Beramal dengan Ikhlas Tanpa Syarat!

SETIAP amal perbuatan baik yang kita lakukan akan memperoleh imbalan sesuai dengan tingkat kesulitannya. Semakin berat amalan itu untuk dilakukan maka pahalanyapun semakin besar. Karena pada sejatinya, saat kita berupaya secara maksimal untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wata’ala, saat itu pulalah kita sedang melakukan pertempuran yang maha dahsyat dengan menghadapi hawa nafsu.

Hawa nafsu adalah musuh yang amat berbahaya, selain karena dia tidak tampak saat menyerang. Dan hawa nafsu memiliki ribuan cara untuk mengelabuhi kita agar terperosok dalam hasutannya, bahkan terkadang dia mengelabuhi kita dengan asupan pahala yang justru kemudian untuk menyesatkan kita.

Dalam menyikapi tentang bahaya hawa nafsu ini Amirul Mukminm Ali bin Abi Thalib dalam Nahjul Balaghah nya berkata: “Sesungguhnya yang paling aku kuatirkan pada kalian adalah dua hal, yaitu taat hawa nafsu dan angan-angan panjang.”

Dan Allah pun memberi peringatan bagi kita tentang bahaya hawa nafsu dan konsekuensi bagi mereka yang terjebak dalam perangkap. Allah berfirman;

فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِي

“Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS:Al-Qashas:50].

Melihat sifatnya seperti itu, maka tidak ada cara lain kecuali melawan dengan keras hawa nafsu.

Pertanyaannya, kenapa hawa nafsu harus dilawan?

Pertanyaan seperti ini memang jarang terdengar di telinga kita namun sesungguhnya amat penting untuk dijawab. Di antara alasannya adalah karena hawa nafsu itu datang dengan tujuan untuk menjauhkan hamba dengan Tuhannya, memisahkan perbuatan baik dari hakikatnya, menyamarkan sesuatu yang keji dengan topeng kebaikan, dan bahkan menyamarkan nurani dengana logika. Itulah alasannya, kenapa Allah selalu menyebut hawa nafsu sebagai suatu yang nista dalam Al-Quran.

Diakui atau tidak, melawan hawa nafsu memang amat berat, bahkabn lebih berat daripada berperang melawan orang kafir di medan laga, begitulah Rosulullah menyampaikan kepada salah satu sahabatnya.

Namun meski demikian, merupakan kewajiban kita sebagai seorang hamba untuk selalu waspada agar setiap amal baik kita diterima oleh Allah. Karena seperti apapun jenis amal baik kita jika didalam nya ada unsur nafsu yang terkadang merasuk dan bahkan mengganggu terhadap kemurnian ibadah kita maka amal baik itu tak ubahnya menulis diatas kertas hitam dengan menggunakan tinta yang berwarna hitam pula. Hawa nafsu datang dengan mengotori keikhlasan niat kita beramal baik, mengundang riya, sum’ah, takabbur dan seterusnya. Apa yang dihasilkan dari ibadah seperti itu? Tak ada lain terkecuali rasa capek.

Selanjutnya, dalam upaya melawan keberingasan nafsu ammaroh yang setiap kali datang mencampuri seriap perbuatan kita dalam segala aspek, kita dituntut untuk memurnikan niat kita dalam beribadah karena Allah, dalam Artian mengupayakan segala bentuk perbuatan sepnuh jiwa dan raga semata mata karena Allah. Dan inilah hakikat ibadah yang sebenarnya, yaitu saat seorang hamba mampu merefresentasikan amal baiknya dengan niat yang sebenarnya, sebagaimana Allah berfirman;

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus), dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus..” (QS Al-Bayyinah: 5).

Dan dari niat inilah ukuran keikhlasan seorang hamba bisa diketahui. Sebagaimana rosulullah bersabda “Sesungguhnya segala seuatu itu tergantung pada niatnya.” (HR. Muslim)

Beramal itu mudah, ikhlas itu Sulit

Banyak orang beranggapan bahwa shalat itu berat, tapi sebenarnya yang lebih berat itu bukan melakukan shalat, tapi mengikhlaskan niat dalam shalat. Kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya adalah bahwa orang yang melaksanakan shalat secara ikhlas maka dia akan mampu menikmati indahnya shalat secara sempurna, karena dia melakukan shalat dengan khusyu’. Tidak hanya berbentuk amal jasadiyah tapi juga qolbiyah.
Allah berfirman dalam Al-Quran;

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) berbakti, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqoroh : 44-46).

Begitulah Allah memberi tahukan kepada kita, bahwa berbuat baik itu memang mudah tapi memiliki niat yang baik karena Allah itulah yang amat sulit. Karena niat yang baik selalu dirongrongi oleh hawa nafsu, sehingga yang mulanya ikhlas kini menjadi riya. Dan ketahuilah bahwa riya’ adalah syirik kecil yang sangat ditakuti oleh Rosulullah.

Beramal baiklah sesuka hati, tapi ingatlah syaitan tidak akan menghalangi kita untuk melakukan kebaikan itu, justru dia datang dengan membawa rencana lain untuk kita lakukan.

Yang dia inginkan dari amal baik kita adalah terpisahnya antara amal baik itu dengan niat. Yang pada awalnya kita shalat karena Allah, kini berubah menjadi shalat karena orang lain. Bisa karena bos, karena martua, karena wanita dan karena karena yang lain.

Sekedar catatan, untuk meminum racun tidak selamanya dibutuhkan “racun”. Sebab, madupun bisa menjadi “racun”, dan begitulah muslihat syaitan. Semoga Allah menjadikan hambanya yang taat dan ihlas karena-Nya.*/Mohammad Khotibul Umam

HIDAYATULLAH



Mengikuti Jejak Ikhlas Para Nabi Allah

PERNAHKAH Anda mengalami situasi dimana murid lebih asyik bercerita dengan teman sebangkunya sedang guru menerangkan pelajaran di kelas.

Atau kondisi dimana seorang da’i yang berceramah di depan puluhan atau ratusan orang, akan tetapi ada beberapa hadirin yang lebih serius menatap layar handphone dibanding memperhatikan materi ceramah?

Atau keadaan dimana seorang anak terlihat bersungut-sungut dan bermuka masam ketika orang tuanya sedang berpanjang lebar memberikannya nasehat?

Jika kisah di atas pernah dialami atau yang semisalnya, lalu apa yang dirasakan saat itu? Kesal, jenuh, kecewa dan merasa tidak dihargai. Mungkin itulah kondisi hati yang menggambarkan kekecewaan tersebut.

Dalam Islam, mengajak kepada kebaikan dan menyampaikan kebenaran bukan cuma tugas para juru dakwah atau seorang pendidik. Sebab hal itu adalah kewajiban setiap Muslim dalam perannya sebagai khalifah.

Tentunya hal itu bukan perkara mudah. Ia harus dijalani dengan profesional (ahsanu amalan). Salah satunya dengan menyandarkan pekerjaan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt).

Dengan mendengar nasihat, diharapkan sang mad’u (obyek dakwah) tergerak hatinya untuk berbuat kebaikan dan mengerjakan amal shaleh.

Sebaliknya, seorang Muslim yang menasihati dan melakukannya berulang-ulang dengan keikhlasan sepenuh hati, menjadikan nasihat itu mudah menyentuh hati dan dipahami oleh yang mendengarkan.
Ikhlas bagian dari akhlakul karimah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ikhlas adalah lawan dari riya’.

Jika ikhlas itu beramal untuk mengharap ridha Allah sebagai puncak tujuan. Sedang riya’ melakukan perbuatan dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Inilah modal utama seorang Muslim dalam menjalani kehidupan di dunia.

Allah berfirman:

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ

Katakanlah!Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Az-Zumar [39]: 11).

Ikhlas syarat meraih takwa

Fudhail ibn Iyadh berkata, meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.

Senada, Ibnul Jauzi dalam Mukhtashar Shaid al-Khatir mengungkap, manakala orang yang beramal menginginkan hati orang agar tertuju padanya, maka ia telah ikut menyekutukan-Nya, karena seharusnya ia hanya puas dengan pandangan zat yang seharusnya ia beramal untuk-Nya.

Adapun orang yang sengaja mencari perhatian orang dengan amalnya, maka amalnya akan hilang sia-sia dan tidak diterima di sisi-Nya. Sedang ilmunya telah hilang, dan umurpun hilang sia-sia.

Di dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan figur-figur yang patut diteladani seorang Muslim karena keikhlasannya. Mereka adalah nabi-nabi Allah, orang-orang pilihan yang membawa risalah dari Allah untuk disampaikan kepada kaumnya.

Ajakan dan dakwah yang dilakukan para anbiya tentu bukan hal yang ringan. Meski menjadi orang pilihan Allah, tak jarang mereka menemukan banyak rintangan dalam berdakwah.

Dalam QS Asy-Syu’ara Allah menceritakan lika-liku dakwah para Nabi beserta keteladanan mereka ikhlas dalam berdakwah.

Nabi Nuh misalnya. Nuh mengerahkan segenap kemampuannya untuk berdakwah. Ia juga menghabiskan umurnya, mengajak umat bertakwa kepada Allah.

Ajakan tersebut murni dari hati Nabi Nuh, bukan semata karena kepentingan pribadi. Keikhlasan itu setidaknya terrekam dalam ucapannya;

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Asy-Syu’ara [26]:109).

Namun apalah daya, hidayah adalah kuasa Allah sepenuhnya. Dakwah yang digencarkan selama 950 tahun tersebut berujung kepada kekufuran umat Nabi Nuh dan banjir bandang yang melanda mereka.
Demikian yang terjadi dengan kaum ‘Ad. Berbagai cara ditempuh oleh Nabi Hud mengajak kaumnya untuk bertakwa kepada Allah. Nabi Hud berkata, “Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS Asy-Syu’ara [26]:127).

Kalimat serupa juga dilontar oleh Nabi Shaleh kepada kaum Tsamud (QS. Asy-Syu’ara [26]:145). Kesombongan kaumnya menjadikan mereka berpaling dari ajakan tauhid. Kaum Tsamud justru membunuh unta betina Nabi Shaleh hingga Allahpun menurunkan azab-Nya.

“Sungguh aku ini seorang Rasul kepercayaan (yang diutus kepadamu). Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada ku. Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 162-164).
Ucapan di atas terucap dari lisan Nabi Luth ketika mendakwahi kaumnya. Tapi mereka justru mengusir Nabi Luth. Hingga Allah membinasakan kaum homoseksual tersebut dan menyelamatkan Nabi Luth.

Keteguhan yang sama dilakoni oleh Nabi Syu’aib dalam menghadapi kaum Madyan. Karena dakwahnya, Nabi Syu’aib terpaksa menyandang gelar penyihir yang disemat oleh kaumnya.

“Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 180).

Senada dengan kaum-kaum terdahulu, karena membantah dakwah nabi Syu’aib, Allah juga tak segan menurunkan azab kepada kaum Madyan pada hari yang gelap.

Kisah Nabi-nabi Allah di atas menyisakan jejak yang sama berupa keikhlasan dalam berdakwah dan menegakkan agama Allah.

Kalimat ikhlas ini “Imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam,” sebagai bukti eksistensi jiwa-jiwa ikhlas dalam menyerukan kebaikan dan kebenaran.

Keihkhlasan menjadi penyangga utama dalam menjalankan perintah Allah untuk berdakwah siang malam, dalam kondisi lapang ataupun sempit.

Sebagaimana hanya dengan modal ikhlas, membuat seorang juru dakwah memperoleh derajat takwa di sisi Allah. Kelak segala jerih payah dan kepayahan dalam berdakwah niscaya berbalas kenikmatan yang tak terkira.

Bagi seorang Muslim, kisah para Nabi di atas adalah cermin utuh dalam menakar kualitas jiwa dan kesucian hati. Status sebagai Nabi dan Rasul Allah tak lantas membuat mereka tinggi hati kepada sesama manusia.

Olehnya, sebagai manusia biasa dengan segala kelemahan yang melekat, sejatinya tak ada alasan untuk bersikap sombong dan tak sabar dalam mengajak manusia kepada kebaikan?

Apalagi jika menyandarkan sepenuhnya kepada imbalan orang lain sedang orang tersebut tidak akan mendapatkan rezeki selain karena pemberian Allah Yang Maha Pemurah.

Ikhlas bagi orang beriman tak hanya berlaku saat mengeluarkan sedekah atau berinfak, yang terkait materi. Tapi ikhlas berlaku dalam segala amal perbuatan, termasuk dalam menyampaikan nasihat kebaikan dan kebenaran.

Bahwa ia semata dikerjakan karena mengharap ridha Allah, bukan sekedar imbalan dari manusia.

Meski terlihat sulit tapi bukan berarti ia tidak bisa diusahakan secara ikhtiar manusiawi. Setidaknya hal itu bisa ditempuh dengan melakukan beberapa hal berikut ini.

Pertama, menghadirkan Allah dalam setiap amal perbuatan. Kedua, percaya kepada janji-janji Allah bagi hamba-Nya yang senantiasa ikhlas dalam beramal. Ketiga, membersihkan hati dari sikap sombong dan penyakit hati lainnya.

Dalam tataran aplikasi dan evaluasi, hendaknya para orangtua tak perlu heran ketika menemukan anaknya melakukan hal-hal yang kurang baik.

Sebagai evaluasi, hal itu bisa dikembalikan kepada diri sendiri. Adakah dirinya sudah ikhlas dan memberikan yang terbaik dalam mendidik anak.

Pun demikian seorang guru, tak selamanya murid menjadi sasaran obyek jika terjadi kesalahan dalam proses pendidikan. Sebab boleh jadi rasa ikhlas itu yang belum terlihat dalam mengajar dan mendidik mereka.

Dengan modal ikhlas, seorang Muslim niscaya beroleh petunjuk dan bimbingan Allah kala mengalami kesulitan dalam suatu urusan.

Sehingga tak ada lagi sikap kecewa yang berlebihan sebagai pelampiasan atas kondisi buruk yang tak diinginkan.

Seorang guru tak perlu mengumbar marah yang over dosis hanya gara-gara anak didiknya yang tak memperhatikan dirinya mengajar.

Seorang juru dakwah juga tetap tenang dana berusaha mengembalikan perhatian dan konsentrasi obyek dakwahnya dari berbagai gangguan.

Bermodal ikhlas, seorang Muslim tak lagi dipusingkan dengan hal-hal kecil tersebut. Ia tak perlu menghabiskan energi dengan menumpahkan rasa kesal, marah, atau kecewa berlebihan dalam setiap urusan.

Terakhir, mari memasang niat baik dalam memperbanyak amal kebaikan. Semoga niat baik yang beriring dengan keikhlasan menjadikan predikat takwa itu bisa diraih dengan sempurna.

*/Arsyis Musyahadah,  Balikpapan

HIDAYATULLAH



Usai Salat Baca Istighfar, Bukan Hamdalah

DZIKIR yang diajarkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam seusai shalat adalah membaca istighfar, dan bukan hamdalah. Al-Walid perawi hadis bertanya kepada al-Auzai, “Bagaimana cara beristighfar?” Beliau mengatakan, “Cukup kamu mengucapkan: Astaghfirullah Astaghfirullah” (HR. Muslim 591 dan Nasai 1261)

Dan kami tidak pernah menjumpai adanya riwayat yang mengajarkan bahwa seusai shalat, dianjurkan untuk membaca hamdalah.

Bukankah Seusai Shalat kita boleh Membaca Apapun?

Benar, bahwa seusai shalat, orang boleh melakukan kegiatan apapun di luar shalat. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan, “Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbiratul ihram, dan yang menghalalkannya adalah salam.” (HR. Ahmad 1006 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Yang dimaksud boleh melakukan kegiatan apapun di luar shalat adalah kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan shalat. Namun jika kegiatan itu dikaitkan dengan shalat, seperti dzikir setelah shalat, kewajiban kita adalah mengikuti apa yang diajarkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Karena itu, dalam hal ini, seseorang tidak boleh berkreasi, seperti membuat dzikir sendiri atau kegiatan sendiri, yang tidak sesuai dengan praktek Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Ketika seseorang melakukan sesuatu secara berulang-ulang, bisa dipastikan, dia melakukannya karena dilandasi latar belakang tertentu.

Terdapat kaidah yang menyatakan, “Apabila sesuatu itu berulang, maka dia menjadi aturan”. Si A setiap selesai shalat langsung beristighfar 3 kali. Ketika ditanya, mengapa anda lakukan itu?, si A menjawab, “Seperti ini yang diajarkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” Si B setiap selesai shalat selalu membaca hamdalah, baru istighfar. Ketika ditanya, mengapa anda baca hamdalah seusai shalat? Jawab si B, “Sudah kebiasaan.” “Ini sebagai rasa syukur karena sudah diberi kesempatan untuk shalat.” Atau jawaban semisalnya.

Jika alasannya hanya kebiasaan, seharusnya kita ikuti kebiasaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan bukan membuat kebiasaan sendiri. Jika alasannya karena bersyukur kepada Allah, alasan ini tidak tepat, dengan pertimbangan,
[1] Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling pandai bersyukur. Namun beliau tidak membaca hamdalah sesuai shalat.
[2] Jika kita membaca hamdalah seusai shalat sebagai bentuk syukur kepada Allah, seharusnya kita juga melakukan yang sama untuk ibadah lainnya. Sehingga kita baca hamdalah setiap selesai ibadah apapun.

Namun realitanya, untuk ibadah yang lain, mereka tidak membaca hamdalah. Mengapa kita harus beristighfar setelah shalat. Bukankah shalat itu ibadah? Mengapa kita istighfar sesuai ibadah? Karena kita sangat yakin, dalam ibadah shalat yang kita lakukan sangat rentan dengan kekurangan. Dan kita mohon ampun atas semua kekurangan yang kita lakukan ketika shalat. Hadirkan perasaan semacam ini ketika anda membaca istighfar setelah shalat. Agar ucapan istighfar kita lebih berarti.

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Tanda Ikhlas: Menganggap Sama Pujian dan Celaan

Di antara tanda ikhlas adalah menggap sama antara pujian dan celaan. Dengan adanya pujian tidak menjadikan dirinya bangga dan adanya celaan pun tidak menyurutkan semangatnya untuk beramal. Tanda ikhlas seperti inilah yang dituntut saat beramal dan berdakwah.

Perintah untuk ikhlas disebutkan dalam ayat,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang bahaya riya’ (gila pujian) bahwasanya amalan pelaku riya’ tidaklah dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits qudsi disebutkan,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya” (HR. Muslim no. 2985).

Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan, “Tidak mungkin dalam hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api.”

Seperti kita ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti akan saling membinasakan. Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.

Ada yang menanyakan pada Yahya bin Mu’adz, “Kapan seorang hamba disebut berbuat ikhlas?” “Jika keadaanya mirip dengan anak yang menyusui. Cobalah lihat anak tersebut dia tidak lagi peduli jika ada yang memuji atau mencelanya”, jawab Yahya.

Muhammad bin Syadzan berkata, “Hati-hatilah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di sisi Allah, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia”. Maksud beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.

Ada yang berkata pada Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah, “Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?” “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia”, jawab Dzun Nuun.[1]

Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu ikhlas dalam beramal dan berdakwah.

Selesai disusun ba’da Zhuhur di Darush Sholihin, 24 Muharram 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/23439-tanda-ikhlas-menganggap-sama-pujian-dan-celaan.html

Jangan Terlena dengan Pujian

Berhati-hatilah dengan pujian. Seringkali pujian membuat orang melupakan dengan hakikat dirinya yang sebenarnya. Banyak orang memuji, bukan berarti apa yang ada pada diri kita adalah sama persis seperti apa yang dipuji oleh banyak orang.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ رَجُلًا ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَثْنَى عَلَيْهِ رَجُلٌ خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” وَيْحَكَ، قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ – يَقُولُهُ مِرَارًا – إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا لاَ مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ: أَحْسِبُ كَذَا وَكَذَا، إِنْ كَانَ يُرَى أَنَّهُ كَذَلِكَ، وَحَسِيبُهُ اللَّهُ، وَلاَ يُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا”

Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya: Ada seseorang berada di dekat Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Lalu ada orang lain yang memuji-muji orang tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka engkau! Engkau telah menebas leher kawanmu.” – Nabi mengulang kata tersebut berulang kali – Jika kamu mau memuji, dan itu harus memuji, maka katakan, “Aku sangka (aku kira) dia demikian dan demikian” jika dia menyangka kawannya memang seperti itu, “dan yang mengetahui pasti adalah Allah, dan aku tidak mau memastikan (keadaan) seseorang di sisi Allah.” (HR. Bukhari no. 6061 dan Muslim no. 3000)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan penjelasan bahwasannya ujub dapat disebabkan karena pujian yang berlebihan. Jika pada saat seseorang memuji kawannya atau orang lain di hadapannya, dan dapat menyebabkan orang yang dipuji tersebut merasa besar diri dan bangga dengan amalannya, maka hal ini dimakruhkan. Adapun pujian kepada seseorang yang orangnya tidak ada di tempat itu, maka hal tersebut adalah sanjungan yang baik. 

Dalam hadis ini juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari orang yang memuji orang lain itu dengan mengatakan “Celaka kamu, kamu telah menebas leher kawanmu”. Artinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai perilaku semacam ini.

Diriwayatkan  dari Abdullah bin Syakir,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَنْتَ سَيِّدُ قُرَيْشٍ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” السَّيِّدُ اللهُ “، فَقَالَ: أَنْتَ أَفْضَلُهَا فِيهَا قَوْلًا، وَأَعْظَمُهَا فِيهَا طَوْلًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لِيَقُلْ أَحَدُكُمْ بِقَوْلِهِ وَلَا يَسْتَجِرَّنَّهُ الشَّيْطَانُ أَوِ الشَّيَاطِينُ”

Suatu hari seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia mengatakan, “Apakah anda sayyidul Quraisy?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “As Sayyid adalah Allah.” Maka sahabat mengatakan, “Engkau adalah orang yang paling mulia di antara kita, paling besar jasanya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Katakanlah perkataan yang biasa kalian ucapkan, dan jangan jadikan perkataan kalian menjadi tunggangan setan-setan.”  (HR. Ahmad no. 16316, Abu Daud no. 4706) 

Dari hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja melarang seseorang memuji di hadapan beliau, lalu bagaimanakah dengan orang yang levelnya pasti di bawah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berhati-hatilah dengan hati manusia yang lemah. Jika dipuji, maka dapat menyebabkan masuknya ujub dalam hatinya, yang dapat mempengaruhi perilaku dan tindakannya. Dalam redaksi hadis yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ نَحْثِيَ فِي وُجُوهِ الْمَدَّاحِينَ التُّرَابَ

“Rasulullah memerintahkan kami untuk melemparkan debu di wajah orang-orang yang suka memuji.” (HR. Muslim no. 3002)

Berhati-hati juga dengan diri kita, jika kita merasa bangga dan senang jika dipuji secara langsung, karena hal tersebut merupakan salah satu ciri dari kemunafikan. Allah Ta’ala berfirman

إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ قَالُواْ نَشۡهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ لَكَٰذِبُونَ ١

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 1)

Kemudian Allah Ta’ala melanjutkan firmannya,

ٱتَّخَذُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ جُنَّةٗ فَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّهُمۡ سَآءَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٢

“Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-Munafiqun [63]: 2)

Maksud (ٱتَّخَذُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ جُنَّةٗ) adalah mereka menjadikan itu penghalang atau tameng, kemudian “Mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan”. Ini adalah sifat orang munafik dan orang yang suka cari muka. Maka kita harus waspada terhadap mereka. Jangan biarkan mereka berlebihan dalam perilaku yang terlarang ini. Inilah alasan pertama mengapa pujian langsung di hadapan seseorang itu dilarang.

Alasan lainnya kenapa pujian langsung itu dilarang adalah karena pujian yang dia tujukan kepada manusia sejatinya Allah Ta’ala juga ikut menyaksikannya. Allah Ta’ala mengetahui keadaan sejati seseorang yang tidak diketahui oleh oran lain satu pun. Maka tidak ada yang mengetahui batin manusia kecuali Allah Ta’ala. Tidak ada yang mengetahui hakikat ketulusan amal manusia kecuali hanya Allah Ta’ala saja. Dan tidak pula ada yang mengetahui apakah amalannya diterima ataukah tidak kecuali Allah Ta’ala saja. 

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkoreksi orang tersebut, dan beliau mengganti perkatannya dengan redaksi

أَحَسِبُحُ كَذَلِكَ، وَاللهُ حَسِيْبُهُ

“Aku menyangka dia demikian, dan Allah lah yang akan menghisabnya.”

Karena Allah Ta’ala yang memperhitungkan dan mengetahui amalan seseorang. Allah Ta’ala mengetahui niat dan maksudnya. Inilah adab kepada Allah Ta’ala. Tidak selayaknya seseorang memuji dirinya sendiri di hadapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman

فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (QS. An-Najm [52]: 32)

Kesimpulan yang bisa kita pelajari dari hadis ini adalah larangan berlebihan dalam memuji orang lain. Karena tidaklah ada jaminan terhindarnya ujub pada dirinya. Ujub yang membuat dia berkeyakinan kalau dia berhak mendapatkan pujian tersebut. Hal ini menyebabkan dia menelantarkan amal dan tidak punya perhatian kepada ketaatan, karena mengandalkan pujian yang ada pada dirinya. 

Penulis: Azka Haris Sartono

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54736-jangan-terlena-dengan-pujian.html

Hasbunallah Wa Nimal Wakiil

SAUDARAKU. Misalkan ada yang berikhtiar mencari sebuah rumah. Rumah itu ada di tengah hutan pegunungan yang luas. Orang itu hanya tahu ada rumah di sana, tapi ia tidak tahu alamat maupun arahnya. Lalu, karena merasa, kuat, berani, dan keren, dia langsung masuk saja ke dalam hutan. Ia pun mengabaikan papan peringatan.

Akibatnya, setelah menempuh beberapa puluh meter ia mulai bingung dan gugup. Mencapai seratusan meter sudah sering terpeleset, dan memaki-maki hutan yang menanjak dan curam. Maju lagi sekian langkah makin pusing, karena berjalan sambil tak henti berpikir. Hingga ia pun menggigil saat mendengar ada suara mengaum. Saat itu ia tersadar sedang berpegangan pada papan Peringatan.

Lalu, ia melihat lagi apa yang tertulis di sana: “Bagi Yang tidak tahu jalan, silakan melapor dan pasrahkan sepenuhnya kepada kami. Akan kami antarkan sampai tujuan dengan tepat dan selamat.” Ia meneriaki dirinya sendiri, “Mengapa tidak melapor dari tadi? Saya benar – benar bodoh!”

Kemudian ia melapor. Disampaikannya bahwa ia mencari sebuah rumah di dalam hutan. Tanpa berani menceritakan apa yang telah dialami sebelumnya. Tapi sebetulnya penunjuk jalan juga sudah menyaksikan dari menara, serta dari pakaiannya yang kumal dan sobek Hanya pura-pura tidak tahu demi menjaga perasaan orang itu.

“Baiklah, sudah jadi janji kami untuk mengantarkan. Tapi tas yang setinggi badanmu ini isinya apa?” Orang itu menjawab,” ini hanya beras, alat masak, dan gas elpiji 12 kilo.” “Tidak perlu! Tinggalkan semua, di hutan banyak makanan.Termasuk kedua galon air yang diikat di lehermu itu juga tinggalkan, di sana ada mata air.”

Setelah orang itu siap, penunjuk jalan berkata lagi. “Kamu ikuti saja, saya sama sekali tidak akan menyesatkan. Dijamin sampai dan selamat kalau kamu pasrahkan sepenuhnya kepada saya. Karena saya juga yang membangun rumah itu.” Lalu mereka pun berangkat.

Ketika jalan mulai menanjak, orang itu berkata. “Mengapa harus lewat jalan menanjak?” Lalu dijelaskan bahwa di atas pegunungan banyak pohon buah-buahan yang Iezat. “Oh, ya!” katanya langsung semangat mendahului. Tak lama kemudian dia pun berteriak, “Ada babi hutan!” “Tenang,” kata penunjuk jalan, “Babi hutan tak bisa belok, miring saja sedikit.”

Sesudah dirasa cukup, penunjuk jalan menuntunnya meneruskan perjalanan menuruni dinding bukit yang licin. “Sudah naik, mengapa turun lagi? Apalagi ini licin,” kata orang itu. Lalu dijawab bahwa di bawah ada mata air yang jernih dan segar. Maka dia pun jadi semangat meluncur.

Saudaraku, dari ilustrasi kisah ini, ada hikmah yang dapat kita petik. Hikmahnya, kita harus patuh dan pasrah saja kepada Allah. Sebab Allah adalah Pemilik kita. Allah Yang Mahabaik lebih menghendaki kita bahagia dibanding kita sendiri. Karena itu kita diberi beragam peraturan. Tapi kita sendiri yang suka memilih melanggar dengan sok pintar dan sok keren. Sehingga hidup kita sendiri pula yang diliputi kebingungan, resah, gelisah, dan sengsara.

Allah Pemelihara dan Penjamin kita. Dia-Iah yang paling menginginkan kita selamat menjadi ahli surga. Sedang kita sendiri kurang ingin ke surga. Cirinya, kita suka berbuat maksiat yang mencelakakan diri, serta kurang berani mengakui dan menyesa|i kesalahan sendiri. Kita kurang mau menuruti-Nya. Padahal seluruh perintah Allah SWT itu merupakan jalan ketenangan, kebahagiaan dan keselamatan.

Seperti salat kita yang asal, rakus saat ada makanan, dan sering bermaksiat. Kalau Allah gemas pada kita, minimal kita sudah disambar petir.Tetapi Allah Yang Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun masih memberi kita kesempatan untuk segera memperbaiki diri. Agar kita cepat bertobat, patuh, dan memasrahkan hidup dan mati kita hanya kepada-Nya.

Sama dengan ketika langkah hidup kita mulai sedikit mendaki, maka kita mulai berburuk sangka kepada Pencipta setiap takdir. Begitu pula saat jalan hidup agak menurun, kita juga mulai suka protes kepada Penentu setiap ketentuan. Padahal mau bagaimana pun hidup kita, Penggenggam seluruh rencana dan ketentuan adalah Yang Mahasuci lagi Maha Adil. Allah Yang Mahakuasa memilihkan apa yang terbaik untuk kita, dan Dia Maha Mengetahui.

Saudaraku.Tawakal adalah puncak ikhtiar.Tidak hanya akal dan fisik yang berikhtiar penuh, tapi hati pun harus sepenuhnya pasrah kepada Allah. Ahli tawakal itu derajat para kekasih Allah. Kita harus terus mengupayakannya sebagaimana Rasulullah SAW. Kita melihat bagaimana beliau profesional dalam memimpin dan mengelola umat, dan betapa sempurnanya tawakal beliau.

Doa Rasulullah Saw, “Ya Hayyu, ya Qayyum, birahmatika astaghits wa aslih sya’ni kulIahu wa la takilni ila nafsi tharfata’ainin.” (Wahai Yang Mahahidup, dan mengurus segaIa-galanya terus menerus, dengan rahmatMu tolonglah saya, perbaiki urusan saya dan jangan serahkan kepada saya walaupun sekejap mata).

Rasulullah SAW orang yang paling pasrah, dan kepasrahan beliau total. Sekejap saja beliau tidak mau jika tidak ditolong Allah. Justru kepasrahan itulah yang ‘ mendatangkan ketenangan, ide, gagasan atau pun kemampuan.

Jadi, ayo kita sempurnakan ikhtiar dengan bertawakal. Serta apa pun takdir dan ketentuan yang diberikan Allah, maka kita harus ridha. Walaupun musibah datang bertubi-tubi, tetap harus kita sikapi dengan baik dan pasrahkan kepada-Nya.Termasuk terhadap sesuatu yang dianggap sangat mengancam, cukuplah Allah yang menjadi Pelindung kita.

Sebagaimana, “Orang-orang yang menaati Allah dan Rasul, yang ketika ada orang-orang yang mengatakan kepadanya: ‘Sungguh orang-orang musyrik telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, ternyata ucapan itu menambah kuat iman mereka dan mereka menjawab: ‘HasbunalIaah wa ni’mal Wakiil (cukuplah Allah bagi kami, dan Dia sebaik baik Pelindung).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 173)

Dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata, “Lafaz ‘HasbunaIlaah wa ni’mal Wakiil’ pernah diucapkan oleh Nabi Ibrahim as ketika dilemparkan ke dalam kobaran api. Juga pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika orang-orang telah berkata menakuti: ‘Sesungguhnya orang telah bersatu untuk memerangimu, maka takutlah kepada mereka,’ tetapi ucapan demikian itu justru menambah keimanan mereka dan berkata: ‘Hasbunallaah wa ni’mal Wakiil!” (H R. Imam Bukhari)

Saudaraku, pencari alamat rumah tadi, boleh jadi adalah ilustrasi masing-masing diri kita. Karena itu, mari kita lepaskan ransel, gas elpiji, dan galon air yang telah membuat hidup kita nelangsa. Maksudnya, jangan kagum atau cinta pada dunia! Baik harta, jabatan, pangkat, gelar. atau popularitas.

Patuh dan pasrahkan hidup kita hanya kepada Pemilik langit dan bumi. Di mana saja kita berada, Allah selalu bersama kita. Mudah-mudahan kita selalu ditunjuki. dilindungi, dan diridai-Nya hingga nanti tiba dengan selamat di Surga. HasbunaIlah wa Ni’mal Wakiil. [*]

INILAH MOZAIK

Beberapa Jenis Mati Syahid di Jalan Allah

Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman

Mati syahid di jalan Allah ada beberapa macam:

  1. Syahid di dunia dan akhirat
  2. Syahid di dunia, namun bukan syahid di akhirat
  3. Syahid di akhirat, namun bukan syahid di dunia

Syahid di dunia dan akhirat, akan mendapatkan pahala syahadah (yang sempurna). Orang yang dihukumi sebagai syahid di dunia dan akhirat adalah orang yang gugur dalam perang dalam, keadaan sedang maju bukan sedang kabur, dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Dan ia tidak makan dan minum setelah terluka dan jatuh di pertempuran dalam keadaan belum mendapatkan pengobatan. Sebagian ulama, orang yang terluka di peperangan lalu sempat makan, minum dan mendapat pengobatan setelah terlukanya, maka ia tidak dihukumi syahid. Kecuali jika hanya makan atau minum sedikit saja kemudian wafat setelah terlukanya, (maka masih dihukumi syahid).

Syahid di dunia adalah orang yang gugur dalam perang, dalam keadaan maju bukan kabur, namun niatnya bukan dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Maka di dunia ia dihukumi sebagai syahid secara zahirnya. Namun di akhirat, di sisi Allah, ia tidak mendapatkan pahala syahid.

Adapun syahid di akhirat yang bukan syahid dunia, ia diperlakukan di akhirat kelak sebagaimana orang yang mati syahid dan mendapatkan pahala syahid. Adapun di dunia, jenazahnya tetap dimandikan, dikafankan, dishalati, dan jenazahnya diperlakukan sebagaimana jenazah kaum Muslimin pada umumnya. Yang termasuk jenis ini di antaranya:

  • Al Mabthun, orang yang meninggal karena penyakit di perutnya
  • Al Ghariq (orang yang mati tenggelam)
  • Al Hariq (orang yang mati terbakar)
  • Orang yang sakit dzatul janbi (semacam penyakit paru-paru)
  • Wanita yang meninggal ketika nifas
  • Al Gharib, orang yang meninggal jauh di luar daerah tempatnya tinggal sehingga ia asing di sana

Dan yang lainnya semisal mereka, mendapatkan syahid di akhirat. Namun bukan syahid di dunia.

Inilah beberapa jenis mati syahid yang dijelaskan para ulama. Wallahu a’lam.

***

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/31300

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26616-beberapa-jenis-mati-syahid-di-jalan-allah.html

Awas Kematian Mendadak!

Kita berada di akhir zaman, banyak terjadi kematian mendadak, memang itu merupakan salah satu tanda-tanda hari kiamat. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ أَنْ يُرَى الْهِلالُ قِبَلا ، فَيُقَالُ : لِلَيْلَتَيْنِ ، وَأَنْ تُتَّخَذَ الْمَسَاجِدَ طُرُقًا ، وَأَنْ يَظْهَرَ مَوْتُ الْفُجَاءَةِ

Dari Anas bin Mâlik, dia meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara dekatnya hari kiamat, hilal akan terlihat nyata sehingga dikatakan ‘ini tanggal dua’, masjid-masjid akan dijadikan jalan-jalan, dan munculnya (banyaknya) kematian mendadak.[1]

KENYATAAN DI HADAPAN KITA
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut pada zaman ini benar-benar sudah nyata di hadapan kita. Seseorang yang sehat, kemudian mati tiba-tiba. Orang-orang sekarang menyebutnya dengan “serangan jantung”.  Berapa banyak orang yang sedang berolah-raga, dengan maksud meningkatkan kesehatan, namun justru kematian tiba-tiba mendatanginya di lapangan. Berapa banyak orang yang sedang melakukan perjalanan, kemudian terjadi kecelakaan yang tidak diperkirakan, hingga menghantarkan kepada kematian. Berapa banyak orang yang sedang bermaksiat, berzina di suatu tempat, kemudian mendadak sekarat. Atau sebaliknya, orang yang sedang beribadah, kedatangan malakul-maut yang tidak pernah menyelisihi perintah, sehingga orang itu meraih husnul-khatimah. (Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang meraih husnul khatimah-red).

Melihat kenyataan ini, hendaklah masinng-masing dari kita segera memperhatikan dirinya, segera kembali dan bertaubat kepada Penguasanya, sebelum kematian itu datang.

NASIHAT  IMAM BUKHÂRI YANG BERHARGA
Imam al-Bukhâri rahimahullah telah mengingatkan masalah kematian mendadak melalui sya’irnya, seraya menasihatkan untuk memperbanyak amalan. Beliau rahimahullah berkata :

اِغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ الرُكُوْعِ                فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ بَغْتَةْ
كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ              ذَهَبَتْ نَفْسُهُ الصَّحِيْحَةُ فَلْتَةْ

manfaatkanlah di saat longgar keutamaan ruku’ (shalat, ibadah); kemungkinan kematianmu datang tiba-tiba;
berapa banyak orang sehat yang engkau lihat tanpa sakitjiwanya yang sehat pergi dengan mendadak

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Termasuk perkara yang mengherankan, bahwa beliau (Imam al-Bukhari rahimahullah) mengalaminya (kematian mendadak) atau yang semacamnya”.[2]

NASIHAT ORANG MULIA
Seorang yang mulia mengatakan bahwa banyak di antara kawanku yang telah melepaskan nyawanya di saat mengikuti syahwatnya, menjadi tawanan kenikmatan, dan lalai dari mengingat maut dan hisab (perhitungan amal). Setelah Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepadaku untuk mentaati-Nya, aku segera menemui sahabatku untuk menasihatinya, mengajaknya kepada ketaatan, dan mengancamnya dari kemaksiatan. Tetapi ia hanyalah beralasan dengan keadaannya yang masih muda, ia telah tertipu oleh panjang angan-angan… Maka demi Allâh, kematian telah mendatanginya secara mendadak, sehingga hari ini ia telah berada di dalam tanah, terkubur. Dia terbelenggu dengan keburukan-keburukan yang telah ia lakukan. Kenikmatan telah hilang darinya. Penyanyi-penyanyi wanita telah meninggalkannya. Tinggallah berbagai tanggung-jawab di atas lehernya. Dia telah menghadap kepada al-Jabbar (Allâh Yang Maha Perkasa)… dengan amalan-amalan orang-orang fasik dan durhaka… Semoga Allâh melindungiku dan Anda… dari catatan amal, seperti catatan amalnya, dan dari akhir kehidupan, seperti akhir kehidupannya.

Maka bertakwalah kepada Allâh –wahai hamba Allâh- janganlah engkau seperti dia, sementara engkau tahu bahwa dunia ini telah berjalan ke belakang, dan akhirat berjalan mendatangi. Ingatlah saat kematian dan perpindahan, dan (ingatlah) apa-apa yang akan tergambarkan di hadapanmu, berupa keburukan yang banyak sedangkan kebaikan begitu sedikit. Kebaikan yang ingin engkau amalkan, maka segera amalkan sejak hari ini. Dan apa yang ingin engkau tinggalkan, maka (tinggalkanlah) sejak sekarang:

Maka seandainya jika kita telah mati, kita dibiarkan,
Sesungguhnya kematian itu merupakan kenyamanan seluruh yang hidup,
Tetapi jika kita telah mati, kita pasti dibangkitkan,
Dan setelah itu, kita akan ditanya tentang segala sesuatu.[3]

MATI MENDADAK TANDA KEMURKAAN ALLÂH?
Semua orang pasti akan menemui kematian. Kematian itu, terkadang diawali dengan tanda-tanda, seperti sakit,  terkadang kedatangannya mendadak tanpa tanda. Kematian mendadak merupakan tanda kemurkaan Allâh Azza wa Jalla kepada orang tersebut.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ خَالِدٍ السُّلَمِىِّ – رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَرَّةً عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ مَرَّةً عَنْ عُبَيْدٍ – قَالَ « مَوْتُ الْفَجْأَةِ أَخْذَةُ أَسَفٍ ».

Dari ‘Ubaid bin Khalid as-Sulami, seorang laki-laki dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , perawi terkadang mengatakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan terkadang mengatakan dari ‘Ubaid, dia berkata: “Kematian mendadak adalah siksaan yang membawa penyesalan”.[4]

Akh-dzatu artinya siksaan atau serangan atau musibah. Sedangkan asaf memiliki dua makna, yaitu kesusahan yang serius dan kemurkaan. Dan para ulama telah menjelaskan mengapa kematian mendadak merupakan siksaan yang membawa penyesalan.

Ali al-Qari rahimahullah berkata, “Yaitu, kematian mendadak merupakan dampak dari dampak kemurkaan Allâh, sehingga Allâh Azza wa Jalla tidak membiarkannya bersiap-siap untuk akhiratnya dengan taubat dan dengan mempersiapkan bekal akhirat, dan Allâh Azza wa Jalla tidak memberikannya sakit yang bisa menjadi penghapus dosa-dosanya.”[5]

Ibnu Baththâl rahimahullah berkata, “Hal itu –wallâhu a’lam– karena di dalam kematian mendadak dikhawatirkan terhalangi dari membuat wasiat dan tidak mempersiapkan untuk (bekal) akhirat dengan taubat, dan amal-amal shalih lainnya.”[6]

Akan tetapi bukan berarti semua orang yang mati mendadak merupakan orang yang dimurkai oleh Allâh Azza wa Jalla . Sesungguhnya hal itu berlaku bagi orang kafir atau orang yang selalu berada dalam maksiat. Adapun orang Mukmin, yang selalu mempersiapkan diri dengan iman yang shahîh dan amalan yang shalih, maka kematian mendadak merupakan keringanan baginya.

عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : مَوْتُ الْفُجَاءَةِ تَخْفِيفٌ عَلَى الْمُؤْمِنِ ، وَأَخْذَةُ أَسَفٍ عَلَى الْكَافِرِ

Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir”.[7]

Kalimat ini juga diriwayatkan dari  perkataan sebagian sahabat:

عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : مَوْتُ الْفُجَاءَةِ تَخْفِيفٌ عَلَى الْمُؤْمِنِ ، وَأَسَفٌ عَلَى الْكَافِرِ

Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir”.[8]

Yang dimaksud Mukmin di sini, adalah orang Mukmin yang telah mempersiapkan diri menghadapi kematian dan selalu memperhatikannya. Sedangkan orang kafir, maka sangatlah jelas, karena dengan kematian mendadak, ia tidak sempat bertaubat dan mempersiapkan diri untuk akhirat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad dan sebagian (Ulama) Syafi’iyyah tentang tidak disukainya kematian mendadak. Sedangkan Imam Nawawi rahimahullah meriwayatkan dari sebagian orang-orang zaman dahulu bahwa sekelompok orang dari para nabi dan orang-orang shalih mati mendadak. (Imam) Nawawi rahimahullah berkata, ‘Itu disukai oleh orang-orang yang memperhatikan (akan datangnya kematian)’.” Aku (al-hâfizh) berkata, “Dengan ini dua pendapat itu berkumpul”.[9]

Semoga Allâh selalu menolong kita untuk selalu mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan meningkatkan ibadah kita kepada-Nya. Hanya Allâh tempat mengadu dan memohon

Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Read more https://almanhaj.or.id/4128-awas-kematian-mendadak.html

Mati Mendadak Adalah Istirahat dan Kenikmatan Bagi Mukmin

Cukup sering kita mendengar kabar ada artis mati mendadak, pejabat mati mendadak dan mulai banyak kita jumpai kasus-kasus mati mendadak. Secara kedokteran pun muncul penyakit-penyakit yang menyebabkan mati mendadak seperti stroke dan serangan jantung. Demikian juga kasus tabrakan lalu mati mendadak di tempat, kasus tabrakan helikopeter dan lain-lainnya.

Mati Mendadak Sebagai Adzab dari Allah Ta’ala?

Muncul pertanyaan, apakah mati mendadak ini semacam adzab atau bencana? Apakah seorang muslim yang mati mendadak itu terkait dengan dosanya sebelumnya atau bagaimana? Jawabnya adalah sebagaimana dalam hadits berikut

Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

موت الفجأة راحة للمؤمن وأخذة أسف للكافر

“Kematian mendadak adalah istirahat bagi mukmin dan penyesalan bagi orang kafir” [HR. Ahmad dan Ibnu Syaibah dalam Mushannafnya]

Mati Mendadak Adalah Istirahat dan Kenikmatan?

 Maksudnya mati mendadak merupakan istirahat adalah ia bisa istirahat dari beban dunia, kelelahan dan  mungkin bisa selamat dari penderitaan sebelum meninggal (sakit-sakitan sebelum meninggal) dan sakratul maut. Tentunya dianggap “istirahat” apabila ia seorang mukmin yang shalih dan telah menyiapkan berbagai perbekalan yang banyak menuju kehidupan setelah kematian. Inilah maksud dari istirahat dan kenikmatan

Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau berkata,

جاء في بعض الأحاديث ما يدل على أن موت الفجأة يكثر في آخر الزمان، وهو أخذة غضب للفاجر، وراحة للمؤمن، فقد يصاب المؤمن بموت الفجأة بسكتة أو غيرها ويكون راحة له ونعمة من الله عليه؛ لكونه قد استعد واستقام وتهيأ للموت واجتهد في الخير فيؤخذ فجأة وهو على حال طيبة على خير وعمل صالح، فيستريح من كرب الموت وتعب الموت ومشاق الموت، وقد يكون بالنسبة إلى الفاجر قد يقع هذا بالنسبة إلى الفجار وتكون تلك الأخذة أخذة غضب عليهم، فوجؤوا على شر حال.

 “Pada sebagian hadits terdapat dalil mengenai kematian medadak yang akan banyak pada akhir zaman. Yaitu penyesalan bagi orang fajir dan istirahat bagi orang mukmin.Terkadang seorang mukmin tertimpa dengan kematian mendadak seketika. Ini adalah bentuk istirahat dan kenikmatan dari Allah. Akan tetapi tentu saja ia sudah menyiapkan (amal shalih), istiqamah dan bersiap-siap menghadapi kematian dan bersungguh-sungguh dalam kebaikan, kemudian ia meninggal dalam keadaan baik dan melakukan amal shalih, maka ia istirahat dari beban dunia, kelelahan dan penderitaan sakratul maut. Terkadang juga menimpa orang fajir, maka ini menjadi penyesalan baginya, meninggal mendadak dalam keadaan buruk.” [Sumber:http://www.binbaz.org.sa/mat/18136]

Mempersiapkan Bekal Kematian

Yang terpenting bukanlah mati mendadak atau tidak, tetapi apa yang kita siapkan untuk kehidupan setelah kematian, apa bekal yang kita persiapkan untuk kehidupan akhirat. Inilah ciri-ciri orang yang pintar dan cerdas yaitu mempersiapkan kehidupan setelah kematian.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

ﺍﻟْﻜَﻴِّﺲُ ﻣَﻦْ ﺩَﺍﻥَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻭَﻋَﻤِﻞَ ﻟِﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ

“Orang yang pandai adalah  orang yang mampu mengevaluasi dirinya dan beramal (mencurahkan semua potensi) untuk kepentingan (kehidupan) setelah kematian.” [HR.Tirmidzi]

Syaikh Al-Mubarakfuri menjelaskan makna “al-Kayyis” yaitu orang yang pandai dan berakal, beliau berkata

أي العاقل المتبصر في الأمور الناظر في العواقب

“Al-Kayyis yaitu yang berakal dan suka berpikir (merenungkan) pada suatu urusan dan suka memperhatikan akibat-akibat/hasil akhir.”[Tuhfatul Ahwadzi, Darul Kutub Al-Ilmiyyah]

Semoga kita senantiasa mendapatkan taufik agar menjadi orang yang cerdas dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54758-mati-mendadak-adalah-istirahat-kenikmatan-bagi-mukmin.html

Hukum dan Keutamaan Puasa Sunnah di Bulan Rajab

Berpuasa di bulan Rajab sejak lama menjadi kebiasaan umat Islam.

Bulan Rajab dalam kalender Hijriyah akan dimulai besok, Selasa (25/2), dalam penanggalan Masehi. Bulan Rajab merupakan bulan ketujuh dalam kalender Islam. Sebagai bulan yang termasuk dalam bulan haram (mulia), bulan Rajab merupakan bulan yang istimewa dan dimuliakan Allah SWT.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul Huda mengatakan selain karena termasuk asyhurul hurum (bulan-bulan haram), ada peristiwa penting dalam sejarah Nabi Muhammad SAW yang terjadi di bulan Rajab, yakni peristiwa Isra’ Mi’raj.

Menurutnya, peristiwa ini sangat penting bagi kehidupan Nabi SAW secara personal dan bagi syari’at Islam. Melalui peristiwa itu kemudian disyari’atkan kewajiban akan shalat lima waktu.

Ketika sampai pada bulan Rajab atau saat melihat hilal bukan Rajab, Nabi Muhammad SAW menyambutnya dengan membaca do’a ini: “Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikan kami pada bulan Ramadhan.”

Karena kemuliaannya, bulan Rajab disebut sebagai salah satu momentum yang tepat untuk meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT. Salah satu cara atau amalan menunjukkan cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW itu adalah dengan melakukan puasa di bulan Rajab. Berpuasa di bulan Rajab sejak lama menjadi kebiasaan umat Islam.

Namun, bagaimana hukumnya berpuasa di bulan Rajab? Ustadz Miftah yang juga Kepala Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah Depok, Jawa Barat ini mengatakan, amalan berpuasa di bulan Rajab diperbolehkan selama tidak dilakukan di waktu-waktu yang dilarang, seperti di dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan waktunya, menurutnya bisa dilakukan kapan saja di bulan Rajab.

Namun, bagaimana hukumnya berpuasa di bulan Rajab? Ustadz Miftah yang juga Kepala Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah Depok, Jawa Barat ini mengatakan, amalan berpuasa di bulan Rajab diperbolehkan selama tidak dilakukan di waktu-waktu yang dilarang, seperti di dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan waktunya, menurutnya bisa dilakukan kapan saja di bulan Rajab.

“Suatu saat Utsman bin Hakim bertanya pada Sa’id Ibnu Jubair tentang puasa Rajab. Said menjawab, “Saya mendengar Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW berpuasa (berturut-turut) hingga terkesan, beliau selalu berpuasa.” Imam Nawawi berkomentar terkait riwayat di atas, bahwa tidak ada larangan untuk berpuasa di bulan Rajab,” kata Ustadz Miftah, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Senin (24/2).

Amirullah Syarbini dan Sumantri Jamhari dalam bukunya berjudul Dahsyatnya Puasa Wajib dan Sunah Rekomendasi Rasulullah menyebutkan orang yang menjalankan puasa pada Rajab akan mendapatkan manisnya hidangan surga. Hal itu merujuk pada sebuah hadits, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di surga ada suatu sungai yang bernama Rajab, warnanya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu. Barang siapa berpuasa satu hari pada bulan Rajab, akan diberi minum oleh Allah dari sungai itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ustadz Ahmad Sarwat dalam bukunya berjudul Masuk Neraka Gara-Gara Puasa Rajab? menyebutkan tentang sejumlah amalan yang menjadi kebiasaan umat Islam melakukannya di bulan Rajab. Salah satu amalannya adalah melakukan puasa.

Namun demikian, menurutnya, tidak ada satu pun ulama yang berpendapat untuk mewajibkan amalan di bulan Rajab meskipun, sebagian ulama menyunnahkan amalan seperti berpuasa Rajab. Ustadz Sarwat lantas menerangkan tentang kedudukan hadits tentang berpuasa di bulan Rajab.

Imam An-Nawawi berkomentar tentang puasa sunnah di bulan Rajab, “Tidak ada keterangan yang tsabit tentang puasa sunnah Rajab, baik berbentuk larangan atau pun kesunnahan. Namun, pada dasarnya melakukan puasa hukumnya sunnah (di luar Ramadhan). Dan diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunan, Rasulullah SAW menyunnahkan berpuasa di bulan-bulan haram, sedang bulan Rajab termasuk salah satunya.

KHAZANAH REPUBLIKA