Seberkas Cahaya di Tengah Gelapnya Musibah

Segala puji bagi Allah Zat yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama yang ada. Sholawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta keluarga dan sahabat juga seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di alam semesta. Amma ba’du.

Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai cinta dan ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan terkadang membawamu terperosok dan jatuh dalam berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu seolah-olah menjadi sesak. Bumi yang begitu luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini akan membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

واعلم أن النصر مع الصبر ، وأن الفرج مع الكرب ، وأن مع العسر يسرا

“Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu akan datang kemudahan.” (Hadits riwayat Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan nomor 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah cahaya yang panas. Dia memberikan keterangan di sekelilingnya akan tetapi memang terasa panas menyengat di dalam dada.

Sebuah Bab di Dalam Kitab Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah).

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini:

“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran. Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syariat serta menjauhi larangan syariat dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian dengan ajaran agama sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syariat, sabar artinya: “Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan.”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang. Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).

Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِيَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah akan memberikan hidayah kepada hatinya. Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menginformasikan bahwa seluruh musibah yang menimpa seorang individu di antara umat manusia, baik yang terkait dengan dirinya, hartanya atau yang lainnya hanya bisa terjadi dengan sebab takdir dari Allah. Sedangkan ketetapan takdir Allah itu pasti terlaksana tidak bisa dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah ini terjadi dengan ketetapan dan takdir Allah niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya sehingga mampu untuk merasa ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya karena yakin terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha mengetahui segala hal yang dapat membuat hamba-hambaNya menjadi baik. Dia juga maha lembut lagi maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).

Alqamah, salah seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang perkataan Alqamah ini:

“Ini merupakan tafsir dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ disebutkan dalam konteks ditimpakannya musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah,’ artinya ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. ‘Niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni supaya bersabar. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya’ supaya tidak merasa marah dan tidak terima. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni untuk menunaikan berbagai macam ibadah. Oleh sebab itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan karena dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.’ Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).

Dari ayat di atas kita dapat memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah:

  1. Keburukan itu juga termasuk perkara yang sudah ditakdirkan ada oleh Allah, sebagaimana halnya kebaikan.
  2. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang menjadi sebab hati dapat meraih hidayah dan merasakan ketenteraman diri.
  3. Penjelasan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.
  4. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.
  5. Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala.

(Al Jadiid, hal. 314).

Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:

“Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridho dengan sabar. Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah. Adapun ridho memiliki dua sudut pandang yang berlainan:

Sudut pandang pertama, terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridho terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridho dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridho terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridho terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).

Sudut pandang kedua, terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridho terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunahkan).

Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha’ yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).

Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan

Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220).

Syaikhul Islam mengatakan:

“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.

Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi sesuai dengan ketetapan Robb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah). Dan apabila dia memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya.

أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)

Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam dengan ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).

Dari hadits di atas kita dapat memetik beberapa pelajaran berharga, yaitu:

  1. Penetapan bahwa Allah memiliki sifat Iradah (berkehendak), tentunya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
  2. Kebaikan dan keburukan sama-sama telah ditakdirkan dari Allah ta’ala.
  3. Musibah yang menimpa orang mukmin termasuk tanda kebaikan. Selama hal itu tidak menimbulkan dirinya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan.
  4. Hendaknya kita merasa takut dan waspada terhadap nikmat dan kesehatan yang selama ini senantiasa kita rasakan.
  5. Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketetapan takdir tidak mengenakkan yang telah diputuskan-Nya terjadi pada diri kita.
  6. Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah mesti berarti Allah meridhoi orang tersebut.

(Al Jadiid, hal. 320 dengan sedikit penyesuaian redaksional).

Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar

Allah ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ {155} الَّذِينَ إِذَآ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ {156} أُوْلآئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُُ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلآئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan ucapan sholawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).

Allah ta’ala juga berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar: 10)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).

Semoga Allah memasukkan kita di kalangan hamba-hambaNya yang sabar.

Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

***

Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi (Staf Pengajar Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Abu Saad rahimahullah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/621-seberkas-cahaya-di-tengah-gelapnya-musibah.html

Tiga Nasihat Nabi Agar Selamat (Manfaat Pula Menghadapi Wabah Corona)

Ini wasiat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun bisa kita manfaatkan saat ini di saat musibah wabah corona melanda.

1/5 Saatnya kita banyak tangisi dosa, bukan banyak bicara. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia katakan, “Wahai Rasulullah, apa itu keselamatan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 1. Jaga lisanmu. 2. Tetaplah di rumahmu. 3. Tangisilah dosa-dosamu.

عن عقبة بن عامر رضي الله عنه قلتُ: يا رسولَ الله ما النَّجاةُ ؟ قال ﷺ ( أمسك عليك لسانك ، وليسعك بيتك ، وابْكِ على خطيئتك ) ~ صحيح الترمذي [2406]

2/5 Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 2406, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani.

Tetaplah di rumahmu” artinya disuruh di rumah untuk menyibukkan diri dengan Allah, dekat dengan-Nya lewat ketaatan, juga bersendirian menjauh dari yang lain. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 7:132)

3/5 Dalam Faidh Al-Qadir, yang dimaksud tetaplah di rumahmu dilakukan lebih-lebih di masa fitnah (ujian/ bala).

Yang dimaksud di sini cocok sekali dengan keadaan saat virus menyebar yaitu untuk melakukan isolasi dan ada batasan bergaul dengan social distancing.

4/5 Ath-Thibiy katakan bahwa yang dimaksud “tangisilah dosamu” adalah sesalilah dosa-dosamu dengan menangisinya.

Dan kita yakin, bahwa musibah #viruscorona ini datang karena dosa kita yang begitu banyak dan kelalaian kita dari ibadah pada Allah.

5/5 Kesimpulannya:

  1. Saat masa virus merebak, jaga lisan, jangan mudah menyebar berita hoax. Jangan pula banyak mengeluh dan menunjukkan tidak setuju pada takdir Allah.
  2. Tetaplah di rumah, sesuai saran pemerintah.
  3. Perbanyak taubat dan istigfar.

Referensi:

  • Akun twitter Al-Imam Al-Albani
  • Faidh Al-Qadir dari Maktabah Syamilah
  • Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At-Tirmidzi, Imam Al-Hafizh Abul ‘Ula Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al-Mubarakfury, Penerbit Darul Fayha

Kultwit MAT | 22-03-2020

Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23624-tiga-nasihat-nabi-agar-selamat-manfaat-pula-menghadapi-wabah-corona.html

Cara Shalat di Rumah Karena Wabah Corona

Ini cara yang dijelaskan oleh ulama ketika wabah corona melanda seperti saat ini. Moga bermanfaat.

  1. Tidak perlu azan di rumah, cukup azan dikumandangkan di masjid. Yang di rumah jika berjamaah, cukup iqamah saja. Lalu shalat dikerjakan pada waktunya. Jangan sampai shalat dikerjakan di luar dari waktunya karena termasuk dalam dosa besar.
  2. Shalat rawatib tetap dikerjakan, baik shalat rawatib qabliyah dan rawatib bakdiyah seperti yang biasa dikerjakan.
  3. Orang yang berada di rumah tetap mengerjakan shalat secara berjamaah. Seorang laki-laki menjadi imam untuk jamaah laki-laki dan perempuan. Jamaah perempuan berada di belakang laki-laki walaupun mereka adalah mahram satu dan lainnya.
  4. Jika dalam rumah terdiri dari suami, satu anak laki-laki, dan seorang istri, maka anak laki-laki menjadi makmum di samping bapaknya, sedangkan istri berada di belakang.
  5. Jika jamaah terdiri dari beberapa laki-laki dan beberapa perempuan, maka imam di depan, lantas diikuti jamaah laki-laki di belakang imam, dan diikuti jamaah perempuan di belakang shaf jamaah laki-laki.
  6. Dianjurkan duduk di tempat shalat setelah shalat Shubuh, lalu menunggu sampai matahari meninggi (10-15 menit setelah matahari terbit) untuk melaksanakan shalat isyroq (syuruq). Sebagaimana ada fatwa Syaikh Ibnu Baz menerangkan bolehnya shalat isyroq di rumah untuk wanita yang shalat di rumah.
  7. Disunnahkan mengerjakan semua shalat wajib pada awal waktu kecuali shalat Isya boleh diakhirkan. Waktu shalat Isya adalah sampai pertengahan malam (kira-kira jam 11 malam).

Referensi:

Telegram: فوائد فقهية

Catatan

Tidak perlu khawatir bagi yang punya kebiasaan shalat berjamaah dan saat wabah corona melanda, akhirnya tidak bisa shalat di masjid berjamaah, maka ia tetap mendapatkan pahala berjamaah sebagaimana hadits berikut.

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,

وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6: 136)

Maka tak perlu sedih bagi yang tidak bisa shalat berjamaah saat ini karena wabah. Yuk terus giat ibadah, dan terus kencangkan doa. Doa-doa kita saat sulit pasti diijabahi.


Disusun #DarushSholihin, 26 Rajab 1441 H (21 Maret 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23603-cara-shalat-di-rumah-karena-wabah-corona.html

Cara Shalat bagi Tenaga Medis yang Menangani Corona

Shalat lima waktu termasuk pada tenaga kesehatan tetap dilakukan mesti dalam keadaan darurat, walaupun harus dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) secara lengkap. Shalatnya bisa jadi dengan menjamak dua shalat sekaligus (Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya). Jika tidak bisa berwudhu dan tayammum dalam kondisi seperti ini, shalat tetap dilakukan. Di antara bentuk kasih sayang Allah adalah kita tidak dibebani di luar kemampuan kita.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Bila luka itu tidak berhenti mengucurkan darah, seperti kasusnya Umar bin Al-Khatthab yang tertusuk saat shalat, maka orang yang seperti ini keadaannya tetaplah harus shalat berdasarkan kesepakatan para ulama. Terlepas dari apakah wudhunya dianggap batal ataukah tidak, dan terlepas dari apakah darah yang mengucur itu banyak ataukah sedikit. Dalilnya ialah firman Allah,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَهَا

Allah tidaklah membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.”[1] Demikian pula firman-Nya,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.”[2] Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika kalian kuperintahkan melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.”[3] Setiap kewajiban shalat yang tidak mampu dilakukan oleh seorang hamba, maka kewajiban itu gugur darinya. Oleh karenanya, ia tidak diperbolehkan menunda pelaksanaan shalat hingga keluar dari waktunya, namun ia tetap harus shalat pada waktunya semampunya.”[4]

Kesimpulannya:

  1. Shalat tetap dilakukan pada waktunya masing-masing dalam keadaan bersuci dan bersih dari najis.
  2. Jika tidak bisa melakukan seperti di atas, maka shalat tersebut dijamak (shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya digabungkan) baik dengan cara jamak takdim (didahulukan pada waktu shalat pertama) atau jamak takhir (diundur pada waktu shalat kedua), tanpa diqashar[5].
  3. Jika akhirnya waktu shalat mau habis[6], maka shalat tetap dilakukan pada waktunya[7] dalam keadaan apa pun meskipun dalam keadaan tidak bisa berwudhu dan tidak bisa bertayammum, walaupun pula dalam keadaan memakai APD yang dalam keadaan najis atau dalam keadaan memakai pampers yang ada najis. Namun kalau masih bisa shalat tersebut dijamak, maka pilihannya tetap dijamak walau dalam keadaan tidak memenuhi syarat bersuci.[8]

[1] QS. Al-Baqarah: 286.

[2] QS. At-Tagabun: 16.

[3] HR. Bukhari, no. 7288.

[4] Majmu’ah Al-Fatawa, 21:223.

[5] Karena qashar shalat dilakukan ketika safar, sedangkan jamak shalat dilakukan ketika butuh.

[6] Untuk orang yang uzur seperti para dokter yang memeriksa pasien yang terkena wabah, ia bisa jadi punya kesempatan shalat sekali dengan cara menjamak dua shalat, maka dua waktu shalat (Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya) dianggap sebagai satu waktu.

[7] Semisal shalat Shubuh tetap dilakukan pada waktunya tidak diundur sampai matahari terbit.

[8] Lihat Fatwa dari Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad no. 027/DFPA/VII/1441, tentang “Nasehat dan Fatwa bagi Tim Medis”, dikeluarkan 28 Rajab 1441 H (23 Maret 2020 M).


Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 29 Rajab 1441 H (24 Maret 2020)

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23654-cara-shalat-bagi-tenaga-medis-yang-menangani-corona.html

Hukum Qunut Nazilah saat Terjadi Wabah

Alim ulama bersepakat bahwa qunut nazilah disyari’atkan ketika terjadi musibah besar yang menimpa kaum muslimin dan dilakukan pada shalat wajib lima waktu. Para pembaca bisa membaca artikel Saudara kami, al-Akh Yulian Purnama hafizhahullah, untuk mengetahui sejumlah permasalahan fikih terkait qunut nazilah pada tautan berikut ini:

Artikel ini hanya akan membahas apakah qunut nazilah itu disyari’atkan saat terjadinya wabah dan tha’un. Dan sebelum menyampaikan pendapat terpilih dari beragam pendapat alim ulama dalam hal ini, kami perlu menyampaikan definisi dari wabah dan tha’un itu sendiri.

Definisi Wabah dan Tha’un

Dalam sejumlah literatur, tha’un diartikan sebagai,

قروح تخرج في المغابن والمرافق، ثم تعم البدن ويحصل معه خفقان القلب

“Borok yang (bermula) muncul pada daerah inguinal (pangkal paha) dan siku, kemudian menyebar ke seluruh badan, yang diiringi dengan debaran jantung yang sangat kencang (palpitasi jantung).” [Masyaariq al-Anwaar 1/321, Kasyaaf al-Qinaa’ 4/323, Majma’ Bihaar al-Anwaar 3/447]

Adapun wabah didefinisikan lebih umum daripada tha’un sebagai,

مرض عام يصيب الكثير من الناس في جهة من الأرض دون سائر الجهات، ويكون مخالفًا للمعتاد من الأمراض في الكثرة وغيرها، ويكون نوعًا واحدًا

“Penyakit yang menimpa banyak orang di suatu wilayah di permukaan bumi, tidak seluruhnya. Penyakit ini berbeda dengan penyakit pada umumnya, korban jiwa yang ditimbulkan begitu banyak, dan umumnya penyakit ini spesifik.” [Syarh Muktashar Khaliil 5/133]  

Disampaikan oleh Ibnu Hajar rahimahullah bahwa memang ada perbedaan arti antara tha’un dan wabah. Namun keduanya memiliki kesamaan dalam hal mampu menimbulkan korban jiwa yang begitu banyak. Karena hal itu, keduanya terkadang dianggap sama. Beliau mengatakan,

تسمية الطاعون وباءً لا يلزم منه أنَّ كل وباء طاعون، بل يدل على عكسه، وهو أنَّ كل طاعون وباءً، لكن لما كان الوباء ينشأ عنه كثرة الموت، وكان الطاعون أيضًا كذلك، أُطلق عليه اسمه

“Meski tha’un dapat disebut wabah, namun hal itu tidak lantas berarti bahwa setiap wabah adalah tha’un. Justru sebaliknya, tha’un itulah yang termasuk wabah. Akan tetapi ketika wabah dapat menimbulkan banyak korban jiwa sebagaimana tha’un, maka tha’un juga dapat dinamakan wabah.” [Badzl Maa’uun fii Fadl ath-Thaa’uun hlm. 104]

Hukum Qunut Nazilah Saat Terjadi Wabah

Pendapat terpilih dalam hal ini adalah qunut nazilah disyari’atkan ketika suatu wabah menimpa kaum muslimin. 

Ibnu Nujaim rahimahullah mengatakan,

القنوت عندنا في النازلة ثابت وهو الدعاء برفعها ولا شك أنَّ الطاعون من أشد النوازل

“Dalam pandangan kami, disyari’atkan melakukan qunut ketika terjadi musibah, yaitu dengan memanjatkan do’a agar penyakit itu dimusnahkan dan tidak ragu lagi bahwa tha’un termasuk di antara musibah yang dahsyat.” [al-Asybaah wa an-Nazhaa-ir hlm. 382]

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Disyari’atkan memanjatkan do’a agar tha’un yang menimpa negeri kaum muslimin diangkat. Baik itu dilakukan secara berkelompok atau bersendiri dengan melakukan qunut. Pendapat ini adalah pendapat yang umum di kalangan Syafi’iyyah berdasarkan alasan bahwa tha’un juga termasuk musibah. Asy-Syafi’i telah menyatakan pensyari’atan qunut ketika terjadi musibah. Ar-Raafi’i dan ulama yang lain menganalogikannya dengan wabah dan paceklik.” [Badzl Maa’uun fii Fadl ath-Thaa’uun hlm. 316]

Pendapat ini didasarkan pada sejumlah dalil dan alasan berikut:

Pertama, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau menuturkan,

قدمنا المدينة وهي وبيئة، فاشتكى أبو بكر رضي الله عنه، واشتكى بلال رضي الله عنه، فلما رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم شكوى أصحابه رضي الله عنه، قال: «اللهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، وَصَحِّحْهَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا، وَحَوِّلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ

“Dulu kami datang ke Madinah ketika kota ini banyak wabah penyakit. Abu Bakar dan Bilal pun jatuh sakit. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa salam pun berdo’a tatkala melihat para sahabatnya jatuh sakit, “Ya Allah, berikanlah kecintaan kepada kami terhadap kota Madinah sebagaimana Engkau memberikan kepada kami kecintaan terhadap Makkah, atau bahkan lebih dari Makkah. Jadikanlah Madinah sebagai kota yang sehat, dan berikanlah keberkahan pada takaran sha’ dan takaran mudd kami, serta pindahkan penyakitnya ke Juhfah.” [HR. al-Bukhari : 1889 dan Muslim : 1376. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim]

Alim ulama yang berdalil dengan hadits di atas dan menyatakan bahwa qunut nazilah pada hakikatnya do’a seperti yang ada dalam hadits tersebut [Tuhfah al-Muhtaaj 1/202, Nihayah al-Muhtaaj 1/508].

Kedua, dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’, pada raka’at terakhir shalat shubuh, beliau berdoa dengan do’a berikut setelah membaca ‘sami’allahu liman hamidah’,

اللَّهُمَّ العَنْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا وَفُلاَنًا

“Ya Allah, laknatlah fulan, fulan, dan fulan.” [HR. al-Bukhari : 4559]

Alim ulama menjelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan qunut untuk kehancuran musuh yang menimbulkan kerugian bagi kaum muslimin, maka hal ini dianalogikan dengan terjadinya wabah, sehingga qunut nazilah boleh dilakukan untuk mengangkat wabah [Tuhfah al-Muhtaaj 1/202, Kanz ar-Raaghibiin 1/233, Mughni al-Muhtaaj 1/242].

Ketiga, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasululullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

عَلَى أَنْقَابِ الْمَدِينَةِ مَلَائِكَةٌ، لَا يَدْخُلُهَا الطَّاعُونُ، وَلَا الدَّجَّالُ

“Jalan-jalan masuk kota Madinah dijaga oleh para malaikat, sehingga kota itu tidak bisa dimasuki wabah tha’un ataupun dajjal.” [HR. al-Bukhari : 1880 dan Muslim : 2047]

Berdalilkan hadits di atas, alim ulama menjelaskan bahwa jika mencegah terjadinya tha’un atau wabah itu adalah tindakan terpuji, maka berupaya untuk menghilangkan wabah ketika telah menyebar juga terpuji, dan di antara upaya tersebut adalah dengan melakukan qunut ketika shalat karena di momen itulah do’a lebih dapat dikabulkan.

Keempat, terjadinya wabah termasuk musibah besar karena menimbulkan korban jiwa yang begitu banyak dari kaum muslimin. Sumber penghidupan mereka lenyap, sehingga kerugian yang ditimbulkan teramat besar ketimbang kerugian yang timbul dari terbunuhnya para ahli al-Qur’an di kalangan sahabat dan para sahabat yang terhasung sehingga tidak mampu berhijrah ke kota Madinah [Nihayah al-Muhtaaj 1/508].

Inilah sejumlah dalil yang disampaikan oleh alim ulama yang memandang qunut nazilah disyari’atkan saat terjadinya wabah. 

Sebagian ulama mengemukakan pendapat bahwa qunut nazilah tidaklah disyari’atkan ketika terjadi wabah dan tha’un, karena hadits-hadits menunjukkan qunut nazilah hanya disyari’atkan untuk musibah luar biasa yang timbul dari kezaliman hamba, seperti penyerangan, pembantaian, dan penguasaan orang kafir atas kaum muslimin. Adapun jika musibah luar biasa itu berasal dari perbuatan Allah seperti paceklik dan wabah, maka qunut nazilah tidak disyari’atkan [al-Qaul al-Mufiid 1/301]. 

Pendapat ini dapat dibantah bahwa penguasaan orang kafir atas negeri-negeri kaum muslimin terjadi karena ketetapan dan kehendak Allah, sebagaimana wabah dan tha’un yang juga terjadi karena ketetapan dan kehendak-Nya, sehingga membedakan keduanya adalah hal yang kurang tepat [al-Ahkaam asy-Syar’iyyah al-Muta’alliqah bi al-Wabaa wa ath-Thaa’un hlm. 20].

Demikian yang dapat ditulis pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55352-hukum-qunut-nazilah-saat-terjadi-wabah.html

Bacaan Doa Qunut Nazilah

Qunut nazilah adalah berdoa untuk menangkal turunnya malapetaka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jumlah kasus orang yang positif terinfeksi corona di Indonesia kian bertambah. Selain melakukan protokol pencegahan corona, seperti menjaga kebersihan pribadi dan menerapkan jarak sosial, umat Islam hendaknya juga berdoa memohon kepada Allah agar dijauhkan dari penyakit berbahaya. Salah satu doa yang dianjurkan dibaca adalah doa qunut nazilah.

Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau umat Islam melakukan qunut nazilah, yaitu berdoa untuk menangkal turunnya malapetaka di tiap shalat fardhu di rakaat terakhir setelah ruku’. Adapun doa qunut nazilah dibaca dengan suara rendah saat shalat sirriyah, yaitu shalat zhuhur dan ashar.

“Dan dibaca keras saat shalat jahriyah (shalat yang disunnahkan mengeraskan suara, yaitu shalat maghrib, isya, dan subuh), baik ketika menjadi imam atau sedang shalat sendiri,” kata Wakil Ketua MUI Muhyiddin Junaidi, dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (4/3).

photo

Doa qunut nazilah – (Istimewa)


Bagi imam shalat jamaah, saat membaca doa qunut nazilah ini agar mengumumkan lafadz doanya, yaitu dengan mengubah kata ganti untuk diri sendiri (mutakallim wahdah) menjadi kata ganti untuk orang banyak (mutakallim ma ‘al ghaird), dan makmum cukup mengaminkannya.

Dari kata ganti ‘ana’ diubah menggunakan kata ganti ‘nahnu’. Misalnya, dari “Allahummahdinii…” menjadi “Allahummahdinaa…”.

KHAZANAH REPUBLIKA

Antisipasi Covid-19, Kemenag Perpanjang Pelunasan Biaya Haji

Kemenag memperpanjang masa pelunasan biaya haji reguler di tengah pandemi Covid-19.

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag) memperpanjang jadwal pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) bagi jamaah haji reguler.

Perpanjangan waktu ini dimaksudkan agar para calon jamaah haji dapat memiliki kesempatan yang lebih lapang. Dengan begitu, antrean tidak menumpuk pada waktu yang bersamaan.

“Saat

“Saat ini antrean dan kumpulan jamaah masih cukup banyak pada bank penerima setoran (BPS) Bipih. Itu secara protokol berpotensi terjadinya penyebaran virus Covid-19,” kata Dirjen PHU, Nizar Ali melalui siaran pers yang diterima Republika, Selasa (24/3).

Nizar mengaku sudah menerbitkan surat edaran untuk para Kepala Kanwil Kemenag Provinsi dan BPS Bipih tentang pelaksanaan pelunasan biaya perjalanan ibadah haji reguler tahun 1441 H/ 2020 M. Ini dilakukan dalam upaya pencegahan penyebaran wabah Covid-19.

“Surat edaran ini diterbitkan dalam upaya bersama untuk menghambat penyebaran wabah Covid-19 yang meningkat pesat dan semakin meluas,” ujarnya.

Ia mengatakan, jadwal pelunasan Bipih reguler untuk tahap pertama awalnya dari 19 Maret – 17 April 2020, jadwalnya diperpanjang hingga 30 April 2020. Untuk pelunasan tahap kedua awalnya dari 30 April – 15 Mei 2020 jadwal ini diubah menjadi 12 – 20 Mei 2020.
Nizar juga mendorong calon jamaah haji untuk memanfaatkan layanan pelunasan non teller. Mereka bisa melakukan transfer sehingga tidak perlu datang ke bank. Menurutnya hal ini penting dilakukan untuk sama-sama mencegah penyebaran Covid-19.

Kepada bank-bank penerima setoran Bipih, Nizar mengingatkan agar menerapkan protokol pengendalian Covid-19. Di antaranya adalah dengan membatasi jumlah calon jamaah haji yang dilayani per hari.

Ia juga meminta kepada Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Provinsi agar menunjuk penanggung jawab sekaligus nomor whatsapp di tiap Kankemenag kabupaten/kota.

“Penanggung jawab harus selalu dapat dihubungi oleh calon jamaah haji yang akan menyampaikan bukti pelunasan atau bukti transfer (struk) dan pas foto. Kanwil Kemenag Provinsi, Kantor Kemenag kabupaten/kota dan BPS (bank penerima setoran) Bipih kami minta terus melakukan sosialisasi kepada jamaah untuk melakukan pelunasan melalui mekanisme tanpa tatap muka (non-teller),” jelsnya.

Selain memperpanjang waktu pelunasan Bipih reguler, Kemenag membatasi pendaftar dan pembatalan calon jamaah haji pada Kantor Kemenag kabupaten/ kota. Jumlah pendaftar dan yang akan melakukan pembatalan haji reguler akan dibatasi maksimal lima orang per hari.

Untuk itu, Nizar menerangkan, setelah kuota per hari terpenuhi maka sistem pemblokiran pendaftaran dan pembatalan akan dilakukan secara otomatis. Kemudian proses pendaftaran dan pembatalan dapat dilanjutkan esok harinya.

“Untuk layanan rekam fingerprint dalam proses pendaftaran dan pelimpahan nomor porsi, sementara waktu juga ditunda sampai kondisi normal kembali,” kata Nizar.

IHRAM

Alasan Dikhususkannya Salat Subuh dan Ashar

KITA diperintahkan berdzikir sebelum terbit dan tenggelam matahari, begitu pula shalat sebelum terbit dan tenggelam matahari (yaitu shalat Shubuh dan shalat Ashar).

Allah Taala berfirman, “Dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya.” (QS. Thaha: 130)

Pelajaran dari Ayat:
– Kita diperintahkan meminta tolong kepada Allah dengan bertasbih dan bertahmid, mengucapkan subhanallah dan alhamdulillah.
– Kita diperintahkan untuk bertasbih dan bertahmid pada waktu yang utama yaitu sebelum matahari terbit dan sebelum matahari tenggelam.
– Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah melaksanakan shalat Shubuh dan shalat Ashar. Itulah yang dimaksud dengan berdzikir sebelum terbit dan tenggelam matahari. Berarti ayat ini menunjukkan keutamaan shalat Shubuh dan shalat Ashar.

Dari Abu Musa radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat Shubuh dan Ashar) maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari, no. 574 dan Muslim, no. 635).

Ibnu Baththol rahimahullah berkata, “Shalat shubuh akan membuat seseorang mendapatkan perhatian Allah pada hari kiamat. Kenapa dikhususkan dua shalat ini? Karena berkumpulnya para malaikat malam dan siang di dua waktu tersebut. Inilah makna firman Allah Taala,

“Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra: 78) (Syarh Al-Bukhari, Ibnu Baththol, 3:250, Asy-Syamilah)


[Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Social Distancing, Lockdown, dan Menghindari Bersalaman Sementara dalam Konsep Islam ketika Wabah

Ketika ada wabah para ahli kesehatan menghimbau “social distancing” yaitu berusaha meminimalkan interaksi, bertemu, berkumpul dalam jumlah massa yang banyak untuk sementara. Inilah yang paling efektif untuk menegah wabah menular dan menyebar, sehingga sangat ditekankan –maaf sekali lagi ditekankan- agar tetap di rumah dan tidak keluar dahulu apabila tidak ada kebutuhan yang sangat penting.

Konsep “Social Distancing”

Ternyata konsep “social distancing” ini telah diterapkan sejak dulu oleh sahabat Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sahabat ‘Amr bin ‘Ash. Kisahnya ketika terjadi wabah di Syam. Para sejarawan muslim mencatat sekitar 25.000 sampai 30.000 korban meninggal akibat wabah tha’un di Syam. Dua gubernur sebelumnya, sahabat yang mulia Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah dan Mu’adz bin Jabal meninggal karena wabah. Ketika ‘Amr bin ‘Ash menjadi gubernur, beliau memerintahkan agar kaum muslimin berpencar dan pergi tinggal ke gunung-gunung saling menjauh satu sama lainnya. Beliau berkata,

أيها الناس إن هذا الوجع إذا وقع فإنما يشتعل اشتعال النار فتجبلوا منه في الجبال.

“Wahai manusia, sesungguhnya wabah ini terjadi seperti api yang menyala (semakin dahsyat jika bahan bakarnya berkumpul), hendaknya kalian menyebar tinggal di gunung-gunung.” [Musnad Ahmad no. 1697]

Konsep “lockdown” atau Karantina Wilayah

Demikian juga konsep “lockdown”  yaitu mencegah dan melarang orang masuk di suatu wilayah serta melarang orang keluar dari suatu wilayah untuk mencegah wabah masuk maupun keluar. Konsep ini adalah konsep Islam sejak dahulu kala di mana Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأرْضٍ، وأنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا. متفق عَلَيْهِ

“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi)

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

وفي هذه الأحاديث منع القدوم على بلد الطاعون ومنع الخروج منه فرارا من ذلك. أما الخروج لعارض فلا بأس به

“Hadits-hadits ini menunjukkan terlarangnya mendatangi daerah yang terkena wabah tha’un dan larangan untuk keluar dengan tujuan menghindari wabah, Adapun keluar karena ada keperluan, maka tidaklah mengapa (misalnya untuk belanja keperluan makanan ke negeri tetangga).” [Syarh Shahih Muslim, 14: 205-207]

Tidak Bersentuhan atau Berjabat Tangan

Kemudian wabah juga cepat menular dengan salah satunya caranya adalah sentuhan serta berjabat tangan dengan orang lain (close contact). Para ahli kesehatan memberikan himbauan akan hal ini, dan kembali ajaran Islam yang jauh sebelumnya telah mengajarkannya. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak bersalaman untuk menerima bai’at dari orang yang terkena penyakit menular lepra.

Dari ‘Amr bin Asy-Syarid dari bapaknya, beliau berkata,

كَانَ فِى وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-  إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ

“Dahulu ada utusan dari Tsaqif ada yang terkena kusta. Maka Nabi shallallahu alihi wa sallam mengirim pesan, “Sungguh kami telah membaiat Anda (tidak perlu bersalaman, pent.), maka pulanglah.” [HR. Muslim no. 328]

Semoga Allah Ta’ala segera mengangkat wabah dari Indonesia dan seluruh dunia. Aamiin.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55340-konsep-islam-ketika-wabah.html

Bersabarlah Atas Urusan Dunia

SEORANG lelaki yang sedang dirundung kesedihan datang menemui Imam Ali bin Abi tholib, ia pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku datang kepadamu karena aku sudah tidak mampu lagi menahan beban kesedihanku.”

Imam menjawab, “Aku akan bertanya dua pertanyaan dan jawablah !”

Lelaki itu berkata, “Ya, tanyakanlah !”

“Apakah engkau datang ke dunia bersama dengan masalah-masalah ini?” kata Imam.

“Tentu tidak” jawabnya.

“Lalu apakah kau akan meninggalkan dunia dengan membawa masalah-masalah ini?” tanya Imam.

“Tidak juga” jawabnya.

Lalu Imam berkata, “Lalu mengapa kau harus bersedih atas apa yang tidak kau bawa saat datang dan tidak mengikutimu saat kau pergi?”

“Seharusnya hal ini tidak membuatmu bersedih seperti ini. Bersabarlah atas urusan dunia..

Jadikanlah pandanganmu ke langit lebih panjang dari pandanganmu ke bumi dan kau pun akan mendapat apa yang kau inginkan. Tersenyumlah! karena rezekimu telah dibagi dan urusan hidupmu telah diatur.

Urusan dunia tidak layak untuk membuatmu bersedih semacam ini karena semuanya ada di tangan Yang Maha Hidup dan Maha Mengatur.”

Kemudian Sayidina Ali bin Abi tholib meneruskan ungkapannya, “Seorang mukmin hidup dalam dua hal, yaitu kesulitan dan kemudahan. Keduanya adalah nikmat jika ia sadari.”

Di balik kemudahan ada rasa syukur. Sementara Allah berfirman, “Allah akan Memberi balasan kepada orang yang bersyukur.” (QS.Ali Imran: 144)

Dan di balik kesulitan ada kesabaran. Allah berfirman, “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS.Az-Zumar: 10)

Bagi seorang mukmin, kesulitan dan kemudahan adalah ladang untuk menabung pahala dan hadiah dari Allah swt. Lalu kenapa masih bersedih? Jangan selalu mengeluh Ohh kesedihanku begitu besar. Tapi katakan pada kesedihan itu Sungguh aku punya Allah yang Maha Besar. []

INILAH MOZAIK