Sudahkah Anda Merasakan Kelezatan Ibadah?

MENGAPA para ulama dan salafus saleh di zaman dulu mampu melakukan amal ibadah yang membuat kita saat ini berdecak kagum? Salah satunya, karena mereka telah merasakan kenikmatan ibadah.

Di bawah ini beberapa hal yang berhubungan dengan kelezatan Ibadah.

1. Kelezatan ibadah adalah nikmat Allah dan sekaligus balasan amal ibadah di dunia.

Berkata Ibnu Taimiyah, ” Apabila kamu belum mendapatkan balasan amal berupa kenikmatan dlm hatimu, kelapangan dlm dadamu maka curigailah amalnya, maka sesungguhnya Allah Maha Syukur, yaitu Dia harus memberi balasan orang yang beramal atas amalnya di dunia berupa kenikmatan dalam hatinya. Juga kekuatan, lapang dada, dan kesenangan. Maka jika dia belum mendapatkannya, maka amalnya pasti rusak.”

Dalam Tahdzib Madarijus Salikin hal: 312, beliau juga berkata:

“Sesungguhnya di dunia ada jannah, barangsiapa yang belum memasukinya niscaya dia tidak akan memasuki jannah di akhirat.” Demikian pula dalam Al Wabil ash Shoyib Minal Kalim ath Thoyib, hal: 81

2. Sebab-sebab mendapatkan kelezatan ibadah

a. Mujahadatun nafs diatas ketaatan kepada Allah sehingga dia terbiasa taat, kadang kala jiwa maunya lari dari mulai menjalani mujahadah.

Berkata seorang salaf:

“Aku senantiasa menuntun jiwaku kepada Allah, sedangkan dia dalam keadaan menangis hingga aku selalu menuntunnya sedangkan dia keadaan tertawa.”

b. Jauh dari dosa, dosa kecil maupun besar. Maka sesungguhnya maksiat adalah penghalang yang mencegah dari merasakan kelezatan ibadah karena ia akan mewariskan kerasnya hati, kasar dan kebengisan.

Berkata seorang salaf:

“Tidaklah Allah menimpakan kepada hamba siksa yang lebih besar melainkan kerasnya hati.”

b. Meninggalkan berlebih-lebihan dalam makan, minum, ngobrol dan mengumbar pandangan.

Berkata seorang salaf:

“Kesenangan hati dalam sedikit dosa, kesenangan perut dalam sedikit makan, kesenangan lisan dengan sedikit bicara.”

c. Hendaklah hamba menghadirkan hati bahwa ibadah yang dilakukan dalam rangka taat untuk Allah dan hanya mencari ridaNya, dan bahwa ibadah ini dicintai Allah, diridai dan bisa mendekatkan dirinya kepadaNya.

d. Hendaklah hamba menghadirkan hati bahwa ibadah ini tidak sia-sia dan hilang begitu saja seperti harta. Dia sangat membutuhkannya, akan mendapatkan buahnya di dunia dan di akhirat. Maka barangsiapa yang menghadirkannya, dia tidak mempermasalahkan apa yang tidak didapat di dunia. Dia menyenangi ibadah dan mendapatkan kenikmatannya.

3. Perbaiki ibadah Anda segera. Hal itu bisa dilakukan dengan berusaha:

– agar kita salat dengan khusyu’

– agar kita baca Alquran dengan tadabur (memikirkan dan memahami)

– agar hati kita tidak lalai dalam zikir dan doa

– agar kita bisa menikmati jalan dakwah dan jihad. []

Sumber: Kiriman pengasuh Pondok Pesantren Al Ihsan, Desa Mojorejo, Kec Kebonsari, Madiun

INILAH MOZAIK

Menuntut Ilmu untuk Menghilangkan Kebodohan

Salah satu tujuan penting dalam menuntut ilmu adalah untuk menghilangkan kebodohan, baik kebodohan yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang  lain. Bahkan hal ini menunjukkan benarnya niat seseorang dalam menuntut ilmu.

Manusia Diciptakan Dalam Keadaan Bodoh 

Ketahuilah, manusia diciptakan dalam keadaan bodoh, tidak mengenal dan tidak tahu apa-apa. Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah memberi nasihat bahwa hendaknya niat dalam menuntut ilmu adalah untuk menghilangkan kebodohan yang ada pada diri sendiri maupun orang lain Hal ini karena pada asalnya manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh. Allah Ta’ala berfirman,

وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”  (An Nahl : 78)

Dalam ayat di atas, selanjutnya Allah menyebutkan tiga nikmat secara khusus yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati karena kemuliaan dan keutamaanya. Ketiga hal ini merupakan kunci bagi setiap ilmu. Seorang hamba tidak akan memeperoleh ilmu kecuali melalui salah satu pintu ini. (Lihat Taisiir Al Kariimi Ar Rahman Surat Luqman)

Kebodohan Adalah Penyakit 

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah mengatakan di dalam Nuniyyah-nya:

والجهل داء قاتل وشفاؤه

 أمران في التركيب متفقان

نص من القرآن أو من سنة

 وطبيب ذاك العالم الرباني

” Dan kebodohan itu adalah penyakit yang mematikan. Obatnya adalah dua perkara yang disepakati yaitu nash dari Al Quran atau dari As Sunnah. Dan dokternya adalah seorang alim yang rabbani.

Penyakit kebodohan hanya akan bisa sembuh dengan belajar menuntut ilmu. Ilmulah yang akan menghilangkan kebodohan sehingga seseorang akan berada di atas jalan yang benar dan dijauhkan dari jalan yang menyimpang. 

Menghilangkan Kebodohan Diri Sendiri dan Orang Lain

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelakan bahwa hendaknya penuntut ilmu meniatkan untuk menghilangkan kebodohan yang ada pada dirinya, sehingga bisa mendapatkan rasa khasyah kepada Allah :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء 

“ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama “ (Fathir:28) 

Para penunutut ilmu hendaknya berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dalam hati pribadinya. Jika seseorang belajar dan menjadi ahli ilmu maka hilanglah kebodohan dari dirinya. Demikian pula, hendaknya dia berniat untuk menghilangkan kebodohan yang ada pada umat ini dengan mengajarkan ilmu. Hendaknya dia menggunakan sarana apapun agar manusia dapat mengambil manfaat dari ilmunya.

Bukti Benarnya Niat Menuntut Ilmu 

Di antara niat yang benar dalam menuntut ilmu adalah untuk menghilangkan kebodohan. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan:

العِلْمُ لَا يَعْدِلُهُ شَيْءٌ لِمَنْ صَحَّتْ نِيَّتُهُ

“ Ilmu itu tidak dapat ditandingi oleh amal apa pun bagi orang yangbenar niatnya.

Ada yang bertanya, “Bagaimana niat yang benar itu?”

Beliau menjawab:

يَنْوِي رَفْعَ الْجَهْلِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ غَيْرِهِ

Seorang meniatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.

Ketika mengomentari ucapan Imam Ahmad diatas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Karena mereka itu pada dasarnya bodoh sebagaimana dirimu yang juga bodoh. Jika Engkau belajar dengan tujuan menghilangkan kebodohan dari umat ini maka Engkau termasuk ke dalam golongan orang yang senantiasa berjihad di jalan Allahdalam rangka menyebarkan agama-Nya.” 

Semoga Allah menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan menghilangkan kebodohan yang ada pada setiap diri kita. 

Penyusun : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55902-menuntut-ilmu-untuk-menghilangkan-kebodohan.html

Kemenag Diminta Putuskan Soal Haji Pertengahan Ramadhan

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzilly meminta Kementerian Agama segera mengeluarkan putusan soal haji. Kemenag diimbau mengeluarkan keputusan itu sebelum pertengahan Ramadhan yang akan jatuh pada pertengahan Mei mendatang. 

“Saya menyampaikan kepada Kementerian Agama agar setidaknya pertengahan Ramadhan ini harus segera diputuskan tentang penyelenggaraan haji bagi Indonesia,” kata Ace saat dihubungi Republika, Jumat (17/4).

Menurut dia, Kementerian Agama harus memiliki tenggat waktu yang jelas untuk memutuskan apakah akan memberangkatkan jamaah haji tahun 2020 ini. Langkah ini penting agar pemerintah juga memiliki persiapan yang cukup untuk memastikan kesiapan jamaah haji untuk menunaikan ibadah haji.

“Yang harus kita utamakan juga keselamatan dan kesehatan calon jamaah haji kita, baik selama berada di Indonesia, maupun adanya jaminan jamaah haji Indonesia tidak tertular Covid 19 selama berada di Tanah Suci,” kata Ace. 

Sejauh ini,  Kementerian Agama telah membuat tiga skenario penyelenggaraan Ibadah haji tahun ini. Skenario pertama dengan penyelenggaraan yang normal. Jika itu terjadi, maka Ace mengatakan, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan. 

Pertama, harus dipastikan bahwa para Calon Jemaah Haji kita tidak ada yang positif Covid 19. Kedua, harus ada jaminan calon jemaah haji Indonesia tidak tertular Covid 19 selama di Arab Saudi. 

Untuk itu, perlu ada persiapan khusus dan tersedia waktu khusus bagi calon jemaah haji jika misalnya penyelenggaraan haji tetap akan berjalan tahun ini. Waktu khusus ini, menurut Ace untuk memastikan agar calon jemaah haji bebas dari Covid 19. 

“Dan ini memerlukan anggaran tersendiri untuk pengecekan kesehatan dan tes Covid 19 untuk calon jemaah haji kita,” ujar Politikus Golkar ini. 

Skenario kedua dengan memberangkatkan setengah dari kuota jemaah haji dengan asumsi menjaga physical distancing dalam pelaksanaan haji. Pengaturan ini dari mulai keberangkatan di tanah air, pengaturan duduk di pesawat, pelaksanaan manasik haji dari mulai tawaf, sa’i, mabit di Arafah, Muzdalifah dan Mina. 

Namun Ace mempertanyakan opsi kedua tersebut. “Apakah mungkin dilakukan dengan physical distancing?” ujarnya. 

Skenario ketiga penyelenggaraan haji dibatalkan tahun ini. Soal pembatalanpun menurut Ace, harus dipersiapkan penjelasan sosialisasinya ke masyarakat tentang kondisi darurat syari’ ketidakmungkinan penyelenggaraan ibadah haji di tengah Covid 19 ini.

Prinsipnya, tambah Ace, keselamatan dan kesehatan calon Jemaah Haji Indonesia itu yang utama. Pemerintah harus memikirkan matang-matang. 

“Bukan hanya menunggu kepastian dari pihak Arab Saudi juga, tapi kesiapan kita sendiri menjaga keselamatan Calon jemaah haji kita,” ujar dia menegaskan.

IHRAM

Kunci Sehat Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW hanya dua kali sakit sepanjang hayatnya.

Salah satu karunia Allah SWT yang sering diabaikan dan dilalaikan oleh manusia dalam kehidupan ini adalah nikmat kesehatan. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW: “Ada dua nikmat yang sering kali dilalaikan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan kesempatan.”

Padahal, kesehatan merupakan mahkota yang tidak dapat dirasakan kecuali bagi mereka yang sakit. Dr Husain Haikal dalam kitabnya, Hayatu Muhammad, menjelaskan, Nabi Muhammad SAW selama hayatnya, yaitu 63 tahun, hanya dua kali mengalami sakit, yakni ketika beliau kembali dari ziarah makam pahlawan di Baqi’ dan ketika susah tidur dan demam panas beberapa hari sebelum wafatnya. Lalu, timbul pertanyaan, mengapa Nabi Muhammad selalu sehat? Pertama, beliau senantiasa bangun subuh.

Sepanjang catatan sejarah hidupnya selama 23 tahun beliau menjadi Nabi, hanya satu kali beliau tidak bangun waktu subuh. Hal itu disebabkan mungkin beliau terlalu letih dalam perjalanan dakwahnya dan tidur sesudah larut malam. Nabi Muhammad SAW senantiasa bangun waktu “subuh”. Waktu subuh tentu tidak sama dengan waktu “pagi”.

Waktu pagi adalah waktu setelah matahari terbit, kira-kira pukul 07.00. Sementara itu, waktu subuh adalah setelah fajar menyingsing dan sebelum matahari terbit, sebagaimana disebutkan Alquran surat Takwir ayat 18. Artinya: “Demi waktu subuh di kala fajar merekah.”

Sumpah Allah dengan waktu itu untuk menarik perhatian manusia, khususnya manusia yang beriman kepada-Nya, akan pentingnya waktu itu bagi kesehatan fisik dan mental. Udara subuh memang sangat segar dan banyak mengandung zat asam yang diperlukan sekali untuk pernapasan manusia.

Tidak heran orang-orang yang suka bangun subuh dan selalu menghirup udara subuh sukar dihinggapi penyakit paru-paru. Pernapasannya teratur dan paru-parunya menjadi kuat. Bangun subuh tidak saja besar artinya bagi kesehatan jasmani, tetapi juga bagi kesehatan rohani kita.

Faktor kedua, beliau selalu menjaga kebersihan. Sejak kecil Rasulullah menyukai kebersihan meskipun negerinya kekurangan air. Ketika diangkat menjadi rasul, makin besar perhatiannya pada kebersihan. Beliau bersabda: “Kebersihan itu adalah sebagian daripada iman.” Maka, siapa yang tidak suka menjaga kebersihan, ternodalah sebagian imannya.

Adapun faktor ketiga yang menyebabkan Rasulullah SAW senantiasa sehat adalah beliau selalu makan secukupnya. Rasulullah SAW bersabda: “Kami adalah kaum yang tak pernah makan sebelum lapar, dan bila kami makan tidak pernah sampai kenyang.” Makan memang merupakan salah satu syarat untuk hidup. Bila kita tidak makan pada waktunya, zat-zat pembakar dalam tubuh kekurangan bahan bakar yang mengakibatkan pembakaran tidak terjadi. Bila pembakaran tidak terjadi, panas badan berkurang dan darah tidak bisa teratur lagi.

Maka, makan diperlukan untuk hidup. Namun, manusia hidup bukan untuk makan. Manusia yang hidup hanya untuk makan merosot nilainya menjadi hewan. Sungguh tepat apa yang dikatakan oleh salah seorang sahabat Rasulullah SAW sekaligus menantu beliau, yakni ‘Ali bin Abi Thalib: “Orang yang hidup hanya untuk mengisi perutnya nilainya sama dengan apa yang keluar dari perutnya.”

Faktor terakhir karena beliau banyak berjalan kaki. Dalam berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, Rasulullah senantiasa berjalan kaki karena saat itu belum ada kendaraan seperti sekarang ini. Para ahli kesehatan menyatakan bahwa berjalan kaki adalah suatu cara gerak badan yang sangat penting dan menyehatkan. Dengan jalan kaki, pernapasan lebih teratur, urat-urat akan selalu tergerakkan, paru-paru akan menjadi kuat, dan darah menjadi bersih.sumber : Harian Republik

Oleh: Hasanuddin QH

KHAZANAH REPUBLIKA

Mualaf Rasheed: Saya Yakin Allah SWT yang Berikan Hidayah

Mualaf Rasheed meyakini Allah SWT menurunkan hidayah.

RETumbuh menjadi dewasa dalam tradisi agama tertentu ternyata membuat seseorang tak merasakan kepuasan batin. Makin lama dia menyelami ajaran agamanya, makin dalam dia menemukan kehampaan hati.

Hal itu dialami Rasheed asal Florida Amerika Serikat. Sejak kecil dia sudah diarahkan untuk taat menjalani keyakinan orang tua yang setiap akhir pekan selalu memanfaatkan waktu untuk beribadah. Dia pun diarahkan untuk mendalami pesan-pesan dalam kitab yang menjadi pedomannya.

Rasheed diharapkan dapat menjadi insan yang memahami dan menjalankan tradisi agama dari orang tuanya. Apa yang sudah diajarkan dan dijalani ayah dan ibunya harus Rasheed jalani dalam kehidupan sehari-hari.

Meski diarahkan untuk menjalani keyakinan tersebut, Rasheed ternyata menyempatkan diri untuk mempelajari agama lain. Dia tertarik dengan tradisi timur, seperti Buddhisme, Taoisme, dan Hinduisme.

Tentang Islam? Dia belum tertarik. Mungkin karena pengaruh pemberitaan sejumlah media massa di tempatnya yang kerap memberitakan Islam secara negatif. Ditambah lagi dengan analisis sejumlah tokoh dan intelektual yang kerap mendiskreditkan Islam.

Apakah Rasheed ikut menjelekkan Islam? Tidak. Daripada menghabiskan energi untuk mengikuti apa yang mereka lakukan, lebih baik melaksanakan hal lain yang positif. Alhasil, dia tidak mengkaji Islam. Dia biarkan orang lain mendalami risalah Ilahi itu.

Insiden 11 September yang merobohkan World Trade Center (WTC) Amerika Serikat menjadi perhatian berbagai kalangan. Masyarakat umum pun selalu membicarakan kejadian tersebut sambil mengaitkannya dengan Islam. Namun, lagi-lagi Rasheed belum tertarik untuk memeluk Islam.

Suatu ketika teman dekatnya sejak sekolah membuat keputusan penting. Dia memutuskan untuk meninggalkan agama yang selama ini dianutnya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, tanda seseorang telah memeluk Islam.

Rasheed bertanya-tanya, ada apa gerangan? Bagaimana bisa memeluk suatu keyakinan yang kerap menjadi sorotan negatif banyak orang. Islam terus mendapatkan nilai buruk dari masyarakat setempat karena selalu dikaitkan dengan terorisme dan radikalisme yang menghantui masyarakat Barat.

Kejadian ini membuatnya menghabiskan banyak waktu untuk mendalami Islam. Ajaran apa itu? Siapa yang membawanya? Bagaimana sejarahnya bisa berkembang? Apa dampaknya bagi peradaban lain?

Rasheed mulai mencari jawaban semua pertanyaan itu secara perlahan. Pencarian ini tidak murni untuk mengkaji Islam, tetapi lebih untuk sebuah ambisi untuk mengembalikan teman akrabnya kepada keyakinan sebelumnya.

Ketika mendalami Islam, dia membuat kajian dan tulisan. Rasheed selalu berdiskusi dengan temannya. Perdebatan muncul di antara keduanya, terutama masalah doktrin-doktrin agama. Kemudian, dia terus berdiskusi mengenai Islam dan makin mendalami ajaran tersebut. Perlahan tetapi pasti, benih cinta kepada Islam mulai tumbuh.

Rasheed mulai mengagumi konsep tauhid yang menyuarakan keesaan Tuhan yang menjadi rujukan seluruh makhluk hidup di berbagai zaman. Bagaimana mungkin Allah memiliki keturunan? Bukankah Dia Mahasempurna sehingga tak satu pun makhluk di alam ini yang menyerupainya.

Sebelumnya dia meyakini Tuhan seperti ajaran agama sebelumnya. Namun, sebenarnya dia tak benar-benar memahami konsep ketuhanan dalam ajaran yang diyakininya. Lalu, bagaimana mungkin seseorang memercayai sesuatu tetapi tidak dapat mengerti tentang hal itu.

Allah telah menurunkan para rasul dan nabi untuk membawa manusia kepada tauhid. Namun, apa yang terjadi? Banyak dari mereka yang justru mengingkari ajakan itu. Bahkan, mereka tidak segan-segan memerangi para nabi dan rasul, seperti yang dilakukan Fir’aun terhadap Nabi Musa AS. Proses diskusi panjang inilah yang membawanya justru memeluk Islam.

Dia akhirnya menyadari bahwa tak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat dibacanya pada 2004. “Ya, saya tidak mencari kebenaran seperti yang dilakukan beberapa orang. Namun, saya rasa Allah-lah yang menuntun saya. Alhamdulillah,” tutur dia dalam sebuah wawancara.

Jujur, setelah memeluk Islam hidupnya belum banyak berubah karena dia dibesarkan dengan kebiasaan yang baik. Gaya hidupnya pun tidak banyak berubah. Namun, di dalam Islam dalam satu hari ada banyak ibadah yang dilakukan seperti sholat lima waktu. Dia juga berhenti makan daging babi.  

Sebelum memeluk Islam, dia tidak pernah menjadi pecandu alkohol sehingga gaya hidup peminum memang tidak pernah dilakukannya. Ajaran ini adalah cara hidup yang sempurna.

“Islam satu-satunya cara hidup yang harus diikuti orang. Ini adalah cara hidup yang lengkap yang tidak akan Anda temukan dalam agama lain,” kata dia sebagaimana dikutip dari Youtube.  

Risalah Ilahi ini merupakan yang paling logis dan tidak ditemukan pada agama lain. Islam adalah agama yang masuk akal. Di dalamnya terdapat pedoman hidup yang diperintahkan dan diatur oleh Allah SWT dengan sempurna.  

Bagi mereka yang baru mengenal Islam, Rasheed menyarankan agar yakinlah pada Tuhan dan jangan khawatir. Jika memiliki teman Muslim, mereka dapat mengajari tentang Islam dan selalu bersedia untuk berdiskusi. “Jangan malu untuk meminta diajak ke masjid dan berbicara dengan imam masjid,” kata dia.  

Jika seseorang memutuskan mengambil jalan Islam, selamatlah dia. Islam memiliki doa dan petunjuk agar sukses dalam kehidupan ini maupun akhirat. Rasheed menyarankan beberapa hal bagi mualaf maupun mereka yang baru mempelajari Islam.

Pertama, setiap orang harus mewaspadai informasi apa pun yang didapatkan terkait Islam. Jangan terburu-buru bergabung dengan sekte atau aliran tertentu berslogan dan terkait dengannya. 

Kedua, pelajari informasi yang didapatkan. Tidak perlu terlalu terburu-buru karena informasi pertama biasanya baru permulaan jalan kebenaran yang akan dilalui. Ketika baru mulai, tidak bisa seseorang mencapai kebenaran tertinggi dalam waktu cepat.

Ketiga, maksimalkan waktu dan terus sucikan niat untuk mencari kebenaran. Lakukan segala sesuatu hanya demi Allah, terutama dalam beribadah. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Puasa Ramadhan di Tengah Pandemi Corona Momentum Muhasabah

Puasa Ramadhan punya arti penting bagi umat Islam.

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin Junaidi menyatakan, berpuasa di tengah pandemi wabah corona atau Covid-19 seharusnya dijadikan sebagai momentum terbaik untuk mengoreksi atau muhasabah diri. Wabah virus dan kemunculan banyak penyakit harus dimaknai secara positif bahwa Allah sedang menguji dan menegur makhluk-Nya.

“Puasa punya arti penting bagi umat Islam (yaitu) untuk meningkatkan antibodi. Tak sedikit penyakit yang bisa diobati dengan puasa.Terutama penyakit hati dan perilaku tak terpuji yang sangat distruktif bagi imunitas tubuh manusia dan ketahanan mental spiritual,” tutur dia, Kamis (16/4).

Muhyiddin melanjutkan, sejarah juga mencatat bahwa bulan Ramadhan adalah bulan kemenangan umat Islam dalam melawan musuh, kezaliman, kesewenang-wenangan dan kesombongan umat manusia. Perang Badar, di mana umat Islam meraih kemenangan besar atas kaum musyrik terjadi di bulan Ramadhan. “Indonesia juga diproklamirkan kemerdekaannya di bulan Ramadhan,” ungkap dia.

Karena itu, menurut Muhyiddin, sangat naif untuk menjustifikasi atau mendukung permintaan seorang atau kelompok agar umat Islam tidak berpuasa dan cukup membayar fidyah sebagai kompensasinya. Padahal saat umat Islam dan umat manusia sedang mengalami cobaan berat wabah covid-19, puasa justru sangat dianjurkan sebagai sarana ditoksifikasi tubuh dari segala macam kotoran dalam tubuh.

“Dengan demikian, tubuh manusia akan terbebas dari semua disease, virus, bakteri dan penyakit, karena Allah telah melengkapi tubuh dengan antibodi yang kuat. MUI adalah pelayan umat Islam dan bangsa Indonesia, MUI juga mitra loyalis kritis pemerintah, bukan perpanjangan tangan pemerintah, apalagi rubber-stamp penguasa,” tuturnya.

Muhyiddin menjelaskan, permintaan larangan berpuasa di bulan Ramadhan tidak hanya terjadi sekarang. Beberapa tokoh dan pemimpin sempat melakukannya. Bapak negara Tunisia Habib Bourguiba, yang dikenal sangat nasionalis-sekuler kedua setelah Kamal Attaturk di Turki, pernah mengeluarkan kebijakan kontroversial tersebut.

“Alasannya bahwa puasa mengurangi tingkat produktivitas rakyat. Ternyata kebijakan tersebut tak terbukti dan salah sasaran. Negara tersebut tetap tak maju dan juga tak lebih modern dari negara tetangganya di Afrika utara,” ujarnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bahaya Hawa Nafsu: Ini Kiat Mengendalikannya

SECARA common sense (akal sehat) kita tahu bahayanya seseorang mengikuti hawa nafsu. Bahkan pada tingkatan tertentu seseorang akan bisa terjatuh ke dalam syirik akbar karena ia memperbudakkan dirinya kepada hawa nafsu dan menyembahnya.

Nah, bagaimana cara mudah agar selamat dari penyembahan hawa nafsu tersebut? Ustaz Said Abu Ukasyah memberikan dua kiat berikut semoga bisa membantu Anda.

Kiat umum mengendalikan nafsu

1. Konsultasikan kepada dua “Dewan Pertimbangan Jiwa”, yaitu Agama Islam dan Akal Sehat sebelum melangkah

Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah berkata, “Tatkala seorang yang sudah baligh diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti binatang (yang tidak diuji dengannya), dan setiap waktu ia menghadapi gejolak hawa nafsu, maka dianugerahkan kepadanya dua penentu keputusan, yaitu agama Islam dan akal sehat. Ia pun selalu diperintahkan untuk mengkonsultasikan gejolak hawa nafsu yang dihadapi kepada dua penentu keputusan tersebut dan tunduk kepada keduanya”.

Maksudnya, ulama sudah menjelaskan bahwa setiap kali seseorang menghadapi suatu masalah, sebelum mengambil langkah, ia tertuntut untuk muhasabah (introspeksi) diri, agar bisa memutuskan langkah yang tepat, yaitu langkah yang diridhai oleh Allah Taala.

Untuk bisa memutuskan langkah yang tepat, maka haruslah dikonsultasikan terlebih dahulu kepada penentu keputusan yang asasi, yaitu syariat Islam, ia harus menimbang keputusan yang akan diambilnya dengan tinjauan syariat Islam, dan ia gunakan akal sehatnya agar bisa memahami syariat Islam dengan baik, mengokohkan keimanannya, dan membantunya dalam mempertimbangkan maslahat dan mudharat yang ada.

Jika sebuah alternatif keputusan sesuai dengan syariat Islam dan akal sehatnya, maka diambillah keputusan tersebut, namun jika tidak, maka ditinggalkannya. Dan ketahuilah bahwa agama Islam pastilah selaras dengan akal sehat (yaitu akal yang lurus dan sesuai dengan fitrah), keduanya tidaklah mungkin bertentangan.

Orang yang tidak sudi menghambakan hatinya kepada hawa nafsu adalah orang yang selalu menimbang suatu masalah dengan tinjauan syariat dan akal sehat. Dengan keduanya ia kendalikan hawa nafsunya

2. Anda galau? Jauhilah apa yang paling disukai hawa nafsu Anda

Sebagian Salafus Saleh berkata,

“Jika Anda bimbang menghadapi dua alternatif pilihan keputusan, Anda tidak tahu mana yang paling bahaya, maka tinggalkanlah sesuatu yang paling dekat/disukai hawa nafsumu, karena sikap yang terdekat dengan kesalahan itu ada pada mengikuti hawa nafsu”.

Tidak jarang dikarenakan minimnya ilmu syari yang dimiliki seseorang dan kelemahan akal sehatnya, maka di dalam memutuskan suatu perkara, ia menemui kesulitan.

Ia bingung ketika menghadapi dua alternatif pilihan keputusan, mana yang harus diambil, padahal, ia harus mengambil keputusan sekarang juga, tidak ada satupun orang alim yang bisa dihubungi ketika itu. Maka sebagian salaf sudah memberikan resep mudah kepada kita, yaitu tinggalkanlah sesuatu yang paling dekat dengan hawa nafsumu atau paling disukai hawa nafsumu! Dan pilihlah sebuah keputusan yang terjauh dari hawa nafsumu.

Mengapa demikian? Rahasianya terdapat dalam ucapan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah berikut ini, “Ketika sikap yang sering terjadi pada orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan amarah adalah tidak bisa berhenti sampai pada batas mengambil manfaat saja (darinya), karena itulah (banyak) disebutkan nafsu, syahwat, dan amarah dalam konteks yang tercela, karena dominannya bahaya yang ditimbulkannya (dan) jarang orang yang mampu bersikap tengah-tengah dalam hal itu (mengatur nafsu, syahwat, dan amarahnya- pent)”. Wallahu alam. []

Sumber: Asbabut Takhallaush minal hawa karangan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah

INILAH MOZAIK

Orang yang Mendapat Keringanan Fidyah dan Cara Membayarnya

RAMADHAN sebentar lagi akan tiba. Umat muslim di seluruh dunia diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Namun di antara mereka ada yang diberi keringanan sehingga tidak harus berpuasa. Lalu siapa sajakah orang yang boleh mengganti puasa dengan membayar fidyah?

Para ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat bahwa fidyah dalam puasa dikenakan pada orang yang tidak mampu menunaikan qodho’ puasa. Hal ini berlaku pada orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang sakit yang sakitnya tidak kunjung sembuh. Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”. (HR. Bukhari no. 4505). 

Inti pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan satu orang miskin. Namun cara atau model pembayaran fidyah dapat diterapkan dengan dua cara:

1. Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa).

2. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.

Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” []

SUMBER: RUMAYSHO

ISLAMPOS



Puasa ‘kan Membawamu Menuju Takwa

SAAT itu, dini hari, seorang gadis terlibat pembicaraan serius dengan ibunya, ia menolak dengan santun saat sang ibu menyuruhnya mencampur susu dengan air, “Tidak Bu, Amirul Mukminin melarang keras penjual susu mencampur susu dengan air.” Katanya.

Tidak akan ada yang tahu kita mencampur susu dengan air, Nak! Umar pun tidak akan tahu perbuatan kita!” Sela ibunya.

“Bu, meskipun tak ada seorang pun yang melihat perbuatan kita, tapi Allah selalu melihat apa yang kita lakukan, tak ada yang tersembunyi bagi-Nya, sekecil apapun!”

Tanpa keduanya sadari, di luar bilik, ternyata Amirul Mukminin Umar bin Khaththab yang sedang berpatroli melihat kehidupan warganya secara dekat, mendengar pembicaraan mereka, tersenyum beliau, kagum akan kejujuran gadis itu.

Keesokan paginya, Umar memanggil Ashim, putranya. Diceritakannyalah tentang gadis penjual susu itu, dan menawarkan Ashim untuk menikahinya. Ashim pun menyetujuinya.

Singkat kata, dari pernikahan gadis penjual susu dan Ashim bin Umar, lahirlah Laila, yang lebih dikenal dengan sebutan “Ummu Ashim.” Setelah dewasa, Ummu Ashim dilamar oleh Khalifah Abdul Aziz bin Marwan, dan darinyalah lahir seorang anak laki-laki. Yang kelak menjadi pemimpin besar bangsa Arab, khalifah kesohor sepanjang masa, yaitu Umar bin Abdul Aziz.

Di belahan bumi Allah lainnya, ada seorang tukang kebun anggur, Mubarok namanya. Suatu hari, majikannya yang bernama Nuh bin Maryam, seorang pemimpin negara datang berkunjung, sambil beristirahat dan menenangkan pikiran, ia ingin mencicipi buah anggur di kebunnya, dipanggilnyalah Mubarok untuk mengambilkannya.

Mubarok pun membawakannya setangkai anggur yang ranum, namun ketika mencicipi anggur tersebut, ia merasa kecut, dan meminta Mubarok mengambilkannya anggur dari pohon yang lain. Namun untuk kedua kalinya, ia merasakan anggur yang diberikan Mubarok masih juga terasa kecut, namun ia masih menahan amarahnya, dimintanya Mubarok mengambilkannya anggur lagi, namun apa yang terjadi? Anggur yang diberikan Mubarok masih juga terasa kecut.

Dengan terheran-heran, bertanyalah ia pada Mubarok, “Mubarok, sudah cukup lama kamu bekerja di sini, mengapa kamu tidak bisa membedakan mana anggur yang manis dan yang kecut? Padahal di kebun ini banyak sekali buah anggur, tidak adakah anggur yang manis yang bisa kamu berikan padaku?”

Dengan perasaan bersalah berkatalah Mubarok, “Maapkan saya Tuan, saya sungguh tidak tahu mana anggur yang manis dan mana anggur yang kecut karena saya tidak pernah mencicipinya.”

Mendengar perkataan tukang kebunnya, kagetlah Nuh bin Maryam, “Kamu tidak pernah mencicipi anggur di kebun ini?”

“Iya Tuan, bukankah tuan menugaskan saya untuk menjaga kebun anggur dan merawatnya? Saya berusaha untuk selalu jujur dan amanah. Saya tidak ingin mengkhianati kepercayaan yang tuan berikan. Tidak ada sesuatu pun yang bisa disembunyikan dari Allah baik di langit maupun di bumi.”

Nuh bin Maryam terkesima melihat sosok pemuda yang ada di hadapannya, walaupun berkulit hitam dan hanya berprofesi sebagai tukang kebun, tapi Mubarok memiliki ilmu agama yang mendalam. Inikah jawaban Allah atas persoalan yang tengah dihadapinya?

Ia sedang mencari pemuda yang tepat untuk dinikahkan dengan anak gadisnya yang cantik jelita. Telah banyak pembesar dan hartawan yang ingin melamar putrinya, tapi tak ada satu pun yang berkenan di hatinya dan putrinya, hingga sang putri menyerahkan sepenuhnya jodohnya pada dirinya.

Nuh bin Maryam akhirnya menceritakan pada Mubarok permasalahan yang sedang dihadapinya, beliau mengakhiri ceritanya dengan bertanya pada Mubarok, “Menurutmu siapakah yang pantas menjadi pendamping putriku?”

Mubarok menjawab, “Wahai Tuanku, orang-orang pada zaman jahiliyah menginginkan keturunan, nasab dan harta. Sementara orang Yahudi dan Nasrani menginginkan keindahan dan kecantikan. Sedangkan pada zaman Rasulullah Saw, orang-orang menginginkan agama dan ketakwaan. Sementara itu, orang-orang pada zaman kita menginginkan harta dan kedudukan. Pilihlah untuk tuan sesuai dengan yang diinginkan.”

Mendengar jawaban Mubarok hatinya semakin terpikat, “Tentulah aku memilih agama dan ketakwaan, dan itu semua ada padamu.”

Setelah meminta persetujuan anak gadisnya dan istrinya, dengan menceritakan sosok tukang kebun, anaknya setuju untuk dinikahkan dengan Mubarok, walau semula Mubarok merasa tidak layak untuk disandingkan dengan putri tuannya. Namun bukankah tinggi rendahnya derajad seseorang dinilai Allah dari ketakwaan?

Akhirnya mereka pun menikah, pernikahan mereka bahagia, dari pernikahan ini lahirlah Abdullah bin Mubarok, seorang ulama, ahli hadits, dan mujahid.

Dari kedua kisah di atas, dapatkah kita ambil benang merahnya? Sosok gadis penjual susu yang jujur dan tukang kebun yang amanah, dilihat dari kacamata dunia, mereka adalah dua orang yang biasa saja karena profesi atau status social yang dimilikinya, namun sangat luar biasa dan mulia di hadapan Allah Swt karena ketakwaannya. Hingga Allah ukir mereka dengan kisah yang menyejarah.

Mereka sangat menjaga dirinya dari perbuatan dosa sekecil apapun karena sadar akan pengawasan Allah yang Maha Melihat setiap apa yang mereka kerjakan. Di dalam hati keduanya terhimpun menjadi satu, rasa cinta, harap dan takut pada Allah hingga menjadikan mereka senantiasa hati-hati dalam menjalani hidup ini, hidup yang mereka persembahkan hanya untuk mengabdi kepada Allah, dengan menjadi hamba-Nya yang bertakwa, hamba yang besar, berkualitas, dan tinggi derajadnya di sisi Allah.

Bagaimana dengan kita?

Betapa Allah Mencintai kita dengan mewajibkan berpuasa di bulan Ramadhan, agar kita pun menjadi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Hanya puasa yang dikatakan Allah ibadah kita untuk-Nya, sebagai penghargaan Allah pada kita, dengan memberikan 2 kegembiraan sekaligus; kegembiraan saat berbuka, dan bertemu dengan-Nya.

Dengan Puasa, Allah ingin kita belajar jujur pada diri sendiri, menahan dahaga dan lapar, serta segala perkara yang membatalkan, sejak terbit fajar sampai terbenam Matahari. Mendorong kita untuk gemar melakukan ibadah dengan melipat gandakan pahala kita.

Ya, semakin terasalah nikmatnya puasa ini, karena puasa ‘kan membawa kita menuju takwa; yang Allah ‘kan slalu berikan jalan keluar atas setiap persoalan, yang ‘kan Allah berikan rezeki dari arah yang tak pernah diduga, yang ‘kan Allah cukupkan keperluannya, yang ‘kan Allah mudahkan setiap urusannya, yang ‘kan Allah hapuskan segala kesalahan dan melipat gandakan pahalanya, serta yang ‘kan Allah muliakan kedudukannya. Tersebab cinta-Nya pada orang-orang yang bertakwa. []

Oleh: Ratna Dewi Idrus,
Penulis buku dan Ibu Rumah Tangga Tinggal di Banjarmasin

ISLAMPOS




Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 1)

Tauhid adalah penangkal rasa takut dan pangkal solusi segala masalah

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ 

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman (tauhid) mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)

Tafsir bahwa keimanan adalah tauhid dan kezhaliman adalah syirik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan kezhaliman dalam ayat ini dengan kesyirikan. Padahal para sahabat awalnya memahami kezhaliman di sini umum mencakup seluruh bentuk kezhaliman, baik syirik maupun kezhaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka bertanya,

“Siapakah di antara kami yang tidak menzhalimi diri sendiri?”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pemahaman mereka terhadap ayat ini dengan bersabda,

لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِرْكُ ألَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظهُ {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ}

“Bukanlah itu maksud kezhaliman di sini. Sesungguhnya maksud kezhaliman di sini hanyalah kesyirikan. Tidakkah kalian mendengar tentang ucapan Luqman kepada putranya, dan (ketika itu) beliau sedang menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah Engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezhaliman yang terbesar”.” (HR. Bukhari(

Jika kezhaliman di ayat ini adalah kesyirikan, maka pantaslah jika keimanan yang dimaksud di ayat ini pun adalah tauhid. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata,

{آمنوا}:صدقوا بقلوبهم ونطقوا بألسنتهم وعملوا بجوارحهم ورأس ذلك التوحيد. {يلبسوا إيمانهم }:يخلطوا توحيدهم

“{orang-orang yang beriman}, maksudnya adalah orang-orang yang membenarkan kebenaran dengan hati mereka dan mengucapkannya dengan lisan mereka dan mengamalkannya dengan anggota tubuh mereka. Sedangkan pokok keimanan adalah tauhid. {Mencampuradukkan keimanan mereka}, maksudnya adalah mencampuradukkan tauhid mereka.”

Tafsir keamanan dan petunjuk meliputi di dunia maupun di akhirat

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

أي: هؤلاء الذين أخلصوا العبادة لله وحده لا شريك له ولم يشركوا به شيئا هم الآمنون يوم القيامة المهتدون في الدنيا والآخرة

“Maksudnya, orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk ‘Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, mereka adalah orang-orang yang aman pada hari kiamat dan mendapatkan petunjuk (solusi) di dunia dan akhirat.”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, 

وإن كان كثير من المفسرين قالوا أولئك لهم الأمن في الآخرة والهداية في الدنيا والصواب أن الآية عامة لا بالنسبة للأمن ولا بالنسبة للهداية في الدنيا والآخرة

“Meskipun banyak dari kalangan ahli tafsir yang menyatakan bahwa mereka (orang-orang yang beriman) mendapatkan keamanan di akhirat dan hidayah (solusi) di dunia, namun tafsir yang benar bahwa ayat ini bersifat umum, baik masalah keamanan maupun hidayah (solusi) di dunia sekaligus di akhirat.” [1]

Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi rahimahullah menafsirkan,

{أُوْلئِكَ لَهُمُ ٱلأَمْنُ} أى فِي الدُنيَا والآخِرَة

“{Mereka itulah yang mendapatkan keamanan} maksudnya “(keamanan) di dunia dan di akhirat.”

Syaikh ‘Abdullah Al-Ghunaiman rahimahullah berkata,

{أولئك لهم الأمن} الأمن التام الذي لا ينالهم معه عذاب في الدنيا ولا في القبر ولا في الآخرة

“{Mereka itulah yang mendapatkan keamanan} maksudnya “keamanan yang sempurna, dengannya mereka tidak mendapatkan adzab di dunia, di alam kubur, maupun di akhirat.” [2]

Kesimpulan:

Dari keterangan para ulama rahimahumullah di atas, balasan bagi orang yang mentauhidkan Allah dan bersih dari kesyirikan adalah,

  1. Mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat.
  2. Mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Tafsir bentuk keamanan dan petunjuk

Syaikh Shalih Alusy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa bentuk rasa aman dan petunjuk yang didapatkan oleh ahli tauhid di dunia dan di akhirat adalah sebagai berikut [3]:

“Kalau ada orang yang mengatakan: keamanan di dunia, maka kami paham, yaitu keamanan diri (jiwa), tidak diganggu orang lain, kekuatan hati, keamanan masyarakat, keamanan negara, dan keamanan daerah. Semua ini termasuk kedalam keamanan (yang dimaksud dalam ayat).

Demikian pula hidayah di dunia, yaitu dengan mendapatkan taufik untuk beramal shalih, mengenal kebenaran sebagai kebenaran dan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya dengan mengikuti kebenaran. Serta melihat kebatilan sebagai sebuah kebatilan dan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya dengan mampu menjauhinya. Hal ini juga mudah dipahami.

Keamanan di akhirat dengan tidak merasa takut, tidak bersedih, dan tidak masuk ke dalam neraka, hal ini juga mudah dipahami.

Namun bagaimana hidayah di akhirat? Bukankah taklif (tugas melaksanakan syari’at Islam) telah selesai? Taklif telah selesai, maka apakah ada hidayah (petunjuk) di akhiat?”

هذه الهداية هي الهداية في الآخرة ,فسَّرها أهل العلم بالتفسير وأهل العلم بالتوحيد, بأنَّها الهداية بسلوك الصراط حين ورود الظلمة … فإذن هناك هداية الطريق الجنة في الآخرة هذه تحصل بحسب قوة التوحيد, فكلَّما قوي التوحيد كلما قويت الهداية وقوي النور في الدنيا وفي الآخرة

“Hidayah ini maksudnya adalah hidayah di akhirat. Ulama ahli tafsir dan ulama ahli tauhid menafsirkan bahwa hidayah (di akhirat) maksudnya adalah petunjuk meniti jembatan ash-shirath, ketika adanya kegelapan. Jadi, di sana ada petunjuk jalan ke surga di akhirat. Hidayah ini didapatkan sesuai dengan kekuatan tauhid seeseorang. Semakin kuat tauhid seseorang, semakin kuat pula petunjuk dan cahaya di dunia dan akhirat.”

Hal ini sama dengan ketika para ulama ahli tafsir menafsirkan firman Allah dalam surat Muhammad tentang petunjuk bagi orang-orang yang telah meninggal syahid di jalan Allah,

وَٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَلَن يُضِلَّ أَعۡمَٰلَهُمۡ ٤ سَيَهۡدِيهِمۡ وَيُصۡلِحُ بَالَهُمۡ ٥  وَيُدۡخِلُهُمُ ٱلۡجَنَّةَ عَرَّفَهَا لَهُمۡ ٦

“Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberi hidayah kepada mereka, dan memperbaiki keadaan mereka. Dan memasukkan mereka ke dalam jannah yang telah diperkenalkan oleh-Nya kepada mereka.” (QS. Muhammad: 4-6)

Dalam kitab tafsir karya Asy-Syaukani rahimahullah disebutkan perkataan Abul ‘Aliyah,

قَدْ تَرِدُ الهِدَايَةُ والمُرادُ بِها إِرشَادُ المُؤمِنِينَ إلى مَسالِكِ الجِنانِ والطَّرِيقِ المُفضِيَةِ إلَيْها. وقالَ ابْنُ زِيادٍ: يَهْدِيْهِمْ إِلَى مُحاجَّةِ مُنْكَرٍ ونَكِيرٍ

“Terkadang disebutkan hidayah dan yang dimaksudkan adalah petunjuk bagi kaum mukminin kepada jalan surga dan jalan yang mengantarkan kepadanya. Ibnu Ziyad pun menafsirkan, Allah memberi petunjuk kepada mereka untuk bisa menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.”

Mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat.

Di dunia: dengan tentram hatinya dari berbagai rasa takut (krisis) yang mengancam jiwa, masyarakat, maupun negara, baik bentuknya krisis moral (mental), krisis moneter, maupun krisis keamanan. Demikian pula aman dari adzab di dunia.

Di akhirat: dengan selamat dari siksa, sejak di alam kubur sampai surga, yaitu selamat dari siksa di alam kubur dan selamat dari siksa neraka.

Mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Di dunia: berupa hidayah irsyad (ilmu) dan taufik (amal), hidayah meniti shirat mustaqim dan mendapatkan solusi syar’i dalam menghadapi berbagai problematika di dunia.

Di akhirat: petunjuk menjawab pertanyaan di alam kubur, petunjuk meniti shirath di atas jahannam, serta kemudahan jalan menunju surga.

Penjelasan tentang kualitas keamanan dan petunjuk yang didapatkan oleh ahli tauhid

Berdasarkan gabungan dari seluruh dalil yang ada, maka ulama menyimpulkan bahwa kadar keamanan dan petunjuk yang didapatkan oleh ahli tauhid adalah sebagaimana yang dirinci oleh Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitab Tafsirnya,

فإن كانوا لم يلبسوا إيمانهم بظلم مطلقا, لا بشرك, ولا بمعاص, حصل لهم الأمن التام, والهداية التامة. وإن كانوا لم يلبسوا إيمانهم بالشرك وحده, ولكنهم يعملون السيئات, حصل لهم أصل الهداية, وأصل الأمن, وإن لم يحصل لهم كمالها. ومفهوم الآية الكريمة, أن الذين لم يحصل لهم الأمران, لم يحصل لهم هداية, ولا أمن, بل حظهم الضلال والشقاء.

“Apabila mereka (ahli tauhid) tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman sama sekali, tidak dengan kesyirikan maupun tidak dengan kemaksiatan, maka mereka mendapatkan keamanan sempurna dan hidayah sempurna. Namun, jika mereka tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kesyirikan saja dan mereka melakukan keburukan (dosa di bawah syirik), maka mereka mendapatkan hidayah dan keamanan yang minimal, (dan) tidak mendapatkan keamanan dan hidayah yang sempurna. Dan makna tersirat dari ayat yang mulia ini pun menunjukkan bahwa mereka yang tidak termasuk dalam keduanya, mereka tidak mendapatkan hidayah dan keamanan, bahkan nasibnya adalah sesat dan celaka.”

Syaikh Sulaiman rahimahullah berkata dalam kitab Taisirul ‘Aziz,

من أتى به تاما فله الأمن التام والاهتداء التام ودخل الجنة بلا عذاب. ومن أتى به ناقصا بالذنوب التي لم يتب منها فإن كانت صغائر كفرت باجتناب الكبائر لآية النساء والنجم. وإن كانت كبائر فهو في حكم المشيئة إن شاء الله غفر له وإن شاء عذبه ومآله إلى الجنة والله أعلم

“Barangsiapa melaksanakan tauhid dengan sempurna, maka dia mendapatkan keamanan sempurna dan petunjuk sempurna, serta masuk surga tanpa adzab. Barangsiapa melaksanakan tauhid tidak sempurna karena dosa yang dia tidak bertaubat darinya, apabila dosa itu dosa kecil, maka terlebur dengan menghindari dosa besar, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ dan An-Najm. Apabila yang dilakukan itu dosa besar, maka tergantung kehendak Allah. Jika Allah menghendaki mengampuni, maka Allah akan mengampuninya. Namun jika Allah menghendaki mengadzabnya, maka Allah akan mengadzabnya. Hanya saja, tempat akhirnya pasti di surga. Wallahu a’lam.”

Balasan bagi orang yang mentauhidkan Allah dengan tauhid yang sempurna -yaitu dengan menghindari kesyirikan dan kemaksiatan atau bertaubat darinya jika terlanjur jatuh ke dalamnya- adalah:

  1. Mendapatkan keamanan dari segala hal yang menakutkan, baik di dunia maupun di akhirat.
  2. Mendapatkan petunjuk (solusi) di dunia dalam menghadapi berbagai masalah dan mendapatkan petunjuk di akherat sehingga selamat menjalani prosesi hari akhir sampai masuk kedalam surga.

(Bersambung)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55879-atasi-corona-dengan-bertauhid-yang-sempurna-bag-2.html