Manfaat Doa Anak Saleh Bagi Orangtua yang Wafat

YANG paling utama adalah mendoakannya, karena doa anak yang saleh sangat bermanfaat bagi orangtuanya yang sudah meninggal. Tentu saja anak itu harus anak yang saleh, beriman dan bertakwa. Karena hanya doa orang yang dekat dengan Tuhannya saja yang akan didengar.

Jadi kalau anaknya jarang salat, tidak pernah mengaji, buta ajaran agama dan asing dengan syariat Islam, lalu tiba-tiba berdoa, bagaimana Allah Ta’ala akan mendengarnya. Sementara makanannya makanan haram, bajunya haram, mulutnya tidak lepas dari yang haram.

Selain itu anak yang saleh bisa saja mengeluarkan infak, sedekah dan ibadah maliyah lainnya yang diniatkan untuk disampaikan pahalanya kepada orangtuanya. Tentang sampainya pahala ibadah maliyah dari orang yang masih hidup untuk orang yang sudah wafat, ada banyak dalilnya. Di antaranya adalah: “Seseorang tidak boleh melakukan salat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum.” (HR An-Nasai)

Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bertanya:” Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).

Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa bukan hanya ibadah maliyah saja yang bisa disampaikan pahalanya kepada orang wafat, namun ibadah badaniyah pun bisa dikrimkan pahalanya untuk orang yang sudah wafat. Dalilnya adalah nash berikut: Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis ini adalah hadis sahih yang menyebutkan bahwa pahala puasa sebagai ibadah badaniyah bisa dikirimkan untuk orang yang sudah wafat. Selain itu pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc.]

INILAH MOZAIK

Berilah Peringatan Mulai dari Kerabat Terdekat!

BENTUK dakwah terang-terangan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dimulai dari dakwah kepada keluarga. Namun dakwah ini tetap mengalami tantangan.

Pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam diperintahkan, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syuara: 214)

Ketika turun ayat tersebut, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai orang-orang Quraisyatau kalimat semisal itu, tebuslah diri kalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya). Aku tidak bisa berbuat apa-apa sedikit pun di hadapan Allah untuk kalian. Wahai Abbas bin Abdul Muththalib, aku tidak bisa berbuat apa-apa sedikit pun di hadapan Allah untukmu. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah, aku tidak bisa berbuat apa-apa sedikit pun di hadapan Allah untukmu. Wahai Fatimah puteri Rasulullah, mintalah kepadaku harta apa saja yang engkau suka, aku tidak bisa berbuat apa-apa sedikit pun di hadapan Allah untukmu.” (HR. Bukhari, no. 2753, 4771 dan Muslim, no. 206)

Yang dimaksud aqrabin (kerabat) dalam ayat adalah orang yang paling dekat dengan kita dari sisi kekeluargaan. Kata Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab (penulis kitab Taysir Al-Aziz Al-Hamid Syarh Kitab At-Tauhid), “aqrabin” inilah yang lebih berhak bagi kita berbuat birr (berbuat baik) dan berbuat ihsan dalam urusan agama maupun urusan dunia. Sebagaimana Allah Taala perintahkan,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)

Dari Bakr bin Al-Harits Al-Anmari, ia berkata,

“Wahai Rasulullah, siapa yang lebih pantas bagiku untuk berbuat baik?” Jawab Rasul shallallahu alaihi wa sallam, “Ibumu, lalu bapakmu, lalu saudara perempuanmu, lalu saudara laki-lakimu, lalu bekas budakmu yang menjadi tanggungjawabmu. Diwajibkan untuk menjalin hubungan kerabat dengan mereka-mereka tadi.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 47; Abu Daud, no. 5140. Hadits ini dihukumi hasan oleh Usamah bin Athaya bin Utsman Al-Utaibi karena hadits ini punya banyak penguat atau syawahid. Lihat Taysir Al-Aziz Al-Hamid, 1:544-545)

INILAH MOZAIK

Bantulah Orang-orang yang Terlilit Hutang!

UMAT Islam itu seperti satu kesatuan jasad. Jika ada bagian yang sakit, maka bagian yang lain akan merasakannya juga. Seperti itulah ukhuwah imaniyah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW. Saling merasa. Saling pengertian. Saling memahami. Saling menolong. Saling membantu.

Ada orang miskin. Punya hutang lagi. Tentu, sebagai saudara seislam kita harus berbelas kasihan kepadanya. Namun berbelas kasihan saja terkadang tidak menyelesaikan masalahnya. Harus ditindak lanjuti dengan langkah yang lebih aplikatif. Membantunya agar terbebas dari hutangnya. Itu baru persaudaraan yang hakiki dalam Islam.

Umar bin Abdul Aziz menyampaikan pesan singkat kepada para pegawainya, “Bantulah orang-orang yang terlilit hutang!”

Lalu salah satu pegawainya ada yang menanggapinya, “Kami mendapati orang yang memiliki hutang, namun masih mempunyai tempat tinggal, pembantu, binatang kendaraan serta perkakas rumah tangga.”

“Umar membalas surat itu, “Seorang muslim itu harus mempunyai rumah untuk berteduh, pembantu yang membantunya sehari-hari, kuda untuk berjihad melawan musuh serta perabotan untuk rumahnya. Maka yang seperti itu jika memiliki hutang tetaplah seorang yang perlu dibantu.”

Referensi: Umar bin Abdul Aziz 29 Bulan Mengubah Dunia/Karya: Herfi Ghulam Faizi, Lc/Penerbit: Cahaya Siroh

ISLAM POS

Keutamaan Mendoakan Orang Lain di Tengah Wabah Corona

Doa diberikan kepada siapa saja yang sakit, baik dikenal maupun tidak.

Salah satu cara yang dianjurkan untuk mengurangi wabah Covid-19 adalah melakukan social distancing measure (SDM), yaitu jaga jarak antarmanusia. Hindari perkumpulan manusia selagi bisa dilakukan. 

Bahkan, kegiatan seperti arisan, majlis taklim, dan shalat Jumat di beberapa negara pun tidak dilaksanakan. Ini semua dilakukan agar virus tidak merebak dengan cepat dan eksponensial.

Ikhtiar seperti ini wajib dilakukan oleh setiap individu demi menjaga keselamatan dirinya, lingkungan, dan orang-orang yang ia cintai.

Meski sudah melakukan SDM, terkadang hal-hal yang tak terduga juga kerap terjadi. Misalnya, kita sering temui orang yang bersin ataupun batuk di sekeliling kita. 

Jika tindakan preventif seperti menggunakan masker dan cuci tangan kita lakukan, hal-hal eksternal seperti ini membuat hati kita menjadi ketar-ketir.

Maka, cara ini bisa kita coba; doakan orang yang bersin, batuk, atau sakit di sekeliling kita. Jika ia bersin dan mengucap hamdalah, balaslah dengan mendoakannya seraya berkata yarhamukallah. Atau, jika orang itu bersin atau batuk, doakanlah dalam hati. Minta kepada Allah Ta’ala kesembuhan untuknya. Maka, doamu akan diaminkan oleh malaikat, dan dirimu akan terlindungi berkat doa ikhlasmu untuk saudaramu!

Sebagaimana hadis dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang Muslim untuk saudaranya–yang ia sendiri tidak mengetahui bahwa ia didoakan–akan dikabulkan oleh Allah. Di atas kepala orang Muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang malaikat yang ditugasi menjaganya. Setiap kali orang Muslim itu mendoakan kebaikan bagi saudaranya, niscaya malaikat yang menjaganya berkata, ‘Amin (semoga Allah mengabulkan) dan bagimu hal yang serupa.'” (HR Muslim)

Cobalah doakan setiap orang yang sakit, baik engkau kenal maupun tidak. Maka, dengan cara ini, Allah akan kabulkan doamu untuknya, dan bagimu yang berdoa juga akan Allah kabulkan.

Seorang ustaz pembimbing haji pernah ditanya oleh jamaahnya, mengapa ustaz terlihat bugar, padahal hampir semua jamaah terkena batuk saat di Tanah Suci. Sang ustaz membocorkan rahasianya seraya berkata, “Setiap kali saya mendengar ada orang yang batuk, baik di masjid ataupun di mana pun, saya selalu berdoa kepada Allah agar ia diberi kesembuhan!”

Semoga cara ini bisa kita lakukan dalam mengantisipasi Covid-19.

Oleh Ustadz Bobby Herwibowo

KHAZANAH REPUBLIKA


Mendudukkan Bagaimanakah Tawakkal yang Benar ketika Terjadi Wabah

Di masa terjadinya wabah SARS-CoV-2 ini, kita dapati sebagian orang yang bersikap cuek dan biasa-biasa tidak mau mengikuti saran dan himbauan pemerintah dan tenaga kesehatan untuk melakukan usaha-usaha pencegahan, berdalih dengan itulah yang sesuai dengan konsep tawakkal kepada Allah Ta’ala. 

Sikap seperti ini sungguh kita sayangkan, karena telah berbicara dalam perkara agama tanpa ilmu, yang bisa jadi itu lebih berbahaya dari wabah SARS-CoV-2 itu sendiri. Artikel singkat ini akan mengulas sedikit bagaimana mendudukkan tawakkal yang benar ketika terjadi wabah.

Kita Tetap Diperintahkan untuk Berusaha

Ketika sakit, syariat memerintahkan kita untuk berobat, bukan hanya pasrah saja kepada takdir, tanpa merasa perlu berbuat apa-apa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً، الْهَرَمُ

“Wahai sekalian hamba Allah, berobatlah! Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan juga obatnya, kecuali penyakit tua (pikun).” (HR. Tirmidzi no. 2038 dan Abu Dawud no. 3855, shahih)

Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihu wa sallam memerintahkan untuk memisahkan dan tidak mencampur antara hewan yang sakit dengan hewan yang sehat. Hal ini bertujuan agar hewan-hewan yang sehat tersebut tidak tertular dengan hewan yang sakit. Dengan perkataan lain, agar hewan yang masih sehat itu tidak ikut-ikutan sakit, si pemilik hewan harus melakukan tindakan (sebab atau usaha) tertentu dan tidak hanya pasrah saja.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ

“Janganlah mengumpulkan unta yang sakit dengan unta yang sehat.” (HR. Bukhari no. 5774 dan Muslim no. 2221)

Khusus berkaitan dengan penyakit menular, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

“Larilah dari orang yang terkena kusta, sebagaimana Engkau lari dari singa.” (HR. Ahmad no. 9722, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 783)

Hadits di atas jelas menunjukkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita menghindarkan diri dari penyakit menular, bukan malah sengaja mendatanginya. Apakah kita berani mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kurang rasa tawakkalnya kepada Allah Ta’ala?

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits-hadits yang memerintahkan untuk berobat,

وَفِي الْأَحَادِيثِ الصّحِيحَةِ الْأَمْرُ بِالتّدَاوِي وَأَنّهُ لَا يُنَافِي التّوَكّلَ كَمَا لَا يُنَافِيهِ دَفْعُ دَاءِ الْجَوْعِ وَالْعَطَشِ وَالْحَرّ وَالْبَرْدِ بِأَضْدَادِهَا بَلْ لَا تَتِمّ حَقِيقَةُ التّوْحِيدِ إلّا بِمُبَاشَرَةِ الْأَسْبَابِ الّتِي نَصَبَهَا اللّهُ مُقْتَضَيَاتٍ لِمُسَبّبَاتِهَا قَدَرًا وَشَرْعًا 

“Dalam hadits-hadits shahih di atas terdapat perintah untuk berobat. Berobat tidak bertentangan dengan tawakkal, sebagaimana menghilangkan rasa haus, lapar, panas, atau dingin dengan lawannya juga tidak bertentangan dengan tawakkal. Bahkan, hakikat tauhid tidaklah sempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang telah Allah Ta’ala tetapkan bisa mewujudkan musabbab menurut syariat dan realita.“ (Zaadul Ma’aad, 4: 14)

Dalam masalah ini, yang dimaksud dengan “sebab” adalah “berobat”; sedangkan yang dimaksud dengan “musabbab” adalah “kesembuhan”.

Dalam masa wabah ini, kita pun diperintahkan untuk melakukan usaha-usaha berobat (kalau sudah terkena penyakit) atau melakukan usaha-usaha pencegahan (kalau belum terkena penyakit). Ketika terbukti bahwa wabah SARS-CoV-2 ini menyebar melalui droplet (percikan ketika seseorang berbicara, bersin, atau batuk), aerosols (partikel yang melayang di udara), kontak dengan penderita melalui jarak dekat (close contacts), atau fomites (partikel virus yang menempel di benda-benda yang disentuh oleh penderita), maka para ulama pun memfatwakan untuk boleh shalat lima waktu di rumah atau bahkan dilarang untuk shalat lima waktu dan shalat jum’at di masjid. Semua ini adalah usaha yang bisa dilakukan sesuai dengan penelitian medis di bidang ini. Hal ini pun sesuai dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kami sebutkan sebelumnya,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

“Larilah dari orang yang terkena kusta, sebagaimana Engkau lari dari singa.” (HR. Ahmad no. 9722, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 783)

Sayangnya, sebagian orang menyindir dan mencaci fatwa-fatwa tersebut, seolah-olah bertentangan dengan sikap tawakkal kepada Allah Ta’ala. Padahal, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas, tauhid tidaklah sempurna kecuali seseorang itu melakukan sebab-sebab (usaha) yang diizinkan oleh syariat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang bersandar kepada Allah Ta’ala saja tanpa mau melakukan sebab (usaha tertentu), maka hal ini merupakan celaan terhadap hikmah (kebijaksanaan) Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala menjadikan sebab untuk segala sesuatu. Allah adalah Dzat Yang Maha bijaksana. Allah Ta’ala mengaitkan sebab dengan akibat (musabbab-nya). Hal ini sebagaimana orang yang bersandar kepada Allah untuk memiliki anak, namun dia tidak mau menikah. (Al-Qaulul Mufiid, 2: 28)

Orang yang tidak mau berusaha, berarti tidak menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya. Bagaimana tidak, dia ingin pintar, tapi tidak mau berusaha belajar. Atau ingin mendapatkan harta, tapi tidak mau bekerja mencari nafkah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَلِهَذَا قَالَ طَائِفَة من الْعلمَاء الِالْتِفَات إِلَى الْأَسْبَاب شرك فِي التَّوْحِيد ومحو الْأَسْبَاب أَن تكون أسبابا نقص فِي الْعقل والإعراض عَن الْأَسْبَاب بِالْكُلِّيَّةِ قدح فِي الشَّرْع وَإِنَّمَا التَّوَكُّل الْمَأْمُور بِهِ مَا يجْتَمع فِيهِ مقتضي التَّوْحِيد وَالْعقل وَالشَّرْع

“Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa hanya bersandar kepada sebab itu adalah syirik (yang bertentangan) dengan tauhid. Dan menihilkan sebab (yang berpengaruh) itu menunjukkan kurangnya akal. Tidak mau menempuh sebab (tidak mau berusaha sama sekali) itu menunjukkan celaan terhadap syariat (karena syariat memerintahkan untuk berusaha, pent.). Sehingga tawakkal yang diperintahkan itu adalah yang mengumpulkan konsekuensi tauhid, akal, dan syariat.” (Amraadhul Quluub, hal. 52)

Selain itu, orang-orang yang tidak berusaha mencegah terjadi perluasan wilayah wabah, bisa jadi telah menjerumuskan dirinya sendiri dan orang lain ke dalam kebinasaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)

Hati Tetap Bersandar dan Pasrah kepada Allah Ta’ala

Setelah manusia melakukan sebab-sebab tertentu, kewajiban manusia yang tidak bisa diabaikan adalah menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala, bahwa Allah yang menciptakan sebab-sebab tersebut. Bisa saja, setelah kita berusaha semaksimal mungkin sebatas kemampuan kita sebagai manusia, Allah tidak mengabulkannya sesuai dengan hikmah (kebijaksanaan) Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن يَمْسَسْكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَآدَّ لِفَضْلِهِۦ ۚ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi kami, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10]: 107)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ

“Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. Tirmidzi no. 2516, shahih)

Lihatlah bagaimana kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, yang Allah Ta’ala selamatkan ketika akan dibakar dengan api. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ

“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS. Al-Anbiya’: 68)

Raja Namrud telah mengambil usaha yang benar, yaitu menggunakan api ketika ingin membakar Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, dan tidak mencari air, atau debu, atau sebab yang lain. Akan tetapi, Namrud lupa bahwa Allah-lah yang menciptakan api dan Allah bisa saja mengubah api yang harusnya membakar, berubah menjadi api yang dingin dan menyejukkan. 

Berkaitan dengan masalah penyakit, Allah-lah Dzat yang menyembuhkan. Adapun manusia, diperintahkan untuk berusaha berobat semaksimal mungkin yang mereka mampu lakukan. Sebagaimana doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk sahabatnya yang sedang sakit,

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ البَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Engkaulah Asy-Syaafi (Dzat Yang menyembuhkan). Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” (HR. Bukhari no. 5675 dan Muslim no. 2191)

Ciri manusia yang sangat bergantung pada diri dan usahanya, dan melupakan Pencipta sebab (yaitu Allah Ta’ala) adalah dia sangat kecewa atau marah ketika dia gagal, padahal sudah merasa berusaha semaksimal mungkin dengan melakukan semua yang bisa dia lakukan. 

Oleh karena itu, di sinilah peran ustadz atau kyai, bahkan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, untuk senantiasa mengajak kaum muslimin mengingat Allah Ta’ala, setelah berusaha semaksimal mungkin mematuhi himbauan prosedur-prosedur pencegahan dari terkena wabah. 

Empat Golongan Manusia dalam Masalah Tawakkal

Berdasarkan uraian di atas, ada empat golongan manusia dalam masalah tawakkal:

Pertama, orang yang bergantung pada sebab dan usaha secara total, sama sekali tidak memiliki iman pada Rabb semesta alam, sang Pencipta sebab tersebut. Inilah “tawakkal” yang dianut oleh ‘aqlaniyyin (para pemuja akal), komunis, ateis, dan materialistis. Ini adalah sikap tawakal yang keliru.

Kedua, orang yang meninggalkan sebab dan usaha secara total alias pasrah secara totalitas. Mereka menyerahkan urusan hanya kepada Allah Ta’ala, namun tidak ada mau berusaha dan tidak mau mengambil sebab sama sekali. Inilah tawakkal ala kaum sufi. Ini juga tawakal yang keliru.

Dalam situasi wabah ini, kita dapati perkataan-perkataan sebagian orang, “Tidak perlu takut keluar rumah, shalat jamaah di masjid, atau melakukan pencegahan ini dan itu. Kalau memang ditakdirkan hidup ya hidup, kalau ditakdirkan mati ya mati.”

Ketiga, orang yang berkeyakinan bahwa sebab dan usaha itu sebetulnya tidak ada pengaruhnya sama sekali. Namun, terkadang mereka masih mau melakukan usaha. Ini adalah tawakkal ala Jabriyyah. Ini juga sikap tawakal yang keliru.

Keempat, orang yang mengusahakan sebab dan usaha lahiriyyah dengan anggota badan, namun hati bergantung penuh dan pasrah secara totalitas kepada Allah Ta’ala, bukan kepada sebab yang dia usahakan dengan anggota badannya. Dan meyakini bahwa setiap takdir telah Allah jadikan sebab-sebabnya. Inilah sikap tawakal yang benar, yang merupakan keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah. [1]

Berkaitan dengan masalah wabah ini, termasuk yang manakah kita?

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55347-mendudukkan-bagaimanakah-tawakkal-yang-benar-ketika-terjadi-wabah.html

Perbaiki Hubunganmu dengan Allah, Allah Perbaiki Semua Urusanmu

PERNAH tidak kita merasa semua urusan kita ini seperti mentok? Bikin frustrasi, dan tidak dianggap oleh manusia?

Ya, kita seperti telah melakukan semua usaha agar kita dihargai. Tapi kenyataannya tidak. Apa sebabnya?

Abu Nu’aim rahimahullah dalam kitabnya, Al-Hilyah, menyebutkan suatu riwayat dari Abdullah bin Aun rahimahullah bahwa dahulu para ahli fikih saling berpesan dan mengirim surat di antara mereka dengan,

“Barang siapa yang beramal untuk akhiratnya, Allah akan memberi kecukupan bagi kehidupan dunianya.
Barang siapa yang memperbaiki urusan pribadinya dengan Allah, Allah akan memperbaiki apa yang tampak darinya.
Barang siapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia.”

Abu Hazim rahimahullah mengatakan, “Tidaklah seseorang memperbaiki hubungannya dengan Allah melainkan Allah akan memperbaiki hubungan dengan sesamanya. Sebaliknya, tidaklah jelek hubungan seseorang dengan Allah melainkan Allah akan burukkan hubungan dia dengan orang lain. Demikian itu karena berbuat baik kepada satu orang tentu lebih mudah daripada berbuat baik kepada semua orang. Sungguh ketika hubunganmu dengan Allah baik maka semua orang akan condong kepadamu. dan ketika hubunganmu dengan-Nya buruk maka semua orang akan berpaling meninggalkanmu.”

Mungkin, cobalah lihat hati dan jiwamu. Seberapa dekat engkau dengan Allah SWT? Seberapa bagus hubunganmu dengan yang Maha Mempunyai dunia ini?

ISLAMPOS

Bayangkan Ini Ketika Usiamu 75 Tahun …

SAAT aku berusia 75 tahun lebih

Aku meminta anakku untuk mendengar ceritaku, dia duduk di sampingku tapi dia asyik membuka HP-nya sambil mulutnya “Hmmh… Hmhh…”

Saat aku meminta anakku untuk mengajakku berjalan kaki, ia menyodorkan tablet seraya berkata, “Coba mainkan dulu aplikasi ini, cocok untuk lansia…, seperti ayah..”

Saat aku meminta anakku untuk menemani makan, ia menuangkan sereal, seraya berkata, “Nanti aku nyusul ya makannya, ini masih ada tambahan kerjaan dari kantor…”

Saat aku meminta anakku menemani beranjak ke tempat tidur, ia berkata, “Sebentar ya yah masih tanggung, …” sampai aku terlelap sendirian…

Kemudian aku teringat 30 tahun lalu saat aku berusia 40 tahun dan anakku berusia 7 tahun…

Tayangan Videonya

ISLAM POS

Teladan Nabi Muhammad Mencegah Wabah

Nabi Muhammad mencegah wabah.

Hari-hari ini dan mungkin dalam beberapa hari ke depan, pesan-pesan tentang pentingnya menjaga kesehatan menghampiri smartphone kita. Ada yang berupa meme, tausiyah, video, voice, dalil Alquran dan hadis, serta artikel pendek yang ditulis oleh pakar ataupun dari instansi atau lembaga terkait. Semua pesan itu muaranya sama, yakni mencegah terjadinya penyebaran wabah Covid-19.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, mestinya kita tahu bahwa pesan untuk selalu menjaga kebersihan sebenarnya telah disampaikan oleh Rasulullah SAW sekitar 14 abad yang lalu, baik melalui ucapan maupun teladan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Tujuanya agar umat manusia menjadi orang yang sehat dan kuat, baik jasmani maupun rohani. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Seorang mukmin yang kuat (fisik, mental, jiwa, dan raga) lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR Muslim).

Walaupun Nabi Muhammad SAW bukan seorang dokter, beliau atas bimbingan Allah SWT selalu mengingatkan umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan. Caranya, kita bisa aktif melakukan aktivitas membersihkan diri dan lingkungan sekitar agar tetap bersih. Bisa juga hal ini dilakukan dengan cara pasif, yakni tidak mengotori lingkungan sekitar dengan cara berdiam diri.

Ketika menghadapi wabah penyakit yang mematikan, Rasulullah SAW mengingatkan,”Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).

Rasulullah juga menganjurkan untuk isolasi bagi yang sedang sakit dengan yang sehat agar penyakit yang dialaminya tidak menular kepada yang lain. Hal ini sebagaimana hadis: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dengan demikian, penyebaran wabah penyakit menular dapat dicegah dan diminimalisasi.

Aktivitas inilah yang sekarang dikenal dengan social distance, yakni suatu pembatasan untuk memutus rantai penyebaran wabah Covid-19. Caranya adalah jauhi kerumunan, jaga jarak, dan di rumah saja. Kegiatan social distance tak hanya dalam muamalah seperti pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, pemerintahan, dan sebagainya yang langsung berhubungan dengan sesama manusia, tetapi juga dalam ibadah.

Dengab demikian, shalat berjamaah di masjid boleh diganti dengan salat di rumah. Shalat Jumat pun boleh diganti dengan salat Zhuhur di rumah guna menghindari wabah penyakit. Inilah yang kemudian dalam hadis yang dijadikan kaidah fikih, yakni la dharara wala dhirar; ‘tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat’ (HR Ibn Majah dan Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn ‘Abbas), dijadikan pedoman untuk menghindari mudarat yang lebih besar.

Nabi Muhammad juga sangat mendorong umatnya untuk mematuhi praktik higienis. Gaya hidup sehat akan membuat orang tetap sehat dan aman dari infeksi. Karena itu, dikatakan dalam hadis: “Kesucian itu sebagian dari iman.” Di antara cara menjaga kesucian adalah mencuci tangan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis: “Barang siapa tertidur dan di tangannya terdapat lemak (kotoran bekas makanan) dan dia belum mencucinya, lalu dia tertimpa oleh sesuatu, janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.” (HR Abu Daud).

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seseorang dari kalian berwudhu, hendaklah memasukkan air ke dalam hidung, kemudian menyemburkannya. Siapa saja yang ber-istijmar (bersuci menggunakan batu), hendaklah mengganjilkan. Dan, jika seseorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah mencuci kedua (telapak) tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana tiga kali. Maka, sesungguhnya seseorang dari kalian tidak mengetahui ke mana tangannya bermalam.” (HR Bukhari).

Uraian tersebut menjelaskan tentang beberapa upaya preventif yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya wabah penyakit termasuk penyebarannya, yakni menjaga kebersihan, isolasi, dan cuci tangan. Namun, terkadang, penyakit tetap saja datang yang menyebabkan terjadinya sakit. Sehingga, harus ada upaya kuratif untuk mengatasi agar sembuh dari penyakit yang dialaminya.

Upaya kuratif yang dilakukan, sebagaimana disarankan oleh Rasulullah Muhammad SAW, adalah berobat. Terbukti bahwa penyakit akibat Covid-19 bisa disembuhkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis: “Aku pernah berada di samping Rasulullah SAW. Lalu, datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, ‘Wahai, Rasulullah, bolehkah kami berobat?’ Beliau menjawab, ‘Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab, Allah tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.’ Mereka bertanya, ‘Penyakit apa itu?’ Beliau menjawab, ‘Penyakit tua.'” (HR Ahmad, Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi).

Melihat kondisi sekarang ini, dengan penyebaran wabah pandemik Covid-19 begitu masif, sementara di sisi lain fasilitas layanan kesehatan yang ada terbatats dan masih belum memadai seperti ruangan isolasi, peralatan medis, tenaga medis, dan vaksin; yang paling efektif adalah menjaga kesehatan diri kita sendiri. 

Hal itu lebih mudah, murah, dan efisien. Setidaknya dengan menjaga kesehatan diri, resiko yang mungkin akan timbul akan berkurang serta. Cara tersebut juga dapat membantu meringankan sesama.

Karena itu, menjaga kebersihan diri, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad SAW, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, tetap melakukan aktivitas dari rumah, menaati anjuran pemerintah sebagai otoritas yang berwenang, serta berdoa agar terhindar dari penyebaran penyakit menular merupakan ikhtiar yang bisa kita lakukan untuk mencegah agar terhindar dari wabah sebaran Covid-19. Wallahualam.

Oleh: Faozan Amar, Dosen Ekonomi Islam FEB Uhamka dan Sekretaris LDK PP Muhammadiyah

KHAZANAH REPUBLIKA

Anjuran Mencuci Tangan Dalam Islam

Islam adalah agama yang membawa maslahah dan mencegah mudharat bagi manusia. Diantara bentuknya, Islam mengajarkan pola hidup bersih dan tampil indah. Contohnya, ada beberapa waktu yang dianjurkan untuk mencuci tangan ketika itu. Siapa yang melakukan cuci tangan dalam rangka memenuhi anjuran ini, ia mendapatkan pahala.

Berikut ini beberapa tempat yang disunnahkan untuk cuci tangan

1. Ketika berwudhu
Disebutkan dalam hadits Humran bin Aban rahimahullah tentang cara wudhu Utsman bin Affan radhiallahu’anhu :

فغسل كَفَّيْهِ ثلاثَ مراتٍ

“.. kemudian beliau membasuh kedua tangannya 3 kali”

Yang di akhir hadits, Utsman bin Affan mengatakan:

رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم توضأ نحوَ وُضوئي هذا

Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini” (HR. Bukhari no.1934, Muslim no.226).

Mencuci kedua tangan ketika wudhu hukumnya sunnah, tidak sampai wajib. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni mengatakan:

وليس ذلك بواجب عند غير القيام من النوم بغير خلاف نعلمه

Tidak mencuci tangan yang wajib kecuali ketika bangun tidur, hal ini tidak ada khilaf ulama yang kami ketahui“.

2. Ketika bangun tidur
Ketika bangun tidur disyariatkan untuk mencuci tangan sebelum memasukkan tangan ke dalam bejana atau melakukan aktifitas lainnya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إذا استيقظ أحدُكم من نومِهِ، فلا يَغْمِسْ يدَه في الإناءِ حتى يغسلَها ثلاثًا . فإنه لا يَدْرِي أين باتت يدُه

Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka jangan mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali. Karena ia tidak mengetahui dimana letak tangannya semalam” (HR. Bukhari no. 162, Muslim no. 278).

Ulama berbeda pendapat apakah larangan mencelupkan tangan ke dalam bejana (semua tempat yang menyimpan air) di dalam hadits ini apakah makruh ataukah haram. Ulama Hanabilah berpendapat hukumnya haram dan mencuci tangan hukumnya wajib. Namun jumhur ulama berpendapat hukumnya makruh dan mencuci tangan hukumnya mustahab (sunnah).

3. Ketika sebelum makan
Dalam hadits dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ إذا أرادَ أن ينامَ ، وَهوَ جنبٌ ، تَوضَّأَ . وإذا أرادَ أن يأْكلَ ، أو يشربَ . قالت : غسلَ يدَيهِ ، ثمَّ يأكلُ أو يشربُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika beliau ingin tidur dalam keadaan junub, beliau berwudhu dahulu. Dan ketika beliau ingin makan atau minum beliau mencuci kedua tangannya, baru setelah itu beliau makan atau minum” (HR. Abu Daud no.222, An Nasa’i no.257, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan:

يستحب غسل اليدين قبل الطعام وبعده, وإن كان على وضوء

Dianjurkan mencuci tangan sebelum makan dan setelah makan, walaupun dalam keadaan punya wudhu“.

4. Ketika setelah makan
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أكل كتفَ شاةٍ فمضمضَ وغسل يديهِ وصلَّى

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memakan daging bahu kambing, kemudian beliau berkumur-kumur, mencuci kedua tangannya, baru setelah itu shalat” (HR. Ibnu Majah no. 405, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

5. Ketika tangan kotor
Secara umum ketika ada kotoran pada tubuh kita atau pakaian kita, hendaknya berusaha membersihkannya agar tampil bersih dan bagus. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمالَ

Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (HR. Muslim no.91).

Terlebih jika tangan yang kotor bisa mengganggu orang lain. Dari Abu Musa radhiallahu’anhu, ia berkata:

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, amalan Islam manakah yang paling utama?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu orang yang kaum Muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya”” (HR. Bukhari no.10, Muslim no.57).

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Ustadz Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11971-anjuran-mencuci-tangan-dalam-islam.html

Hari Pertama, 17.244 Jemaah Lunasi Biaya Haji

Jakarta (Kemenag) — Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) untuk jamaah haji reguler tahap I dibuka mulai hari ini, Kamis (19/04). Sampai dengan penutupan pelunasan pada jam 15.00 WIB, data pada Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah mencatat sebanyak 17.244 jemaah telah melakukan pelunasan.

Kemenag telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) No 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Kuota Haji Tahun 1441H/2020M. KMA ini mengatur bahwa kuota haji Indonesia berjumlah 221.000. Jumlah ini terdiri dari 203.320 kuota haji reguler dan 17.680 kuota haji khusus. Kuota haji reguler terbagi menjadi tiga, yaitu: 199.518 untuk jemaah haji reguler tahun berjalan, 2.040 prioritas kuota jemaah haji lanjut usia, dan 1.512 untuk kuota petugas haji daerah.

“Artinya sudah 8.6% kuota jemaah haji yang sudah terlunasi sampai dengan sore ini,” ujar Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Muhajirin di Jakarta, Kamis (19/03).

Menurutnya, pelunasan BPIH tahap pertama bagi jemaah haji reguler akan berlangsung sampai dengan 17 April 2020. Pelunasan dilakukan pada setiap hari kerja dengan waktu pembayaran untuk Indonesia Bagian Barat pukul 08.00 – 15.00 WIB, Indonesia Bagian Tengah pukul 09.00 – 16.00 WITA, dan Indonesia Bagian Timur pukul 10.00 – 17.00 WIT.

“Pelunasan BPIH dilakukan pada Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH tempat setoran awal dengan menunjukkan bukti pembayaran setoran awal BPIH lembar pertama. Mulai tahun ini, selain datang langsung ke Bank Penerima Setoran awal (BPS), pelunasan juga bisa dilakukan secara non teller melalui internet dan mobile banking,” jelas Muhajirin.

“Sebelum melakukan pelunasan, jemaah yang berhak melakukan pelunasan biaya haji tahun ini, agar melakukan pemeriksaan kesehatan di Puskesmas atau rumah sakit. Sebab, keterangan istitha’ah secara kesehatan, menjadi salah satu syarat melakukan pelunasan,” sambungnya.

Kemenag telah merilis daftar nama jemaah berhak lunas pada laman haji.kemenag.go.id. Daftar nama tersebut juga bisa dicek langsung di Kantor Kemenag Kab/Kota setempat.

“Untuk memudahkan jemaah, kami juga siapkan aplikasi haji pintar sehingga jemaah bisa melakukan pengecekan dari rumah masing-masing,” terangnya.

“Aplikasi haji pintar sudah tersedia di Play Store. Aplikasi tersebut bisa didownload dengan nama “Haji Pintar” dengan icon Kabah dan tulisan ‘Haji Pintar’,” pungkasnya.

Penulis Khoiron EditorBoy Azhar

KEMENAG RI