Islam Melarang Merusak Rumah Ibadah, Kecuali 1 yang Pernah Dirobohkan Nabi

Baru-baru ini, Filipina digoncang bom di tengah pelaksanaan Misa Katolik di Gimnasium Universitas Negeri Mindanao di Marawi, Filipina Selatan. Kelompok ISIS dengan sergap mengklaim sebagai dalang dari serangan tersebut dengan menyebutnya sebagai tentara khilafah meledakkan pertemuan besar umat Kristen.

Dalam panggung aksi teror rumah ibadah seperti Gereja kerap sekali menjadi sasaran. Di Barat, Masjid juga menjadi sasaran teror kelompok ekstremis. Di Indonesia misalnya bom gereja sebagaimana dilakukan oleh satu keluarga atau satu pasangan yang baru menikah meledakkan diri di salah satu gereja di Makassar.

Islam tidak pernah mengajarkan untuk mengucilkan, merusak, merobohkan, apalagi menghancurkan rumah ibadah agama lain. Tidak ada satu pun ajaran dalam Islam yang mengabsahkan tindakan seperti itu. Tegas, Islam melarang merusak rumah ibadah umat lain. Bahkan, dalam kondisi perang pun Nabi memberikan nasehat : janganlah berkhianat, janganlah dendam, janganlah membunuh anak kecil, perempuan, dan orang tua renta, janganlah menghancurkan pertapaan rahib, janganlah menebang kurma dan pohon, dan janganlah merobohkan bangunan.

Mengherankan jika ada segelintir umat yang menyerang rumah ibadah lain dengan alasan membela agama. Sungguh ajaran yang sesat dan menyesatkan generasi muda. Tidak ada satu pun landasan baik al-Quran maupun hadist Nabi yang dapat membenarkan melakukan bom di gereja sebagai jalan menuju surga.

Dalam al-Quran Allah telah menegaskan “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” (QS : Al-Hajj ayat 40). Ayat ini sebagai pencegahan terhadap keganasan manusia dengan merusak rumah ibadah.

Jika merujuk pada kisah dan teladan Nabi juga tidak ditemukan perintah dan anjuran  Nabi menghancurkan rumah ibadah, menyerang kelompok lain, membunuh para rahib, para jemaat dan sebagainya. Nabi bahkan pernah membiarkan tamu dari Nasrani untuk beribadah di masjid dalam kunjungan mereka ke Madinah.

Dalam sejarahnya, Nabi hanya pernah memerintahkan menghancurkan rumah ibadah,  ialah penghancuran Masjid Dhirar. Itulah satu-satunya perintah Nabi untuk menghancurkan masjid yang dibangun oleh Abdullah bin Ubai bin Abi Salul. Keberadaan masjid itu dibangun dengan tujuan memecah belah dan memprovokasi umat Islam.

Kisah ini direkam dalam al-Quran: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (Q.S. al-Taubah/9:107). Nabi memerintahkan merobohkannya karena masjid dhirar telah menjadi sarang provokasi, hasutan, dan fitnah yang dapat memecah belah umat.

Selebihnya, dalam sejarah Nabi tidak ada satu pun catatan Nabi memerintahkan merobohkan rumah ibadah umat lain. Bukan pula suatu kebaikan apalagi mengatasnamakan ajaran agama untuk menghancurkan rumah ibadah dan menggangu umat lain yang sedang beribadah.

Nabi telah memberikan peringatan yang sangat tegas bagi mereka yang membunuh umat lain : Barangsiapa membunuh mu’ahad (non muslim yang mengadakan perjanjian damai/dzimmi), maka tidak akan mencium bau surga. (Shahih Bukhori, XVII, 321; Sunan Ibn Majah, II, 896).

ISLAMKAFFAH

Islam Indonesia dan Andalusia; Refleksi Islamisasi Kebudayaan dan Kekuasaan

Masuknya Islam di Indonesia dan Andalusia dapat menjadi refleksi bersama tentang bagaimana Islam pernah berjaya dengan dua dampak yang berbeda. Keduanya memiliki dinamika yang berbeda, tetapi memiliki satu pandangan yang sama tentang proses penyebaran Islam atau islamisasi.

Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan baik dari Arab, India maupun China. Banyak sejarawan yang terus bertukar pikiran dalam menentukan titik awal apakah sejak abad 7 M atau 11 M seterusnya serta unsur dominan dari jalur mana Islam di Indonesia pertama kali hadir. Namun, secara umum Islam di Indonesia datang dengan pendekatan kebudayaan atau kultural. Bukan sebuah arus kekuatan structural.

Islam di Indonesia masuk secara gradual dengan melibatkan faktor budaya dan kultur lokal. Interaksi antara Islam dengan agama sebelumnya, seperti Hindu-Budha serta kebudayaan lokal memainkan peran penting. Pendekatan ini ditambah pula dengan pendekatan kearifan yang lembut, toleran dan terbuka terhadap keragaman.

Tentu saja, puncak kejayaan itu ketika Islam mulai menjadi pusat kekuasaan di nusantara. Tercatat banyak sekali kerajaan-kerajaan Islam di berbagai wilayah di Nusantara dari Aceh hingga Maluku. Demak misalnya menjadi salah satu kerajaan Islam yang sangat megah pada masanya yang menjadi pusat peradaban Islam Nusantara. Sampai saat ini, kerajaan Islam masih bertahan dalam struktur negara bangsa Indonesia. Islam tetapi menjadi mayoritas.

Andalusia tentu hal yang sama dalam penyebaran Islam dalam konteks sejarah. Islam pertama kali masuk ke Andalusia pada abad 8 M sekitar tahun 711 M melalui jalur Afrika. Spanyol yang kala itu dikenal Iberia/Asbania, Andalusi dikuasai bangsa Vandal, karena itulah masyarakat Arab menjebutkan Andalusia.

Islam masuk dengan melakukan penaklukan dan menjadikan Andalusia sebagai salah satu pusat pemerintahan Islam masa dinasti Umayyah. Islam tidak hanya menjadi pusat kekuatan, tetapi pusat pengetahuan. Tokoh-tokoh ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusdy, Kwarizi dan sebagainya telah memberikan sumbangsih penting bagi pengetahuan dunia hingga saat ini.

Pemerintahan Islam berkuasa selama 275 Tahun dengan 16 Khalifah sebelumnya akhirnya mengalami penaklukan oleh Reconquista. Kekuasaan Islam di Andalusia menjadi semakin kecil dan terpecah dalam bentuk raja-raja kecil. Pengusiran terhadap umat Islam di Andalusia serta penolakan kembali dari masyarakat terhadap kekuasaan menjadi semakin menghilangkan jejak Islam di Andalusia. Buku-buku dan peninggalan pusat pengetahuan Islam dibakar.

Kedua Islamisasi itu menjadi salah satu pelajaran penting tentang bagaimana penerimaan Islam sebagai ajaran oleh masyarakat menjadi paling utama dibandingkan dengan persoalan penerimaan kekuasaan. Ketika Islam dikenalkan dengan kekuasaan, ia akan menjadi rapuh ketika kekuasaan itu lemah. Sebaliknya, Islam yang dikuatkan dengan kebudayaan masyarakat dan ditanamkan menjadi bagian masyarakat tidak akan punah walaupun kekuasaan itu sirna.

Keruntuhan Islam di Andalusia bukan karena persoalan ajaran Islam itu sendiri, tetapi pola pendekatan dan faktor politik ketidakmampuan umat Islam dalam merawat kebudayaan Islam dengan kebudayaan masyarakat setempat. Sebagai agama pendatang Islam tidak didudukan menjadi salah satu identitas kebangsaan setempat, tetapi sebagai identitas politik kekuasaan.

Sifat kekuasaan itu selalu terbatas, tetapi sifat kebudayaan itu langgeng di tengah masyarakat apabila selalu dirawat dengan baik. Pertemuan Islam dengan kekuasaan akan selalu mengalami pasang surut, tetapi pertemuan Islam dengan kebudayaan akan selalu lekang sebagaimana Islam dan budaya nusantara yang menjadi identitas kebangsaan.

ISLAMKAFFAH

Lafadz Sujud Sahwi dan Tata Cara Melakukannya

Sujud sahwi merupakan sujud yang dilakukan jika seseorang melupakan sunnah ab’ad dalam shalat. Sujud sahwi ini letaknya sebelum salam dan dikerjakan dua kali sebagaimana sujud biasa. 

Adapun yang termasuk ke dalam sunnah ab’ad dalam shalat diantaranya membaca tasyahud awal, membaca shalawat pada tasyahud awal, membaca shalawat atas keluarga Nabi Saw pada tasyahud akhir, dan membaca qunut pada shalat Subuh serta shalat witir dalam pertengahan bulan Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan. 

Selain itu, sujud sahwi dilakukan apabila seseorang bimbang atau ragu-ragu tentang jumlah bilangan rakaat pada shalatnya, ia kemudian harus menetapkan yang paling sedikit dan hendaklah melakukan sujud sahwi.

Adapun berikut ini lafadz sujud sahwi:

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُوْا 

Subhana man laa yanaamu walaa yashu.


Artinya, “Maha Suci Allah yang tidak tidur dan tidak lupa.”

Menyadur NU Online, mengenai hukum sujud sahwi ini secara lugas dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami: 

‎وأسبابه خمسة ، أحدها ترك بعض .ثانيها : سهو ما يبطل عمده فقط . ثالثها : نقل قولي غير مبطل . رابعها : الشك في ترك بعض معين هل فعله أم لا ؟ خامسها : إيقاع الفعل مع التردد في زيادته 

“Sebab kesunnahan melakukan sujud sahwi ada lima. Yaitu meninggalkan sunnah ab’ad, lupa melakukan sesuatu yang akan batal jika dilakukan dengan sengaja, memindah rukun qauli (ucapan) yang tidak sampai membatalkan, ragu dalam meninggalkan sunnah ab’ad, apakah telah melakukan atau belum dan yang terakhir melakukan suatu perbuatan dengan adanya kemungkinan hal tersebut tergolong tambahan” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami, juz 4, hal. 495). 


Lebih khusus, Rasulullah Saw menjelaskan hikmah dari pelaksanaan sujud sahwi dan penambahan rakaat pada permasalahan tersebut. 

‎إذا شك أحدكم فلم يدر أصلى ثلاثا أم أربعا فليلق الشك وليبن على اليقين وليسجد سجدتين قبل السلام ، فإن كانت صلاته تامة كانت الركعة ، والسجدتان نافلة له ، وإن كانت ناقصة كانت الركعة تماما للصلاة ، والسجدتان يرغمان أنف الشيطان 


“Ketika kalian ragu, tidak ingat apakah telah melakukan shalat tiga rakaat atau empat rakaat maka buanglah rasa ragu itu dan lanjutkanlah pada hal yang diyakini (hitungan tiga rakaat) dan hendaklah melakukan sujud dua kali sebelum salam. Jika shalat tersebut sempurna maka tambahan satu rakaat dihitung (pahala) baginya dan dua sujud merupakan kesunnahan baginya, jika ternyata shalatnya memang kurang satu, maka tambahan satu rakaat menyempurnakan shalatnya dan dua sujud itu untuk melawan kehendak syaitan.” (HR. Abu Daud)


Dijelaskan dalam buku Risalah Tuntunan Shalat Lengkap karya Drs Moh Rifai diterangkan hal-hal yang mungkin dilupakan dalam shalat diantaranya yakni lupa melaksanakan yang fardlu, lupa melaksanakan sunnah ab’ad, dan lupa melaksanakan sunnah hai’at. 

Jika yang dilupakannya tersebut adalah fardlu, maka tidak cukup diganti dengan sujud sahwi. Jika orang telah ingat ketika ia sedang shalat, haruslah cepat-cepat ia melaksanakannya; atau ingat setelah salam, sedang jarak waktunya masih sebentar, maka wajiblah ia menunaikannya apa yang terlupakan, lalu sujud sahwi (sujud sunat karena lupa).


Jika yang dilupakan itu sunat ab’ ad, maka tidak perlu diulangi, yakni kita meneruskan shalat itu hingga selesai, dan se­belum salam kita disunnahkan mengerjakan sujud sahwi.


Jika yang terlupakan itu sunnah hai’at, maka tidak perlu di­ulangi apa yang dilupakan itu, dan tidak perlu sujud sahwi.


Pewarta: Agung Gumelar

NUONLINE

Ringkasan Fikih Sujud Sahwi

Lupa adalah salah satu fitrah yang Allah berikan kepada manusia. Dalam ibadah salat, seorang muslim terkadang juga mengalami lupa, baik itu lupa bacaan, lupa sebuah gerakan (dengan melewatkannya), lupa jumlah rakaat, atau lupa sudah sampai pada posisi apa. Pada kondisi lupa rakaat, lupa menambah gerakan, dan lupa sehingga mengurangi gerakan, maka Islam mensyariatkan adanya sujud sahwi. Yaitu, sujud yang dilakukan untuk menyempurnakan salat karena adanya kekurangan dalam salat yang kita lakukan.

Berikut ini adalah poin-poin penting terkait sujud sahwi yang bisa kami ringkas untuk memudahkan kita semua di dalam memahami fikih sujud sahwi. Sehingga, tatkala menemukan kasus serupa dalam salat kita, kita dapat mempraktikkan sujud sahwi tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pengertian sujud sahwi dan dalil pensyariatannya

Sahwi secara bahasa artinya adalah lupa atau lalai. Sedangkan secara istilah, sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan di penghujung (sebelum salam) atau seusai salat (setelah salam) untuk menutupi cacat yang terjadi dalam salat dikarenakan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja.

Para ulama sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Apabila azan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan ikamah, setan pun berpaling lagi. Apabila ikamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali. Ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, ‘Ingatlah demikian, ingatlah demikian!’ untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia salat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1222 dan Muslim no. 389)

Di hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia salat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan salatnya. Lalu, jika ternyata salatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571)

Hukum sujud sahwi

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum sujud sahwi menjadi dua pendapat. Ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati kita adalah pendapat yang menyatakan wajibnya sujud sahwi tatkala mendapati sebabnya. Mengapa?

Pertama: Karena di dalam hadis yang menjelaskan sujud sahwi (sebagaimana dua hadis yang telah kita sebutkan sebelumnya) seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah menunjukkan hukum wajib.

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terus menerus melakukan sujud sahwi ketika mendapati sebabnya. Dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya.

Baca juga: Sujud Sahwi dalam Shalat Berjamaah

Letak sujud sahwi dan sebab-sebabnya

Sujud sahwi menurut letak dan waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Sujud sahwi setelah salam

Kondisi ini terjadi karena dua sebab.

Sebab pertama: Adanya tambahan

Tambahan tersebut dapat berupa: 1) Menambah berdiri atau duduk atau rukuk atau sujud; 2) Melakukan salam sebelum salat berakhir; dan 3) Meninggalkan rukun salat.

Adapun yang pertama, yaitu menambah berdiri atau duduk atau ruku atau sujud. Dalilnya adalah hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ له أَزِيدَ في الصَّلَاةِ فقال وما ذَاكَ قال صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ ما سَلَّمَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat zuhur 5 rakaat, maka dikatakan kepada beliau, ‘Apakah jumlah rakaat telah ditambah?’ Maka, Nabi bersabda, ‘Memangnya ada apa?’ Maka, ada yang berkata, ‘Engkau salat 5 rakaat.’ Maka, beliaupun sujud dua kali setelah salam.” (HR. Al-Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572)

Adapun yang kedua, yaitu salam sebelum berakhirnya. Hal ini termasuk kategori penambahan dalam salat. Karena tatkala ia salam sebelum waktunya, lalu ia ingat dan menyempurnakan kekurangan salatnya, maka di akhir salat ia akan salam lagi. Karenanya, ia salam dua kali. Berarti ada tambahan satu salam lagi dalam salatnya tersebut.

Yang ketiga, yaitu meninggalkan rukun salat. Seperti orang yang lupa sujud kedua dalam rakaat pertama, lalu ketika ia dalam posisi sujud kedua pada rakaat kedua, ia teringat akan kekurangan sujudnya pada rakaat sebelumnya tersebut. Pada kondisi semacam ini, rakaat pertama yang telah dilakukannya tersebut gugur dan tidak teranggap, dan rakaat kedua yang sedang dilakukan tersebut menggantikan posisi rakaat pertamanya. Dalam kasus seperti ini, maka terdapat gerakan tambahan di dalam salat, yaitu rakaat pertama, di mana dia lupa untuk sujud kedua di dalamnya. Rakaat tersebut dikategorikan sebagai tambahan gerakan dalam salat yang mewajibkan sujud sahwi.

Sebab kedua: Jika terjadi keraguan, namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ

“Jika salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu, kecondongan pada yang lebih kuat yang ia yakini). Kemudian, ia sempurnakan salatnya, kemudian salam, kemudian sujud dua kali.” (HR. Bukhari no. 401 dan Muslim no. 572)

Kedua: Sujud sahwi sebelum salam

Hal ini karena dua sebab: 1) ada kekurangan; dan 2) terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut.

Sebab pertama, yaitu karena ada kekurangan

Dalam hal ini yang dimaksud adalah meninggalkan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban salat, seperti tasyahud awal. Berdasarkan hadis Abdullah bin Buhainah yang bercerita tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ صَلَّى بهِمُ الظَّهْرَ ، فَقَامَ  في الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ معهُ حتَّى إذَا قَضَى الصَّلَاةَ وانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وهو جَالِسٌ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ سَلَّمَ

“Bahwasanya Nabi mengimami mereka salat zuhur. Beliau pun berdiri setelah dua rakaat (menuju rakaat ketiga) dan tidak duduk (tasyahud awal). Orang-orang (para makmum) juga berdiri mengikuti Nabi. Hingga tatkala Nabi selesai salat, orang-orang menunggu beliau salam. Beliau lalu bertakbir dalam keadaan duduk, lalu beliau sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau salam. (HR. Bukhari no. 829)

Sebab kedua, yaitu terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فلم يَدْرِ كَمْ صلى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ

“Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam salatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia salat, apakah tiga atau empat rakaat, maka hendaknya ia membuang keraguannya tersebut. Dan dia bangun salatnya di atas yang dia yakini (yaitu, jumlah rakaat yang terkecil karena itulah yang sudah pasti), kemudian ia sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Muslim no. 571)

Penutup

Beberapa poin penting lainnya:

Pertama: Keraguan tidak dianggap dan tidak perlu sujud sahwi jika hanya merupakan was-was, atau terlalu sering terjadi, baik itu selalu muncul setiap kali salat, atau muncul setelah selesai salat.

Kedua: Al-Imam Qadhi Iyadh rahimahullah mengatakan,

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka yang berbeda pendapat dari kalangan ulama (dalam masalah sujud sahwi), setelah menyebutkan perbedaan pendapat mereka, bahwa siapa saja yang sujud sebelum salam atau sesudah salam karena adanya tambahan ataupun kekurangan dalam salatnya, maka itu dianggap sah dan tidak merusak salat yang telah dilakukannya. Perbedaan pendapat mereka hanya dalam masalah mana yang lebih utama.” (Syarhu An-Nawawi, 5: 56)

Dapat dipahami bahwa jika kita tidak mengetahui rincian letak hukum sujud sahwi, namun sudah berusaha untuk melakukannya meskipun ternyata salah penempatan, seperti sujud sebelum salam dalam kasus yang seharusnya sujud sahwinya tersebut setelah salam, maka itu tidaklah mengapa. Salatnya sudah sah dan tidak perlu mengulang kembali.

Sebagian ulama menambahkan bahwa apabila kasus dan sebab sujudnya itu terdapat dalam hadis dan terdapat penyebutan bahwa beliau sujud sebelum salam, maka kita wajib juga untuk melakukannya sebelum salam. Dan apabila disebutkan bahwa beliau (karena suatu sebab) bersujud sahwi setelah salam, maka kita pun wajib untuk melakukannya setelah salam. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. (Al-Fatawa, 23: 36-37)

Ketiga: Jika imam lupa dalam salatnya kemudian melakukan sujud sahwi, maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya meskipun sang makmum tersebut ingat dan tidak lupa. Kecuali, bagi yang terlambat salat, jika sujud sahwi yang dikerjakan imam setelah salam, maka orang yang terlambat salat tersebut mengakhirkan sujud sahwinya setelah ia menyempurnakan salatnya.

Keempat: Doa sujud sahwi sama seperti doa sujud-sujud yang lainnya. Bisa dengan,

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

 “Subhana rabbiyal a’la.” (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi)

atau dengan,

سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ

Subbuhun quddusun, rabbul mala’ikati war-ruh.” (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-) (HR. Muslim no. 487)

Atau dengan bacaan-bacaan lainnya yang memang benar datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun doa khusus tentang sujud sahwi seperti,

سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو

“Subhana man la yansa, subhana man la yashu.”

atau,

ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا

“Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na.”

maka, doa-doa tersebut tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu A’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/90173-ringkasan-fikih-sujud-sahwi.html

Cara Mencegah Efek Negatif dari Media Sosial dalam Pandangan Islam

Akhir-akhir ini, hampir semua masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menggunakan media sosial sebagai aktivitas dan kebutuhan harian. Media sosial menjadi wadah untuk berbagai agenda kegiatan dan alat yang sering digunakan oleh masyarakat, khususnya anak muda, untuk berinteraksi antar sesama. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengakses media sosial untuk mencari hiburan dan informasi yang dibutuhkan. Bahkan, menjadikan media sosial sebagai ladang untuk mencari pekerjaan, atau bahkan dalam mendapatkan pendapatan hidup, serta bisa menjadi wadah kebermanfaatan. Namun, dalam menggunakan media sosial, perlu memperhatikan beberapa hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam. Karena banyak juga hal negatif yang ditimbulkan dengan adanya media sosial.

Dalam hal ini, tentu agama Islam mengatur dan memperhatikan dalam berbagai segi, baik dalam penggunaannya, dalam segi adab, maupun etika. Islam adalah agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan, termasuk memiliki batasan-batasan syar’i dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam menjaga interaksi, baik secara langsung maupun tidak langsung (daring), semisal dalam menggunakan media sosial. Hal ini agar tercipta kondisi yang lebih nyaman, bijak, dan tetap memperhatikan etika yang bermoral dalam setiap aktivitasnya.

Adapun beberapa langkah dalam menghindari dampak negatif dari penggunaan media sosial, yang bisa kita lakukan dan upayakan, dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain:

Langkah menghindari dampak negatif dari pengunaan media sosial

Cara mengurangi dampak negatif media sosial, antara lain: 1) Membatasi waktu penggunaan media sosial; 2) Menghindari bermain menggunakan media sosial untuk sesuatu yang tidak penting; 3) Menghindari menggunakan media sosial saat jam-jam tertentu; 4) Mematikan notifikasi media sosial; 5) Menghabiskan waktu luang dengan keluarga; dan 6) Fokus dengan pekerjaan.

Langkah dan cara menggunakan media sosial dalam pandangan Islam

Berikut ini adalah adab-adab dalam menggunakan media sosial sesuai ajaran Islam: 1) Mencari informasi yang bermanfaat; 2) Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkanya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat.

Mengatasi pengaruh media sosial

Beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam mengatasi kecanduan media sosial, antara lain: 1) Memulai hobi baru yang tidak berkaitan dengan media sosial; 2) Membuat jadwal atau membatasi waktu untuk bermain media sosial; 3) Memperbanyak aktivitas di luar rumah; dan 4) Meletakkan gadget yang jauh dari genggaman atau pandangan.

Etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial

Beberapa etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial adalah: 1) Pergunakan bahasa yang baik; 2) Hindari penyebaran SARA, aksi kekerasan, dan lainnya; 3) Kroscek kebenaran berita; 4) Menghargai hasil karya orang lain; 5) Jangan terlalu mengumbar informasi pribadi; 6) Bijak dalam menggunakan media sosial; 7) Menjunjung tinggi etika dalam berkomunikasi; 8) Selektif dalam menyebarkan informasi; 9) Tidak menyebarkan rahasia pribadi ke ranah publik; 10) Bijak dalam mengatur waktu online; dan 11) Hati-hati dalam menyebarkan atau menyampaikan data pribadi.

Sedangkan, dampak negatif lainnya dari menggunakan atau pelaku media sosial adalah menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, dan membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet. Selain itu, juga dapat menimbulkan konflik. Masalah privasi rentan terhadap pengaruh buruk orang lain. Maka, hal yang perlu dihindari saat menggunakan media sosial, yakni hindari dalam lingkungan toxic. Selain itu, hindari dalam perilaku atau keterlibatan menyebarkan info atau berita hoax serta informasi bohong, meskipun dengan tujuan yang baik, seperti informasi mengenai kematian orang yang masih hidup dan lain sebagainya.

Hindari pula dan berhati-hati dalam area yang terdapat penyebaran materi pornografi dan kemaksiatan, meskipun hanya sekedar gambar. Info perselingkuhan hal tersebut dapat mengotori hati. Hindari segala macam hal yang terlarang secara syar’i dan hindari segala konten yang benar, namun tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.

Islam sangat mengatur umatnya dalam bermuamalah dan berinteraksi, baik secara langsung maupun secara online. Islam pun mengatur etika dan adab dalam kita berkomunikasi secara online di dalam media sosial. Jika kita tidak menjaga adab dalam hubungan sosial, pasti akan dibenci orang. Demikian pula, dalam media sosial, tulisan yang menyakiti orang pasti akan membekas pada hati mereka. Bedanya, jika dengan lisan, akan terhapus; sedangkan dengan tulisan, kata-kata itu akan selamanya dibaca orang dan terekam dalam bukti jejak media.

Langkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i

Adapun beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain :

Mencari informasi yang bermanfaat

Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkannya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا, سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ

Barangsiapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Menjaga lisan dan kata-kata dalam berucap atau ketika menulis

Sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk menjaga lisan dan ucapan kita, baik dalam hal muamalah harian maupun dalam kegiatan, termasuk dalam bermedia sosial. Sebagaimana dalam sebuah riwayat yang berisi nasihat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عليك بطول الصمت فإنه مطردة الشيطان وعون لك علي أمر دينك

Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu.” (HR. Ahmad)

Budayakanlah tabayyun

Sebagai seorang muslim, kita harus bersikap tabayyun terlebih dahulu dalam menerima informasi atau berita. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan informasi atau berita yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Seperti dalam firman Allah pada surah Al-Hujurat ayat 6,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Menjadikan media sosial sebagai sarana menyebar kebaikan

Kebaikan dapat kita sampaikan dengan banyak cara dan berbagai media sarana. Salah satunya adalah dengan menyebarkan kebaikan melalui media sosial. Salah satu cara berdakwah kaum muslimin akhir-akhir ini pun tidak terlepas dari media sosial. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, hadis dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه

Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)

Meminta perlindungan dengan berdoa

Meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang banyak beredar dalam dunia maya, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan.

Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Berdoa dan senantiasa meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan perbuatan keji, yakni fitnah-fitnah informasi yang memperburuk dan menimbulkan penyakit hati yang terumbar dalam berbagai segi kehidupan, termasuk di media sosial. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi.

***

Penulis: Kiki Dwi Setiabudi S.Sos.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89784-cara-mencegah-efek-negatif-dari-media-sosial-dalam-pandangan-islam.html

Menjawab Narasi Negatif Netizen tentang Pengungsi Rohingya  

Sesungguhnya imam, pemimpin, khalifah adalah perisai dan menjadi pelindung bagi mereka yang terzalimi dan tertindas, termasuk pada kasus Palestina dan Rohingya

Oleh: Ali Mustofa Akbar

“SUDAH jatuh terimpa tangga pula,” begitu kira-kira menggambarkannestapa saudara Muslim Rohingya saat ini. Sudah terusir dan teraniaya dari negerinya, sekarang dibuly dengan narasi-narasi kejam oleh netizen Indonesia.

Etnis Rohingta, sering digambarkan sebagai orang-orang yang paling sering mengalami persekusi di dunia. Mereka ditolak di negara sendiri, tidak diterima oleh beberapa negara, hidup miskin, tak punya kewarganegaraan, serta dipaksa meninggalkan negerinya dibeberapa dekade ini.

Padahal sebelumnya mereka merupakan komunitas Muslim yang sudah tinggal berabad-abad lamanya di sana, mereka absah dan diakui sebagai warga negara bahkan juga ketika Inggris berkuasa di Burma, Rohingya menjadi bagian tak terpisahkan dari negara itu.

Hingga ikut andil dalam kemerdekaan Burma tahun 1948. Sekarang bernama Myanmar.

Keadaan berbanding terbalik sejak kudeta militer oleh Jenderal Ne Win dari Partai Sosialis Burma pada 1962. Komunitas Muslim di Myanmar terutama Rohingya mendapat perlakuan diskriminatif, mereka tidak dianggap sebagai warga asli Myanmar.

Puncaknya di tahun 2017 ribuan Muslim myanmar terbunuh oleh tentara Myanmar. Dunia mengutuk peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai genosida.

Pengungsi Rohingya di Aceh

Dalam kurun waktu 14-21 November 2023 ini, ada 1.084 pengungsi Rohingya yang datang ke Sabang, Aceh. Mereka datang dengan menumpangi kapal milik warga Bangladesh.

Menurut UNHCR, bahwa per 31 Oktober 2023, lebih dari sejuta pengungsi Rohingya pergi ke berbagai negara untuk mencari perlindungan (Detik, 04/12/33). Beberapa negara menjadi labuhan mereka adalah Arab Saudi, Malaysia, Bangladesh, Indonesia, dan lainnya.

Derita saudara Muslim Rohingya menambah pelik kisah umat Islam di penjuru dunia yang saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Menjadi manusia perahu serta “mengemis” ke negara manca tentulah bukanlah keinginan terbaik meraka, siapapun, ingin hidup tenteram di negerinya sendiri.

Kedatangan Muslim Rohingya di negeri ini kini makin menghangat kembali. Permasalahan bertambah runyam karena muncul narasi-narasi negatif terhadap Muslim Rohingya distigmakan sebagai pelaku tindak berbagai aktivitas kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, dan seterusnya.

Menanggapi hal ini Ketua MPU Aceh, Abu Faisal Ali, menyampaikan:  “Jangan sampai, karena banyaknya pemberitaan negatif yang menggambarkan kekurangan-kekurangan mereka, seolah menepis dan menihilkan kewajiban kita sesama Muslim ataupun sekadar selaku manusia,” katanya.

Sementara cendikiawan Muslim Aceh, Adli Abdullah mengatkan, “Saya kira kita tetap membangun simpati terhadap masyarakat Rohingya yang terzalimi dan memang kalau ada yang terlibat human traficking harus ditindak. Jangan mencari keuntungan di atas penderitaan orang Rohingya.  Semoga etnis Rohingya segera merdeka dunia akhirat,” tegas dosen Universitas Syah Kuala ini.

Persoalan Umat Islam

Apa yang terjadi kepada Muslim Rohingya sejatinya juga merupakan persoalan umat Islam seluruh dunia terutama saudara-saudara terdekatnya termasuk di Indonesia. Banyak dalil yang sudah dijelaskan oleh pada ulama akan tuntutan kepedulian ini.

Diantaranya salah satu hadits dari Rasul ﷺ:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan tidak bisa tidur dan panas (turut merasakan sakitnya).” (Shahih Muslim 4685).

Namun akibat framing miring tentang Rohingya membuat sebagian kaum Muslim di negeri ini mengisyaratkan terpancing untuk tidak empati kepada saudaranya. Beberapa komentar miring seperti bahwa Muslim Rohingya identik dengan perilaku kriminal serta digambarkan tidak tau adab karena membuang bantuan makanan ke laut, dst. Tidak disangkal bahwa ditengah ketidakpastian hidup, ada beberapa oknum dari Muslim Rohingya yang berlaku kejahatan, namun tentu tidak baik jika di generalisir semua melakukannya.

Solusinya adalah adili pelaku kejahatan dengan tindakan preventif maupun efek jera dengan penegakkan hukum serta perlu dilakukan sosialisasi yang berkesinambungan di tempat penampungan.

Tampak pula sebagian netizen trauma dengan apa yang terjadi di Palestina, dimana pengungsi Yahudi yang diberi tumpangan justru menikam dari belakang umat Muslim Palestina.

Hal ini tidak bisa disamakan karena, mereka bukanlah Zionis yang layak dimusuhi dan dicurigai, tapi saudaranya Muslim yang diibaratkan Rasul ﷺ seperti satu tubuh. Kalau kita tidak bisa seperti Kaum Anshar yang menerima kaum muhajirin maka minimal tidak mencibir.

Akar Permasalahan

Pertama; nasionalisme. Ikatan ini lahir dari akidah sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan. Output-nya menjadikan urusan warga Muslim negara lain bukan menjadi urusan negaranya.

Sebagaimana diketahui, semenjak kesepakatan Sykes-Picot, umat Islam terpecah-pecah menjadi negeri-negeri kecil yang melunturkan ikatan ukhuwah Islamiyyah.

Kedua; kekuasaan pemimpin Muslim lemah. Bukan dalam arti lemah secara personal namun secara sistemik.

Adalah contoh pada kepemimpinan Khalifah Mu’tashim Billah di masa Abbasiyah. Saat seorang Muslimah dilecehkan oleh orang kafir lalu wanita itu berteriak kepada Khalifah, tak berselang lama Mu’tashim mengirimkan tentara untuk membela kehormatan wanita Muslimah tersebut.

Dalam buku-buku sejarah disebutkan tentara Mu’tashim yang dikirim bahkan saat kepalanya sudah di kawasan Umuria sedangkan ekornya masih di Ibu Kota Baghdad saking banyaknya pasukan untuk membela kemuliaan seorang Muslimah itu.

Menyikapi persoalan Rohingya perlu ada kerjasama berbagai stakeholder guna merumuskan solusinya. Pertama: Pihak-pihak berkewenangan diberbagai negeri Muslim memiliki kewajiban untuk menolong saudaranya.

Apresiasi layak diberikan kepada Wapres Ma’ruf Amin yang membuka opsi Pulau Galang yang akan menjadi tempat labuhan pengungsi Rohingya meski mendapat bantahan dari Menteri Mahfud MD.

“Kalau pengungsi 1.400 lebih ya dan kita sebenarnya tidak terikat ya dengan konvensi itu, tapi karena kita punya prinsip kemanusiaan ya kita cari. Ya mudah-mudahan dalam waktu dekat,” (CNN, 6/12/2023).

Kedua: Mahfud MD juga menyampaikan bahwa pengungsi Rohingya akan dipulangkan ke Myanmar. Maka jika itu juga opsi harus perhatikan pula keselamatan dan keadilan bagi Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar dengan cara negeri-negeri Muslim terutama ASEAN berperan aktif dalam pengawasan, diplomasi, maupun upaya lainnya untuk menjamin keamanan Muslim Rohingya.

Situasi yang dialami oleh saudara Muslim di Rohingya, Palestina, Uighur, dan di belahan bumi lainnya yang sedang terdzolimi semakin membuka mata hati kita akan kerusakan sistem dunia dunia ini melahirkan sikap apatisme dan pengabaian pada orang yang seharunya bisa kita bela dan kita lindungi, dan penyakit ini, kini menimpa negeri-negeri Muslim.

Ketiga, penting bagi kita sesama manusia belajar para kesusahan dan penderitaan pengungsi Rohingya. Jika kita diposisikan pada mereka, mungkin kita akan semakin luka dan menderita.

Apalagi jika di tengah kesusahan, ditolak sana-sini, lalu dikembalikan lagi ke laut, sampai mati satu-persatu. Bagi yang selamat ke darat, orang yang di darat justru mem-bully-nya, menyerang dengan kata-kata atau tindakan. Bagaimana rasanya?

Bagaimana jika kita atau keluarga kita yang mengalami nasib serupa lalu mereka diteriaki, dibully dengan narasi-narasi jahat agar mengusir kembali ke laut? Di mana kemanusiaan kita?

Kita berharap pemimpin-pemimpin kita menjadi lebih baik. Agar mereka bisa menjadi perisai yang melindungi umatnya.

«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ»

“Sesungguhnya imam adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR: Muslim).

Dalam syarah Imam Nawawi tentang hadits ini beliau menjelaskan:

أي : كالستر ;لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين , ويمنع الناس بعضهم من بعض, ويحمي بيضة الإسلام , ويتقيه الناس ويخافون سطوته , ومعنى يقاتل من ورائه أي : يقاتل معه الكفار والبغاة والخوارج وسائر أهل الفساد والظلم مطلقا

“Makna imam sebagai perisai adalah seperti benteng, sebab imam melindungi umat Islam dari gangguan musuh, mencegah pertikaian di antara sesama Muslim, menjaga eksistensi Islam, serta imam ditaati dan ditakuti oleh masyarakat. Dan makna berperang dibelakangnya adalah berperang melawan orang-orang kafir, bughot, khawarij, pembuat kerusakan dan pelaku kedzaliman secara mutlak.” (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Hadits No. 4772). Wallahu A’lam.*

Pengasuh Kajian Kampung

HIDAYATULLAH

Siapakah yang Dimaksud Ulul Albab ?

Di dalam al Qur’an, Allah swt menyebutkan kata ulul albab sebanyak enam belas kali. Di Dalam surat al Baqarah sebanyak tiga kali, Ali Imron dua kali al Maidah satu kali, Yusuf satu kali, Ar Ra’du satu kali, Ibrahim satu kali, Shad dua kali, Az Zumar tiga kali, Ghafir satu kali dan at Thalak satu kali. Dari ke enam belas tersebut, kata ulul albab disandingkan dengan sifat-sifat yang berbeda.

Ulul albab secara harfiyah memiliki makna orang-orang yang berakal. Imam As Suyuti di dalam kitab tafsirnya menyebutkan:

يَعْنِيْ مَنْ كَانَ لَهُ لُبٌّ أَوْ عَقْلٌ

Artinya: Orang yang memiliki kecerdasan atau akal fikiran

Sebab itu, jika kita perhatikan ayat-ayat al Qur’an, kata ulul albab seringkali disandingkan dengan kata addzikru (berpikir). Misal pada surat al Baqarah:

وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Artinya: Dan tidak akan memahami kecuali orang-orang berpikir (QS. Al Baqarah: 269)

Surat ar Ra’du ayat 19:

إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Artinya: Dan hanya orang-orang berpikir yang bisa memahaminya (QS. Al Baqarah: 269)

Dari ayat-ayat ini, kita bisa mengetahui bahwa yang dimaksud dengan ulul albab adalah manusia itu sendiri. Sebab hanya manusia yang diberi akal oleh Allah swt. Sehingga dengan akal tersebut, seseorang bisa menilai mana yang baik dan mana yang buruk. As Sudy ra menjelaskan:

عن السديّ ( أُولُو الألْبَابِ ) قَالَ: أُوْلُو الْعُقُوْلِ مِنَ النَّاسِ

Artinya: Dari Sudi ra berkata, ulul albab yaitu orang-orang yang berakal

Secara spesifik, At Thabari menjelaskan ulul albab hanya ada pada diri orang-orang yang beriman kepada Allah swt. Karena dengan akal fikirannya ia mampu menepati janji-janji Allah swt. Dijelaskan dalam kitab Jamiul Bayan:

هَذَا مِنْ صِفَةِ ذَوِي الْأَلْبَابِ، أَيْ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُو الْأَلْبَابِ اَلْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِ اللهِ

Artinya: “Ini ada sifat-sifat ulul albab, artinya hanya orang-orang yang memiliki akal fikiran yang menepati janjinya kepada Allah swt”

Penafsiran ini sesuai dengan firman Allah swt sebagaimana dijelaskan oleh Qatadah ra:

عَنْ قَتَادَةَ قَالَ (إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُو الْأَلْبَابِ) فَبَيَّنَ مَنْ هُمْ، فَقَالَ (اَلَّذِيْنَ يُوْفُوْنَ بِعَهْدِ اللهِ وَلَا يَنْقُضُوْنَ الْمِيْثَاقَ) فَعَلَيْكُمْ بِوَفَاءِ الْعَهْدِ، وَلَا تَنْقُضُوْا هَذَا الْمِيْثَاقَ

Artinya: “Dari Qatadah: “Hanyasaja ulul albab yang memahaminya, lalu Allah swt menjelaskan siapa mereka, yaitu orang-orang yang menepati janjinya dan tidak merusak perjanjiannya. Maka wajib atas kalian untuk menepati janji dan tidak merusak janji tersebut”

Kata ulul albab, sering juga diganti dengan yatafakkarun (orang-orang berfikir). Ini sebenarnya satu pemahaman dengan ulul albab, di mana hakikatnya berkaitan dengan berfikir. Ini dapat kita lihat dari penggunaan kata yatafakkarun di dalam al Qur’an disebutkan setelah Allah swt menjelaskan tanda-tanda ketuhanannya agar umat manusia dapat berpikir sehingga ia beriman. Seperti pada surat Yunus ayat 24:

كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: Demikian kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan bagi orang-orang yang berfikir (QS. Yunus: 34)

Atau surat Ar Ra’d ayat 3:

{وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: “Dan dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Ar Ra’d: 3)

Dengan demikian, kewajiban manusia sebagai ulil albab tidak cukup melaksanakan kewajiban-kewajiban dzohiriyah saja, tetapi setiap manusia dituntut untuk selalu berfikir agar mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang hak dan mana yang batil. Karena berfikir adalah sifat utama dari manusia sehingga berbeda dari makhluk-makhluk lainnya. Dan itulah hakikat ulul albab.

Wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH

Israel Pelintir Surat Al Ankabut Ayat 14 untuk Lakukan Propaganda

Israel melakukan berbagai macam cara untuk membenarkan aksi kekejaman dan penjajahanya terhadap Palestina. Selain menggunakan kekerasan melalui serangkaian serbuan militer, Israel juga menyebarkan propaganda dengan mengguanakan ayat suci Al-Quran. Pihak Israel secara terang-terangan mengutip kemudian memelintir makna ayat demi ayat dalam al-quran untuk membenarkan aksi kejinya.

Dilansir dari lama republika.co.id Pekan ini,  Israel menjatuhkan ribuan selebaran di atas langit Gaza Selatan dengan menggunakan pesawat tempur. Selebaran itu berisi kutipan ayat Alquran surat Al Ankabut ayat 14 yang memperingatkan tentang banjir dan orang-orang yang berbuat zalim.

Kutipan ayat Alquran tersebut bertuliskan (فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ). Artinya, “Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”

Kutipan ayat itu ditulis dalam selebaran itu di samping simbol Bintang Daud dan logo tentara Israel. Penggunaan ayat Alquran oleh Israel itu memicu kemarahan warga Palestina di Gaza dan umat Islam di wilayah lain.

“Mereka (Israel)-lah yang telah berbuat zalim, bukan kami. Merekalah yang menzalimi warga sipil, warga yang tidak bersalah dan anak-anak yang tidak berdaya,” kata Um Shadi Abu el-Tarabeesh, salah seorang pengungsi dari Gaza utara, sambil memegang selebaran tersebut di depan kamera.

Selain surat Al Ankabut ayat 14, Israel juga kerap menggunakan ayat-ayat Alquran untuk melegitimasi aksinya. Di antaranya yaitu:

Pada pengeboman Israel ke Gaza di bulan Mei 2021, Israel melalui akun resminya mengunggah cicitan dalam bahasa Arab yang membuat umat Muslim marah dan protes. Sebab, cicitan tersebut mengutip ayat-ayat Alquran yang membenarkan aksi pemboman di Gaza. Cicitan yang dibagikan pada Selasa pagi berisi surat Al-Fil yang artinya gajah

Selain itu, mereka juga menyertakan foto gumpalan asap dari sebuah gedung setelah serangan udara Israel. Dalam Islam, surat tersebut menceritakan periode pra-Islam yang di mana pasukan terdiri gajah berperang menyerang kota Suci Makkah. Mereka dikalahkan oleh kawanan burung yang menjatuhkan batu ke para prajurit.

Dalam cicitan selanjutnya, akun tersebut mengatakan pembenarannya. “Ini adalah pengingat kemampuan Tuhan untuk mendukung mereka yang benar atas kebohongan, terutama karena Hamas adalah tangan Iran yang berusaha untuk menyulut wilayah tersebut. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menargetkan target Hamas di Gaza,” tulisnya di akun @IsraelArabic.

Kesimpulannya, militer Israel menyamakan dirinya dengan burung-burung yang menyelamatkan kota Makkah. Sementara Hamas diposisikan pada tentara perang gajah

Israel juga sering mengutip surat Al Maidah ayat 41 yang berbunyi:

يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ {المائدة:21}.

“(Nabi Musa AS berkata), Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh) sehingga kamu menjadi orang-orang yang merugi” (QS Al Maidah ayat 21).

Ayat itu dijadikan oleh orang Yahudi sebagai dasar atau bukti bahwa tanah Palestina milik mereka. Padahal, yang dituju dari ayat tersebut, yakni kaum yang diperintahkan untuk memasuki tanah Palestina adalah para pengikut Nabi Musa AS yang beriman kepada Allah SWT.

Hal itu tak lepas karena Nabi Musa AS dan semua nabi, agama mereka adalah Islam. Dasarnya ialah surat Ali Imran ayat 19 dan surat Yunus ayat 84.

Allah SWT berfirman:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya” (QS Ali Imran ayat 19).

Dalam Surat Yunus dikatakan: “Dan Musa berkata, ‘Wahai kaumku! Apabila kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, jika kamu benar-benar orang Muslim (berserah diri)’” (QS Yunus ayat 84).

Namun, tetap saja orang-orang Yahudi mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT meski nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad telah diambil sumpahnya untuk mengaku kenabian Muhammad SAW. Alquran bahkan mengabadikan bagaimana para nabi (sebelum Nabi Muhammad) berjanji kepada Allah untuk mengakui kenabian Muhammad SAW. Hal ini dengan terang tercantum dalam surat Ali Imran ayat 81:

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab: ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman: ‘Kalau begitu, saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu’” (QS Ali Imran ayat 81).

Lalu bagaimana hukum menggunakan ayat Alquran untuk melegitimasi melakukan kekerasan seperti yang dilakukan Israel? Dan apa sebenarnya isi dari surat Al Ankabut ayat 14 itu?

Pakar tafsir Alquran yang juga Ketua Prodi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, KH. Syahrullah Iskandar berpendapat bahwa saat ini

istilah yang didengungkan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu adalah “the force of civilization” dan “the force of barbarism” sebuah dikotomi untuk melegitimasi perang yang tengah dilakoninya.

Kiai Syahrullah mengatakan pada dasarnya menggunakan ayat Alquran harus dalam urusan yang baik, karena Alquran adalah kalam Ilahi yang sakral bagi umat Islam. Oleh karena itu tidak tepat menjadikan ayat Alquran sebagai  alat legitimasi untuk kekerasan. Selain itu menurut Kiai Syahrullah tindakan Israel menyebar ayat Alquran dari udara merupakan bentuk olok-olok terhadap Alquran.

“Ini bisa dipahami sebagai bentuk olokan terhadap kitab suci umat Islam dan dijadikan sebagai tanda gerakan selanjutnya pasukan Israel memerangi Gaza. Pasukan Israel merasa terzalimi, sedangkan warga Gaza dan Hamas dianggapnya zalim. Bisa saja muncul kesan lain bahwa di satu sisi mereka yang menghambur-hamburkannya itu secara tidak langsung mengakui kebenaran isi kandungan Alquran,” kata kiai Syahrullah kepada Republika.co.id pada Jumat (8/12/2023).

Lalu bagaimana hukum menggunakan ayat Alquran untuk melegitimasi melakukan kekerasan seperti yang dilakukan Israel? Dan apa sebenarnya isi dari surat Al Ankabut ayat 14 itu?

Pakar tafsir Alquran yang juga Ketua Prodi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, KH. Syahrullah Iskandar berpendapat bahwa saat ini

istilah yang didengungkan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu adalah “the force of civilization” dan “the force of barbarism” sebuah dikotomi untuk melegitimasi perang yang tengah dilakoninya.

Kiai Syahrullah mengatakan pada dasarnya menggunakan ayat Alquran harus dalam urusan yang baik, karena Alquran adalah kalam Ilahi yang sakral bagi umat Islam. Oleh karena itu tidak tepat menjadikan ayat Alquran sebagai  alat legitimasi untuk kekerasan. Selain itu menurut Kiai Syahrullah tindakan Israel menyebar ayat Alquran dari udara merupakan bentuk olok-olok terhadap Alquran.

“Ini bisa dipahami sebagai bentuk olokan terhadap kitab suci umat Islam dan dijadikan sebagai tanda gerakan selanjutnya pasukan Israel memerangi Gaza. Pasukan Israel merasa terzalimi, sedangkan warga Gaza dan Hamas dianggapnya zalim. Bisa saja muncul kesan lain bahwa di satu sisi mereka yang menghambur-hamburkannya itu secara tidak langsung mengakui kebenaran isi kandungan Alquran,” kata kiai Syahrullah kepada Republika.co.id pada Jumat (8/12/2023).

Kemudian, soal surat Al Ankabut ayat 14 yang baru-baru ini digunakan Israel,

Kiai Syahrullah menjelaskan bahwa sebenarnya surat Al Ankabut ayat 14 berbicara tentang nabi Nuh alaihissalam yang diutus kepada kaumnya yang bermukim bersamanya selama 950 rajin setelah diutus menjadi rasul. Dalam waktu yang lama itu, nabi Nuh mendakwahi kaumnya agar tidak menyekutukan Allah ta’ala dengan suatu apapun dan menjalankan segala perintahNya. Namun demikian kaum nabi Nuh membangkang hingga Allah menimpakan pada mereka azab berupa banjir bandang.

“Intinya, dalam waktu yang sangat lama itu, Nabi Nuh pun berulang kali berdakwah dengan berbagai cara, tetapi mereka membangkang dan durhaka. Kemudian banjir besar menenggelamkan kaum Nabi Nuh tersebut,” katanya.

ISLAMKAFFAH

Kemenag: Petugas Haji Harus Siap Membina, Melayani dan Melindungi

Sebelum mendaftar seleksi petugas, perlu meluruskan niat.

Pendaftaran seleksi Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) 1445 H/2024 M hari ini mulai dibuka secara online. Masyarakat yang memenuhi syarat dan berminat bisa mendaftar melalui Pusaka Superapps Kementerian Agama (Kemenag). Proses pendaftaran dibuka dari 7-17 Desember 2023.

Juru Bicara Kemenag Anna Hasbie mengatakan proses seleksi dilakukan secara online dan terbuka agar dapat menjaring petugas haji terbaik. Tantangan penyelenggaraan ibadah haji 1445 H cukup berat. Selain ada tambahan hingga 20 ribu kuota, jamaah haji yang masuk kategori lanjut usia (lansia) juga masih cukup banyak jumlahnya sekitar 40 ribu.

“Sebelum mendaftar seleksi petugas, perlu meluruskan niat dan memahami tugas fungsi petugas yang tidak ringan,” kata Anna Hasbie dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (7/12/2023).

Menurut Anna, tugas yang diemban para petugas haji sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh. Pada Pasal 1 Ayat 9 misalnya, ditegaskan bahwa PPIH bertugas melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan, serta pengendalian dan pengoordinasian pelaksanaan operasional ibadah haji di dalam negeri dan di Arab Saudi.

Ia menambahkan, hal tersebut dipertegas lagi pada Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2019 bahwa penyelenggaraan ibadah haji dan umroh memiliki dua tujuan. Pertama, memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi jamaah haji dan jamaah umroh.

Sehingga dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan syariat. Kedua, mewujudkan kemandirian dan ketahanan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umroh.

“Jadi perlu diingat petugas haji tidak cukup hanya memberikan pelayanan sebagai petugas. Lebih dari itu, mereka juga harus siap membina, melayani, dan melindungi jamaah haji, baik diminta atau tidak diminta. Ini harus menjadi komitmen utama menjadi petugas haji,” ujarnya.

IHRAM

Quraish Shihab; Suami yang Memukul Istri adalah Orang Gagal

Ulama dan cendikiawan Muslim Indonesia, Prof. M. Quraish Shihab, menegaskan bahwa suami memukul istri merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan seorang laki-laki yang melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga [KDRT] terhadap istrinya merupakan sosok suami yang gagal.

Menurut Prof. Quraish Shihab bahwa memukul istri hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, yaitu ketika istri telah melakukan tindakan nusyuz atau perbuatan yang melanggar hak suami.

“Dalam konteks melampui batas, pertama nasehati, kedua tunjukkan padanya bahwa suami sudah tidak senang pada istrinya. Kemudian tingkat ketiga, tunjukkan pada istri yang membangkang ini supaya dia insaf, bahwa dia sudah mulai benci istrinya bertahapkan, maka terakhir diizinkan pukul,” kata Quraish Shihab dalam akun Instagram @Matanajwa Jumat (8/12/2023).

Namun, Abi Quraish Shihab menambahkan bahwa memukul istri harus memenuhi beberapa syarat, yaitu tidak menyakiti, tidak menampar wajah, dan tidak mencederai. Ia juga mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang melarang memukul istri dengan pukulan yang keras atau menyakitkan.

“Jangan sakiti, jangan tampar wajah, jangan mencederai, pukulan sekadar pukulan yang tidak menyakiti wanita itu,” kata Quraish Shihab mengutip sabda Nabi Muhammad SAW.

Quraish Shihab juga menegaskan bahwa memukul istri bukanlah cara yang tepat untuk mendidik atau membina rumah tangga. Ia bahkan menyebut bahwa suami yang memukul istrinya adalah orang yang gagal dalam hidupnya.

“Tidak ada yang memukul istrinya kecuali orang yang gagal dalam hidupnya. Artinya, apa? Karena dia bertugas membina rumah tangganya sehingga kepala rumah tangga, sehingga hidup menjadi harmonis. Nah kalau dia memukul, berarti gagal dalam membina rumah tangganya,” kata Quraish Shihab.

Lebih lanjut, Abi Quraish Shihab juga mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas terhadap suami yang menggunakan ayat Al-Qur’an untuk membenarkan tindakan kekerasan terhadap istri.

“Pemerintah mengambil langkah yang tegas terhadap suami yang menggunakan ayat ini sehingga melampui batas sehingga memukul istrinya. Jadi perlu ada tingkatan dari pemerintah terhadap orang yang memukul istrinya,” tutup Penulis Tafsir Al Misbah tersebut.

BINCANG SYARIAH