yang bersifat duniawi. Bahkan wajib baginya untuk berpegang teguh dengan Islam untuk meraih buah yang mulia, di antaranya adalah kemuliaan dan kejayaan di dunia, sebelum pahala di akhirat kelak. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur [24]: 55)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)

***

@Kantor YPIA, 24 Muharram 1442/ 17 September 2020

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id