Yuk Melakukan Amalan-amalan Ini di Bulan Ramadan

DARI Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah SWT mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu; juga terdapat dalam bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan Nasai).

Berikut ini adalah amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan Ramadan:

a. Puasa

Allah SWT memerintahkan berpuasa di bulan Ramadan sebagai salah satu rukun Islam. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Rasulullah SAW bersabda: “Islam didirikan di atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak Ilah yang berhak disembah selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah rasul Allah SWT, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan pergi ke Baitul Haram.” (Muttafaqun alaih).

Puasa di bulan Ramadan merupakan penghapus dosa-dosa yang terdahulu apabila dilaksanakan dengan ikhlas berdasarkan iman dan hanya mengharapkan pahala dari Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya telah lalu.” (Muttafaqun alaih).

b. Membaca Alquran

Membaca Alquran sangat dianjurkan bagi setiap Muslim di setiap waktu dan kesempatan. Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah Alquran, sesungguhnya ia datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi ahlinya (yaitu, orang yang membaca, mempelajari dan mengamalkannya). (HR Muslim).

Dan membaca Alquran lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadan, karena pada bulan itulah diturunkannya Alquran.

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS al-Baqarah [2]: 185).

Rasulullah SAW selalu memperbanyak membaca Alquran di hari-hari Ramadan, seperti diceritakan dalam hadis Aisyah RA, ia berkata: “Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah SAW membaca Alquran semuanya, salat sepanjang malam, dan puasa sebulan penuh, selain di bulan Ramadan.” (HR Ahmad).

Dalam hadis Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan al-Bukhari, disebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan tadarus Alquran bersama Jibril AS di setiap bulan Ramadan.

c. Mendirikan salat Tarawih berjemaah

“Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau salat di masjid, dan salatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya. Ketika Nabi SWT mengerjakan salat (di malam kedua), banyaklah orang yang salat di belakang beliau. Di pagi hari berikutnya, orang-orang kembali memperbincangkannya. Di malam yang ketiga, jumlah jemaah yang di dalam masjid bertambah banyak, lalu Rasulullah SAW keluar dan melaksanakan salatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jemaah, sehingga Rasulullah SAW hanya keluar untuk melaksanakan salat Subuh.

Tatkala selesai salat Subuh, beliau menghadap kepada jemaah kaum Muslimin, kemudian membaca syahadat dan bersabda, “Sesungguhnya kedudukan kalian tidaklah sama bagiku, aku merasa khawatir ibadah ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melaksanakannya.” Rasulullah SAW wafat dan kondisinya tetap seperti ini. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA).

Kemudian, pada zaman Khalifah Umar bin Khattab RA, salat Tarawih kembali dilakukan secara berjemaah di Masjid. Dan hal itu disepakati oleh semua sahabat Rasulullah SAW pada masa itu. Wallahu A’lam.

d. Menghidupkan malam-malam Lailatul Qadar

Lailatul qadar adalah malam kemuliaan yang lebih baik daripada seribu bulan. Menurut pendapat paling kuat, malam kemuliaan itu terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, terlebih lagi pada malam-malam ganjil, yaitu malam 21, 23, 25, 27, dan 29. “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS al-Qadar [97]: 3).

Malam itu adalah pelebur dosa-dosa di masa lalu, Rasulullah SAW bersabda: “Dan barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul qadar semata-mata karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Bukhari).

Yang dimaksud dengan menghidupkan lailatul qadar adalah dengan memperbanyak salat malam, membaca Alquran, zikir, berdoa, membaca selawat, tasbih, istighfar, itikaf, dan lainnya. Aisyah RA berkata, Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan lailatul qadar, maka apa yang aku ucapkan? Beliau menjawab, Bacalah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Yang suka mengampuni, ampunilah aku.”

e. Memperbanyak sedekah

Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah, dan Rasul SAW lebih pemurah lagi di bulan Ramadan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas RA, ia berkata: “Rasulullah SAW adalah manusia yang paling pemurah, dan beliau lebih pemurah lagi di bulan saat Jibril AS menemui beliau, ” (HR Bukhari).

f. Melaksanakan ibadah umrah

Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di bulan Ramadan adalah melaksanakan ibadah umrah. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa nilai pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah haji. “Umrah di bulan Ramadan sama dengan ibadah haji.”

Demikianlah beberapa ibadah penting yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan Ramadan dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Semoga kita termasuk di antara orang-orang yang mendapat taufik dari Allah SWT untuk mengamalkannya, dan mendapatkan kebaikan serta keberkahan bulan Ramadan.

g. Memperbanyak Iktikaf

Iktikaf dalam bahasa adalah berdiam diri atau menahan diri pada suatu tempat, tanpa memisahkan diri. Sedang dalam istilah syari, itikaf berarti berdiam di Masjid untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara tertentu, sebagaimana telah diatur oleh syariat.

Itikaf merupakan salah satu perbuatan yang dikerjakan Rasulullah SAW, seperti yang diceritakan oleh Aisyah RA: “Sesungguhnya Nabi SAW selalu itikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan sampai meninggal dunia, kemudian istri-istri beliau beritikaf sesudah beliau.” (Muttafaqun alaih).[]

INILAH MOZAIK

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 1)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 184

Allah Ta’ala berfirman,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah: 184]

Makna Ayat

Puasa ini diwajibkan atas kalian, wahai orang-orang beriman, hanya pada hari-hari yang berbilang, yang masanya dapat dihitung, yaitu di hari-hari bulan Ramadhan. Apabila di antara kalian ada yang sakit, bersafar, kemudian tidak berpuasa, maka dia berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar bulan Ramadhan). Dan setiap orang yang mampu berpuasa, namun tidak menunaikannya, berkewajiban menyerahkan fidyah berupa makanan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Apabila seseorang mengetahui kebaikan yang terdapat dalam ibadah puasa, sungguh dia tidak akan meremehkannya [Tafsir Ibnu Jarir 3/156-186; Tafsir Ibnu Katsir 1/498-500; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 31/250; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/320-324].  

Ketentuan yang disebutkan dalam ayat ini telah dianulir (mansukh). Tatkala Allah menetapkan kewajiban berpuasa di awal perkembangan Islam, umat muslim diberi pilihan antara melaksanakan puasa dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Apabila dia memilih berpuasa, sungguh hal itu lebih baik baginya. Kemudian Allah Ta’ala menghapus opsi tersebut bagi orang yang mampu berpuasa dengan firman-Nya,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” [QS. al-Baqarah: 185]

Dengan demikian, kewajiban berpuasa ditetapkan bagi orang yang mampu menjalankan. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu menjalankannya, dia boleh berbuka dan berkewajiban memberi makan orang miskin [An-Nasikh wa al-Mansukh hlm. 26; Syarh Umdah al-Fiqh – kitab ash-Shiyam- karya Ibnu Taimiyah 1/262-264; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 31/250; Tafsir Ibnu Katsir 1/499-500]. 

Faidah-Faidah Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”, terdapat penetapan bahwa penyaluran fidyah hanya diberikan kepada orang miskin, sehingga berbeda dengan penyaluran zakat [Al-Iklil hlm. 39].
  2. Terdapat perbedaan tingkatan dalam amal berlandaskan firman Allah (yang artinya), “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Tentunya perbedaan tingkatan dalam suatu amal melazimkan adanya perbedaan kedudukan pelakunya di sisi Allah [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/330]. 

Aspek Balaghah pada Ayat

Firman Allah “أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ” diungkapkan dengan kata “أَيَّام” yang merupakan bentuk jamak qillah dan disifati dengan kata “مَعْدُودَاتٍ” yang juga berbentuk jamak qillah. Hal ini dimaksudkan sebagai isyarat bahwa berpuasa di bulan Ramadhan bagi hamba adalah hal yang ringan dan mudah. Hal ini karena hari-hari berpuasa dibatasi oleh bilangan yang dapat dihitung dan bukan dilaksanakan dalam waktu yang lama yang tidak dibatasi oleh bilangan [Tafsir Abu Hayyan 2/180; Tafsir Ibnu Asyur 2/161].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56273-ayat-ayat-shiyam-bag-2.html

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari Ke-9)

Hari ini kita akan merenungkan sebuah ayat dari Firman Allah swt :

ٱسۡتَجِيبُواْ لِرَبِّكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا مَرَدَّ لَهُۥ مِنَ ٱللَّهِۚ مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإٖ يَوۡمَئِذٖ وَمَا لَكُم مِّن نَّكِيرٖ

“Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (atas perintah dari Allah). Pada hari itu kamu tidak memperoleh tempat berlindung dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).” (QS.Asy-Syura:47)

Ayat ini menceritakan tentang kondisi di Hari Kiamat dan bagaimana manusia akan menghadapi dahsyatnya hari tersebut.

Mari kita renungkan bagian demi bagian dari ayat ini.

(1)

ٱسۡتَجِيبُواْ لِرَبِّكُم

“Patuhilah seruan Tuhanmu..”

Sebuah seruan Allah untuk hamba-Nya agar mengikuti perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Seruan ini adalah seruan cinta yang di dasari oleh kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya. Karena Allah swt tidak ingin melihat hamba-Nya terjerumus dalam kehancuran dan kesengsaraan.

(2)

مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٌ لَّا مَرَدَّ لَهُۥ مِنَ ٱللَّهِۚ

“Sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (atas perintah dari Allah). “

Hari itu adalah hari kiamat. Hari yang tidak diragukan kedatangannya. Hari yang tiada seorang pun yang bisa lari darinya. Hari di saat tak ada beda antara yang kaya dan yang miskin, yang hitam dan yang putih, yang kuat dan yang lemah. Semuanya dalam keadaan ketakutan menanti hasil dari amalnya di dunia.

(3)

مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإٖ يَوۡمَئِذٖ

“Pada hari itu kamu tidak memperoleh tempat berlindung.”

Hari itu tiada tempat bagi siapapun untuk berlindung dari bahaya yang akan menimpanya. Tiada penolong yang mampu melindunginya dari adzab. Semua akan merasakan akibat dari apa yang mereka lakukan di dunia.

(4)

وَمَا لَكُم مِّن نَّكِيرٖ

“Dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).”

Hari itu tiada seorang pun yang bisa mengingkari apa yang telah mereka lakukan. Tidak ada yang bisa di suap, tidak ada alasan yang di terima. Semua akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang ia lakukan di dunia.

Maka kesimpulan umum dari ayat ini adalah bahwa Allah swt meminta hamba-Nya untuk mendengar dan mengikuti seruan-Nya. Mengikuti syariat yang di bawa oleh para Nabi dan penerusnya. Ikutilah mereka sebelum semuanya terlambat. Sebelum hari itu akan datang dan hanya tersisa penyesalan.

إِنَّ مَا تُوعَدُونَ لَأٓتٖۖ وَمَآ أَنتُم بِمُعۡجِزِينَ

“Sesungguhnya apa pun yang dijanjikan kepadamu pasti datang dan kamu tidak mampu menolaknya.” (QS.Al-An’am:134)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Amalan Sederhana yang Selamatkan Muslim dari Siksa Kubur

Terdapat amalan sederhana yang menyelematkan manusia dari siksa kubur.

Azab kubur merupakan salah satu sanksi Allah SWT bagi mereka yang selama hidup di dunia melakukan tindak perbuatan dosa. 

Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Ahwal memberikan resep sederhana agar terhindar dari azab kubur. Menurutnya, kunci yang bisa menyelamatkan seseorang dari siksa kubur adalah amal saleh yang dikerjakan sepanjang hidupnya di dunia.

“Dan, barang siapa yang beramal saleh, maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (QS ar-Ruum [30]: 44). Merujuk pada pendapat mujahid, tempat menyenangkan yang dimaksud ialah “kediaman” yang nyaman selama di alam barzah.

Fakta ini juga dipertegas dalam hadits riwayat Abu Hurairah. Disebutkan bahwa ketika mayat telah diletakkan di kuburannya, ia mendengar gesekan sandal handai tolan yang meninggalkannya sendirian.

Bila ia orang beriman maka amalan sholat akan berada di atas kepalanya, puasa di sebelah kanannya, dan zakat ada di samping kirinya. Sedangkan, amalan lainnya, seperti sedekah, silaturahim, dan perbuatan baik ada di sekitar kedua kakinya. Masing-masing akan menjadi saksi dan pelindung baginya.

Pada pengujung karyanya, Al Baihaqi yang terkenal dengan mahakaryanya, as-Sunan al-Kubra dan Dalail an-Nubuwwah, menukil beberapa riwayat yang mengisahkan tentang rasa takut dan harapan besar dari para salaf agar terhindar dari siksa neraka.

Padahal, melihat hitungan matematis, tingkat kesalehan spiritual mereka terbilang mumpuni. Ini tak lain menggambarkan ketaatan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Sebut saja, misalnya, pendiri mazhab teolog Asy’ariyah, Abu Musa al-As’yari. Ia meminta agar dijauhkan dari siksa neraka. Ia bahkan memerintahkan agar kedalaman kuburnya kelak ditambahkan. “Dalamkanlah liang lahatku,” katanya.

Al-Baihaqi yang tutup usia pada umur 74 tahun itu mengutip kisah Abu ad-Darda’. Ketika sahabat Nabi tersebut menderita sakit, seorang sahabatnya datang. Lelaki itu berkata, “Wahai Abu ad-Darda’, sesungguhnya engkau hampir meninggal dunia maka perintah kanlah aku suatu perkara yang ber manfaat bagiku dan akan mengingatkanmu.”

Abu ad-Darda’ menjawab, “Sungguh, engkau di antara umat yang diampuni maka dirikanlah sholat, tunaikan zakat hartamu, berpuasa Ramadhan, dan jauhilah perkara keji, kemudian beritakanlah kabar gembira.” Merasa tidak puas, lelaki itu pun bertanya ulang. Abu ad-Darda’ membalas dan memintanya duduk dan merenungkan perkataannya.

“Bayangkan ketika engkau berada di hari, tatkala tak ada lagi ruang kecuali liang lahat yang luasnya dua hasta sedang kan panjangnya empat hasta. Ke luarga yang konon tak bisa berpisah denganmu hari itu meninggalkanmu sendiri, kolegamu yang dulu membuat megah rumahmu kelak akan menimbunmu dengan tanah lantas beranjak pergi darimu.”

Pada saat itu, sambung Abu ad-Darda’, dua malaikat berwarna hitam biru berambut keriting datang. Mereka adalah Munkar dan Nakir. Ia akan menanyakan identitasmu, agama, Tuhan, dan nabi.

“Jika jawabanmu tidak tahu-menahu maka demi Allah engkau telah tersesat dan merugi. Sedangkan, bila jawabanmu adalah Muhammad Rasulullah dengan kitab sucinya Alquran maka demi Allah engkau selamat dan mendapat petunjuk. Kesemua itu tidak akan mampu engkau ucapkan kecuali dengan peneguhan yang dikaruniakan Allah SWT.

KHAZANAH REPUBLIKA

Adab Islami Mengkritik Pemerintah di Tengah Pandemi Wabah

Islam memberikan panduan tata cara bijak mengkritik pemerintah.

Momentum Ramadhan dengan berdiam diri di rumah digunakan untuk hal-hal yang positif, jangan sampai menjadi momen untuk mencela keadaan, terlebih mencela kebijakan pemerintah di medsos. Sebab syariat menekankan tata krama yang baik dalam mengkritik pemerintah.

Salah satu tata kramanya adalah dengan tidak mencela atau mengkritik pemerintah dengan penyampaian yang disebarkan di khalayak umum (‘alaniyah). Hal demikian seperti disampaikan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِى سُلْطَانٍ فَلاَ يُكَلِّمْهُ بِهَا عَلاَنِيَةً  

“Barang siapa yang hendak menasehati pemerintah, maka jangan disampaikan secara terbuka” (HR Hakim)

Mengkritik pemerintah melalui media sosial tentu tergolong larangan mengkritik secara terbuka dalam hadis di atas, sebab dapat diketahui masyarakat secara luas, hingga berakibat runtuhnya kewibawaan pemerintah, dan hal demikian jelas merupakan larangan dalam Agama Islam. 

Kritik yang baik adalah dengan disampaikan secara tertutup dan langsung tertuju pada kebijakan pemerintah, tanpa perlu mencela dan mencaci orang yang menerapkan kebijakan. Dengan begitu kritik dan masukan dapat dinilai secara maksimal oleh pemerintah.

Kebijakan pemerintah sudah tentu berdasarkan prinsip kemaslahatan masyarakat. Misalnya kebijakan pemerintah tentang larangan mudik di tengan pandemi Covid-19 pada Ramadhan tahun ini. Kebijakan demikian tentunya sudah berdasarkan pertimbangan dan penilaian yang sangat akurat dan terukur.

Mudik di tengah tersebarnya wabah selain merupakan tindakan yang membahayakan kesehatan masyarakat juga merupakan hal yang tidak etis dilakukan.

Imam As-sya’roni dalam kitabnya, Lathaif al-Minan menjelaskan pendapat gurunya, Syekh ‘Ali al-Khawwas dalam menerangkan orang yang tetap bepergian pada saat terjadinya wabah:

من ضحك أو جامع زوجته أو لبس ثوبا مبخرا أو ذهب إلى موضع التنزهات أيام نزول البلاء على المسلمين, فهو والبهائم سواء

“Orang yang tertawa, bersetubuh dengan istrinya, mengenakan baju yang dipenuhi wewangian, atau berkunjung ke tempat hiburan pada saat turunnya wabah pada umat Islam, maka dia dan binatang tidak ada bedanya” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 350)

Bersilaturrahmi pada keluarga di kampung sudah cukup dilakukan dengan cara video call atau dengan mengirimkan pesan dan pemberian hadiah kepada mereka, tanpa perlu menemui secara langsung.

Kebijakan pemerintah tentang pelarangan mudik sudah selayaknya didukung dengan kesadaran penuh, tanpa perlu mencela dan mengkritik yang tidak ada manfaatnya.

Petugas gabungan menindak pengendara motor yang tidak memakai masker di titik pemeriksaan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (1/5/2020). Pemerintah melakukan berbagai upaya guna mencegah penyebaran COVID-19 salah satunya menggunakan masker, namun imbauan tersebut masih saja diabaikan karena rendahnya kesadaran masyarakat – (ANTARA/Yulius Satria Wijaya)

Sudah selayaknya kita apresiasi dan kita hargai keputusan pemerintah dalam rangka kewajiban taat kepada imam yang merupakan ajaran dalam syariat Islam. Patutlah kita mencontoh adab Imam as-Sya’roni dalam menghormati kebijakan pemerintah dengan senantiasa husnudzan bahwa kebijakan yang dipilih pemerintah adalah kebijakan yang paling baik dan ideal daripada pandangan pribadi dirinya atau rakyat secara umum. Berikut penjelasan beliau:

ومما من الله تبارك وتعالى به علي أدبي مع قضاة هذا الزمان كبارا وصغارا ولا أقول بيطلان أحكامهم في العقود والوثائق كما يقع فيه بعضهم بل أرى عقودهم وأنكحتهم صحيحة أدبا مع أئمة الدين القائلين بصحتها وأدبا مع السلطان الذي ولى أولئك الحكام ولعلمي بأنه أتم نظرا مني ومن أمثالي بل ربما كان أتم نظرا من جميع رعيته وصاحب هذا المشهد لا ينكر على امامه في تولية احد او عزله ولا يذمه أبدا من ورائه كما يفعله بعضهم وقد قال العلماء رضي الله تعالى عنهم لو ولى السلطان قاضيا فاسقا نفذ قضاؤه للضرورة

“Sebagian anugerah yang Allah berikan kepadaku adalah tata kramaku kepada hakim pada zaman ini, baik yang sudah tua ataupun masih muda. Aku tidak mengatakan putusan mereka dalam akad dan perjanjian adalah putusan yang batal, seperti yang dilakukan sebagian orang. Bahkan aku berpandangan bahwa akad dan pernikahan yang mereka lakukan sah, dengan bertujuan menjaga adab terhadap para imam yang berpandangan tentang keabsahannya, dan menjaga adab pada pemerintah yang telah mengangkat hakim tersebut, dan juga karena aku tahu bahwa pemerintah lebih sempurna dalam menentukan kebijakan dibanding aku dan orang-orang yang selevel denganku, bahkan kebijakan pemerintah bisa jadi lebih sempurna dibanding semua (pandangan) rakyat.

Pemilik kesaksian ini (Imam asy-Sya’roni) tidak akan mengkritik terhadap pemerintah atas pengangkatan atau pemecatan seseorang, dan aku selamanya tidak akan mencela pemerintah di balik hadapan mereka, seperti yang dilakukan sebagian orang. Para ulama’ sungguh telah berkata: “Jika Sultan mengangkat hakim yang fasik, maka keputusan hukumnya tetap berlaku (sah) karena darurat” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 275). Wallahua’lam bishawab.

Gus Ubaidillah Amin Moch, Stafsus Menteri Agama RI 

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengerikan, Ini Siksa Bagi Orang tidak Berpuasa

PUASA dalam bahasa Arab disebut dengan “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan.

Sebagaimana makna ini dapat kita lihat pada firman Allah Taala,

“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” (QS. Maryam: 26).

Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus.[1]

Puasa Ramadan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal, dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak melakukan safar/ perjalanan jauh)[2]. Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadan adalah wajib adalah dalil Alquran, As Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijma ulama)[3].

Di antara dalil dari Alquran adalah firman Allah Taala,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183)

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan salat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadan.”[4]

Hal ini dapat dilihat pula pada pertanyaan seorang Arab Badui kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Orang badui ini datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan berambut kusut, kemudian dia berkata kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam, “Beritahukan aku mengenai puasa yang Allah wajibkan padaku.”

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

” (Puasa yang wajib bagimu adalah) puasa Ramadan. Jika engkau menghendaki untuk melakukan puasa sunah (maka lakukanlah).”[5]

Wajibnya puasa ini juga sudah malum minnad dini bidhoruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena ia bagian dari rukun Islam[6]. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini.[7]

Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa

Pada zaman ini kita sering melihat sebagian di antara kaum muslimin yang meremehkan kewajiban puasa yang agung ini. Bahkan di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum, ada yang mengaku muslim, namun tidak melakukan kewajiban ini atau sengaja membatalkannya. Mereka malah terang-terangan makan dan minum di tengah-tengah saudara mereka yang sedang berpuasa tanpa merasa berdosa. Padahal mereka adalah orang-orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan tidak punya halangan sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang bukan sedang bepergian jauh, bukan sedang berbaring di tempat tidur karena sakit dan bukan pula orang yang sedang mendapatkan halangan haidh atau nifas. Mereka semua adalah orang yang mampu untuk berpuasa.

Sebagai peringatan bagi saudara-saudaraku yang masih saja enggan untuk menahan lapar dan dahaga pada bulan yang diwajibkan puasa bagi mereka, kami bawakan sebuah kisah dari sahabat Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu anhu.

Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, “Naiklah”. Lalu kukatakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”

Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya,”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[8]

Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadis ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadan dan tidak pernah berpuasa sama sekali. Renungkanlah hal ini, wahai saudaraku!

Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadan termasuk dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih besar dari dosa besar lainnya[9].

Adz Dzahabi sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadan, bukan karena sakit (atau udzur lainnya, -pen), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan.”[10]

Adapun hadis,

“Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya”; adalah hadits yang dhoif sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.[11][Muhammad Abduh Tuasikal/muslimorid]

INILAH MOZAIK

Percuma Puasa Ramadhan Bila Masih Bergunjing

Bergunjing saat sedang puasa Ramadhan dapat mengurangi pahala.

Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh seorang perempuan untuk berbuka saat ia sedang berpuasa pada bulan suci Ramadhan. Penyebabnya, wanita itu melakukan ghibah (mengumpat) kejelekan orang lain.

Kisah itu diuraikan dalam hadis riwayat ‘Ubaid RA berikut ini. Pada masa Rasulullah SAW, beliau pernah memerintahkan orang-orang berpuasa selama satu hari. Maka mereka pun berpuasa.

Kemudian, ada dua orang perempuan yang berpuasa. Mereka tampak sangat menderita karena lapar dan dahaga pada sore harinya. Lantas, keduanya mengutus seseorang untuk menghadap Rasulullah SAW. Mereka ingin diizinkan agar boleh berbuka puasa.

Rasulullah SAW kemudian memberikan sebuah mangkuk kepada utusan itu agar diberikan kepada kedua perempuan tadi. Beliau juga memerintahkan agar kedua perempuan itu memuntahkan isi perutnya ke dalam mangkuk tersebut.

Akhirnya, keduanya memuntahkan darah dan daging segar ke dalam mangkuk tersebut. Orang-orang takjub menyaksikannya. Rasulullah SAW bersabda, “Kedua perempuan ini berpuasa terhadap makanan yang dihalalkan Allah, tetapi mereka telah membatalkan puasanya itu dengan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya. Mereka duduk bersantai sambil menggunjingkan orang lain. Itulah ‘daging-daging’ mereka yang dipergunjingkan.”

Agama Islam melarang perbuatan menggunjing. Dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 12, Allah SWT berfirman, yang artinya, “Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.”

Secara fikih, bergunjing memang tidak membatalkan puasa. Akan tetapi, pahala puasa bisa berkurang atau bahkan hilang sama sekali karena perbuatan itu.

Sabda Nabi SAW, “Lima hal yang dapat membatalkan pahala puasa, yakni berkata dusta, ghibah (menggunjing), memfitnah, sumpah dusta dan memandang dengan syahwat”(HR Al-Azdiy).

Beliau juga berpesan, “Barangsiapa yang tidak dapat meninggalkan perkataan kotor dan dusta selama berpuasa, maka Allah subhanahu wata’ala tidak berhajat kepada puasanya.” (HR Bukhari).

KHAZANAH REPUBLIKA

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari Ke-8)

Allah swt berfirman :

وَٱللَّهُ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٖ

“Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS.Al-Baqarah:212)

Kali ini kita akan mengkaji apa yang dimaksud oleh ayat ini. Apa yang dimaksud bahwa Allah swt memberi rezeki tanpa perhitungan?

Rezeki dalam ayat ini bisa memiliki dua makna, yaitu rezeki di dunia dan rezeki di akhirat.

Bila yang dimaksud adalah rezeki di dunia, maka akan memiliki banyak makna, antara lain dua makna berikut ini :

Makna Pertama:

Orang-orang kafir seringkali menghina orang-orang miskin dari kalangan kaum muslimin. Mereka beranggapan bahwa mereka lah yang menguasai semua kenikmatan dunia dan itu adalah pertanda bahwa mereka berada dalam kebenaran.

Karenanya Allah swt menepis anggapan ini dengan Firman-Nya :

وَٱللَّهُ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٖ

“Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS.Al-Baqarah:212)

Yakni, Allah swt memberikan rezeki di dunia ini kepada siapapun yang Dia Kehendaki. Rezeki itu diberikan tanpa melihat siapa yang menerima, apakah layak atau tidak, beriman atau tidak, bahkan baik atau jahat. Rezeki dunia tidak melihat kelayakan penerimanya.

Urusan rezeki mutlak berkaitan dengan Kehendak Allah swt. Terkadang ahli maksiat di berikan keluasan rezeki seperti Qorun dan terkadang orang mukmin di uji dengan sempitnya rezeki. Semua itu bergantung pada maslahat yang hanya di ketahui oleh Allah swt.

Makna Kedua:

Allah swt memberikan rezeki kepada hamba-hamba yang mukmin dari sisi yang tidak mereka sangka-sangka.

———————————

Adapun apabila rezeki dalam ayat ini kita maknai dengan rezeki di akhirat, maka kita akan menemukan beberapa makna :

(1) Allah swt memberi rezeki kepada hamba-hamba yang mukmin di akhirat dengan rezeki yang luas dan terus memancar. Rezeki itu tak terbatas dan tak pernah terputus.

Dalam sebuah ayat Allah swt berfirman :

فَأُوْلَٰٓئِكَ يَدۡخُلُونَ ٱلۡجَنَّةَ يُرۡزَقُونَ فِيهَا بِغَيۡرِ حِسَابٖ

“Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tidak terhingga.” (QS.Ghafir:40)

(2) Allah swt memberikan rezeki yang sangat besar hingga tidak mungkin dihitung oleh manusia, karena apa yang bisa dihitung itu kecil di sisi Allah swt.

(3) Kekayaan Allah tidak akan pernah terkurangi dengan memberikan rezeki kepada hamba-Nya, karenanya Allah ridak membutuhkan perhitungan dalam memberi karunia kepada hamba-Nya.

(4) Pahala para penghuni Surga tidak sepadan dengan amal mereka, bila pahala itu diberikan sepadan berarti Allah memberikannya dengan perhitungan. Namun sekali lagi Al-Qur’an menekankan bahwa rezeki itu diberikan tanpa perhitungan.

Inilah beberapa makna yang dapat kita pahami dari ayat “Allah Memberikan Rezeki Tanpa Hisab”.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Hukum Shalat Berjamaah dengan Shaf Renggang

Dalam rangka mencegah penularan wabah, sebagian masjid yang mengadakan shalat berjama’ah mengatur shaf shalat agar berjauhan antara satu orang dengan lainnya. Semisal jarak satu orang dengan yang lain sejauh 1 meter atau sekitar itu. Bagaimana hukum mengerjakan shalat dengan cara demikian?

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini. Sebagian melarangnya dan sebagian membolehkannya. Kita simak fatwa mereka berikut ini.

Fatawa para ulama yang melarang

  1. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad

Soal:

Di sebagian Masjid orang-orang mengerjakan shalat dengan keadaan satu orang dengan yang lain terdapat celah sekitar satu atau dua meter. Mereka mengklaim hal tersebut dilakukan untuk mencegah penularan penyakit. Bagaimana hukum shalat dengan cara seperti itu?

Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah menjawab:

لا تصح الصلاة ويعتبرون أفراداً كما لو صلوا منفردين

“Shalat berjamaah dengan cara seperti itu, hukumnya tidak sah. Mereka dianggap seperti shalat secara sendiri-sendiri sebagaimana jika mereka melakukan shalat seorang diri”

(Hal ini ditanyakan kepada beliau pada kajian kitab al-Muwaththa’ hari Sabtu, 19 Rajab 1441 H / 14 Maret 2020)

  1. Fatwa Syaikh Ali Abu Haniyyah

Beliau mengatakan:

مما رأيته وسئلت عنه مرارا هذه الليلة صلاة التراويح هذه التي أداها بعض المصلين في ساحة مواقف سيارات في مدينة يافا المحتلة وعلى هذه الهيئة..

فأقول:

١. صلاة التراويح شعيرة ظاهرة تصلى في المساجد كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم وأحياها عمر الفاروق رضي الله عنه، وأما تعمد إحيائها في الساحات والمواقف بهذه الصورة مع التسليم بغلق المساجد فهذا خلاف المقصود.

٢. أرى البعض يحاول الفرار من البيوت وصلاة التراويح فيها جماعة بالأهل، والبحث عن جماعة هنا أو هناك ليندس فيها، ولا أرى ذلك إلا تقصيرا في حق اهل بيته من جهة، وعدم ارتباط كثير من المسلمين بالقرآن وحسن تلاوته من جهة أخرى. 

٣. هذه الصلاة العجيبة في هذا الزمن العجيب غير مشروعة من حيث اعتبارها صلاة جماعة وهيأتها هذه غير واردة في السنة بل وصفها إلى البدعة أقرب منه إلى السنة.

٤. ذهب بعض أهل العلم إلى أن هؤلاء المصلين يُعدّون فرادى لا جماعة لتباعدهم وعدم تراصهم ولا تسوية صفوفهم..

٥. مع قولنا بعدم المشروعية إلا أننا لا نستطيع القول ببطلان هذه الصلاة لوجود من يفتي من أهل العلم بجوازها ولكننا نقول: الصلاة في البيوت خير منها.

والله أعلم

نسأل الله أن يوفق جميع المسلمين لما يحب ويرضى..

 علي أبو هنية المقدسي

١ رمضان ١٤٤١هجري

أيام حصار كورونا

Terkait dengan apa yang aku lihat dan ditanyakan kepadaku berulang kali malam ini, tentang shalat tarawih yang dilaksanakan sebagian orang di lahan parkir sebagaimana yang diadakan di kota Jaffa dengan tata cara demikian, maka saya nyatakan:

  1. Shalat tarawih adalah syiar yang nyata yang dilaksanakan di masjid sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan dihidupkan kembali oleh Umar Al Faruq radhiallahu’anhu. Maka mengadakannya di tempat parkir dengan sengaja, karena ditutupnya masjid-masjid, ini bertentangan dengan tujuan awalnya.
  2. Saya melihat sebagian orang yang pergi dari rumahnya sehingga tidak melaksanakan shalat tarawih bersama keluarganya di rumah, lalu kemudian mencari-cari jama’ah shalat tarawih di sana-sini untuk diikuti. Pertama, yang saya lihat ini adalah sikap taqshir (lalai) terhadap hak keluarga di rumah. Kedua, ini cerminan sikap kurangnya menyibukkan diri dengan Al Qur’an dan membacanya dengan baik
  1. Tata cara shalat yang aneh seperti ini diwaktu yang ajib (yaitu masa krisis), tidaklah disyariatkan jika dipandang sebagai shalat berjama’ah. Dan tata cara seperti ini tidak terdapat dalam Sunnah. Bahkan mensifatnya sebagai kebid’ahan lebih dekat daripada sebagai Sunnah.
  2. Sebagian ulama memandang bahwa orang yang shalat dengan cara demikian, dianggap sebagai shalat sendirian bukan shalat berjama’ah, karena jama’ahnya saling berjauhan dan tidak merapatkan shaf serta tidak meluruskannya.
  3. Ketika saya menyatakan hal ini tidak disyariatkan, di sisi lain saya tidak mampu mengatakan bahwa shalat seperti ini tidak sah karena adanya sebagian ulama yang memfatwakan bolehnya shalat dengan cara seperti ini. Namun saya nyatakan, shalat di rumah lebih baik daripada shalat dengan cara seperti ini.

Semoga Allah ta’ala memberikan taufik untuk kaum Muslimin kepada perkara yang Allah cintai dan Allah ridhai

Ali Abu Haniyyah Al Maqdisi

1 Ramadhan 1441H

Di masa-masa isolasi corona

Sumber: https://web.facebook.com/aliabuhaniya/posts/2654307008174041

  1. Fatwa Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi

Beliau menjelaskan:

في مسألة صلاة الجماعة في المساجد-مُتباعدين- بسبب (وباء الكورونا)-:

نحن بين قولين اشتهرا-كطرفَي نقيض-:    ١-مَن توسّع في الجواز!  ٢-ومَن ضيّق بالبطلان!

وكلاهما فيه نظرٌ-عندي-!

ومنذ طُرحت هذه المسألة-ومِن اللحظة الأولى-توسّطتُ القولَ-ولله الحمد-: فأفتيتُ بصحّة الصلاة، مع مخالفة فعل التباعُد لواجب التراصّ، وضبط الصفوف.

وقد أفتى شيخُنا العلامةُ الجليل عبدالمحسن العباد البدر-حفظه الله ورعاه-في حكم الصلاة-مع هكذا تباعُد-:

أنها صلاة فُرادى.

…اللهمّ أذهِب عن هذه الأمّةِ الوباء والبلاء وكلَّ داء.

“Dalam masalah shalat jama’ah di masjid dengan shaf renggang karena sebab wabah corona, maka kami berada di antara dua pendapat yang masyhur: 1. orang-orang yang bermudah-mudah membolehkan, dan 2. yang mempersempit masalah ini hingga menyatakan batalnya shalat tersebut. Kedua pendapat ini tidak tepat menurut saya.

Sejak munculnya masalah ini pertama kalinya, maka saya bersikap pertengahan -walhamdulillah-. Saya berpendapat shalat yang demikian tetap sah, namun terdapat mukhalafah (kekeliruan) karena renggangnya shaf padahal merapatkan shaf itu wajib dan wajib pula merapikan shaf. 

Dan guru kami, Syaikh Al Allamah Abdul Muhsin Al Abbad, telah memfatwakan bahwa shalat yang demikian dianggap shalat sendirian.

Ya Allah, hilangkanlah bencana, wabah dan setiap penyakit dari umat ini…”

Sumber: https://t.me/alhalape/5648 

Fatawa para ulama yang membolehkan

  1. Fatwa Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili

Beliau mengatakan:

يسأل المسلمون في البلدان التي يسمح فيها بالصلاة في المساجد بشرط التباعد بين المصلين عن حكم الصلاة في تلك الحال، والجواب أن الأصل تراص الصفوف وعندالجمهور تكره الصلاة في الصف المتقطع والحاجة تسقط الكراهة،وهذه الجائحة حاجةشديدةفتجوز الصلاة مع التباعد بشرط أن يكون في الصف أكثرمن واحد

“Kami ditanya tentang kaum Muslimin di negeri-negeri yang masih membolehkan shalat di masjid (di masa wabah) dengan syarat shafnya renggang berjauhan, bagaimana hukum shalat dengan kondisi demikian? Jawaban kami, hukum asalnya shalat itu dengan merapatkan shaf. Menurut jumhur ulama, makruh hukumnya shalat yang terputus shafnya. Sedangkan adanya hajat menggugurkan kemakruhan. Dan adanya kebutuhan untuk itu di masa ini, sangat mendesak sekali. Maka boleh shalat dengan shaf renggang berjauhan dengan syarat dalam satu shaf ada lebih dari satu orang” 

Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1254473430956683270

  1. Fatwa Syaikh Sa’ad Asy Syatsri

Beliau mengatakan:

“Tidak diragukan, upaya pencegahan penyakit untuk menjaga nyawa dan menghentikan penyebaran penyakit merupakan perkara taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla. Namun demikian, merapatkan shaf adalah perkara yang disyariatkan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان 

“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Namun perintah merapatkan shaf ini tidak sampai wajib namun sifatnya mustahab (sunnah) menurut jumhur ulama. Oleh karena itu, kami memandang shaf yang renggang tidak berpengaruh pada keabsahan shalat. Lebih lagi ketika ada udzur yang membutuhkan adanya jarak.

Dan jumhur ulama dari kalangan ulama 4 madzhab menyatakan bahwa merapatkan shaf tidak wajib, mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

سوُّوا صفوفَكم فإنَّ تسويةَ الصَّفِّ مِن تمامِ الصَّلاةِ

“Luruskanlah shaf kalian karena lurusnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat” (HR.  Bukhari no.723, Muslim no.433)

Menunjukkan bahwa perkara meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya mustahab bukan termasuk rukun atau wajib shalat. Karena yang disebut تمامِ (penyempurna) dari sesuatu artinya itu adalah perkara tambahan dari asalnya. Demikian juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

وأَقِيمُوا الصَّفَّ في الصَّلَاةِ، فإنَّ إقَامَةَ الصَّفِّ مِن حُسْنِ الصَّلَاةِ

”Luruskanlah shaf dalam shalat, karena lurusnya shaf dalam shalat adalah bagian dari bagusnya shalat” (HR. Bukhari no. 722, Muslim no.435).

Menunjukkan bahwa merapikan shaf itu sunnah tidak wajib. Karena andaikan itu wajib maka tidak disebut “bagian dari bagusnya shalat”. Karena unsur bagus dari sesuatu berarti unsur tambahan dari sesuatu tersebut. 

Demikian juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Anas bin Malik:

ما أَنْكَرْتُ شيئًا إلَّا أنَّكُمْ لا تُقِيمُونَ الصُّفُوفَ

“Tidaklah ada yang aku ingkari dari kalian, kecuali satu hal yaitu kalian tidak meluruskan shaf” (HR. Bukhari no.724).

Namun Rasulullah tidak memerintahkan beliau untuk mengulang shalat. Ini menunjukkan bahwa merapatkan shaf bukan perkara wajib. Dan meninggalkannya tidak berpengaruh pada keabsahan shalat. Sebagaimana ini pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, ini juga pendapat imam 4 madzhab. Yang berpendapat wajib adalah Imam Ibnu Hazm Az Zhahiri yang ia menyelisihi para fuqaha. Oleh karena itu penerapan shaf renggang dalam shalat jama’ah tidak berpengaruh pada keabsahan shalat”.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=GZeU-qZDr4U

  1. Fatwa Syaikh Musthafa Al Adawi

Soal:

Apakah boleh shalat berjama’ah dengan shaf renggang karena ada wabah corona? Semisal antara setiap orang berjarak 1 meter?

Beliau menjawab:

 تجوز مع عندنا نصوصا لكن الضرورة تجوز المحظورة

“Hal ini dibolehkan walau ada nash-nash (yang memerintahkan untuk merapatkan), namun kondisi darurat membolehkan yang tidak dibolehkan”

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=ACQcdHERDRs

  1. Fatwa Syaikh Utsmain Al Khamis

Beliau mengatakan: 

“Jika pemerintah mengizinkan untuk mengadakan shalat Jum’at yang dihadiri sepuluh orang misalnya yang posisinya saling berjauhan. Dengan asumsi berpegang pada pendapat bahwa shalat Jum’at sah dengan minimal tiga orang atau dua orang, tidak sampai 40 orang. Maka kita katakan, silakan hadiri, dengan posisi saling berjauhan dan mengupayakan berbagai sarana pencegahan (penyebaran wabah). 

Perkaranya kembali kepada izin pemerintah. Jika pemerintah mengizinkan untuk mengadakan shalat jum’at dengan tata cara seperti ini maka ini tidak mengapa”.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=FT-pK7Yau3U

Sebab perbedaan pendapat

Jika kita mengamati dengan cermat penjelasan para ulama di atas, sebab adanya perbedaan pendapat mengenai masalah ini berputar pada dua perkara:

  1. Apakah merapatkan shaf itu wajib ataukah sunnah?
  2. Andaikan wajib, apakah adanya wabah menjadi udzur untuk menggugurkan perkara yang wajib?

Ulama yang membolehkan shalat dengan shaf renggang di masa wabah, mereka berpegang pada pendapat jumhur ulama bahwa merapatkan shaf tidaklah wajib. Sebagaimana ini dijelaskan dengan sangat terang oleh Syaikh Sa’ad Asy Syatsri dan Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili di atas. Atau, andaikan wajib maka kewajiban ini gugur dengan adanya udzur berupa kondisi wabah, sebagaimana zahir dari fatwa Syaikh Musthafa Al ‘Adawi. 

Sedangkan ulama yang melarang shalat dengan shaf renggang berpegang pada pendapat bahwa merapatkan shaf hukumnya wajib. Dan tidak ada udzur untuk mengugurkan kewajiban ini, mengingat terdapat dalil-dalil yang membolehkan untuk shalat di rumah ketika ada masyaqqah (kesulitan), sehingga shalat tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mengugurkan kewajiban shalat.

Hati kami lebih tenang pada pendapat yang pertama, yang melarang tata cara shalat dengan shaf renggang. Namun tetap berkeyakinan bahwa shalat seperti itu sah. Mengingat dalil-dalil yang zahirnya menunjukkan kewajiban merapatkan shaf. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

اقيمو صفوفكم وتراصوا, فانيِّ اراكم من وراء ظهري

“luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling menempel, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari no.719).

dalam riwayat lain, terdapat penjelasan dari perkataan dari Anas bin Malik,

كان أحدُنا يَلزَقُ مَنكِبَه بمَنكِبِ صاحبِه، وقدمَه بقدمِه

“Setiap orang dari kami (para sahabat), merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Al Bukhari no.725).

Dan wajib menempelkan kaki dengan kaki orang disebelahnya, serta pundak dengan pundak di sebelahnya. Inilah hakekat merapatkan shaf. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله

“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah. Dalam Shahih-nya, membuat judul bab:

بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ  وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ

“Bab menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki dalam shaf. An Nu’man bin Basyir berkata: aku melihat seorang di antara kami menempelkan pundaknya dengan pundak sahabatnya”.

Dan ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Dan juga mengingat ijma’ ulama tentang bolehnya meninggalkan shalat jama’ah ketika ada masyaqqah, dan shalat di rumah. Sehingga tidak perlu menggugurkan kewajiban merapatkan shaf. Dan juga mengingat tidak terdapat dalil kuat terhadap tata cara shalat dengan shaf renggang demikian dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam atau pun para salaf.

Namun ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang longgar, yang para ulama pun berlonggar-longgar menyikapinya. Sehingga kita pun hendaknya bersikap longgar sebagaimana longgarnya para ulama. Kita bertoleran kepada orang lain yang beda pendapat dalam masalah ini, dan tidak mengingkari praktek shalat dengan shaf renggang, karena dikuatkan oleh banyak fatawa para ulama Ahlussunnah.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56359-hukum-shalat-berjamaah-dengan-shaf-renggang.html

Puasa Tetap Wajib Saat Pandemi

Ada yang beragumen untuk meniadakan puasa Ramadhan agar sistem imunitas tubuh kita tetap terjaga.

Padahal, puasa justru akan meningkatkan kondisi tubuh seseorang semakin sehat. Sudah banyak penelitian yang memaparkan manfaat puasa bagi kesehatan tubuh. Secara keseluruhan, orang dapat dikatakan sehat ketika memiliki saluran pencernaan yang bersih. Berpuasa, jadi salah satu jalan mewujudkan kondisi tubuh yang fit. Dengan berpuasa, jalur pencernaan diberi kesempatan untuk beristirahat dan membersihkan diri selama tidak mengolah makanan yang masuk ke dalam tubuh kita.

Akan tetapi, orang bisa menuai manfaat puasa jika pola makannya pun baik. Artinya, mengonsumsi makanan yang sehat saat sahur maupun berbuka, serta memenuhi zat gizi yang diperlukan tubuh. Biasanya, sebagian orang justru mengabaikan sahur dan memilih mengonsumsi makanan seadanya. Nah, saat berbuka seluruh jenis makanan ia konsumsi sebagai ajang balas dendam karena seharian ia menahan haus dan lapar. Pola makan yang buruk seperti ini yang justru menyebabkan puasa seseorang tidak membawa manfaat bagi kesehatannya.

Agar sistem imun kita tetap kuat selama Ramadhan, perlu sekali kita perhatikan asupan gizi bagi tubuh, kita juga harus menjaga pola istirahat dan kebutuhan cairan selama berpuasa. Silakan taati anjuran ahli gizi yang informasinya bisa mudah ditemukan di internet. Hal yang paling penting dilakukan adalah meminta pertolongan kepada Allah agar menjaga diri kita, keluarga, dan lingkungan kita bebas dari penyakit.

Syarat wajib puasa

Yang jelas, puasa masih tetap wajib bagi:

  1. Seorang muslim.
  2. Baligh [1]
  3. Berakal [2]
  4. Suci dari haidh dan nifas.
  5. Mampu berpuasa.

Mengenai perihal mampu dalam berpuasa

Ada beberapa keadaan dalam hal ini:

Pertama: Jika ada yang tidak mampu berpuasa, ia tidak wajib berpuasa. Contohnya adalah orang tua renta yang tidak mampu dan ada kesulitan ketika berpuasa, termasuk juga orang yang sakit dan tak kunjung sembuh. Karena puasa itu wajib bagi yang mampu. Pengganti puasa untuk orang seperti ini adalah menunaikan fidyah.

Dalam ayat disebutkan,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).

Kedua: Jika seseorang tidak mampu berpuasa karena penyakit yang ia khawatirkan akan bertambah parah, namun penyakit ini masih bisa diharapkan sembuhnya, dalam kondisi ia tidak berpuasa dan ia harus mengqadha puasa yang tidak dilakukan ketika ia sudah sembuh. Hal ini berdasarkan firman Allah,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Cukup yang sakit merasa sulit berpuasa, ia boleh tidak berpuasa.

Ketiga: Jika pada pagi hari dalam keadaan berpuasa dan dalam keadaan sehat, kemudian ia sakit, ia boleh membatalkan puasa karena ia dibolehkan membatalkan dengan alasan darurat. Darurat pada saat ini ada, maka boleh membatalkan puasa.

Keempat: Ada juga keadaan orang yang jika berpuasa saat sakit, malah mendatangkan kematian, ia wajib tidak berpuasa dan kewajibannya adalah qadha’.

Dalam ayat disebutkan,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Catatan: Orang yang sakit ringan, tidak ada kesulitan untuk berpuasa, tidak boleh baginya membatalkan puasa.

Penjelasan di atas disarikan dari penjelasan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 1:167-171.

Keadaan orang sakit saat pandemi corona sama dengan perincian di atas, yakni:

  1. Jika sudah terkena virus corona dan dilarang puasa, bahkan jika puasa menyebabkan kematian, berarti tidak boleh puasa. Pengganti puasanya adalah qadha’ di hari lain.
  2. Jika paginya sehat, siangnya sakit, berarti boleh tidak berpuasa karena darurat. Pengganti puasanya adalah qadha’ di hari lain.
  3. Jika khawatir penyakitnya tambah parah, boleh tidak puasa dan sebagai gantinya adalah qadha’ bakda Ramadhan.
  4. Jika tidak mampu berpuasa sama sekali karena sudah tua renta atau penyakitnya tak kunjung sembuh, penggantinya adalah bayar fidyah.

Kesimpulannya, kita yang hanya diam di rumah saja dalam keadaan sehat dan kuat, tak ada yang menghalangi untuk berpuasa, maka tetap wajib puasa.

[1] Anak kecil tetap diajak berpuasa setelah berumur tujuh tahun jika ia mampu berpuasa untuk membiasakan dirinya. Kalau ia meninggalkan puasa pada usia sepuluh tahun, boleh dipukul. Hal ini dianalogikan dengan perkara shalat. Jika anak ini baligh dan ketika kecil pernah tidak puasa, tidak ada kewajiban qadha’. Karena masa kecil bukanlah masa seseorang dibebani syariat. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i karya Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily, 1:167-168.

[2] Yang keluar dari kewajiban puasa adalah orang gila, juga anak kecil yang belum tamyiz.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24125-puasa-tetap-wajib-saat-pandemi-corona.html