Apakah Anak Wajib Membayar Hutang Orang Tua?

Masalah hutang orang yang telah meninggal kerap kali menjadi polemik di tengah masyarakat. Tidak jarang, ada orang tua yang bermudah-mudahan berhutang dengan anggapan bahwa nanti anak-anaknya yang akan melunasi hutangnya. Benarkah demikian?

Hutang mayit wajib dibayar dari harta waris

Orang yang meninggal dalam keadaan memiliki hutang, wajib segera dibayarkan hutang tersebut dari harta si mayit. Allah ta’ala setelah menjelaskan beberapa bagian waris, Allah ta’ala berfirman:

مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

“(itu dilakukan) setelah ditunaikan wasiat dari harta atau setelah ditunaikan hutang” (QS. An Nisa: 11).

Maka uang peninggalan si mayit wajib digunakan untuk membayar hutang-hutangnya terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada ahli waris. Al Bahuti mengatakan:

ويجب أن يسارع في قضاء دينه، وما فيه إبراء ذمته؛ من إخراج كفارة، وحج نذر، وغير ذلك

“Wajib menyegerakan pelunasan hutang mayit, dan semua yang terkait pembebasan tanggungan si mayit, seperti membayar kafarah, haji, nadzar dan yang lainnya” (Kasyful Qana, 2/84).

Jika uangnya sudah habis dan hutangnya masih ada, maka wajib menjual aset-aset milik mayit untuk membayar hutang. Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithi mengatakan:

فإذا مات الوالد أو القريب وقد ترك مالاً أو ترك بيتاً ، وعليه دين : فيجب على الورثة أن يبيعوا البيت لسداد دينه ، وهم يستأجرون

“Jika seorang anak meninggal atau seorang kerabat meninggal, dan ia meninggalkan harta atau rumah, sedangkan ia punya hutang. Maka wajib bagi ahli waris untuk menjual rumahnya untuk melunasi hutangnya, walaupun mereka sedang menyewakannya” (Syarah Zadul Mustaqni).

Anak tidak wajib menanggung hutang orang tua

Jika uang peninggalan mayit sudah habis dan aset pun sudah habis, maka tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk melunasi. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:

فَإِنْ لَمْ يَخْلُفْ تَرِكَةً، لَمْ يُلْزَمْ الْوَارِثُ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَدَاءُ دَيْنِهِ إذَا كَانَ حَيًّا مُفْلِسًا، فَكَذَلِكَ إذَا كَانَ مَيِّتًا

“Jika mayit tidak meninggalkan harta waris sedikitpun, maka ahli waris tidak memiliki kewajiban apa-apa. Karena mereka tidak wajib melunasi hutang si mayit andai ia bangkrut ketika masih hidup, maka demikian juga, mereka tidak wajib melunasinya ketika ia sudah meninggal” (Al Mughni, 5/155).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “andaikan mayit punya hutang 1000 dan warisannya 500, maka ahli waris tidak boleh dituntut untuk membayar lebih dari 500 itu. Karena tidak ada harta si mayit yang ada di tangan mereka kecuali sejumlah itu saja. Dan mereka tidak boleh diwajibkan untuk membayarkan hutang orang tuanya. Maksudnya, jika yang meninggal dalam keadaan punya hutang adalah ayahnya dan hutangnya lebih besar dari warisannya maka anak tidak wajibkan untuk membayar hutang ayahnya” (Al Qawa’idul Ushul Al Jami’ah, 195).

Sehingga tidak layak seseorang mengatakan “biar saya berhutang sebanyak-banyaknya, toh kalau saya mati nanti yang melunasi adalah keluarga saya”. Ini tidak dibenarkan, karena keluarganya atau ahli warisnya tidak berkewajiban untuk melunasinya.

Hukumnya mustahab (dianjurkan) untuk melunasi hutang orang tua

Walaupun tidak wajib, hukumnya mustahab (dianjurkan) bagi ahli waris, terutama bagi anak-anak dari mayit untuk membayarkan hutang orang tuanya yang sudah meninggal. Al Bahuti mengatakan:

فإن تعذر إيفاء دينه في الحال، لغيبة المال ونحوها استُحب لوارثه ، أو غيره : أن يتكفل به عنه

“Jika hutang mayit tidak bisa dilunasi ketika ia meninggal, karena tidak adanya harta padanya, atau karena sebab lain, maka dianjurkab bagi ahli waris untuk melunasinya. Juga dianjurkan bagi orang lain untuk melunasinya” (Kasyful Qana, 2/84).

Sehingga mayit terbebaskan dari keburukan yang disebabkan karena hutang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ

“Ruh seorang mukmin tergantung karena hutangnya hingga dilunasi” (HR. Tirmidzi no. 1078, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Apa yang dimaksud dengan ruhnya tergantung? Al Mula Ali Al Qari menjelaskan:

فَقِيلَ: أَيْ مَحْبُوسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيمِ، وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ: أَيْ: أَمْرُهَا مَوْقُوفٌ لَا يُحْكَمُ لَهَا بِنَجَاةٍ وَلَا هَلَاكٍ حَتَّى يُنْظَرَ، أَهَلْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ أَمْ لَا؟

“Sebagian ulama mengatakan: ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia. Al Iraqi mengatakan: maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung, tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?” (Mirqatul Mafatih, 5/1948).

Ash Shan’ani mengatakan:

وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ الدَّلَائِلِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ مَشْغُولًا بِدَيْنِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ

“Hadits ini adalah diantara dalil yang menunjukkan bahwa mayit terus berada dalam kerepotan karena hutangnya, setelah kematiannya” (Subulus Salam, 1/469).

Namun sekali lagi, membayar hutang itu bukan kewajiban anak-anak atau ahli waris, hukumnya mustahab (dianjurkan) saja. Oleh karena itu boleh juga dilakukan oleh orang lain yang selain ahli waris. Sebagaimana Abu Qatadah pernah melunasi mayit salah seorang sahabat yang meninggal.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu ia mengatakan:

تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ

“Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyalatkannya? Beliau melangkah beberapa langkah kemudian bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?”. Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qatadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya” (HR. Abu Daud no.3343, dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal. 27).

Bahaya berhutang

Jika kita telah memahami penjelasan di atas, kita akan mendapatkan pelajaran tenrang bahaya berhutang. Karena ketika anda meninggal dalam keadaan memiliki hutang, tidak ada orang lain yang berkewajiban membayarkan hutang anda. Selain itu, banyak lagi keburukan yang disebabkan karena hutang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أيما رجلٍ تديَّنَ دَيْنًا ، و هو مجمِعٌ أن لا يُوفِّيَه إياه لقي اللهَ سارقًا

“Siapa saja yang berhutang dan ia tidak bersungguh-sungguh untuk melunasinya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5561, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 2720).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya hutang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya)” (HR. Ibnu Majah no. 2414, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 437).

Maka jangan bermudah-mudahan untuk berhutang dan jika masih memiliki hutang maka hendaknya bersegera untuk melunasinya. Karena ketika anda meninggal dalam keadaan memiliki hutang, tidak ada orang lain yang berkewajiban membayarkan hutang anda. Rezeki dari Allah, jika ternyata ada yang mau melunasi hutang anda setelah anda meninggal. Namun jika tidak ada bagaimana? Wal’iyyadzu billah.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57223-apakah-anak-wajib-membayar-hutang-orang-tua.html

Apa Perbedaan antara “An- Nasib” dan “Al-Kifl” ?

Allah Swt Berfirman :

مَّن يَشۡفَعۡ شَفَٰعَةً حَسَنَةٗ يَكُن لَّهُۥ نَصِيبٌ مِّنۡهَا

Barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya.

وَمَن يَشۡفَعۡ شَفَٰعَةٗ سَيِّئَةٗ يَكُن لَّهُۥ كِفۡلٌ مِّنۡهَاۗ

Dan barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang buruk, niscaya dia akan memikul bagian dari (dosa)nya.

(QS.An-Nisa’:85)

Dalam ayat ini kita akan menemukan kata النًّصِيب dan الكِفل. Keduanya memiliki makna yang sama yaitu “bagian”, namun bila kita teliti lebih dalam ada makna yang membedakan keduanya.

Dalam bahasa Arab, الكِفل memiliki makna “bagian yang sepadan” atau “balasan yang setara”.

Sementara النَّصِيب memiliki makna balasan yang mutlak tanpa batas. Nah, disinilah letak perbedaannya !

Dalam hal yang berkaitan dengan perbuatan buruk, Al-Qur’an menggunakan kata الكِفل yang artinya setiap keburukan akan di balas dengan balasan yang sepadan.

Sedangkan yang berkaitan dengan perbuatan baik, Al-Qur’an menggunakan kata النَّصِيب yang artinya setiap kebaikan akan mendapat bagian atau balasan yang berlipat-lipat ganda. Terkadang dibalas 10 kali lipat dan bahkan lebih.

Inilah keindahan Al-Qur’an dalam memilih kata dan inilah wujud dari besarnya Rahmat Allah Swt. Setiap keburukan di balas setara sementara setiap kebaikan selalu dibalas dengan berlipat ganda.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Mengenal Nama Allah “Al-Awwal”, “Al-Akhir”, “Azh-Zhahir” dan “Al-Bathin”

Allah Ta’ala berfirman mengenalkan diri-Nya dalam Al-Qur’an,

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dialah Al-Awwal dan Al-Akhir, Azh-Zhahir dan Al-Bathin. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid [57]: 3)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan empat nama, yaitu Al-Awwal, Al-Akhir, Azh-Zhahir, dan Al-Bathin. Semua nama ini mengandung makna (sifat) yang berdekatan, yaitu tentang ilmu Allah Ta’ala yang berkaitan dengan waktu (zaman) dan tempat. Ilmu Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu, baik yang terdahulu maupun di masa yang akan datang. Begitu pula, ilmu Allah Ta’ala meliputi seluruh tempat. 

Ayat di atas telah ditafsirkan secara langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

اللهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ

“Ya Allah, Engkaulah Al-Awwal, tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu. Ya Allah, Engkaulah Al-Akhir, tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah, Engkaulah Azh-Zhahir, tidak ada satu pun yang di atas-Mu. Ya Allah, Engkaulah Al-Bathin, tidak ada yang samar (tersembunyi) dari-Mu.” (HR. Muslim no. 2713)

Nama Allah “Al-Awwal”

Nama Allah “Al-Awwal” ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan “Tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu”. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang paling awal (pertama) secara mutlak, tidak ada satu pun yang lebih dulu ada daripada Allah Ta’ala. Bukan Dzat yang awal namun relatif, maksudnya adalah Dzat yang awal dilihat dari sesuatu yang datang setelahnya, tapi ada sesuatu yang mendahului sebelumnya. Ini adalah “awal” yang sifatnya relatif. Akan tetapi, Allah adalah Dzat yang awal secara mutlak, tidak ada sesuatu pun yang mendahului Allah Ta’ala.

Nama Allah “Al-Akhir”

Nama Allah “Al-Akhir” ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan “Tidak ada sesuatu setelah-Mu”. Hal ini tidaklah menunjukkan bahwa Allah Ta’ala akan memiliki titik akhir. Karena Allah Ta’ala adalah Dzat yang kekal (abadi). Memang terdapat sebagian makhluk yang juga bersifat kekal (abadi), seperti surga dan neraka. Akan tetapi, kekekalan makhluk tersebut adalah karena dikehendaki oleh Allah Ta’ala, bukan berdiri sendiri. 

Nama Allah “Azh-Zhahir”

Nama Allah “Azh-Zhahir” berasal dari kata “azh-zhuhuur” yang juga bermakna “al-‘uluww” (tinggi di atas). Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkannya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (QS. At-Taubah [9]: 33)

Maksud “dimenangkan” dalam ayat tersebut adalah ditinggikan dari seluruh agama yang lain.

Nama Allah “Azh-Zhahir” ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan “tidak ada sesuatu pun yang di atas-Mu”, karena Allah Maha tinggi atas segala sesuatu. 

Nama Allah “Al-Baathin”

Adapun nama Allah “Al-Baathin” ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan “tidak ada sesuatu pun yang samar (tersembunyi) dari-Mu”. Ini adalah ungkapan bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, tidak ada satu pun yang tersembunyi dari Allah Ta’ala. Meskipun Dzat Allah Ta’ala itu tinggi di atas, namun Allah dekat dengan para hamba-Nya dengan ilmu-Nya.

Ayat dalam surat Al-Hadid di atas menunjukkan empat nama Allah Ta’ala, yaitu Al-Awwal, Al-Akhir, Azh-Zhahir, dan Al-Baathin. Keseluruhan sifat tersebut menunjukkan bahwa ilmu Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu, baik dari sisi zaman (waktu) dan tempat. 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Empat nama Allah Ta’ala ini memiliki sifat yang berdekatan. Dua nama menunjukkan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang azali (dahulu tanpa awal) dan abadi (kekal). Dan dua nama yang lain menunjukkan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha tinggi, namun dekat dengan makhluk-Nya. Permulaan Allah Ta’ala mendahului permulaan segala sesuatu. Keabadian Allah Ta’ala akan terus ada setelah segala sesuatu selain Allah itu berakhir (hancur). Maka permulaan Allah Ta’ala itu mendahului segala sesuatu, dan keabadian Allah Ta’ala itu akan terus ada setelah segala sesuatu. 

Adapun yang dimaksud dengan zhaahir adalah tinggi di atas segala sesuatu. Karena makna zhuhuur menunjukkan al-‘uluww (tinggi di atas). Sebagaimana ungkapan bahasa Arab,

ظاهر الشيء

maknanya adalah bagian yang paling atas dari sesuatu.

Sedangkan al-baathin mengandung makna ilmu Allah yang mencakup segala sesuatu. Artinya, ilmu Allah itu sangat dekat dengan makhluk dibandingkan dengan diri makhluk itu sendiri. Maka ini adalah kedekatan dari sisi ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.” (Ash-Shawaaiq Al-Mursalah, hal. 412) [1] [2]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57187-mengenal-nama-allah-al-awwal-al-akhir-azh-zhahir-dan-al-bathin.html

Tips Tepat Memilih Hewan Kurban

Direktur Halal Research Centre Fakultas Peternakan UGM, Nanung Danar Dono mengatakan, hewan kurban harus penuhi empat syarat. Syarat jenis hewannya, umur hewannya, kesehatan hewannya dan syarat waktu penyembelihan hewannya.

Hewan yang boleh kita kurbankan yang memang dituntunkan seperti kambing, domba, sapi, kerbau atau unta. Artinya, tidak diperkenankan menggunakan hewan lain seperti ayam, itik, puyuh, dan kalkun walau jumlahnya 100 ekor.

Lalu, hewan kurban harus sudah dewasa atau musinnah yang dalam bahasa Arab berasal dari kata sinnun artinya gigi. Maka itu, ternak diizinkan jadi hewan kurban bila telah dewasa sempurna, dan berganti minimal sepasang gigi seri.

Pergantian sepasang gigi seri (susu jadi permanen) pada rahang bawah ternak berusia minimal 14-16 bulan, sapi atau kerbau setelah minimal 24 bulan dan unta setelah minimal 60 bulan. Kecuali, jika hewan musinnah tidak tersedia.

“Jika memang hewan kurban yang musinnah tidak tersedia, maka kita diizinkan berkurban menggunakan hewan kurban yang masih jadza’ah atau mendekat dewasa ,” kata Nanung, Jumat (26/6).

Kemudian, hewan kurban harus sehat dan kondisi tubuhnya sempurna, dan tidak cacat yang kerap menyebabkan harganya jatuh. Hewan kurban wajib disembelih hanya pada Hari Nahar (usai shalat id) atau Hari Tasyriq (11-13 Dzulhijah).

“Tidak sah ibadah kita jika kita menyembelih hewan kurban sebelum shalat id maupun setelah lewat Hari Tasyriq,” ujar Nanung.

Nanung juga membagikan tips memilih hewan kurban yang memenuhi syarat sesuai kaidah syariat Islam. Pertama, jantan atau betina non-produktif sehat badan tegap, tubuh simetris proporsional, lincah, agresif, ceria, dan nafsu makan normal.

Lalu, saat berjalan normal, aktif bergerak, tidak pincang, tidak lunglai atau lemah. Ia menekankan, jika hewan ternak itu sakit nafsu makannya akan hilang, malas berjalan dan tubuhnya cenderung terlihat lemah.

“Normalnya, hewan yang sehat memiliki mata yang berbinar, hidung basah berembun, bulu-bulu halus mengkilap dan lembut (tidak kasar atau kusam). Salah satu indikasi ada cacing hati bulu kusam, tegak dan kasar,” kata Nanung.

Selain itu, perhatikan agar tidak ada bercah darah atau darah yang mengalir ke luar dari lubang-lubang tubuh seperti mata, hidung, mulut, telinga, dubur dan kemaluan. Sebab, itu jadi salah satu indikasi hewan terinfeksi anthrax.

“Kuku di keempat kakinya kuat, sehat dan utuh. Bibir tidak sariawan. Serta, hindari membeli hewan kurban yang dipelihara di tempat pembuangan sampah,” ujar Nanung. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Saudi Apresiasi Indonesia Negara Pertama Dukung Kebijakan Haji 2020

Jakarta (Kemenag) — Pemerintah Arab Saudi mengapresiasi dukungan Indonesia terhadap kebijakan pembatasan jemaah haji 1441H/2020M. Apresiasi tersebut disampaikan Dubes Arab Saudi untuk Indonesia Essam bin Abed Al-Thaqafi kepada Menteri Agama RI Fachrul Razi di kantor Kementerian Agama, Jakarta.

“Indonesia telah lebih dulu mengumumkan untuk membatalkan kebarangkatan jemaah haji. Saat ini, kita apresiasi Indonesia dan Menag karena yang pertama mendukung keputusan Saudi dalam membatasi haji,” terang Essam bin Abed di Jakarta, Jumat (26/06).

“Apresiasi ini disampaikan otoritas tertinggi di Saudi kepada Indonesia, terutama Menag yang terkait dengan urusan keagamaan di Indonesia,” sambungnya.

Karena alasan keselamatan di tengah wabah Covid-19, Kerajaan Arab Saudi, pada Senin 22 Juni 2020, pukul 21.30 waktu setempat, memutuskan untuk menggelar ibadah haji 1441H/2020M hanya secara terbatas untuk Warga Negara Saudi dan Warga Negara asing atau ekspatriat yang saat ini sudah berada atau berdomisili di Arab Saudi. Esok harinya, Menag Fachrul Razi mengapresiasi kebijakan Arab Saudi yang mengedepankan keselamatan jemaah haji.

Menurut Essam bin Abed, keputusan ini diambil sebagai langkah mengamankan jiwa. Pandemi Covid-19 terjadi di hampir seluruh negara di dunia. Karenanya, Saudi mengambil keputusan untuk meniadakan keberangkatan jemaah dari seluruh negara. Jemaah haji tahun ini hanya dibatasi untuk Warga Negara Saudi dan Warga Negara asing atau ekspatriat yang saat ini sudah berada atau berdomisili di Arab Saudi. 

Essam menambahkan, sejak terjadi Covid-19, Saudi telah melakukan kajian terkait penyelenggaraan haji 1441H/2020M. Dalam proses tersebut, pada Maret 2020, Pemerintah Saudi melalui Kementerian Haji telah bersurat ke seluruh negara Islam untuk tidak tergesa-gesa melakukan kontrak. Menurutnya, masalah haji sangat berkait dengan pembiayaan dan proses lainnya sehingga keputusan penundaan kontrak diambil sejak awal agar tidak ada dampak yang timbul darinya.

Dikatakan Essam, pandemi Covid-19 menyebabkan banyak negara menunda pelaksanaan semua kegiatan mereka yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Dan, kerumunan haji adalah yang terbesar di dunia. Bahkan, saat penyelenggaraan ibadah haji, ada momen saat jutaan jemaah kumpul di satu titik. “Itu berpotensi masalah. Keputusan membatasi jemaah haji, demi keselamatan masyarakat,” jelasnya.

“Atas nama pribadi dan Pemerintah, saya menyampaikan apresiasi atas sikap dan dukungan Indonesia terhadap keputusan Saudi membatasi jemaah haji tahun ini,” tandasnya.

KEMENAG RI

Ini Pahala Orang yang Membantu Kesusahan Orang Lain

Ketika tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, maka seyogyangan kita terus bercita-cita untuk menjadi sang tangan di atas. Tidak hanya dalam praktek memberikan sesuatu, atau menolong seseorang.

Namun juga bisa dalam praktik membuka peluang yang banyak bermanfaat kepada lingkungan sekitar. Atau juga bisa menjadi pendengar setia layaknya sang psikiater yang bisa meringankan beban pasiennya.

Kebermanfaatan tersebut tidak semata-mata untuk mencari panggung di mata manusia, justru ladang mencari pertolongan Allah dengan cara ekspress. Di mana Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.

Urusan tersebut masih dalam kategori rahmat Allah di dunia. Dan ternyata Allah memberikan ganjaran yang istimewa juga bagi seseorang yang mau membantu kesusahan orang lain di akhirat kelak.  Dalam sebuah hadis disebutkan:

قال رسول صلى الله عليه وسلم من سرَّه أن ينجيه الله من كرب يوم القيامة، فلينفِّس عن معسر، أو يضع عنه

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa merasa senang karena diselamatkan oleh Allah dari kesulitan hari kiamat, maka hendaklah ia menghilangkan kesusahan dari orang yang dalam kesukaran atau meninggalkan sesuatu yang ada padanya

Hadis tersebut memberikan motivasi kepada kita bahwa untuk bisa mendapatkan garansi istimewa di akhirat, maka perbanyaklah membantu saudara yang sedang mengalami kesulitan dan kesusahan.

Disebutkan dalam Tafsir Ibn Kastir bahwa golongan hamba yang tertinggi adalah mereka yang tak henti-hentinya melaksanakan perbuatan yang diwajibkan dan menambah poinnya dengan menebar kebaikan kepada sesamanya

Salah satu cara untuk menebar kebaikan adalah menghilangkan kesusahan orang yang sedang dalam kesukaran. Cara tersebut bisa dinalogikan sebagai adab baik secara vertical, maupun horizontal. Secara vertical berarti sebuah amal saleh yang mulia di hadapan Tuhan semesta alam.

Sedangkan secara horizontal adalah kesalehan sosial yang mampu menghilangkan beban seseorang hingga akhirnya ia berbahagia. Hal seperti itulah yang menjadi salah satu amalan yang dicintai Allah. dalam salah satu hadisnya, Rasulullah menyampaikan:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ, أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً, أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا, أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا

Amalan yang paling dicintai Allah adalah engkau menyenangkan seorang muslim, atau engkau mengatasi kesulitannya, atau engkau menghilangkan laparnya, atau engkau membayarkan hutangnya.

BINCANG SYARIAH

Bantulah Kesulitan Orang Lain, Allah Akan Mudahkan Urusan Kalian

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

Barangsiapa yang membantu menghilangkan satu kesedihan (kesusahan) dari sebagian banyak kesusahan orang mukmin ketika didunia maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan (kesedihan) dari sekian banyak kesusahan dirinya pada hari kiamat kelak.

Dan barangsiapa yang memberikan kemudahan (membantu) kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah akan membantu memudahkan urusannya didunia dan di akhirat.

Dan barangsiapa yang menutup aib orang muslim , niscaya Allah akan menutup aibnya dunia dan akhirat.

Sesungguhnya Allah akan selalu menolong seorang hamba selama dia gemar menolong saudaranya. (HR. Muslim)

Di tengah acara sebuah komunitas wirausaha Muslim terjadi sebuah dialog untuk membangun dan mencari solusi ekonomi ummat, banyak hal yang dibahas tentang bagaimana membuka peluang usaha dan perlunya bersaing secara profesional dengan para pengusaha ‘non Muslim’ yang saat ini begitu menguasai perekonomian negeri ini, diskusi lama lama terkesan sangat teoritis, dan beberapa dari mereka terjebak kearah materialistik cara pandangnya, padahal semua yang hadir adalah kaum muslimin juga, tapi ternyata kami semua lupa, bahwa yang hadir tersebut memiliki warisan yang tak ternilai harganya. Ternyata umat Islam sudah memiliki rumusan dan standar usaha yang telah di bimbing oleh Rasul SAW dan dicontohkan oleh para sahabatnya ra, bimbingan yang sederhana, bimbingan yang sangat mendarat dan manusiawi, penuh fitrah, penuh sunnatullah, dan di-support dengan janji Allah. Allah melibatkan diriNYa atas janjiNya.

Berdasarkan hadis shahih di atas, mari kita urai dan tinjau agar mendapatkan makna dan rumusan agar urusan ujian manusia maupun bisnis muslim ini dapat melibatkan dan tertolong oleh bantuan Allah, sebagai berikut :

“Barangsiapa yang membantu menghilangkan satu kesedihan (kesusahan) dari sebagian banyak kesusahan orang mukmin ketika didunia maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan (kesedihan) dari sekian banyak kesusahan dirinya pada hari kiamat kelak”

Siapa sih manusia yang tidak mengalami ujian dan cobaan dalam kehidupannya. Apalagi dalam menjalankan bisnis, ujian naik turun itu menjadi suatu hal yang berulang terjadinya. Ketahuilah setiap hamba Allah pasti mengalami masalah, mengalami kedukaan maupun kesukacitaan , tidak ada satupun yang terlepas dari seleksi Allah. Ujian dan cobaan kepada hamba Allah tersebut untuk menguji siapa yang lebih baik amalnya.

Justru menurut hadist di atas, dan itu adalah sunnah Allah, dikala kita mengalami kesulitan dan kesusahan dalam menghadapi ujian kehidupan, dan kita berharap sekali untuk diangkat kesulitan oleh Allah, justru salah satu solusinya adalah dengan membantu dan menyelesaikan kesusahan hamba yang lain. konsep ini sangat sulit dipahami dengan ilmu keduniaan, apalagi ilmu matematis. tapi inilah hukum Allah, inilah sunnatuLlah. inilah cara agar Allah terlibat! Mulailah dengan cara ini, niscaya permasalahan perekonomian umat akan tuntas.

Ingatlah sebuah contoh nyata yang pernah diabadikan dalam kisah sahabat Abdurrahman bin Auf ra dengan dipersaudarakan Saad bin Rabi ra dari Madinah.

Berkatalah Saad kepada Abdurrahman, Wahai saudaraku, aku adalah penduduk madinah yang kaya raya. Silahkan pilih separuh hartaku dan ambillah, dan aku mempunyai dua isteri, pilihlah salah satu yang menurut anda lebih menarik,dan akan aku ceraikan dia supaya anda bisa memperisterinya.

Jawab Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberkati anda, isteri anda dan harta anda. Tunjukkanlah jalan menuju pasar.”

Kemudian abdurrahman menuju pasar, membeli, berdagang dan mendapat untung besar, ketahuilah Allah terlibat! Allah berkahi saling tolong menolong tersebut, saling mendahulukan kepentingan saudaranya.

Pada suatu hari ia mendengar Rasulullah SAW, “Wahai Ibnu Auf, anda termasuk golongan orang kaya, dan anda akan masuk surga secara perlahan lahan. Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah jalan anda,” semenjak ia mendengar nasehat Rasulullah Saw tersebut, ia mengadakan pinjaman yang baik, maka Allah pun memberi ganjaran padanya dengan berlipatganda.

Ibnu Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan menyimpannya. Ia mengumpulkannya dengan santai dan dari jalan yang halal, tetapi ia tidak menikmati sendirian, keluarga, kerabat saudara dan masyarakat pun ikut menikmatinya. Karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, orang orang madinah pernah berkata: “seluruh penduduk madinah berserikat (menjalin usaha) dengan Abdurrahman bin Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka, sepertiganya digunakan untuk membayar hutang hutang mereka, dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi bagikan kepada mereka.”

Mereka saling mendahulukan kepentingan saudaranya, Allah bukakan keberkahan, Allah bukakan peluang menguasai ekonomi ummat, Pasar Madinah yang tadinya dikuasai yahudi berpindah ke tangan muslimin, berawal dari sikap tolong-menolong (ta’awun) sesama muslimin, bermula dari saling memecahkan masalah saudaranya, menjadi penguasa ekonomi saat itu, inilah hukum Allah, inilah sunnatullah.

Inilah cara melibatkan Allah… bukan dengan cara bersaing dengan pebisnis non-muslim melalui sistem yang dibuat oleh non-muslim juga, MUSTAHIL akan tampil. Bila ingin ummat ini kembali lagi menuju kejayaannya tidak pernah terjadi dan unggul melalui sistem buatan manusia. Kalau mau tampil harus kembali bersandarkan kepada SunnatuLLah dan Sunnah RasulNya.

Pembahasan ini membuat terhenyak para wirausaha yang hadir, diskusi terhenti dan terhenyak diam, …semoga para peserta diskusi berfikir ulang dan mulai menapak tilas sunnah yang pernah dilakukan untuk membenahi kekuatan ekonomi ummat… Tolonglah sudaramu yang sedang kesulitan…. ini adalah langkah awal menuju kejayaan.

semoga….

ERA MUSLIM

Muslimah Tidak Perlu jadi Feminis

 “TIDAK perlu menjadi feminis demi meraih derajat kemuliaan tertinggi, karena Islam telah menempatkan perempuanpada singgasana kemuliaannya jauh sebelum feminisme lahir.”

Ketika mendengar kata feminisme, yang terlintas dalam benak penulis adalah sebuah ideologi atau gerakan menuntut hak dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; yang dianggap sebagai sebuah solusi agar perempuanmendapatkan posisi yang “layak” di masyarakat. Namun, ketika kata feminisme disematkan pada diri seorang Muslimah sehingga muncul istilah Muslimah feminis, seperti ada yang mengganjal. Bagaimana mungkin ideologi feminisme dan Islam yang jelas-jelas bertolak belakang dipaksa untuk sejalan?

Belum lama ini isu tentang feminisme kembali digaungkan secara masif oleh para pengusungnya. Tagar #lawanbersama, #bebasbersuara, serta kampanye lainnya yang bertujuan menuntut hak dan persamaan perempuanaktif menghiasi laman instagram dan media sosial lainnya.

Sebelum ini, para pengusung feminis berupaya mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang masih menuai pro-kontra, bahkan salah satu fraksi di DPR RI dengan tegas menolak Rancangan Undang-undang tersebut. Mau tidak mau, para feminis harus bekerja lebih keras untuk mencari dukungan sana-sini. Puncaknya adalah agenda tahunan para feminis (Women’s March) yang diselenggarakan secara serentak di beberapa daerah, dengan tema besar: Kekerasan Berbasis Seksualitas dan Gender.

Mirisnya, beberapa Muslimah yang melabeli diri mereka sebagai Muslimah feminis turut berpartisipasi dalam gerakan tersebut. Mereka ikut melebur dalam barisan, serta dengan bangganya mengkampanyekan berbagai tuntutan. Misalnya, “Bukan salah baju atau tubuhku, tapi kamu yang melanggar otoritas tubuhku”“Menjadi perempuan tidak sama dengan tunduk terhadap patriarki”, dan tuntutan lain yang dinilai agak “menggelitik” jika ditinjau dari sudut pandang seorang Muslimah yang benar-benar mempelajari Islam secara kaffah.

Islam yang menganjurkan pemeluknya untuk saling menasihati dalam kebaikan–termasuk mengingatkan tentang kewajiban berhijab, dibantah para feminis dengan dalih melanggar otoritas tubuh. Islam yang mengharuskan seorang istri taat terhadap suaminya, juga dibantah dengan alasan sistem keluarga semacam itu merupakan budaya patriarki. Dari sini saja sudah terlihat perbedaannya, bukan?

Islam yang mengharuskan para pemeluknya tunduk dan patuh pada syariat, sangat bertolak belakang dengan pandangan feminisme yang tidak ingin serba diatur alias “terserah gue”.

Saat ini, berbagai akun media sosial yang membahas hubungan antara Islam dan feminisme kian bermunculan. Tidak jarang mereka menafsirkan dan memotong ayat alquran sesuai kehendak hawa nafsunya. Jika cocok dengan ideologi mereka maka diambil sebagai referensi, jika tidak cocok maka mereka tinggalkan.

Begitu pula dengan sejarah Islam–entah dari mana mereka belajar dan mengambil sumber; mereka memaparkan tentang jejak feminis Rasulullah ﷺ, juga mengklaim bahwa Ibunda Khadijah, Ibunda ‘Aisyah serta beberapa Shahabiyah lainnya sebagai tokoh feminisme. Tentu saja, ini merupakan sebuah pemikiran yang sangat menyesatkan sekaligus mencederai sejarah Islam. Sebab, Rasulullah ﷺ dan perempuan-perempuan mulia tersebut sama sekali tidak mengenal feminisme. Adapun kesuksesan mereka dalam berbagai bidang bukan karena mereka mengusung feminisme, melainkan karena mereka mendapatkan pendidikan yang luar biasa.

Jadi, Muslimah tidak perlu ikut-ikutan mengusung ide-ide feminisme hanya untuk mendapat tempat terhormat atau hanya kepinhin diakui toleran. Tidak perlu meneladani tokoh-tokoh feminisme hanya untuk mempelajari bagaimana caranya menjadi seorang perempuan hebat yang mampu bersaing dengan kaum laki-laki, karena Islam memiliki “segudang” teladan nyata.

Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, yang mampu membawa kita menuju tempat yang sangat layak di sisi Allah. Jika kita mau tunduk dan patuh pada setiap aturan yang telah ditetapkan. Islam sudah sangat memanjakan perempuandengan menjadikan kaum laki-laki sebagai qawwam (pemimpin, pelindung) bagi perempuan, memberikan beban dan tanggung jawab yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Lantas, mengapa masih menuntut untuk disetarakan justru ketika Allah telah meringankan beban di pundak kita, wahai Muslimah?

Oleh: Septiana Mahmudah, Penulis peminat masalah sosial

Penulis peminat masalah sosial

HIDAYATULLAH

Allah Tidak Punya Anak, Kandungan dari Surat Al-Ikhlas

Inilah akidah atau prinsip seorang muslim, ia harus meyakini bahwa Allah tidak memiliki keturunan, tidak punya anak. Hal ini tidak seperti yang diyakini oleh Nasrani. Inilah kandungan penting dari surat Al-Ikhlas.

Allah Ta’ala berfirman,

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4

Artinya:

Allah tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 3-4)

Yang dimaksud dengan “kufuwan” atau “al-kaf’u” adalah semisal, serupa, atau sama. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi mengatakan, “Maknanya, wallahu a’lam, tidak ada sesuatu pun yang serupa, semisal, sepadan dengan Allah.” (At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 681)

TIDAK ADA YANG SERUPA DENGAN ALLAH, ALLAH TIDAK PUNYA KETURUNAN DAN TIDAK PUNYA AYAH-IBU (ASAL POKOK)

Itulah yang disebutkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an lainnya,

مَا كَانَ لِلَّهِ أَنْ يَتَّخِذَ مِنْ وَلَدٍ ۖ سُبْحَانَهُ ۚ

Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia.” (QS. Maryam: 35)

Dalam surah Maryam lainnya disebutkan,

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا , لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا , تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا, أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا, وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا

Dan mereka berkata: “Rabb Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh karena mereka menyatakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Rabb Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (QS. Maryam: 88-92)

Juga dalam surah Al-Jinn disebutkan,

وَأَنَّهُ تَعَالَىٰ جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا

Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Rabb kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak.” (QS. Al-Jinn: 3)

Dalam surah Al-Kahfi yang rutin dibaca setiap malam Jumat dan hari Jumat disebutkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ۜقَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا , مَاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا , وَيُنْذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا , مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 1-5)

Dalam hadits qudsi disebutkan,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « قَالَ اللَّهُ كَذَّبَنِى ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ ، وَشَتَمَنِى وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّاىَ فَقَوْلُهُ لَنْ يُعِيدَنِى كَمَا بَدَأَنِى ، وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَىَّ مِنْ إِعَادَتِهِ ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّاىَ فَقَوْلُهُ اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا ، وَأَنَا الأَحَدُ الصَّمَدُ لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لِى كُفْأً أَحَدٌ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda bahwa Allah berfirman, “Anak Adam telah mendustakan-Ku, dan tidak pantas baginya berbuat seperti itu. Dia mencela-Ku, dan tidak pantas baginya berbuat seperti itu. Adapun pendustaannya, ia berkata, ‘Ia tidak akan kembali pada-Ku padahal dia telah diciptakan oleh-Ku.’ Jika dibandingkan penciptaannya pertama kali dengan pengembaliannya, sangat mudah untuk mengembalikannya. Adapun pencelaannya, ia berkata ‘Allah itu punya anak.’ Padahal, Aku adalah Al-Ahad (Maha Esa), Ash-Shamad (tempat bergantung setiap makhluk). Aku tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada yang semisal dengan-Ku.” (HR. Bukhari, no. 4974)

ITULAH YANG MENUNJUKKAN KESEMPURNAAN ALLAH

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara kesempurnaan Allah adalah Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan karena Allah tidak membutuhkan yang lain sama sekali. Tidak ada pula yang serupa dengan Allah. Tidak ada yang menyamai Allah dalam nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Surah ini mengandung tauhid asma’ wa sifat.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 984)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/25109-allah-tidak-punya-anak-kandungan-dari-surat-al-ikhlas.html

Amanah Menjadi Pemimpin

Menyadari betapa berat amanah kepemimpinan, maka idealnya setiap keluarga Muslim berlomba-lomba menyiapkan pemimpin, yakni dengan mendidik anak-anak kita memahami Al-Qur’an dan Sunnah.

DALAM Islam, menjadi pemimpin berarti mengemban amanah, jelas amanah di sini bukan perkara mudah. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ amat teliti di dalam mendistribusikan amanah kepemimpinan ini. Sebab, menjadi pemimpin tak cukup hanya bekal ilmu tapi juga sangat butuh integritas, kekuatan mental, dan tentu saja, kesiapan berhadapan dengan resiko.

Tidak heran kala di masa Nabi Muhammad ﷺ orang tidak bernafsu menjadi pemimpin atau pejabat, salah-salah bisa sengsara di dunia juga di akhirat.

Pernah suatu waktu Abu Dzar menemui Nabi ﷺ dan menyampaikan hajatnya atas sebuah kepemimpinan. Nabi ﷺ memberikan jawaban tegas.

Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi ﷺ berkata, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut” (HR Muslim).

Kata “amanah” berasal dari kata “amuna” artinya tidak meniru, terpercaya, jujur, atau titipan. Segala sesuatu yang dipercayakan kepada mansuia, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun hak Allah SWT.

Tidak heran jika di dalam sejarah kepemimpinan para sahabat Nabi ﷺ Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab tidak saja tegas dan adil, tetapi sangat sungguh-sungguh menegakkan keadilan dan menjaga diri dari kemewahan.

Pernah suatu waktu, kala umat Islam berhasil menaklukkan Kerajaan Persia dan kembali ke Madinah dengan membawa ghanimah dari istana Raja Kisra, Umat bin Khathab justru menangis. Ia sama sekali tidak bangga.

Ternyata itu karena Umar sangat khawatir harta benda itu akan memalingkan cintanya kepada Allah. Bahkan, capaian kemenangan demi kemenangan itu bagi Umar sama sekali bukan prestasi, sebab baginya, kalau Allah berkehendak, itu bisa saja terjadi di masa Nabi ﷺ dan Abu Bakar. Namung mengapa semua kemenangan itu justru terjadi di masanya. Demikianlah pemimpin sejati.

Umar juga rela di malam gulita memilih berjalan, memanggul sekarung gandum untuk membantu seorang ibu yang tidak punya makanan sedangkan anak-anaknya menangis karena lapar. Saat hendak dibantu oleh ajudannya, Aslam, Umar menolak. “Apakah kamu akan memikul bebanku di akhirat?”

Di sini dapat kita pahami dengan mudah bahwa pemimpin yang baik, amanah, dan pasti membela rakyat hanyalah pemimpin yang ingat akan akhirat. Sebaliknya, pemimpin yang tidak punya ilmu dan tidak punya visi akhirat, sudah jelas dia akan menjadi “mainan” banyak kepentingan. Sebab memang tidak mungkin amanah. Dan, tidak bisa amanah berarti adalah mudah diperalat oleh beragam kepentingan.

Oleh karena itu Nabi ﷺ memperingatkan Abu Dzar bahwa jika seseorang gagal amanah di dalam memimpin, maka ia akan mengalami kehinaan di dunia lebih-lebih di akhirat. Ini karena menjadi pemimpin berarti mendapatkan kepercayaan mengurus banyak kebutuhan manusia. Jika tidak amanah, maka sama dengan seorang pedagang yang selalu tidak jujur dalam setiap transaskinya, siapa yang mau membeli dagagannya.

Menyiapkan Pemimpin

Menyadari betapa berat amanah kepemimpinan, maka idealnya setiap keluarga Muslim berlomba-lomba menyiapkan pemimpin, yakni dengan mendidik anak-anak kita memahami Al-Qur’an dan Sunnah kemudian komitmen di dalam mengamalkannya. Jika tidak, berarti keberadaan pemimpin akan terus bergilir dari orang yang buruk kualitasnya, mulai dari iman, integritas, hingga keilmuan. Jika itu terus terjadi, maka kiamat akan terjadi.

Pernah suatu waktu, Rasulullah ﷺ sedang mengisi kajian dan menjelaskan perihal Hari Kiamat. Seorang Badui bertanya, “Kapan kiamat itu terjadi.”

Rasulullah ﷺ menjawab, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah kiamat.”

Rupanya, Badui ini tidak langsung memahami, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”

Beliau ﷺ menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.”

Menariknya DR. Mahir Ahmad dalam memberikan makna terhadap hadits tersebut sangat luas. Dalam bukunya Ensiklopedi Akhir Zaman ia menuliskan dengan sangat terang.

“Pemahaman dari amanah bukan hanya terbatas pada seseorang yang memberikan amanah kepada saya sampai waktu tertentu, lalu ketika ia kembali, maka saya berikan amanah tersebut kepadanya. Tapi amanah itu berarti segala sesuatu. Harta yang ada di tangan kita adalah amanah, tubuh kita ialah amanah, ilmu kita adalah amanah, kepemimpinan ialah amanah, kekuasaan ialah amanah, istri dan anak-anak ialah amanah, rezeki ialah amanah dan keimanan juga amanah.”

Dalam kata yang lain, sejatinya setiap jiwa adalah pemimpin. Dikatakan demikian karena ada amanah yang mesti dipertanggungjawabkan. Jika ini disadari, maka tidak ada cara terbaik selain berlomba-lomba menjadi pribadi yang amanah. Dengan begitu, insya Allah kita telah berupaya menyiapkan pemimpin amanah di masa depan. Dalam konteks keluarga, berikanlah keteladanan, pembelajaran, dan bimbingan untuk anak-anak kita agar kelak mereka siap menjadi pemimpin yang amanah, baik skala rumah tangga, lebih-lebih skala negara bahkan dunia. Allahu a’lam.*

HIDAYATULLAH